Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 9 •

43.4K 5.7K 459
By AM_Sel

Dokter muda itu menghampirinya dengan panik, dan merampas gunting yang berada di tangannya. Rambut cokelatnya berantakan. Helaian-helaian yang telah terpotong, berserakan di lantai. Beberapa ada yang terbang tertiup angin dari jendela.

Manik birunya yang kosong, menatap dengan datar.

"Jangan lakukan itu lagi! Berbahaya!" seru Dokter itu. Ia terengah. Raut khawatirnya begitu kentara.

Si kecil itu hanya diam. Tak membalas apapun dan hanya menatap pantulan dirinya dari cermin yang ada di kamar itu.

Tidak ada lagi rambut panjang yang mengganggu itu. Tidak ada lagi rambut panjang yang biasa disentuh oleh wanita jalang tersebut. Atau pun yang biasa ditarik oleh para 'pelanggan'nya. Begini lebih baik.

Namun, ada satu hal yang menganggunya.

Satu hal yang juga terpantul di cermin itu.

Ekspresi khawatir sang Dokter.

Ah, memuakkan sekali.

•••••

Bara terus menemaninya, hingga ia keluar dari rumah sakit dua hari kemudian.

Dia masih belum boleh untuk melakukan aktivitas berat selama lima hari kedepan, dan diharuskan untuk istirahat penuh. Dia juga diminta untuk check up ke Dokter selama beberapa kali. Tapi, tentu saja El tidak akan melakukannya.

Bara mengantarnya pulang. Begitu sampai, pemuda kecil itu langsung berjalan masuk tanpa mengatakan apapun.

"Oi!"

Ia menoleh. Bara mengangkat sebuah kresek putih yang berisikan obat untuk ia minum. El mendesah tak senang. Dengan raut menekuk, si pendek itu kembali mendekat ke Bara dan mengambil kresek tersebut.

Bara menahan lengannya.

"Istirahat, dan makan obatnya. Lo kira gue ngga tau tabiat lo yang suka buang-buang obat dulu, hah?"

Pemuda cokelat itu hanya berdecih, dan menepis tangan Bara. Lalu, kembali berjalan masuk ke dalam bangunan tua tadi.

Dalam hati, ia menggerutu. Obat dan sejenisnya adalah hal yang paling ia benci-selain rumah sakit dan dirinya sendiri, tentu saja-. Sangat sangat benci. Jadi, sebisa mungkin ia menghindari benda kecil yang rasanya pahit itu.

Ia sampai di depan pintu apartemen. Tangan kanannya merogoh saku celana untuk mengambil kunci, tapi tidak kunjung ketemu.

Ah, great.

Kunci apartemennya masih di tangan Bara. Tsk.

Ia bermaksud untuk kembali turun dan memalak kunci apartemennya pada pemuda mohawk itu, tapi ternyata sedari tadi Bara mengikutinya. Lihat gaya congkak menjijikannya itu. Dengan bibir yang tersenyum miring dan tangan yang bersedekap dada, serta bahu kanan yang menyender di dinding koridor.

"Lupa sesuatu?" tanyanya.

"Balikin kunci gue, setan," ujar El kasar.

"Ah, lo ngga ada manis-manisnya, Daniel," gerutu Bara, "padahal dulu lo santun banget kalo ngomong sama gue."

Raut El berubah. Dia tidak suka jika seseorang membicarakan tentang 'dia' di masa lalu.

"Kunci gue," todong El.

Bara merogoh sakunya dan memberikan benda kecil itu dengan enggan. Tapi, dia cukup peka dengan suasana hati El yang berubah tiba-tiba itu.

Si pendek mengambilnya, lalu segera membuka pintu.

"Lo ngga nawarin gue untuk mampir?"

Dan pintu yang ditutup-baca: dibanting-tepat di depan wajahnya itu, adalah jawabannya.

Tidak.

"Oke. Makasih kuncinya, Bara. Iya, sama-sama," ujar Bara di depan pintu, "gue balik dulu ya. Iya, hati-hati di jalan."

Dasar orang gila, batin El yang mendengar obrolan Bara yang ditanggapi oleh dirinya sendiri.

Poppy berlari ke arahnya. Menatapnya dengan mata bulat dan mengeong manis. Mungkin rindu dengan Tuannya tersebut.

El hanya mengusap kepala kucing itu sebentar, lalu berjalan menuju lemari dan meletakkan kresek putih berisikan obat itu ke dalam sana. Bergabung dengan obat-obatan yang lain.

Setelah itu, barulah ia memberikan perhatian penuh pada kucing peliharaannya itu. Satu-satunya makhluk yang mengetahui sosok aslinya.

"Lo kangen gue?"

"Nyaa~"

Pipinya dijilat pelan. El memeluk kucing itu. Mengelus bulu-bulunya dengan lembut.

"Udah lama banget gue ngga bawa lo ke salon," gumam si pendek itu pelan, "kira-kira kapan lagi ya?" Jemarinya memain-mainkan ekor hitam Poppy. Lalu, ia melirik ke arah sofanya.

Dahi El berkerut. Dia baru sadar, posisi sofanya berubah. Kedua matanya mengedar ke seluruh ruangan. Dengan masih menggendong Poppy, ia membuka pintu kulkas.

Isi kulkasnya bertambah. Atau mungkin, diganti. Dipenuhi dengan sayur-sayuran, buah-buahan, dan daging-dagingan.

Eh, tunggu.

Kulkas, El tutup. Ia membuka pintu lemari atas yang satu lagi untuk mengecek keberadaan stok mie instantnya, dan...

...kosong.

Poppy, segera ia turunkan. Mengecek ke lemari-lemarinya yang lain. Mencari jejak, kemana perginya mie-mie itu. Lalu, saat ia membuka laci meja buffetnya, rokok yang biasa ia sesap, ikut menghilang. Beserta pemantik-pemantiknya.

El menggeram kesal. Ini pasti ulah Bara. Satu-satunya manusia yang memasuki apartemennya ini hanya pemuda mohawk itu!

Sial! Lihat saja nanti! Dia tidak akan pernah membiarkan pemuda itu masuk ke dalam apartemennya lagi!

Tidak akan pernah!

Tubuhnya oleng tiba-tiba. Dengan cepat, El menumpukan lengannya di meja buffet untuk menahan agar ia tidak jatuh. Kepalanya kembali pusing.

"Ukh..."

Poppy mendekatinya. Mendongak dan menatapnya dengan mata bulat itu. Lalu..

'tes!'

...setetes cairan berwarna merah pekat, jatuh ke lantai. El mengerjap, dan menyentuh lubang hidungnya. Bisa ia lihat, darah mengotori jemarinya itu.

Ah, sial. Dia mimisan. Refleks, jemarinya menutup lubang hidung itu dan bernapas dengan mulut.

Manik birunya menatap kucing hitam yang masih setia berada di dekat kakinya, lalu dengan pelan ia mendorong tubuh berbulu itu menjauh dengan kaki.

"Poppy, awas.."

El tidak mau mengambil resiko menginjak kucing itu saat dia akan berjalan. Saat dirasanya Poppy, tidak akan bergerak, El mulai menegakkan tubuhnya. Berjalan pelan menuju sofa karena kepalanya masih pusing. Dan dia lagi-lagi hampir jatuh, kalau saja tangannya tidak memegang lengan sofa dengan cepat.

El segera mendudukan dirinya di lantai, dan menyandar di sofa.

Ah, tidak, tidak, dia harus duduk tegak untuk mengurangi tekanan pada pembuluh darah hidung. Lalu, dengan ibu jari dan telunjuknya, ia memencet pelan hidungnya untuk menghentikan darah. Mulutnya masih ia alih fungsikan untuk bernapas.

Poppy bergelung di sampingnya.

Kegiatan itu, ia lakukan kurang lebih selama sepuluh menit. Setelah itu, ia mengambil tisu yang berada di atas meja dekat sofa dan mengusap pelan darah di hidungnya.

Ah, bajunya jadi ikut kotor juga.

Darahnya masih keluar sedikit. Dengan berpegangan pada benda-benda di sekitarnya, El berjalan menuju kulkas, dan mengambil sebotol air mineral dingin dari sana. Lalu, meletakkannya di hidung.

Ia mendesah lelah, dan mendudukkan dirinya dengan punggung yang menyandar di pintu kulkas. Kepalanya menoleh menatap langit biru yang terlihat jelas dari pintu kaca balkonnya. El melamun.

Ah, dia capek.

Kapan ya, dia bisa benar-benar beristirahat? Tidur, lalu tidak perlu bangun lagi selamanya. Karena, bangun dari tidur itu sungguh merepotkan. Dia jadi perlu bernapas, perlu makan, perlu bekerja, perlu sekolah, dan perlu-perlu lainnya.

Ia menghela napas. Saat dirasanya bahwa darah sudah berhenti, botol mineral yang sudah tidak dingin lagi itu ia masukkan kembali ke dalam kulkas, lalu membuka bajunya. Karena bajunya sudah kotor karena darah, ia memutuskan untuk mengelap tetesan darah yang jatuh ke lantai dengan baju itu. Lalu, masuk ke kamar mandi dan memasukkan baju tersebut ke dalam keranjang baju kotor yang ada di sana.

Setelah itu, dalam diam, El menatap pantulan tubuhnya dari cermin yang ada di sana. Beberapa memar dan luka masih bisa terlihat dibeberapa bagian tubuhnya karena perbuatan Cakra beberapa waktu lalu.

Ia berjalan mendekat ke cermin itu. Poni rambutnya yang menyentuh alis, ia sibak ke atas. Memperlihatkan sebuah luka kering dan memar kebiruan akibat perbuatan Cakra juga. Namun, tatapannya tidak tertuju ke arah sana. Melainkan, ke sebuah bekas jahitan yang melintang beberapa sentimeter di dahinya. Luka lama yang rasanya jauh lebih menyakitkan daripada kelihatannya.

Bibir bawahnya ia gigit, lalu mengalihkan tatapannya dan keluar dari sana.

*****

"Kenapa lo sekolah?" Bara menatapnya sebal.

El hanya menghela napas, dan bertopang dagu. Kedua matanya menatap langit yang kelabu.

"Lo sendiri, kenapa malah duduk di samping gue?" tanya El.

"Mulai sekarang, gue anak kelas sini. Jagain lo."

"Ga butuh bodyguard."

"Kenapa lo sekolah?" Bara bertanya lagi.

"Di rumah gaada kerjaan," gumam El pelan. Ah, sepertinya hari ini akan hujan lebat.

"Lo ngga kasihan sama otak lo? Disuruh istirahat ngeyel banget sih?" ujar Bara kesal.

El tak membalas apapun. Hanya terus menatap langit. Kedua telinganya bisa mendengar bisik-bisik dari 'teman-teman' sekelasnya, yang mempertanyakan keberadaan Bara.

Sebenarnya, jika saja Bara memang mau pindah ke kelas ini, mereka tidak peduli. Tapi, dikasus yang sekarang, pemuda mohawk itu pindah karena ingin melindunginya. Pemuda itu bahkan memelototkan matanya ke mereka sedari tadi layaknya anjing galak. Itu artinya, mereka, 'teman-teman' sekelasnya itu, tidak bisa memperlakukan El semau mereka lagi.

Pasti sangat menyebalkan rasanya, karena mainan yang biasa mereka rusak sudah memiliki anjing penjaga.

"Balik ngga lo!" perintah Bara.

El berdecak. Sudah capek-capek jalan ke sini, mana mau dia pulang sekarang. Ia pun membaringkan kepalanya di meja, dengan kedua tangan yang menjadi bantalan.

"Gue mau tidur," gumam El pelan.

Bara menatapnya. Kemudian, berdecih dan bersedekap dada, "tidur sana. Gue jagain."

El memejamkan kedua matanya, tapi ia membukanya lagi, "si Cakra lo apain?"

"Tidur!" ujar Bara geram.

"Gue ngga ada liat dia dari tadi?"

Sekarang pelototan matanya tertuju ke El, "tidur ngga lo? Atau lo mau gue anter pulang sekarang?"

El menggerutu, dan memejamkan matanya lagi. Dia tidak tidur, tentu saja. Itu hanya alasan agar Bara berhenti bertanya. El tidak akan pernah bisa tidur di tempat ini. Ah, kecuali pingsan. Dia sering sekali pingsan di sini.

Sesekali, bisa ia rasakan kepalanya ditepuk-tepuk pelan, atau rambutnya dimain-mainkan. Dia juga bisa mendengar, suara guru yang masuk ke kelas dan menerangkan materi pelajaran ditengah keributan di dalam kelas.

Para guru sudah tidak mau repot-repot menegur. Mereka hanya masuk ke kelas, menjelaskan, lalu keluar. Tidak peduli jika murid-muridnya ini mendengarkan atau tidak. Bahkan, ada beberapa guru yang tidak pernah masuk kelas sama sekali.

El tau mengapa. Pasti rasanya akan sia-sia saja jika mereka mengoceh panjang lebar di depan kelas, tapi tidak ada yang mempedulikan. Hanya menguras tenaga yang ada. Jadi, lebih baik mereka tidak masuk sama sekali. Lagipula, keadaannya tidak akan berubah.

Mereka yang sudah ditetapkan menjadi murid SMA Bina Mulia, akan selalu dipandang tidak berguna dan tidak memiliki masa depan bagus oleh masyarakat umum.

Hah, sekolah ini memang seharusnya ditutup sejak dulu, daripada terus 'menciptakan' orang-orang pembuat masalah.

Bara benar-benar tidak meninggalkan sisinya hingga sore menjelang. El tentu saja tidak berpura-pura tidur hingga pulang. Lehernya sakit karena terus berbaring di meja. Jadi, sejak siang hari, ia hanya menatap langit tanpa mempedulikan Bara. Jarang sekali ia mendapatkan hari yang tenang seperti ini.

Begitu bel dibunyikan, El langsung memanggul tasnya dan beranjak.

"Gue anter balik. Gerimis," ujar Bara.

Untuk kali ini, El tak menolak. Ia tidak mau hujan-hujanan, lalu sakit, dan masuk ke rumah sakit lagi untuk yang ketiga kalinya dalam sebulan ini. Oh, tidak terima kasih.

Dan seperti biasa, begitu sampai di bangunan tua itu, El langsung masuk ke dalam. Tidak menawarkan pemuda itu untuk mampir, atau sekadar berterima kasih pada Bara. Ia benar-benar langsung pergi. Dan untungnya, kali ini Bara langsung pulang juga.

Begitu sampai di apartemen, El langsung mengeringkan tubuhnya dari air hujan dan berganti baju. Lalu, memberi Poppy makan, dan membuat susu cokelat panas untuknya sendiri.

Setelah itu, duduk di sofa dan menghidupkan televisi yang jarang-bahkan hampir tidak pernah-ia gunakan.

Hujan semakin menderas. Guntur terdengar dari kejauhan. Selesai makan, Poppy langsung menghampiri Tuannya itu dan duduk di sampingnya, menjilat kaki berbulunya dan menggaruk belakang telinganya.

Ah, dan jangan ingatkan El, bahwa dia belum meminta izin untuk tidak bekerja dalam waktu dekat.

Sungguh, dia jarang bekerja akhir-akhir ini. Hah, semoga gajinya tidak dipotong terlalu banyak.

El menatap layar televisi itu dengan datar. Hanya perasaannya saja, atau memang acara televisi yang tayang sebagian besar banyak yang tidak berguna? Lalu, tanpa basa-basi, El mematikan televisi itu.

Poppy mendongak menatapnya.

"Banyak yang ngga berguna. Buang-buang listrik," ujar El sambil mengelus pelan kepala kucing hitam itu.

"Nyaa~"

"Hm? Jual tv? Ah, ide bagus. Daripada ngga kepake juga kan. Lumayan duitnya," gumam El pelan dengan kepala yang mengangguk mengerti. Sesekali, susu cokelat di tangannya ia sesap, "tapi, dijual ke mana? Ke siapa? Gue ngga kenal banyak orang."

Poppy menyundul pelan pinggangnya dengan manja, dan menggesekkan tubuh berbulunya.

Gelas berisi susu cokelat itu, ia letakkan ke atas meja. Lalu, mengangkat tubuh Poppy dan membawanya ke dekat pintu balkon yang memiliki ruang lumayan luas. Setelah itu, mengambil mainan Poppy dan mengajaknya bermain.

Lama bermain, El mulai bosan. Langit juga sudah gelap di luar sana. Ia menatap datar hujan lebat yang turun merajam bumi, dari pintu kaca balkonnya. Sesekali kilat dan guntur menemani hujan itu.

Poppy sibuk menggesekkan tubuhnya ke kaki Tuannya karena dia tiba-tiba berhenti bermain. Sesekali, ia mengeong pelan. Hampir tak terdengar karena terhalangi suara hujan. Dalam diam, El menutup pintu kaca itu dengan gorden, lalu menggendong kucing hitam kesayangannya.

'tok!' 'tok!' 'tok!'

Pintunya diketuk lumayan kuat. Mungkin orang itu takut jika suara ketukannya tidak terdengar. Dahi El mengerut. Manik birunya melirik jam yang menempel di dinding. Pukul tujuh malam, dan lagi saat ini sedang hujan lebat. Orang gila mana yang mau bertamu dalam keadaan seperti ini?

Poppy ia turunkan. Lalu, segera menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Mengintip siapa yang datang.

Ah..

..tentu saja orang gila itu dia.

Alvano.

Tapi, keadaannya terlihat tidak baik. Tubuhnya benar-benar basah kuyup. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan wajahnya, terlihat sedih.

"El..."

El tak bisa melakukan apapun, selain membuka pintunya selebar mungkin dan membiarkan Alvano langsung memeluk tubuhnya erat.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 100K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...
615K 52K 23
Sequel : SINFUL Roda kehidupan semua makhluk hidup terus berputar, tidak terkecuali Gilbert dan An-Hee. Meski roda kehidupan berputar, dosa mereka ti...
10.1K 134 5
Warning 21+ Adult + Romantis Setelah ayahnya meninggal bertahun-tahun yang lalu, ibunya Alina menikah lagi dengan pria kaya raya membuat kehidupan Al...
19.7K 1.1K 6
[Follow Dulu bagi yang berkenan, aku ngarepin vote komennya jugak ehehe..tapi gak maksa kok, yang penting kalean enjoy bacanya] Pagi hari yang cukup...