Rotasi dan Revolusi

Autorstwa Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... Więcej

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
11 || Kencan
13 || Ambisi
14 || Pengertian
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
23 || Brutus
24 || Degup
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
28 || Matahari
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

12 || Selingkuh

71.3K 10.9K 1.1K
Autorstwa Crowdstroia

========

12

s e l i n g k u h

========



"Eh, tadi filmnya tentang apa, sih?"

Arraf menatap Riv ketika menanyakan hal itu. Dia hanya menonton bagian awal film Moana, kemudian mengantuk dan memilih tidur. Sebenarnya agak sayang uang juga karena dia malah tidur alih-alih menikmati film.

Riv menyendok kuah mi sobanya. "Lo nonton sampai mana?"

"Sampai si Moana udah melaut. Dia mau nyari si manusia setengah dewa siapa itu."

"Maui," balas Riv. "Jadi, si Moana mencari Maui buat bantuin dia untuk mengembalikan The Heart of Te Fiti. Padahal menjelang akhirnya tuh seru lho. Plot twist-nya, ternyata Te Ka, si monster lava yang harus dilawan oleh Maui, itu adalah Te Fiti itu sendiri. Jadi, Te Ka adalah Te Fiti tanpa hatinya. Habis itu Moana mengembalikan hati Te Fiti ke dada Te Ka, bumi kembali hijau, happy ending."

Arraf manggut-manggut sambil mengunyah steak hot plate-nya. "Animasinya keren."

"Tapi lo tidur."

"Gue ngantuk."

"Nggak sayang duit beli tiket? Udah beli tiket mahal-mahal kan sayang aja."

"Sayang, sih. Tapi, ya udahlah. Nemenin lo ini." Arraf mengangkat bahu, lalu teringat sesuatu. "Eh, tadi kenapa lo ngetuk-ngetuk hidung gue pas bangunin?"

"Nggak apa-apa." Riv menelan makanannya. "Hidung lo mancung."

Arraf memutar bola mata. "Iya, gue tahu gue mancung. Tapi kenapa harus diketuk gitu?"

"Nggak apa-apa. Suka aja sama tulang hidungnya."

"Suka sama orangnya juga, nggak?"

"Enggak."

Arraf menarik napas panjang. "Lo emang suka banget bilang 'enggak', ya."

"Memangnya harus bilang iya?"

"Ya... nggak harus, sih." Arraf menghela napas. Lalu bertanya lagi, "Pertimbangan lo biar gue bisa jadi pacar lo, apa?"

"Nikmati proses, nggak usah terburu-buru," ujar Riv, santai. Matanya melirik Arraf. "Lo udah kebiasaan goals-oriented, ya. Jadi kalau PDKT benar-benar memastikan dan yakin hasilnya adalah pacaran. Kalau lo nggak yakin bisa pacaran, lo pasti mundur, karena lo nggak mau melakukan sesuatu yang hasilnya nggak pasti."

Arraf bergeming, lalu tersenyum tipis. "Gue jadi takut sama lo."

"Karena tebakan gue benar?"

"Ya. Kayak lo tuh bisa ngebaca gue segampang itu." Arraf mengangkat bahu. "Orangtua gue dan teman-teman gue aja nggak ada yang bisa kayak lo."

Riv berhenti mengunyah. Dia lalu mengaduk mi sobanya sambil menelan makanan. Agak ragu, dia menatap Arraf, lalu bertanya, "Are you okay?"

"Of course I am. Kenapa?"

Riv menatapi mi sobanya sambil berpikir beberapa detik. "Nggak apa-apa. Gue cuma takutnya lo merasa kesepian karena nggak ada yang bisa memahami lo."

Arraf membeliak. Merasa tertegun. Sungguh, kadang dia benar-benar takut dengan akurasi analisis Riv. Riv bisa membacanya seolah dia ini buku yang terbuka. Dan dia justru merasa tak aman jika seperti ini.

Menatap Arraf, Riv mengelus lengan lelaki itu. Tulus, dia berkata, "You're not alone, Raf. Kalau butuh buat cerita, cerita aja."

Tubuh Arraf mendadak kaku. Ini asing. Asing sekali. Dia tak pernah suka sesuatu yang bersifat emosional seperti ini. Terlalu mengancam dirinya menjadi rapuh. Terlalu 'tidak aman'. Akhirnya Arraf berdeham dan Riv melepas tangannya. "Iya," hanyalah jawaban yang keluar dari mulut Arraf.

Riv tersenyum, memahami ada perubahan pada emosi Arraf, kemudian mengarahkan pertanyaan ke topik yang lebih ringan. "Raf, lo mau gue jadi pacar lo?"

Arraf menatap Riv, mengernyit, lalu mengangguk. "Habis ini, lo pasti nanya 'buat apa?'."

"Iya. Buat apa?"

"Buat bikin gue bahagia." Sejurusan kemudian, Arraf menambahkan, "Dan biar lo terikat sama gue aja. Nggak usah sama cowok lain."

Riv menatap Arraf penuh kalkuklasi. "Kenapa gitu mau mengikat gue biar sama lo aja?"

"Ya karena gue mau lo jadi milik gue aja. Gue nggak mau ada cowok lain yang ngeklaim lo sebagai milik dia."

"Lo pikir gue barang?"

Arraf terperanjat, mengerjap. "Bukan gitu maksudnya."

Riv kembali makan sambil menatap Arraf penuh perhitungan, dan Arraf kembali merasa dia ditatap seolah dia ini hewan penelitian. Alis Riv bertaut sambil berpikir. Ketika makanannya habis, lantas dia berkata, "Raf, ada alasan lain kenapa gue nggak mau jadi pacar lo selain karena lo terlalu konformitas ke standar orang-orang di sektiar lo." Riv menyingkirkan mangkuknya, lalu menyilangkan tangan di atas meja sambil menatap Arraf. "Dan alasan lain itu adalah karena orang-orang kayak lo biasanya gampang selingkuh."

Lagi, Arraf terperanjat, mengangkat alis. Dia menatap Riv sembari berpikir cepat. Ini di luar segala dugaannya. Dia tak ada back-up plan jika Riv berbicara seperti itu. Sungguh, sama sekali tak ada dan Arraf tak suka melakukan sesuatu tanpa ada persiapan. "Kenapa bisa mikir gitu?"

"Karena cowok-cowok kayak lo itu sebenarnya banyak, Raf," ujar Riv. "Tapi, yang bisa se-well-developed elo mungkin cuma sebagian kecil aja. Kebanyakan itu underdeveloped. Jadi, mereka yang underdeveloped ini sama-sama control freak, tukang perintah, tapi dia nggak punya skill mumpuni kayak lo. Biasanya cowok-cowok begini itu maunya istri yang cantik tapi bodoh, jadi bisa disuruh-suruh apa aja sekaligus memuaskan dia di ranjang. Cowok underdeveloped ini tahu bahwa perempuan bodoh itu udah otomatis nurut ke suami terlepas dari apa pun yang si suami lakukan. Jadi kalau si cowok underdeveloped ini selingkuh, si istri nggak akan membela diri, dia akan menyalah-nyalahkan diri sendiri dan tetap bertahan dalam pernikahan, senantiasa berdoa biar suatu saat suaminya tobat dan kembali kepadanya. Yah, kompleks sih kalau membicarakan perselingkuhan."

Arraf terdiam. "Kalau kasusnya kayak gitu, besar kemungkinan bahwa si suami nggak akan berubah."

"Menurut gue juga gitu. Tapi, kalau gue ngomong kayak gitu kan, orang-orang akan nggak terima karena gue seenak jidat bilang si suami nggak akan berubah. Manusia lebih suka dikasih harapan manis, Raf. Harapan bahwa pernikahan itu harusnya kayak dongeng yang happily ever after." Riv menopang dagu, menghela napas. "Padahal bahagia kan harus diusahakan, nggak datang gitu aja dari langit."

"Terus?" tanya Arraf. "Kalau yang well-developed kayak gue tetap bakal selingkuh?"

"Gue belum terlalu kenal lo sih, Raf. Jadi nggak bisa memastikan juga. Tapi biasanya sih, cowok control freak yang udah lumayan well-developed biasanya cari istri yang pintar tapi nggak boleh lebih pintar dari dia. Tujuannya biar si istri ini merasa inferior dan mau nggak mau harus tunduk ke si suami karena si suami lebih pintar, lebih hebat dan lebih-lebih segala macam dibanding si istri. Pastinya cowok control freak yang well-developed akan merencanakan hidupnya dengan matang, dan perceraian jelas nggak masuk dalam pilihan karena itu bisa merusak reputasi serta mengancam status sosial dia di tengah masyarakat. Kalau si cowok yang selingkuh, pasti dia nggak mau cerai, karena itu bisa ngerusak status sosial dia dong? Tapi kalau si istrinya yang selingkuh, pasti dia langsung ceraikan si istri. Dia bisa jadi juga bakal membuat seluruh dunia ikut mengecam dan mempermalukan istrinya. Karena egonya yang tinggi dilecehkan dengan perselingkuhan si istri."

Arraf terdiam, mencerna penjelasan itu baik-baik. Terlepas dari betapa 'kasar'nya pemaparan itu, Arraf bisa melihat penjelasannya masuk akal. "Terus, salahnya di mana? Karena dia nikah?"

"Bukan. Salahnya ada di tujuan dan ekspektasi tentang pernikahan itu. Karena barangkali sosok istri untuk mereka itu berguna cuma biar mereka lebih diterima masyarakat sebagai sosok pekerja keras yang penyayang keluarga, setia kepada istri dan semacamnya. Netizen akan menyukai orang-orang seperti itu. Jadi berkeluarga sudah pasti akan ada di dalam rencana mereka, karena itu bisa menarik empati orang-orang. Netizen banyak yang berpikir bahwa seorang lelaki yang sudah berkeluarga itu lebih bertanggung jawab daripada lelaki lajang. Makanya pada sebagian besar lapisan masyarakat, sosok pemimpin yang sudah berkeluarga itu lebih didukung daripada yang masih lajang."

"Anjir," Arraf spontan mengucap. "Benar, sih. Di tempat kerja gue kayak gitu."

"Elonya juga gitu, nggak?" tanya Riv. "Menganggap punya istri itu biar lo lebih diterima masyarakat? Biar masyarakat menganggap lo punya nilai plus karena sudah berkeluarga? Kalau iya juga nggak apa-apa. Santai aja."

Arraf menggaruk belakang telinga. Rasanya percuma juga berbohong. Riv selalu bisa membaca isi otaknya. "Gue dulu juga mikir gitu, sih. Salah, ya?"

"Menurut ngana?"

"Bukan salah, sih. Cuma kejam aja." Arraf terdiam. "Tapi, efektif juga kan buat dapat empati orang-orang."

"Betul sekali! Karena itulah sangat wajar kalau lo mencari perempuan yang pintar tapi nggak boleh lebih pintar dari lo."

"Lo ngehina?"

"Alhamdulillah nyadar."

Arraf menarik napas. Dia tahu Riv takkan menyukai pemaparan jujurnya. Namun, dia sudah telanjur jujur kepada Riv sedari pertama bertemu dan menunjukkan kebusukannya jelas takkan mengubah apa-apa. Riv akan tetap menjadi Riv yang memberinya pandangan baru dari apa yang dia pikirkan. "Gue nggak suka kalau punya istri yang bossy, yang nyuruh-nyuruh gue karena merasa dia lebih pintar dari gue. Makanya gue cari yang nggak lebih pintar dari gue aja sekalian. Biar dia nggak sok pintar dan malah merusak rencana gue."

"Waduh, ini masnya ada definisi keliru sepertinya." Riv geleng-geleng kepala. "Mohon dibedakan antara cewek pintar dan cewek sok pintar. Karena cewek yang betulan pintar nggak perlu jadi sok pintar.Tolong bedakan juga antara cewek pintar dengan cewek tukang perintah. Karena cewek pintar belum tentu jadi tukang perintah, kecuali kalau dia jadi atasan di kantor atau suatu organisasi, wajar kasih-kasih perintah. Orang bodoh juga bisa jadi tukang perintah kok, Raf. Kayak cowok control freak underdeveloped yang tadi gue jelasin."

Kekehan spontan keluar dari mulut Arraf. Dia menatap Riv dengan geli. "You're smart but not bossy. I like it."

"Of course. I even already outsmart you in understanding yourself."

Arraf tertawa. "Gue ubah deh standar pacar gue. Minimal pintarnya kayak elo. Nggak apa-apa kalau dalam sebagian hal lebih pintar daripada gue. Biar gue juga belajar."

"Raf," Riv tertawa. "Gue bukan minta lo mengubah standar lo. Tadi itu cuma insights aja. Asli."

"Iya, gue tahu." Arraf tersenyum. "Karena dapat insight ya gue pakai yang lebih relevan aja."

"Oh, I see. Alhamdulillah masnya tercerahkan." Riv menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Semoga si masnya istiqomah di jalan yang sudah dipilih, ya."

Kontan, Arraf terkekeh geli. "Lo gemesin banget sih, Riv. Jadi pengin nyium."

Mengangkat alis, Riv spontan terbengong. "Perasaan tadi gue baru aja ngucap alhamdulillah karena lo abis tercerahkan dari beberapa miskonsepsi."

Arraf hanya cengengesan. "Habis lo gemesin, sih. Normal lah ya kalau gue jadi mau cium."

Riv terdiam, mengernyit sambil membuka botol air mineralnya. "Hubungannya merasa gemas sama keinginan mau mencium itu apa, ya?"

"Uh." Arraf berpikir sejenak. "Emang lo nggak pernah ngelihat bayi lucu gemesin dan seketika mau cium bayi itu?"

"Pernah. Tapi, itu karena bayinya lucu."

"Lo juga lucu, kok. Cute gitu."

Riv meneguk air mineralnya lalu tersenyum. Bukan senyum tulus. Dan Arraf tahu bahwa ada kata-kata yang akan muncul setelah senyuman itu. "Raf, itu tadi bukan kode bahwa gue mau dibilang lucu. Biasa aja."

Arraf memutar bola mata. "Bilang makasih, kek. Habis dipuji juga."

"Makasih."

"Sama-sama."

Riv menatap jam tangan yang menunjukkan jarum jam pada angka lima. Dia dan Arraf sudah selesai makan dan piring bekas mereka telah diambil oleh pelayan. "Raf, pulang yuk. Udah jam segini. Gue mau ada janji sama teman gue nanti malam."

"Oh, oke." Arraf beranjak dari kursi. Dia dan Riv pun berjalan keluar dari area foodcourt, turun ke basement tempat parkir motor.

Ketika sudah turun dari eskalator, Arraf teringat perjanjiannya dengan Riv. Dia pun melirik pinggang sang gadis dan seketika memekik ketika tangannya dicengkeram keras sesaat setelah menyentuh pinggang Riv.

"Argh, Riv!" Arraf segera melepaskan tangannya. "Lo ngapain?"

Alis Riv meninggi, heran. "Elo yang ngapain, Raf. Ngapain lo rangkul pinggang gue?"

"Lah, katanya boleh rangkul pinggang kalau nyawer Beng-Beng."

"Ya rangkul bahulah. Kayak rangkul sohiban gitu. Masa rangkul pinggang, sih?"

Arraf terdiam. Asli, dia tak terpikirkan sampai sana. "Yah... gue pikir bebas rangkul mana aja."

"Gila lo." Riv menggelengkan kepala. Dia kembali berjalan bersama Arraf menuruni eskalator selanjutnya. "Rangkul bahu, Raf. Rangkul bahu is okay."

"Oke, oke," Arraf berujar. Dia melirik ke belakang untuk memastikan orang-orang di belakangnya tak terganggu dengan keributan kecilnya tadi. Kemudian dia melirik Riv yang sedang melihat-lihat ke arah kios toko di lantai bawah sambil menunggu tangga eskalator turun. Menarik napas, Arraf perlahan melingkarkan tangannya ke bahu Riv. Tak ada protes dari sang gadis, Arraf pun merapatkan tubuh mereka dan Riv masih tak terlihat akan protes.

Mereka berjalan dengan Arraf merangkul bahu Riv. Dalam keadaan seperti ini, Arraf merasa lebih aman. Rangkul-rangkul bahu dalam beberapa kesempatan memang bisa disebut gestur pertemanan. Namun, rangkul bahu di mall dalam waktu yang lama? Arraf jelas tahu itu gestur yang menandakan lebih dari teman.

Kalau gini kan makin berasa pacar, pikir Arraf. Tinggal diresmiin aja, beres. Udah cocok saling memahami gini. Tinggal diiyain aja susah amat sih, Riv.

Sayangnya, Arraf lupa bahwa Riv tak suka diburu-buru.

[ ].




A/N

Gemes2an dulu. Kan masih awal.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

291K 27K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...