Rotasi dan Revolusi

By Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... More

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
12 || Selingkuh
13 || Ambisi
14 || Pengertian
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
23 || Brutus
24 || Degup
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
28 || Matahari
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

11 || Kencan

66.9K 11.1K 1.3K
By Crowdstroia

========

11

k e n c a n

========



"Hei, maaf telat."

Arraf menoleh ke arah Riv yang baru saja datang. Matanya mengerjap melihat pakaian Riv yang terlihat santai. Kaus lengan panjang garis-garis dengan bahu terbuka yang didalami tank top serta celana jins menjadi pakaiannya hari itu. Riasan minimalis membuat Riv makin cantik. Arraf suka warna lipstik yang dipakai Riv hari itu. Terlihat seperti warna red wine yang bisa memabukkan. Lelaki itu pun geleng-geleng kepala. Mabuk di bibir itu enak deh kayaknya.

Namun, dia jelas takkan mengatakannya. Setidaknya, bukan sekarang. "Nggak apa-apa," ujar Arraf, berdeham, berusaha santai kendati jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Dia mulai tak suka ini. Dia tak suka sesuatu yang tak terkendali. Otaknya segera berpikir untuk mencari topik obrolan. "Gue udah beli tiketnya. Film Moana, kan?"

"Eh, udah?" Riv segera merogoh tas selempangnya yang sedikit robek. "Berapa harga tiketnya? Sini gue bayar."

"Nggak usah," ujar Arraf. Tersenyum. "Tapi lain kali kalau kita nonton lagi, lo yang bayar."

"Oh, oke." Riv segera menyetujui, kemudian mengecek jam tangannya. "Eh, udah mau mulai belum?"

"Belum ada pemberitahuan. Kita studio 1." Arraf menepuk kursi tunggu bioskop di sebelahnya yang kosong. "Duduk dulu, Riv."

Riv mengikuti ucapan Arraf. Kemudian dia bertanya, "Udah nunggu lama?"

"Nggak, kok. Barusan kelar ngantre sama bayar tiket, terus lo datang." Arraf menyenderkan punggungnya ke dinding yang berdempetan dengan kursi tunggu. Menyilangkan tangan. "Lo tadi ke sini naik apa?"

"Naik ojek online. Kenapa?"

Senyum Arraf spontan tersungging. Dia segera beranjak dari posisi bersandarnya untuk lebih dekat dengan tubuh Riv. "Nanti gue yang antar lo pulang, ya."

Riv berpikir sejenak, lalu menaik-turunkan kepala. "Oke."

"Oke?" ulang Arraf, sangsi, tetapi senang mendengarnya. "Tumben nggak protes."

"Kenapa harus protes?"

"Yah, biasanya lo protes kalau gue minta sesuatu."

"Oh. Gue cuma bakal protes kalau lo minta sesuatu dengan nggak tahu diri atau dengan maksa, sih. Kalau woles kayak tadi sih oke-oke aja."

Arraf bergumam. Atas permintaan Riv beberapa hari lalu, mereka jadi ke bioskop pukul setengah satu siang, baru dilanjut makan setelahnya. Tak lama, pemberitahuan mengenai film yang tayang di studio bersuara. Arraf dan Riv pun memasuki studio dan mulai menonton film.

Riv menghabiskan waktu dengan fokus menyimak film dari awal hingga habis. Dia tak terlalu suka diganggu jika menonton. Itulah kenapa dia tak terlalu suka mengobrol jika film sudah terputar. Hingga akhirnya layar menampilkan bagian credits dan lampu studio kembali menyala, barulah Riv menoleh ke samping, menemukan Arraf yang justru tertidur di kursinya.

Riv mengerjap. Entah mengapa tak kaget Arraf malah tidur. Sedari awal, dia sudah berasumsi bahwa kemungkinan besar, Arraf bukan penikmat film. Barangkali hanya beberapa jenis film yang dia suka.

Menarik napas, Riv menatap alis Arraf yang tebal dan agak berantakan. Bulu matanya juga tebal, tetapi sama sekali tidak lentik dan panjang. Hanya ketahuan tebal jika dilihat dari dekat.

Telunjuk Riv pun mengetuk tulang pangkal hidung Arraf yang menonjol, yang membuat hidungnya mancung. Dia mengetuk-ngetuk tulang itu beberapa kali hingga Arraf mengerjap dan menjauh, kemudian membuka mata. Dia spontan menguap sambil meregangkan tubuh.

Riv tersenyum melihat Arraf sudah terbangun. "Udah selesai filmnya. Ayo, keluar."

Arraf manggut-manggut, mengikuti Riv sambil mengucek matanya. Dia lalu berdeham saat sudah keluar dari bioskop. "Sori, Riv. Gue emang nggak ada bakat jadi penikmat film. Tidur mulu."

"Eh, seriusan?" Riv bertanya, sangsi. "Tergantung filmnya kali. Kalau film action, gimana?"

"Oh, kalau film action oke, sih. Nggak tidur. Kayak Avengers, atau film-film Marvel lainnya, gue suka nonton." Arraf berpikir sejenak. "Gue waktu nonton Sabtu Bersama Bapak juga nggak tidur kok. Gue suka filmnya walau bukan action."

"Ah, I see. Jadi lo sukanya film action sama film yang lebih kekeluargaan gitu, ya."

"Tepatnya, suka yang realistis, sih. Yang dekat dengan kehidupan. Kalau action suka buat thrill seru-seruan karakternya."

"Suka bacotannya Tony Stark sama Captain America, ya?"

Arraf tertawa. "Suka gue. Adu bacotnya mereka tuh asik banget disimak."

"Ah, jadi lo emang doyan ngebacotin orang, ya."

Lagi, Arraf tertawa. "Lo sendiri? Emang dari dulu doyan ngebacotin orang?"

"Nggak, kok. Mulut gue cuma suka reaktif kalau udah dengerin bullshit."

Arraf berhenti tertawa. "Ini lo secara nggak langsung bilang kalau omongan gue bullshit?"

"Cuma pas awal aja," balas Riv, santai. "Pas lo di awal maksain ngajak jalan, terus malah nyalah-nyalahin gue karena gue nggak cepat menerima ajakan lo. Pembelaan diri lo waktu lo nyalah-nyalahin gue sounds so bullshit." Riv pun menatap Arraf dengan serius, tetapi santai, "Tolong yang kayak gitu jangan diulangi lagi ke depannya. Gue nggak nyaman."

Arraf terdiam, lalu menganggukkan kepala. Dia akui, dia saat itu memang kurang tepat berbicara. "Sori. Gue jengkel banget waktu itu."

"Nggak pernah ditolak pas ngajak jalan, memangnya?" Riv bertanya. "Ditolak sama cewek."

"Enggak. Kalau mereka nolak, pasti ada alasannya. Bukan malah balikin pertanyanyaan kayak 'kenapa gue harus mau?' gitu."

Riv tertawa. Dia pun menepuk-nepuk lengan Arraf. "Lo nganggap penolakan gue sebagai tantangan?"

"Semacam itu."

"Waduh," Riv berhenti berjalan sejenak, kemudian melanjutkan, "Ehm, gue nggak ada niat buat nantangin lo, Raf. Asli. Gue nolak ya karena emang gue nggak mau."

"Karena lo nggak mau kena spotlight."

"Iya, itu. Sama dari awal gue udah tahu sih lo orangnya control freak, semua orang harus melakukan sesuatu persis sesuai rencana. Sementara gue sukanya improvisasi." Riv menatap Arraf. "Eh, tapi ini bukan berarti gue minta lo mengubah diri lo, ya. Kepribadian lo kan emang kayak gitu. Ini yang bikin lo jadi seorang Arraf."

"Iya." Arraf tersenyum, merasa senang. Dia dan Riv berjalan ke eskalator menuju foodcourt. "Kalau sekarang, gimana? Gue kan masih control freak."

"Udah lebih santai, kok. Kan, lo juga terbuka menerima kritik dan pendapat selama itu masuk akal." Riv tersenyum, naik eskalator lagi menuju lantai teratas tempat foodcourt berada.

Ketika berjalan bersebelahan di sisi Riv, Arraf merasakan tangan mereka kadang bersentuhan sepanjang jalan. Dia melirik ke arah Riv yang terlihat fokus menatap ke arah foodcourt, seperti tengah menimang akan makan apa, tak awas dengan mata beberapa lelaki yang terlihat tertarik dengan gadis itu. Arraf pun mendecak. Ini mah enaknya jalan sambil gue rangkul pinggang lo sekalian, Riv. Jadi pacar gue kayaknya susah amat, ya. "Riv, lo suka kalung atau gelang kayak gitu, nggak?" tanya Arraf asal sambil merangkul bahu Riv, membuat tubuh Riv menghadap ke arah toko aksesoris perempuan yang ada di sisi kiri mereka. Jengkel sekali Arraf melihat ada lelaki yang terang-terangan melihat Riv padahal jelas-jelas lelaki itu tengah menggandeng perempuan lain. Mata lo nggak usah jelalatan, elah! Jelalatan sana sama cewek lo sendiri!

"Enggak," jawab Riv, menatap Arraf. "Kenapa?"

"Ah, nggak apa-apa. Cuma nanya aja." Arraf tersenyum tipis. Kemudian mereka berpisah sejenak untuk membeli makanan yang mereka inginkan di foodcourt. Setelah memesan, mereka pun menempati salah satu meja kosong.

Teringat topik tadi, Arraf pun bertanya. "Jadi, lo nggak suka kalung sama gelang. Terus? Lo sukanya apa?"

"Banyak. Kenapa? Lo mau kasih gue hadiah?"

Spontan, Arraf mengalihkan wajah, meredam detak jantungnya yang tiba-tiba mempercepat tempo. "Ge-er amat. Gue cuma nanya ini."

"Gue juga cuma nanya. Kalau nggak benar, selow aja. Nggak perlu berlagak kayak tsundere yang mau bilang iya tapi gengsi gitu," Riv berkata, santai, membuat Arraf sangat tersentil. "Gue mau mengingatkan aja, sih. Kalau lo mau beliin gue hadiah, tanya dulu ke gue, gue lagi butuh barang apa. Baru deh lo beliin."

Arraf mengernyit. Heran dengan penjelasan Riv. "Loh? Terus di mana letak kejutannya?"

"Oh. Lo mau kasih gue kejutan?"

"Gue nggak — " Arraf terdiam, berpikir sesaat, lalu berdeham sambil membuang muka. "Iya, gue mau kasih lo kejutan."

"I see." Riv manggut-manggut. "Saran gue, sih. Jangan kasih kejutan. Belum tentu barangnya berguna buat gue. Kalau nggak berguna kan, sayang nanti kalau barangnya nggak terpakai. Sayang juga kalau dibuang atau dikasih ke orang lain. Kalau gue buang barangnya, ntar elonya sakit hati. Jadi, mending nanya aja gue lagi butuh apa."

Arraf gantian manggut-manggut. Menerima penjelasan Riv. "Jadi, lo emang nggak mau dikasih kejutan? Biasanya cewek-cewek suka dikasih kejutan entah itu bunga, cokelat, novel, kalung, semacamnya."

"Nggak semua cewek," jawab Riv. "Gue suka cokelat dan novel, kok. Tapi, gue lebih suka beli sendiri daripada dibeliin orang. Takutnya kalau dibeliin malah nggak sesuai selera gue, kan sayang." Riv pun teringat sesuatu. "Kalau lo mau beliin gue sesuatu, beliin gue Beng-Beng aja. Gue suka Beng-Beng. Lo mau sawer gue pakai Beng-Beng juga nggak apa-apa."

Arraf spontan tertawa. "Emang lo mau joget biar bisa gue sawer?"

"Enggak, sih," jawab Riv, datar. "Tapi, mungkin mau melakukan hal lain."

"Kayak apa?"

"Lo maunya apa?"

"Gue sih maunya lo jadi pacar gue."

"Oh, itu kejauhan. Gue bisanya yang lebih realistis dikit."

Arraf mengernyit. Dia barusan saja ditolak dan anehnya tak masalah dengan hal itu. "Ya udah deh." Dia menarik napas. Berpikir sejenak. "Kalau ngerangkul, gimana? Pokoknya sepanjang kita jalan, gue boleh ngerangkul lo kapan aja."

Riv terdiam sejenak untuk menimang-nimang. Kemudian dia mengangguk. "Deal."

Mata Arraf mengerjap. Tak yakin. "Eh, seriusan?"

"Serius. Jangan lupa Beng-Beng sawerannya."

Arraf masih mengerjap, tak percaya. Sumpah, dia baru pertama kali bertemu manusia seperti Riv. "Eung, oke." Arraf berdeham. "Tapi, lo nggak serius kan minta disawer Beng-Beng? Paling gue beliin satu dus gitu aja, sih."

Riv tertawa. "Yang dus kecil itu aja gue udah seneng, kok."

Arraf tersenyum. Merasa hangat menatap Riv. Makanan Riv pun datang dan Riv duluan makan. Sementara Arraf hanya tersenyum memandangi gadis yang terlihat kelaparan itu.

Ah, Riv, kapan sih lo jadi pacar gue, pikir Arraf. Gue maunya pacar beneran, bukan teman rasa pacar gini.

[ ].

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1.8M 129K 49
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.1M 45.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...