Rotasi dan Revolusi

By Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... More

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
11 || Kencan
12 || Selingkuh
13 || Ambisi
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
23 || Brutus
24 || Degup
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
28 || Matahari
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

14 || Pengertian

70K 9.5K 606
By Crowdstroia

========

14

p e n g e r t i a n

========




"No further explanation banget nih, Beb?"

Riv menarik napas sembari memutar bola mata. Setelah tadi Jazzlyn melihatnya habis diantar pulang oleh Arraf, perempuan itu segera memintanya menjelaskan mengenai kedekatan mereka. Riv tahu Jazzlyn memang sosialita kampus yang banyak tahu berbagai info dari Sabang sampai Merauke-nya Universitas Sapta Husada. Namun, Riv yakin Jazzlyn akan mengunci mulut jika dia memang memintanya demikian.

Menatap Jazzlyn yang tengah duduk di kasurnya, Riv menjawab, "I've told you everything, Jazz. Gue sama dia urusannya ya cuma urusan skripsi aja. Ya mana gue tahu kalau ternyata dia tertarik deketin sampai sekarang."

"Maksud gue, elonya gimana?" tanya Jazzlyn sambil memainkan rambutnya. "Are you happy when you're with him?"

Riv terdiam. Mengerjap. Berusaha menelaah sendiri perasaannya. Ya, dia merasa lumayan enak mengobrol bersama Arraf... sebagai teman. Namun, tidak ada perasaan meletup-letup yang membuatnya ingin menyengir seharian seperti yang pernah dia rasakan ketika menyukai orang. "Happy as a friend, yes."

"Aww." Jazzlyn geleng-geleng kepala. "Kasihan Bang Arraf. Ngebet deketin lo, tapi elonya malah b aja."

"Gue udah bilang ke dia buat cari cewek lain." Riv menarik kakinya ke dalam pelukan sambil duduk di kursi belajarnya. Menatap ke arah meja belajarnya yang belum dirapikan. "Tapi kata dia, dia maunya gue. Harusnya gue merasa senang, ya?"

"Uhm. Senang mah senang aja, Riv. Nggak perlu merasa 'harus senang' gitu. Kalau nggak senang atau biasa aja ya nggak apa-apa. Nggak usah dipaksain." Jazzlyn mengangkat bahu. "Tapi, yah, emang biasanya cewek-cewek bakal senang sih kalau digituin. Cuma kalau dalam kasus Bang Arraf, hm...." Mata Jazzlyn memandang ke langit-langit, lalu kembali ke Riv. "Gue akui, walau dia kelihatan kayak manusia titisan dewa, gue nggak akan mau sama dia. Dia control freak abis."

"ITU!" seru Riv. Merasa lega menemukan sesama teman yang sependapat dengannya. "Dia control freak banget, Jazz. Gila. Posesifnya itu loh! Kami masih PDKT ya, dia udah terang-terangan bilang dia nggak suka kalau gue dimiliki lelaki lain dan semacamnya. Awalnya gue kayak, ya udahlah, itu normal, kita juga pasti pernah merasa nggak mau orang yang kita suka dimiliki orang lain. Tapi... dia nih ngomongnya serem. Kayak tipe-tipe orang yang begitu udah pacarin gue, bakal masuk mode senggol-bacok ke cowok-cowok lain yang deketin gue gitu."

"Gue juga mikirnya gitu." Jazz menyisiri rambutnya dengan jemari. "Well, itulah kenapa walau Bang Arraf secara fisik dan prestasi itu tipe cowok gue banget, yang mau punya suami cowok macho dan berotak encer, yang kesuksesannya sudah terpampang nyata di depan mata; gue tetap nggak mau deket-deket amat sama dia. Dia tipe pengekang, Beb. Gue kan anaknya demen rebel. Mana mau dikekang-kekang."

"Sebenarnya," Riv hati-hati berkata, "dia bisa menerima argumen, kok. Tapi, argumennya harus masuk akal gitu. Dia nggak bisa nerima argumen yang... hm... bawa-bawa perasaan."

"Nah, itu juga masalah kenapa gue nggak mau sama dia," balas Jazzlyn. "Karena dia tuh nggak sensitif sama perasaan orang. Hatinya dingin amat kagak mikirin perasaan orang lain. Sementara gue kan melakukan sesuatu ya sesuai kehendak hati aja gitu. Pakai intuisi dan perasaan. Ya bukan berarti nggak bisa mikir logis juga. Cuma yah, gue tuh anaknya impulsif gitu loh, Riv.. Mana dia bisa ngerti kalau gue lagi ngelakuin hal itu atas dasar 'panggilan hati'?"

"Yah." Riv mengangkat bahu. "Dia memang nggak akan paham, sih. Selama beberapa kali gue ketemu dia, dia memang orangnya insensitive."

"He is," Jazzlyn menyetujui. "Makanya gue pernah dengar juga gosip kalau anak-anak BEM semasa Bang Arraf menjabat itu aslinya ya benci sama Bang Arraf. Karena Bang Arraf tuh sering memutuskan sesuatu tanpa mikirin perasaan orang. Yah, keputusannya efektif, sih, untuk kebaikan juga. Tapi... very insensitive. Katanya dia suka mempermalukan orang di depan umum gitu."

Riv seketika teringat Dipa. "Yah... memang gitu."

"Gila itu orang." Jazzlyn geleng-geleng. "Dia baik sih, Riv. Orang-orang suka sama dia karena emang tujuan dia baik dan visioner. Trus dia emang pekerja keras, kan. Nobody can deny that, mengingat prestasi dia juga segudang gitu. Cuma... yah, nggak berperasaan aja. Masa orang kalau ngelakuin kesalahan di mata dia, terus dia seenak jidat permalukan orang itu di depan umum, sih? Gue nggak ngerti jalan pikir dia."

"Biar orangnya kapok sih, Jazz." Riv menghela napas. "Gue ngomong gini bukan mau ngebela dia, sih. Tapi, gue paham kenapa dia melakukan hal itu. Dia tuh sleding orang di depan umum biar orangnya malu, dan biar orang itu senantiasa teringat supaya nggak akan pernah melakukan kesalahan kayak gitu lagi di masa depan."

"Fix, Bang Arraf emang nggak banget buat dijadiin pacar gue." Jazzlyn geleng-geleng kepala. "Gue kira dia b aja, tauk. Maksudnya, gue kira tuh dia ya kayak mahasiswa gaul pada umumnya yang asyik diajak ngobrol, pintar, berprestasi yang akademik dan non-akademik jalan semua dengan baik. Tapi, dulu gue juga rada heran sih kenapa sengambis itu sampai prestasi akademiknya gemilang, tapi dia juga bisa bikin FMIPA menang Oksigen. Pas FMIPA menang Oksigen tuh berasa dia habis bikin legenda sendiri. Ternyata emang orangnya sengambis itu, ya."

"Arraf emang ngambisnya lumayan parah, sih."

Jazzlyn mengangkat alis. "Beb, lo manggil dia langsung 'Arraf'? Nggak pakai 'Bang'?"

"Hm. Udah turun respek gue ke dia gara-gara dia seenak jidat maksa-maksa gue pas ngajak jalan."

"Dia nggak marah?"

"Kalaupun marah juga gue bodo amat, sih. Kenapa?"

"Lo kayaknya paham banget sama jalan pikir dia." Jazzlyn menyipitkan mata. "Gue sih nggak pernah paham. Kayaknya orang-orang juga nggak paham. Mantan-mantannya Bang Arraf mungkin juga nggak terlalu paham. Makanya nggak ada yang kuat bertahan sama Bang Arraf lebih dari tiga bulan."

"Wow, Jazz." Riv meninggikan alis. "Sumber lo banyak juga ya sampai bisa ambil statistik lamanya Bang Arraf pacaran sama mantan-mantannya."

Jazzlyn tersenyum memperlihatkan gigi. "But seriously, Beb. Gue tuh yang tadinya tertarik banget sama Bang Arraf seketika mundur gara-gara tahu alasan mantan-mantannya dia putus. Yah, mostly karena nggak kuat sama control freak-nya Bang Arraf dan Bang Arraf kalau ngambil keputusan tuh jarang banget mikirin perasaan pacar atau orang-orang sekitarnya. Mereka sakit hati, sih. Berasa kayak nggak dihargai dan nggak dicintai. Ya sudah, putus."

Riv mengelus-elus lututnya. Menarik napas. Dia menimang sejenak sebelum memtuskan berkata, "Sebenarnya, Arraf cuma cari jalan paling efektif, sih, Jazz." Riv menopang dagunya pada lutut. "Mungkin, kalau dia udah sibuk dia bakal lupa punya pacar yang harus diperhatiin. Arraf paling mikirnya 'gue sibuk juga buat masa depan gue. Emangnya cewek gue mau kalau masa depan gue nggak sukses? Pasti kan mau gue sukses juga. Jadi pasti pahamlah kalau gue sempat lupain dia gara-gara sibuk'. Sementara pacarnya saat itu mungkin mikir Arraf brengsek karena cuma mikirin diri sendiri."

Ada beberapa detik hening setelah itu. Sebab, Jazzlyn sibuk mencerna, lalu mengerjap. Terlihat takjub. "Wow," ujarnya, terdengar kagum. "Woah, seriously, Riv. Gue nggak tahu dia mikirnya kayak gitu. Gue nggak pernah mikir sampai situ juga, sih. Tapi, lo sebegitu pahamnya isi otak dia. Pantesan dia getol banget deketin lo."

Lagi, Riv menghela napas. "Yang bisa memahami dia nggak mungkin cuma gue aja. Pasti ada cewek lain yang memahami dia juga. Ya kali cuma gue aja."

"Tapi so far kan, elo yang paling paham." Jazzlyn menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang Riv. "Tapi, walau lo sepaham ini sama dia, emangnya lo mau jadi pacarnya Bang Arraf?"

"Enggak."

"Hm, sudah kuduga." Jazzlyn terkekeh. "Lo beneran nggak mau, tapi itu malah dianggap tantangan sama Bang Arraf."

"Gue nggak niat nantangin dia buat deketin gue."

"Of course you're not. But, he just can't help it. Baru pertama kali mungkin dia ketemu manusia kayak lo." Jazzlyn tersenyum. "Bang Arraf emang nggak bakal cocok sama gue sih, Riv. Tapi, itu kan buat gue. Kalau buat lo, siapa tahu cocok."

"Kami cocok jadi teman."

"Oh, enggak, Riv. Feeling gue bilang kalian bakal cocok jadi couple. Tipe-tipe power couple yang kayak king and queen gitu. Gue yakin sih Bang Arraf bakal bangga-banggain lo ke semua orang kalau berhasil dapetin lo."

"Hah, maap-maap aja, nih. Gue nggak ada niat jadi piala pajangan ataupun permaisuri."

Jazzlyn tertawa. "Then be your own kind of queen. Maksud gue juga lebih ke power couple yang sama-sama mengintimidasi orang-orang atas skill kalian."

"Gue nggak minat mengintimidasi siapapun."

Jazzlyn terbahak. "Asli dah. Gue nggak sabar mau tahu gimana ending-nya nanti. Berani taruhan satu dus Beng-Beng, pasti nanti kalian bakal pacaran."

"Jangan doain yang jelek-jelek, Jazz. Gue masih mau hidup tenang."

"Itu doa yang bagus, sister. Ayolah, seburuk-buruknya Bang Arraf, masa lo mau menutup mata bahwa Bang Arraf itu lumayan cakep, badannya tegap tinggi gitu, mantan ketua BEM, karismatik, terkenal, banyak link, jago public speaking, punya power kuat, dewasa, udah kerja pula. Anak baik-baik loh dia. Cewek-cewek fakultas lain aja banyak yang naksir."

"Ya udah, biar mereka aja yang sama Arraf."

"Mereka mau, tapi Bang Arraf-nya nggak mau."

"Arraf belum kenal sama mereka. Kenalin dulu, paling ntar mau."

"Ya kalaupun Bang Arraf dan si cewek mau, bisa jadi cewek-cewek pada ilfeel begitu tahu busuk-busuknya Bang Arraf. Kayak mantan-mantannya Bang Arraf selama ini." Jazzlyn mengangkat bahu. "Memang awalnya cewek-cewek pasti senang dan bangga sih, bisa dapat pacar kayak Bang Arraf. Tapi kalau udah tahu busuk-busuknya Bang Arraf ya... mungkin, mereka bakal mikir 'ah, udahlah gue cari cowok lain yang lebih mau ngertiin gue, nggak apa-apa kalau mereka nggak cakep atau biasa aja prestasinya'. Dan itu normal, Beb. Karena perempuan itu ingin dimengerti, diperhatikan, disayang-sayang. Bukan malah... yah, bukan kayak Bang Arraf sih yang jelas."

Mata Riv terpejam. Sampai sekarang, dia juga tak tahu apakah Arraf mampu memahami orang lain atau hanya menuntut orang lain memahaminya. Perkenalan mereka masih terlalu awal. Riv belum bisa menilai Arraf lebih dalam. Namun yang Riv tahu pasti, meski dia tak merasakan rasa suka atau naksir ke Arraf, Riv merasa tertarik dengan lelaki itu. "Gue nggak naksir Bang Arraf, Jazz. Should I?"

"Nggak haruslah. Cinta ya jangan dipaksain." Merasa perbincangan akan berakhir, Jazzlyn pun beranjak dari ranjang Riv. "Cari cowok yang bisa memicu lo jadi lebih baik," ujar gadis keturunan Kaukasian itu. "Gitu kan, prinsip lo? Biar hubungan lo selalu ada pembaharuan atau apalah itu istilah lo. Kalau ternyata Bang Arraf bisa makes you shine brighter, why not?"

Riv terdiam. Jazzlyn pun tersenyum dan pamit untuk kembali ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Riv dengan pikiran mengenai Arraf.

Sebenarnya, Jazzlyn benar. Jika memang Arraf bisa memicunya untuk jadi lebih baik, apa salahnya mencoba dengan Arraf? Hanya saja, Riv tak merasa terpicu oleh lelaki itu. Biasa saja. Arraf baginya sama seperti teman-temannya yang mau curhat. Bedanya, Arraf curhat disambi flirting. Sehingga meski Riv bisa memahami jalan pikir Arraf, Riv tak merasakan hal yang sama dari Arraf kepadanya. Obrolan lebih didominasi oleh topik seputar kepribadian Arraf. Riv tak tahu apakah Arraf ingin mengenal Riv atau justru hanya ingin mengenal diri lelaki itu sendiri lebih dalam lewat analisis Riv.

Arraf baik. Riv tahu itu. Masalah Riv sebenarnya cuma satu: apa Arraf mau dan mampu beradaptasi dengannya? Jawabannya tidak hanya akan Riv dapatkan lewat konfirmasi mulut, tetapi juga konfirmasi aksi jika memang mereka nanti menjalin hubungan. Walau memang Riv menyadari dia belum suka, siapa tahu perasaannya bisa tumbuh karena terbiasa. Atau tidak. Sebab Riv melihat bagaimana 'cinta datang karena terbiasa' tak selamanya dapat terwujud.

Riv pun memilih untuk mengirim chat ke temannya yang sudah janjian untuk video-call di Skype. Dia pertama bertemu temannya ini pada tahun 2013 ketika berlibur ke salah satu pulau yang jarang dijelajahi di wilayah Timur Indonesia.

Layar monitor pun menunjukkan sebuah ruang kamar rapi yang terlihat cerah oleh cahaya mentari yang menelisik dari celah jendela. Perbedaan zona waktu terlihat begitu kentara dari latar kamar Riv dan kamar di balik layar. Kemudian, sesosok gadis berwajah baby face muncul dan meninggikan alis. "Eh, udah connect. Maaf, tadi ke kamar mandi dulu." Gadis itu duduk dan tersenyum. "So, How are you now, Riv?"

Riv tersenyum lebar, lalu berkata, "I'm fine, Virga. And how about you?"

[ ].




A/N

Gue update-nya gabisa tiap hari lagi ya. Mau revisi Arkais soale.

Cie digantung.


Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 276K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
280K 26.3K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 75.2K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...