Kami Sama Tapi Berbeda {END}

Autorstwa Raraa_TA

549K 2.4K 273

[WARNING!] [Penuh DRAMA, BELUM revisi, dan mengandung BAWANG!] Fani dan Fina, anak kembar yang mendapat curah... Wi臋cej

01. Gagal pergi
02. Rumah Kakek-Nenek
03. Cerita Fani
05. Hantu?
Mengungsi ke Dreame

04. Pingsan

9.3K 448 21
Autorstwa Raraa_TA

05:00 a.m.

Masih terlampau pagi bagi orang yang malas bangun pagi untuk bangun dan memulai aktivitasnya. Namun, tidak dengan Fani yang kini tengah membuka jendela dan menghirup udara pagi dengan senyum manis yang mengembang di bibirnya.

"Semoga hari ini lebih baik dari kemarin," kata itu yang keluar dari bibirnya sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi menyikat gigi, lalu wudhu untuk melaksanakan shalat subuh.

Selesai shalat, ia segera mengambil handuk serta seragam sekolahnya dan pergi mandi. Tidak butuh waktu lama untuk dia mandi, hanya membutuhkan waktu 15 menit dan Fani sudah keluar menggunakan seragam sekolah merah putih.

"Fani, bangun. Udah siang, ntar kamu terlambat sekolahnya." Pintu kamar terbuka setelah suara Dina terdengar.

"Eh, udah bangun, ya? Udah rapi lagi anak Mama." Dina masuk dan melihat Fani telah siap dengan seragam sekolahnya. Berjalan ke arah meja rias dan mengambil sisir, pita serta bedak.

"Udah dong, Ma. Aku, kan rajin. Nggak kaya Fina," sindir Fani.

"Fina juga udah bangun dan lagi mandi kok. Ya udah sini, Mama ikat rambutnya."

"Iya, Fina udah bangun karna Mama bangunin dan paksa mandi, kan?" Fani mencibir.

"Udah ah, gak usah ngomongin Fina. Dia kembaran kamu, gak boleh gitu. Kamu sama Fina punya sifat yang beda, jangan disamain gitu. Fina emang lebih susah kalau buat bangun pagi, nggak kaya kamu yang gampang bangun pagi, sayang. Ya udah, yuk kita ke bawah." Dina beranjak dari kasur setelah selesai dengan urusan ikat-mengikatnya.

Fani berjalan menunduk dengan tangan kanannya yang digandeng Dina. Setelah mengambil tas berwarna biru bergambar beruang. Buku? Jangan salah, Fani telah menyiapkan buku-bukunya kemarin siang setelah belajar dan mengerjakan PR. Sampai di meja makan, sudah ada Rian dan Fina.

Pagi itu, mereka sarapan roti dengan selai blueberry dan susu. Karna hari ini Dina sedang malas memasak.

Fina makan dengan lahap, karena dia memang lebih menyukai sarapan roti dengan selai apalagi selai blueberry dan susu dibandingkan makanan berat. Lain dengan Fani, dia tidak makan hanya melihat saja dengan wajah lesu tidak bersemangat karna Fani tidak menyukai selai blueberry, dia lebih suka selai strawberry atau coklat.

Lagi pula, Fani lebih menyukai sarapan dengan makanan berat. Menurut Fani, jika tidak makan makanan berat, rasanya tidak akan mengenyangkan perutnya.

Mereka semua selesai makan, kecuali Fani yang hanya meminum susu cokelatnya saja dengan wajah cemberut.

"Kamu nggak makan, Fan?" Dina mengernyitkan dahi saat akan mengangkat piring ke westafel, roti dengan selai blueberry di piring Fani belum tersentuh.

"Nggak, Ma." Fani menjawab dengan lesu tak bersemangat.

"Kenapa?" Rian yang tadi hanya diam mulai bertanya sambil berdiri membawa kunci mobil, tas kerjanya Dina yang akan membawanya. Dina sekretaris Rian di kantor.

"Nggak suka sama selainya." Fani menunduk dengan suara pelan.

"Ya udah, terserah. Ayo cepet, Papa pagi ini ada meeting." Rian berjalan duluan meninggalkan meja makan, di susul Fina, Fani dan Dina yang baru selesai meletakkan piring di westafel yang nanti akan dicuci oleh ART mereka.

Di dalam mobil, hening. Hanya suara mesin yang terdengar. Kemudian, suara perut. Membuat Dina dan Rian saling tatap-tatapan.

"Kenapa? Laper, kan? Tadi sarapannya siapa suru nggak dimakan," ucal Rian saat sadar itu suara perut anak pertamanya.

"Aku nggak suka selai blueberry, Pa." Fani bersuara, tapi pandangannya keluar jendela, menatap kendaraan-kendaraan yang sedang berlalu-lalang.

"Selai blueberry enak tau, lebih enak dari pada selai kesukaan kamu itu. Cokelat sama strawberry. Nggak enak," Fina menyahut sambil menatap Fani dengan lidah yang menjulur.

"Enggak. Lebih enak selai strawberry sama cokelat dari pada blueberry." Nggak mau kalah, Fani menatap Fina dengan jengkel.

"Iiih nggak. Selai blueberry lebih enak, iya ka, Pa?" Fina meminta bantuan pada Rian untuk membelanya, karena Rian memang lebih menyukai selai blueberry tentu saja dia menyetujui Fina.

"Iya, selai blueberry lebih enak," tanpa disadari Rian, jawabannya itu membuat hati seorang gadis kecil begitu tertohok.

Fani diam, menatap keluar dengan pandangan sedih. Entahlah, papanya selalu saja membela Fina, entah kapan dia akan dibela begitu.

Lagi pula dia heran, bagaimana bisa orang-orang merasa kenyang hanya dengan memakan dua lembar roti dengan selai ditengahnya dan susu? Sungguh membingungkan.

Tiba-tiba, di kepala Fani muncul bola lampu yang menyala terang, "Mama, beli nasi goreng di cafe yang biasanya itu dulu, boleh?" Fani menampilkan wajah memelasnya.

"Nggak bisa, Papa pagi ini ada meeting. Nanti terlambat masuk kantornya. Kamu juga harus cepat. Ini, kan Senin. Upacara bendera," Rian menyahut cepat.

"Tapi-"

"Dengerin kata Papa. Mama janji, sarapan besok Mama masakin nasi goreng buat kamu. Tapi hari nggak ya." Mendengar Mama berjanji besok akan membuatkan nasi goreng, membuat Fani sedikit bersemangat dan menerimanya.

"Tadi salah siapa yang nggak mau sarapan? Sekarang baru sibuk lapar, kan?" suara Rian membuat senyum cerah di wajah Fani hilang.

"Kamu itu banyak tingkah ya, Fan, kalau mau makan. Nggak mau inilah, nggak mau itulah, apa-apa nggak mau. Kamu itu harus bersyukur masih bisa makan. Di luaran sana banyak orang-orang yang nggak bisa makan. Mau makan harus kerja dulu, banting tulang. Kamu, tinggal makan aja susahnya minta ampun." Fani memandang keluar dengan air mata yang mulai jatuh membasahi kedua pipi chubbynya.

"Kamu itu harus bisa kaya Fina. Dikasih makan apa aja, dimakan, nggak banyak tingkah. Nggak kaya kamu, yang banyak tingkahnya kalau mau makan. Cobalah belajar jadi kaya Fina."

Kenapa papanya tidak juga mengerti? Dia tidak menyukai selai blueberry. Seperti papanya yang tidak menyukai selai serikaya. Semua orang punya kesukaan dan ketidaksukaannya masing-masing, bukan? Tapi, kenapa papanya menganggap ketidaksukaan Fani seakan-akan adalah dosa besar yang sangat berat?

"Iya, Fani. Cobalah belajar jadi seperti Fina," Dina ikut-ikutan membuat Fani ingin berteriak sambil menangis dengan kencang.

"Padahal, baru tadi pagi Mama bilang kalau aku sama Fina emang beda, jangan di samain. Tapi, Papa sama Mama selalu aja nyamain aku sama Fina." Fani bergumam sambil mengusap air matanya yang tadi sempat menetes.

Menyalami tangan kedua orang tuanya setelah mendapat uang jajan dan beranjak turun. Tanpa menyadari gumamannya didengar Dina dan Rian, Fina tidak dengar karena dia telah turun duluan dari mobil.

Rian dan Dina yang mendengar gumaman Fani merasa tertohok. Terutama Dina, karena memang tadi saat mengikat rambut Fani, dia berujar bahwa Fani dan Fina memiliki sifat yang berbeda, jangan disamakan.

Fina merasa aneh dengan kembarannya. Hatinya begitu sakit saat melihat Fani yang baru melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Dia ingin menangis, tapi dia sendiri juga tidak tau kenapa.

Fani melangkahkan kakinya ke gerbang sekolah dengan nama besar yang terpampang di atas gerbangnya, SD Swasta Alfa. Sekolah itu diambil dari nama keluarganya, Alfarizi. Ya, sekolah itu adalah sekolah milik opanya. Tidak hanya SD, tapi juga ada TK, SMP, SMA, serta Universitasnya.

                         🐰🐰🐰

Upacara baru berlangsung 10 menit, namun seorang anak perempuan sudah terlihat pucat pasi. Keringat jagung sudah membasahi dahinya. Peluh itu sudah diusapnya beberapa kali, namun tetap saja ada lagi dan lagi.

Pusing dan sakit diperutnya bertambah menyiksa. Sungguh, dia merasa tidak sanggup lagi. Kepalanya semakin terasa berat. Kembaran yang berbaris di sebelahnya melihat ke arahnya dan terkejut melihat dirinya yang pucat pasi.

"Fani, kamu kenapa?" tanya Fina berupa bisikan.

Fani tidak menjawab, dia hanya diam. Memejamkan mata, berharap rasa pusing dan sakit di perutnya dapat segera hilang. Namun, bukannya menghilang, rasa pusing dan sakit di perutnya semakin menggila.

"Fan, Fani. Kamu kenapa?" Fina khawatir saat melihat Fani tidak menjawab dan hanya memajamkan mata.q

Sakit di perut dan di kepalanya sudah tidak dapat Fani kontrol. Dia membuka matanya. Namun, baru beberapa detik dia membuka mata, pandangannya mengabur. Perlahan, kesadarannya mulai hilang. Yang terakhir kali di dengarnya suara teriakan nyaring dari Fina.

Mendengar suara teriakan Fina, para guru berlari mendekat dan dengan segera menggendong Fani. Membawa anak perempuan yang pingsan itu ke UKS untuk diperiksa. Fina tidak mengikuti upacara, dia ikut menyusul guru yang membawa Fani ke UKS, ingin tau bagaimana keadaan Fani.

"Ibu dokter, gimana sama Fani? Dia baik-baik aja, kan Ibu dokter?" tanya Fina dengan wajah serius yang sebenarnya terlihat sangat imut.

Memang, di sekolah mereka setiap hari ada dokter penjaganya yang akan senantiasa mengontrol jika ada murid yang sedang sakit. Seperti saat ini.

"Fani nggak kenapa-kenapa, sayang. Dia baik-baik aja. Tadi Fani belum sarapan, ya?" tanyanya dengan lembut.

"Iya, Bu dokter. Fani tadi nggak sarapan. Karna tadi pagi Mama nggak masak jadi cuma ada roti sama selai blueberry dan susu. Fani nggak suka sama selai blueberry, jadi dia nggak makan cuma minum susu aja. Lagipula, Fani lebih suka kalau makan nasi, katanya lebih kenyang. Kalau nggak makan nasi, dia nggak ngerasa kenyang." Dokter yang mendengar penjelasan panjang lebar Fina tersenyum hangat.

"Bu dokter, kenapa sih Fani nggak suka selai blueberry? Selai blueberry, kan enak Bu dokter." Fina duduk di bangku yang ada di UKS.

"Sekarang Ibu dokter tanya, makanan apa yang nggak Fina suka?" Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.

"Aku nggak suka wortel, Bu," jawab Fina dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia sangat tidak menyukai wortel.

"Wortel, kan enak, sayang. Kenapa nggak suka? Wortel juga punya vitamin A yang sangat bagus untuk mata." Dokter menjelaskan dengan nada lembutnya.

"Tapi aku nggak suka, Bu dokter."

"Begitu juga sama Fani, sayang. Fani nggak suka sama selai blueberry, sama kaya kamu yang nggak suka wortel." Dokter itu telah selesai memeriksa Fani dan tengah membuatkan teh hangat, tadi dia telah menyuruh orang untuk membelikan nasi goreng.

"Tapi, kan selai blueberry enak, Bu dokter. Nggak kaya wortel yang nggak enak. Enggak ada rasa."

"Itu, kan menurut kamu selai blueberry enak, tapi nggak menurut Fani. Wortel enak kok, sayang. Bu dokter aja suka sama wortel. Apalagi jus wortel. Huuuum enak." Dokter itu telah selesai membuat teh dan meletakkannya di sebelah ranjang yang ditidurin Fani dan duduk di kursi sebelah ranjang.

Fina mengangguk mengerti dengan penjelasan ibu dokter yang menurutnya sangat cantik dan baik.

"Nama Ibu Dokter siapa? Nama aku, Fina." Fina berjalan mendekat ke arah dokter dengan tangan yang terulur dan senyum cerah.

"Nama Ibu, Elfrina." Dokter Nana membalas uluran tangan Fina.

"Aku panggilnya Ibu Dokter Elfrina?" Fina bertanya sambil memiringkan sedikit kepalanya ke kanan.

"Nggak, sayang. Panggil Ibu Dokter Nana," kekehnya pelan.

"Ssh," Fani meringis memegang kepalanya yang masih terasa pusing.

"Eh, udah sadar rupanya. Sini, minun dulu teh hangatnya." Nana segera membantu Fani untuk duduk dengan bersandar di kepala ranjang dan juga membantu Fani meminum teh hangatnya.

"Gimana, sayang? Ada yang sakit?" tanya Na a setelah meletakkan gelas yang masih tinggal setengahnya saja.

"Kepala aku sakit, perut aku juga, Bunda," keluh Fani.

Fani sudah mengenal Nana saat pertama dia diajak opanya bermain di sekolah ini sebelum dia bersekolah di sini.

"Kok kamu panggil Ibu dokter Bunda, sih?" Fina mengerutkan dahinya heran.

"Bunda Nana, kan Bundanya aku," Fani menjulurkan lidahnya ke arah Fina.

"Aku juga mau panggil Bunda. Boleh ya, Bu dokter?" Fina memasang wajah memelasnya pada Nana.

"Ikut-ikutan aja," Fani mencibir pelan.

"Fani nggak boleh gitu ya, sayang. Katanya anak Bunda. Anak bunda nggak boleh gitu, oke?" Nana mengingatkan Fani.

"Maaf, Bunda." Fani memilin rok sekolahnya.

"Iya udah, gak apa-apa. Bunda maafin, tapi lain kali nggak boleh gitu lagi ya, sayang?" Nana tersenyum lembut dan memeluk Fani.

Inilah yang membuat Fani sangat menyayangi bunda Nananya. Bunda Nana nggak marah, padahal dia salah. Bunda Nana hanya menasehati dirinya.

🐰🐰🐰

Tbc.

Aku udah up ni😄, ya walaupun ngaret, yang penting up😪 *bugh, dilempar Fani pake bantal*.

Tenang epribadi😅 aku kan udah selesai UNBK tingkat smp ini, jadi insha allah ngaretnya nggak lama-lama bangetlah, paling cuma 3 bulan *plak* nggak ding, bercanda✌. Bakal aku usahain cepat up, bener, serius.

Ya udahlah, sampai ketemu di part selanjutnya, sayang kalian😘

Czytaj Dalej

To Te偶 Polubisz

18.9K 348 42
Hanya kumpulan cerpen. Follow sebelum baca. *** peringatan....!! Di dalamnya ada pertumpahan darah juga, bagi yang di bawah umur, tolong bijaklah da...
102K 8.7K 39
"Aku yang berdarah, dia yang kau rawat dengan cinta. Mengapa?" 馃馃 "Nata selalu ingin menjadi Nara, agar bunda dan a...
67.3K 6.1K 46
Seri Mental Disorder Story ke-1 (Afka & Aruna) 鈿狅笍 Budayakan follow Author sebelum membaca 鈿狅笍 馃崁馃崁 Aruna Greenidia Chemistriyani adalah gadis cantik...