Bangtan Fanfict (Oneshots)

By itsyooniverse

220 33 44

Kumpulan cerita Oneshot BTS x OC Semua cerita yang ada disini murni hasil pemikiran saya sendiri, jika ada ke... More

4 O'Clock [KTH]
4 O'clock [KNJ]
Americano [JHS]
Begin [Jjk]

Coffee [PJM]

34 6 16
By itsyooniverse

***

Ting!

Suara lonceng di atas pintu berbunyi ketika aku membuka pintu. Aku berjalan perlahan menuju pojok cafe dan duduk di sana. Sengaja memilih tempat yang dekat jendela supaya bisa melihat orang berlalu-lalang. Seorang pelayan menghampiriku dan menanyakan pesanan.
"Aku pesan satu caramel macchiato dan satu americano." Setelah mencatat pesananku pelayan itu berlalu, menyisakan diriku yang tengah sibuk dengan pikiranku.

"Aku pesan caramel macchiato dingin." Suara itu menarik perhatianku. Aku menolehkan kepala untuk melihat si pemesan caramel macchiato itu. Dia duduk tepat di belakangku, bersama seorang gadis yang sedang menatapnya sambil tersenyum.

"Kenapa kau suka memesan itu?" Aku menoleh cepat saat mendengar gadis itu melontarkan pertanyaan kepada pemuda di depannya.

"Karena aku menyukainya."

"Sekali-kali kau harus coba americano."

"Aku tidak menyukainya."

"Kau harus mencobanya, kau akan suka setelah mencoba," saran gadis itu.

"Aku tidak suka americano, aku membenci sesuatu yang pahit."

"Kau tahu? Dibalik rasa pahit selalu ada rasa manis." Aku tertegun. Sama persis, gadis itu mengatakan kalimat yang sama persis seperti yang Jeesa katakan padaku waktu itu.

"Dari mana kau dapat kata-kata seperti itu? bukan dirimu sekali." Pemuda tadi kembali bersuara.

"Ah, aku melihatnya di internet. Di blog Jung Jeesa, aku menyukai tulisannya."

Aku tersenyum kecut. Si Jeesa itu, dia selalu menuliskan apa yang kami bicarakan di blognya. Padahal itu kan bukan sesuatu yang penting. Kami hanya membicarakan hal random.

Pandanganku kembali pada jalanan di depan cafe, sudah tak lagi memperhatikan dua orang tadi. Aku suka duduk di pojok dekat jendela. Ini adalah tempat favorit kami dulu. Aku dan Jeesa sering sekali menghabiskan waktu di cafe ini ditemani segelas kopi.
"Kau tahu Jim? Ketika kau terbiasa merasakan pahit, maka kau akan mendapatkan rasa manis yang luar biasa. Seperti kehidupan. Saat kau terbiasa dengan rasa sakit, suatu saat kau akan merasakan kebahagiaan yang tak pernah kau sangka-sangka," katanya waktu itu saat aku menolak sarannya untuk mencoba americano.

"Kau ini bicara apa? Aku tak mengerti." Jeesa terkekeh.

"Lupakan saja. Suatu saat kau juga akan paham dengan yang aku katakan hari ini," jawabnya tak acuh.

Ah, ingatan itu selalu terputar tiap waktu. Entah bagaimana, dia seolah menguasai pikiranku. Semuanya hanya tentang dia dan aku. Padahal kebersamaan kami sudah berlalu sejak lama. Sekarang tinggal aku sendiri bersama kenangan itu. Kenangan yang tidak bisa ku bilang manis maupun pahit. Karena keduanya benar-benar berkadar sama.

Ku lirik segelas americano di hadapanku. Seulas senyum mewarnai bibir kala ingatan tentangnya kembali melintas.

Waktu itu hujan lebat. Kami baru saja selesai mengerjakan tugas kuliah. Jeesa memarahiku karena aku menyemburkan americano ke kertas tugasnya. Membuat segala kerja kerasnya sia-sia.
"Yak! Apa masalahmu, ha?" bentaknya padaku.

"Maafkan aku. Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Lagipula ini juga salahmu, kenapa kau memaksaku meminum cairan pahit ini!" protesku. Tentu saja aku tidak mau disalahkan atas kesalahan yang tidak sepenuhnya aku buat. Dia juga salah di sini.

"Kau bisa menyembur ke arah lain! Kenapa musti ke kertas tugasku?!"

"Aku tidak sengaja. Lagipula, kenapa kau memakai kertas? Aku sudah memintamu menggunakan laptopku, dasar bodoh," balasku tak kalah kesal. Dia berakhir memukulku dengan penggaris yang ia bawa. Ku beritahu, Jeesa itu tipe orang yang tidak mau mengalah meskipun dia salah. Sungguh. Kau harus mempunyai kesabaran tingkat tinggi jika berhadapan dengannya.

Ting!

Bunyi lonceng membuyarkan lamunanku. Aku menghela napas berat lalu menyesap kopiku. Setiap kali aku berusaha melupakan kenangan itu, aku tenggelam semakin dalam.

Aku terkejut ketika seseorang menarik kursi di depanku. Dia duduk begitu saja tanpa permisi. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus dengan kopi di genggamanku.

"Halooooo," sapanya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku berdecak malas, menyingkirkan tangannya lalu menatapnya tanpa minat.

"Kau menyebalkan, Jim," katanya kesal. "Aku mengirim banyak pesan padamu dan tak satupun kau balas, itu kejam tahu," tambahnya sambil mempoutkan bibir.

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Setidaknya balas pesanku sekali saja. Apa begini caramu memperlakukan kekasihmu?"

"Baiklah. Nanti akan ku balas."

Pletak

Aku meringis kala satu jitakan mengenai kepalaku. Sungguh. Itu sakit sekali. Dia menatapku tajam masih dengan mengepalkan tangan. Aku rasa dia benar-benar marah. "Jagiya..." panggilku dengan nada selembut mungkin. Dia menghela napas lalu menurunkan tangannya. Dia menatapku sendu, seolah tahu apa yang ada di kepalaku.

"Dia lagi?" tanyanya dengan suara kecil. Aku menjawabnya dengan anggukan. Dia melirik segelas americano yang sudah dingin.

"Sungguh, Jim, aku cemburu padanya. Seolah-olah hati dan pikiranmu hanya dipenuhi olehnya," terangnya untuk kesekian kali. Asal tahu saja, dia sudah sering mengatakan hal itu.

"Memang seperti itu kenyataannya."

"Kau terlalu jujur. Menyebalkan!" kesalnya. Aku terkekeh. Ku angkat tangan untuk mengelus rambutnya.

"Maafkan aku," sesalku. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa selain kata maaf.

"Kau bahkan masih mengingat kesukaannya," dia berkata sambil terus menatap segelas americano itu. "Dan kalian memiliki kebiasaan meminum kopi bersama meskipun berbeda menu."

Aku meletakkan gelas yang permukaannya hampir menyentuh bibirku. Membiarkan caramel macchiato itu tercampakkan, lalu mulai menatap gadis di sampingku lekat.
"Aku tahu ini berat untukmu, tapi ini juga berat untukku, Chees. Sungguh. Memilikimu di sisiku, tapi memikirkan orang lain itu membuatku frustasi."

Dia menggenggam tanganku yang ada di atas meja kemudian berucap, "Aku mengerti, Jim, itulah kenapa aku masih bertahan sampai titik ini."

Aku mengumpati diriku sendiri dalam hati. Betapa jahatnya aku membiarkannya jatuh cinta sendirian selama ini. Dia terus saja mengabaikan sakit hatinya demi melihatku tersenyum yang bahkan bukan karenanya.

"Lima tahun. Sudah lima tahun kalian berpisah. Apa kau tidak ingin menemuinya?"

"Apa kau gila?" nada bicaraku meninggi. Aku membuang napas kasar, mencoba tidak terbawa emosi.

"Tolong temui dia sekali saja."

"Dan membiarkanmu terluka karena itu?" sinisku.

"Memangnya kenapa? Selama ini aku sudah sering terluka karenanya, lalu kenapa aku harus keberatan menerima satu rasa sakit lagi darinya?" Aku terdiam. Kata-katanya menamparku.

"Aku tahu, Jim, kau menjadikanku kekasih hanya untuk menepati janjimu padanya. Tapi apakah benar hanya karena itu? Apa selama lima tahun ini kau tidak memiliki sedikit saja rasa untukku?" Aku membisu. Dia benar tentang janji itu. Aku memang berjanji pada Jeesa untuk menjaga adiknya. Aku menjadikannya kekasih supaya aku bisa lebih mudah menjaganya. Namun ternyata aku salah mengambil langkah. Seharusnya dulu aku cukup melindunginya sebagai adik, bukannya malah menjadikannya kekasih dan terus membuatnya terluka karena aku tak memiliki perasaan apapun terhadapnya.

"Aku rasa kau tidak memilikinya," katanya kecewa.

"Aku mencintaimu," jawabku cepat. Tidak. Aku mengatakan itu bukan untuk menghiburnya, tapi aku memang mencintainya. Walaupun tak sebesar cintaku untuk Jeesa, tapi aku mulai mencintainya. Perjuangannya selama ini membuatku luluh.

"A-apa? K-kau bilang apa barusan?"

"Aku mencintaimu, Chees. Tidak sedalam yang kau inginkan memang, tapi aku sedang berusaha sekarang. Tolong tunggu aku sampai aku bisa merelakan kakakmu. Apa kau mau menungguku?"

Dia menatapku tanpa berkedip. Aku rasa dia terkejut dengan pengakuanku beberapa detik yang lalu.
"Aku akan menunggu. Selama apapun itu, tapi kau harus menemui kakakku dulu."

"Baiklah. Mari menemuinya bersama-sama." Cheesa mengangguk antusias. Ia memasang senyum lebar. Kemudian menarik tanganku supaya aku bangkit dari kursi yang ku duduki.

"Kau keluarlah dulu. Tunggu aku di mobil, aku harus membayar billnya."

"Oke," katanya semangat. Aku tersenyum karena itu. Dia terlihat begitu bahagia, berbeda sekali dengan beberapa saat lalu.

Aku merogoh saku jaket dan mengeluarkan dompet dari sana. Mengambil beberapa lembar uang lalu menaruhnya di atas meja. Sebelum pergi aku kembali menatap americano yang masih utuh. Aku tak menyentuhnya. Aku memesan itu bukan untuk diminum, tapi hanya untuk merasakan kehadiran Jeesa. Namun, sepertinya aku tidak perlu melakukan itu mulai sekarang. Aku akan menemuinya ketika aku merindukannya.

"Aku sudah mengerti maksud dari ucapanmu waktu itu, Jees. Adikmu yang membuatku mengerti. Perjuangannya juga semua rasa sakit yang ia terima selama ini membuatku paham. Tolong bantu aku untuk lepas darimu, supaya aku bisa mencintainya sepenuh hati dan kau bisa tenang di sana. Aku harap kau mendapat tempat terindah di sisi Tuhan. Aku mencintaimu."

12 April 2018
© Mindsweet

***


Jangan lupa kritik dan sarannya ya. Terimakasih sudah membaca 😊

Continue Reading

You'll Also Like

164K 14.8K 29
‼️ FOLLOW SEBELUM BACA ‼️ ••Akan segera Terbit•• [Sudah end + part masih lengkap] Kejora Ratu Aulia, wanita paruh baya yang membesarkan ketujuh putra...
1.3M 17.7K 45
ON GOING SAMBIL DI REVISI PELAN-PELAN. Start 18 November 2023. End? Cerita bertema 🔞, Kalau gak cocok bisa cari cerita yang lain terimakasih. Mars...
656K 76.5K 60
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
102K 18K 36
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...