Where Is My Calon Imam?

By rasamaa

20.1K 882 51

Cinta adalah Fitrah. Menikah adalah Sunnah. Jatuh cinta dan memendamnya adalah caraku menghormati rasa. Menj... More

prolog
2|Hari Pertama
3|Kembaran
4|Rumah Belajar
5|Jaga Sendiri Aja (1)
Jodoh
5|Jaga Sendiri Aja (2)
6|Bukan Benci
7|Jangan Lagi
8|Diam Dan Mengikhlaskan
9|Pergi
10|Rindu dan Doa
11| Move on
12|Baper
13|Rencana Allah
14|Kabar Gembira
15|Menjemput
16|Baper Jangan
17|Gagal Move On?
Bertemu Misha
18|Pengakuan
19. Menunggu?
20| Sakit
21|Gugup
22|Menunggu

1|Nama

2.8K 95 2
By rasamaa


💕🏡💕

Nama adalah doa.
Setiap nama mempunyai arti, bukan? Kalaupun tidak, pasti ada tujuan dari setiap orangtua, ketika mewarisi nama kepada Anak-anaknya. Entah karena senang dengan nama yang cantik atau simple.

💕🏡💕

Sejuk menyentuh kulit, menyusup masuk penciuman. Hujan. Langit gelap, sinar matahari tersamarkan, cahaya kilat, suara halilintar menggelegar. Tak pernah lagi membuatku takut. Sejak pertemuan di bawah langit gelap, hujan datang bersama dia yang menghampiriku, meratap di depan gundukan tanah merah bertabur bunga yang mulai mengering ... Ada orang yang kusayang di dalamnya.

Hujan. Dari balik jendela kamar, menatap rintik air dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berhenti satu persatu muncul seperti hujan yang menghujam pikiran, tentang hidup dan cara mensyukurinya. Juga kenangan yang selalu mampu mengukir senyum kerinduan.

Aku teringat ucapannya, "saat hujan, pikirkan saja yang baik-baik, dan jangan lupa berdoa ... Sebab, ada banyak malaikat yang akan membantu mengaminkan doa ... begitu kata ayahku." Dia tersenyum manis di bawah hujan menghiburku yang menatapnya dengan tatapan terusik karena kehadirannya yang tiba-tiba sok akrab.

Lagi-lagi aku tersenyum mengingatnya.

Oh ya, perkenalkan namaku Fatimah Misha Shafana. Perkenalan yang formal yah. Tapi bukan itu yang penting, nama itu warisan kedua orangtuaku. Setiap nama mempunyai arti, bukan? Kalaupun tidak, pasti ada tujuan dari setiap orangtua, ketika mewarisi nama kepada Anak-anaknya. Entah karena senang dengan nama yang cantik atau simple. Orangtuaku belum pernah memberi tahuku perihal itu.

Tapi yang aku tau Fatimah nama anak baginda Rasulullah yang terakhir. Putri kesayangan Rasulullah, wanita sholehah, cerdas. Sebab itulah, nenek dan keluargaku senang memanggilku Fatimah atau singkat Fath. Mereka berharap aku bisa seperti bunda Fatimah, kata Nenek. Karena nama adalah doa.

Meski aku lebih suka di panggil Misha dan karena itu teman-temanku memanggilku Misha. Misha artinya cantik, sedangkan Shafana artinya jujur dan sholehah. Betapa banyak kebaikan doa dan harapan yang mereka sematkan padaku. Nah.. Itu hasil pencarianku sendiri dari Google, belum sempat bertanya pada Ibu sebelum pergi, kalau ayah, entahlah sudah berapa lama aku tak pernah mengobrol santai hal pribadi dengan ayah.

Nenek sering menceritakan tentang kisah Al-anbiya, para sahabat juga keluarga Rasul. Khususnya yang paling aku sukai adalah cerita tentang kisah cinta bunda Fatimah dan Ali bin Abi Thalib sahabat Rasul sekaligus sepupu Rasul. Seperti remaja sebaya yang lain, kisah cinta menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap orang merasakan cinta, dan cinta adalah fitrah manusia. Tak salah ketika cinta menghampiri siapa saja tanpa memilih, diminta, atau dipaksa.

Terkadang aku berpikir akankah kisah cintaku juga akan sama seperti bunda Fatimah. Cinta dalam diam, disatukan dalam pernikahan oleh sang ayah. Entahlah, masih cukup jauh untuk dibahas anak yang baru akan masuk kekelas 2 SMA yang masih jauh dari kelulusan. 17 tahun saja belum.

Ya, sekarang aku baru naik kekelas 2 SMA, di MA Arrahman Pringsewu. Aku tinggal bersama Nenekku. Ibu dari Ibuku, di kampung, di Pringsewu, Lampung, sejak 7 tahun yang lalu, setelah setahun Ibuku meninggal, saat ayah menikah lagi, dan pindah ke Bandung untuk bekerja.

Ada banyak alasan kenapa aku lebih memilih tinggal bersama nenek. Bukan karena ayah menikah lagi. Aku malah senang ketika ayah menikahi guru cantik kesayanganku. Hanya saja aku lebih memilih tinggal bersama nenek dari pada ayah dan mama.

Harus bagaimana lagi, aku ingat dulu, aku terlalu bergantung dengan nenek setelah ibu meninggal karena kecelakaan, saat pergi mengunjungi nenek. Setelah ibu meninggal neneklah yang membantu ayah merawatku, menetap dirumah ayah bersamaku di Kota, Bandar Lampung. Cukup lumayan jauh dari kampung. Saat itu usia ku 9 tahun, kelas 4 SD.

Ayah terlalu sibuk, bahkan menjadi lebih sibuk setelah kepergiaan ibu. Dan, setelah setahun lebih ibu meninggal, ayah menikah lagi. Aku pernah mendengar pembicaraan ayah dengan nenek ketika meminta izin untuk menikah.

Kata ayah, dia tak ingin merepotkan nenek, apalagi nenek harus repot pulang pergi seminggu sekali untuk mengajar di pondok, nenek bukan tipikal orang yang mau duduk diam di rumah, apa lagi mengajar adalah tanggung jawab nenek yang tak mau nenek tinggalkan.

Tapi, aku tak tau kenapa mama mau menikah dengan ayahku dengan alasan menikah yang seperti itu.

Aku tak pernah melarang ayah menikah lagi karena aku tau mama orang yang baik, perhatian padaku sampai beberapa teman di sekolahku iri padaku. Meskipun begitu, teman-temanku bilang mama akan menjadi mama tiri yang jahat ketika sudah menikah dengan ayahku. Sampai saat ini mama tetaplah menjadi orang yang sama, baik dan memerhatikanku.

Setelah ayah menikah nenek memutuskan untuk pulang kembali ke kampung.

Aku yang sudah terbiasa dengan nenek merasa kesepian dan tak bisa tidur sendiri. Entahlah biasanya aku masih bisa tidur saat nenek Pulang untuk mengajar. Mungkin karena biasanya nenek hanya pergi sebentar dan kembali lagi.

Aku meminta ayah untuk mengajak nenek tetap tinggal disini, tapi ayah bilang tak mau merepotkan nenek lagi. Ditambah lagi bulan depannya ayah akan pindah kerja, ke Bandung.

Beberapa malam aku menangis bahkan membuat mama khawatir, selama beberapa malam itu pun mama tidur menemaniku, tetap saja aku gelisah mencari nenek.

Aku terus membujuk mama, "Mama bilang sama ayah Fath gak mau pindah, nanti Fath makin jauh sama nenek." mata sembab, di tambah demam akibat menangis.

"Tapi Fath, ini kan kerjaan ayah sayang, gak mungkin Fath disini, ayah sama mama disana," bujuk mama melihatku prihatin.

"Maafin Fath ya ma, Fath mau tinggal sama nenek, bilang ayah Fath tinggal sama nenek aja, Fath mau sekolah di sana. di sana Fath juga udah ada teman, di sana ada Ahmad ma," bujukku kembali dengan suara sendu.

"Iya besok kita bilang sama ayah ya, jangan nangis lagi," kata mama akhirnya pasrah, menenangkanku dan mengikuti mauku.

Akhirnya ayah setuju setelah perdebatan kecil terjadi, aku pindah sekolah ke kampung tempat nenek.

Aku biasa tanpa ayah tapi aku kosong tanpa nenek. Mungkin karena ayah sibuk bekerja dan nenek selalu ada untuk ku, sedangkan mama tetap seperti orang baru bagi ku.

Kehidupan di desa bersama nenek membuatku nyaman, teman-teman dan lingkungan yang bersahabat membuatku selalu menolak ajakan ayah yang masih berusaha membujukku untuk tinggal di Bandung bersama ayah. Selain karena nyaman, berat rasanya harus meninggalkan nenek sendiri di sini, nenek tidak pernah mau tinggal di Bandung.

Nada getar ponsel menyentakku. "Ayah" nama yang muncul di layar ponselku.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabku mendengar salam dari seberang sana. Suara mama, beradu dengan suara tetes air hujan yang semakin menjadi di atas genting rumah.

"Fath apa kabar?" pertanyaan yang tak akan mama lupakan ketika menyapa, lewat sambungan telpon.

"Alhamdulillah Fath sama nenek baik ma," ucapku menghemat pertanyaan mama yang akan kembali menanyakan kabar. Kabar nenek. "Gimana kabar mama, ayah sama Nino?" lanjutku.

"Alhamdulillah sehat nak, disana hujan?" tanya mama yang juga mendengar suara petir dan di susul halilintar menghujam bumi, hingga terasa bergetar. Akupun tersentak beristighfar banyak-banyak dalam hati, hampir saja ponsel terlempar dari tangan, jika saja tak segera kugenggam erat.

"Iya ma, maaf ya ma, telponnya Fath matiin dulu ya," ucapku buru-buru mematikan sambungan setelah mengucapkan salam tanpa menunggu jawaban.

Hujan mulai mereda setelah mengantarkan matahari kebelahan bumi lainnya, menyisakan gerimis dan kesejukan di udara.

"Nek lagi ngapain?" tanyaku saat menemukan nenek di dapur, dengan suara minyak goreng yang mendidih dan bau hangat yang manis menyapa hidung.

"Udah mandi?" tanya nenek, aku angguki, ketika berdiri di samping nenek yang sibuk dengan penggorengannya. "Dingin begini enak makan pisang goreng sama kopi Fath."

"Sinih Fath aja," ucapku, meraih sodet di genggaman nenek. Melanjutkan pekerjaan nenek.

"Pamali melanjutkan pekerjaan orang lain Fath," ucap nenek tersenyum geleng-geleng kepala. Padahal, nenek yang bilang jangan percaya takhayul.

Aku berdengus. "Katanya, jangan percaya takhayul ... Sama kaek musyrik, kan?" ucapku mengingatkan.

"Ada pelajaran dari aturan para leluhur Fath ... Kamu tau nggak, dari Pamali melanjutkan pekerjaan orang lain, saat itu mereka sedang mengajarkan pada generasi selanjutnya untuk mengerjakan sesuatu hingga tuntas."

"Ambil pelajarannya, jangan di imani tahayulnya ... Ini kan pekerjaan nenek," jelas nenek meraih kembali sodet di tanganku melanjutkan pekerjaannya. Aih, nenek selalu begitu tak pernah salah juga tak pernah kalah ketika berdebad.

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan nenek.

"Yaudah Fath buat kopi aja lah ya," ucapku meninggalkan nenek, dan mencari pekerjaan lain.

"Itu. Sudah nenek siapkan, tinggal Fath tuangkan air panas lagi." Tunjuk nenek pada dua gelas di atas meja, satu berisi kopi dan satunya lagi berisi susu coklat kesukaanku. Lihatlah, bagaimana nenek memanjakan cucunya ini. Kadang aku takut menjadi beban nenek yang selalu sigap menyiapkan apapun butuhanku. Dia paling tau, bahkan sebelum aku mengucapkan atau meminta.

Hidup piatu dan jauh dari Ayah dan mama tak membuat ku kekurangan kasih sayang karena aku punya nenek yang sabar dan pandai menenangkan ku dan membuat aku mengerti sehingga menerima keadaan dan hidup dengan baik.

Setiap orang punya cara tersendiri untuk bahagia.
"Bahagia itu, ikhlas menjalani dan menghadapi hidup" seperti itu penjelasan yang nenek katakan Untuk menguatkan ku.

Nenek jugalah yang mengajarkan ku tentang banyak hal, mengatasi sakit perut saat menstruasi, menenangkan ku saat sedih, mengajarkanku mengaji dan sholat, mengajarkanku berhijab, memasak, dan masih banyak lagi yang ia ajarkan, she's like my mom, but she's my Grendmother. 😍

Nenek bekerja sebagai guru tahfidz disalah satu pesantren dekat rumah. Aku juga sering menemani nenek pergi ke pesantren untuk mengajar setiap sore, selain mengajar menjadi guru di pesantren nenek juga menjadi guruku dirumah. Aku sangat bersyukur memiliki nenek sehebat dia.

Itulah nenek seperti ibu yang selalu ada untuk memelukku dan bercerita, seperti ayah yang selalu melindungi ku dan seperti sahabat yang selalu ada dan menemani ku.

💕🏡💕

Yeeeyy.. Alhamdulillah revisi Part 1..
Aku berharap kalian akan semakin nyaman..

Don't forget to comment, suggest and support me.
Biar writer semangat terus lanjutin. Cerita ini sampai end.
Thanks all😘😘😘

Love you readers😘😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

10.6M 675K 44
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 82.7K 37
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.8M 129K 49
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...