CIRCLE [Revisi]

By Arabicca69

79.3K 4.1K 384

[Thriller+investigation] #2: Dendam bermula dari masa lalu. Saat itu Tim Satu Divisi Pembunuhan Kepolisian Se... More

Arsip
Prolog
Bab 1: Koper Misterius
Bab 2: Ada Yang Aneh
Bab 3: Firasat
Bab 4 : Padang Ilalang
Bab 5: Pikirkan Baik-Baik
Daftar Pelaku (1)
Bab 7: Menelusuri Jejak
Bab 8: Titik Acuan
Bab 9: Melawan Arus
Bab 10: Mengulik Kisah

Bab 6: Alur Yang Sempurna

2.6K 310 15
By Arabicca69

Kendra memendorong pintu kaca, lalu melangkah ke dalam Laboratorium Forensik. Di sana, sudah ada Inggrit dan Laura, dokter forensik yang bertugas. Kedua wanita itu tampak sedang membicarakan sesuatu. Kendra menggulir tatapan sedikit ke kiri. Tak jauh dari tempat Laur berdiri, dia melihat potongan kaki manusia tergeletak di atas meja alumunium. Kendra yakin, potongan kaki itu pasti berasal dari TKP di padang ilalang.

"Yo," sapa Inggrit yang segera menyadari kehadiran Kendra.

Kendra mengerling sambil menganggukkan kepala, kemudian beralih menatap Laura yang saat itu tengah memasang senyum kikuk di wajah. Laura sedikit terkejut melihat Kendra. Penampilan Kendra hari itu terlihat sangat berbeda dari biasanya.

"Apa kau baru selesai mandi?" tanya Laura, membuat Kendra lantas berkerut kening.

"Yang benar saja. Apa menurutmu aku sempat mandi di saat seperti ini?"

Laura tertawa canggung. Sesekali dia melirik pada Kendra. Membatin, lalu kenapa kancing bajumu tidak dikaitkan dengan rapi?

Apa kau sengaja membukanya untuk memamerkan dada bidangmu itu?

Apa kau mau aku yang mengancingkannya di sini?

Astaga, apa yang kupikirkan?

Jerit Laura dalam hati. Ini sama sekali tidak bagus untuk jantungnya. Benaknya terus saja meracaukan hal yang tidak-tidak. Dia persis seperti orang gila, yang tidak bisa lagi mengontrol laju pikirannya sendiri.

Laura mendengkus. Lagi-lagi dia membatin, yang benar saja, dengan wajah bersungut-sungut.

Dia berusaha mengingatkan diri bahwa Kendra tidak pernah menyukainya. Kendra datang untuk melihat mayat, bukan dirinya. Dan itu jelas sekali.

Kalimat yang terus berkelebat tidak keruan itu membuat Laura berakhir menunduk dengan muka memerah. Dia menggeleng samar, berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang sempat melintas dalam benaknya tadi. Dia benar-benar memalukan.

"Laura, fokus!" sentak Kendra seraya menyenggol lengan dokter itu.

Laura terkesiap. Dia menghela napas, kemudian buru-buru mengembalikan ekspresinya seperti sedia kala: tersenyum hangat kepada Kendra.

"Bagaimana? Apa kau menemukan sesuatu di potongan kaki ini?" tanya Kendra sembari menunjuk potongan kaki di atas meja alumunium dengan dagunya.

Laura mengangguk seraya mengarahkan jari telunjuk pada objek di atas meja. "Lihatlah. Terdapat luka lecet di pergelangan kakinya. "

Dia meminta Kendra untuk mendekat. Detik kemudian Laura langsung menyesali perbuatannya. Namun, tidak bisa dimungkiri, sesuatu dalam dirinya turut merasa bersyukur. Tidak menyangka dia bisa melihat Kendra dari jarak sedekat itu. Sejenak diperhatikannya tatanan rambut Kendra yang tampak lebih memanjang dari kali terakhir mereka bertemu. Titik-titik rambut tumbuh di bawah hidungnya, barangkali sisa-sisa dari kumis yang tidak tercukur seluruhnya.

"Jika dilihat secara kasat mata, mungkin tidak akan nampak. Tapi, kami menemukan ada serat tali yang tertinggal di luka tersebut."

"Serat tali?"

Laura mengangguk.

"Lalu, bagaimana dengan jasad Arini?" tanya Kendra lagi.

"Ada kemungkinan dia diculik sebelum dibunuh. Dari pemeriksaan luar, kami menemukan banyak luka memar, juga bekas jeratan di kedua pergelangan tangannya. Pada kaki kananya kami juga menemukan luka lecet yang hampir mirip dengan potongan kaki ini," ujar Laura sambil menyerahkan catatan berisi hasil visum luar pada Kendra.

"Luka lecet? Jadi, apa ...."

"Kita masih harus menunggu hasil tes DNA-nya, Ken," sergah Laura sebelum Kendra mulai berasumsi. "Untuk memastikan, apakah potongan kaki ini memang benar milik korban," lanjutnya. "Kemungkinan besok baru keluar atau bisa jadi malam ini.

"Kami juga belum melakukan pembedahan lebih lanjut pada jasad korban. Sepertinya kita harus meminta persetujuan dulu dari Komandan Abraham sebelum melakukan itu."

Kendra berdecak kesal. "Masalahnya dia tidak bisa dihubungi sampai sekarang."

"Apa dia sudah tahu kalau putrinya meninggal?"

"Entahlah." Kendra tidak yakin apa komandannya itu sudah membuka pesan suara darinya atau belum.

Inggrit yang merasa dirinya bagai sesosok hantu tak kasatmata di ruangan itu, segera memecah perdebatan mereka. "Aku sedikit heran sebenarnya. Kalau memang benar potongan kaki ini cocok dengan DNA korban, kenapa hanya kakinya saja yang dimutilasi?"

Dalam beberapa kasus yang pernah Inggrit tangani sebelumnya, umumnya para pelaku memutilasi seluruh bagian tubuh korban. Saat eksekusi selesai dilakukan, pelaku kemudian memasukkan potongan-potongan tubuh tersebut ke dalam koper, kardus, atau kantong hitam, lalu membuangnya di tempat-tempat tertentu yang tak banyak diketahui orang. Tujuannya sudah jelas, untuk menyulitkan proses penyelidikan. Namun, dalam kasus ini semua seolah terlihat sangat mudah.

"Benar juga," gumam Laura yang setuju dengan ucapan Inggrit. “Apa pelaku hendak menyampaikan pesan dengan melakukan ini?”

Mereka terdiam dalam pikiran masing-masing.

Kendra, dengan raut wajah serius, turut berpikir keras. Ada sesuatu yang janggal dalam kasus ini, pikirnya. Bahkan, sejak awal, sejak sidik jari yang tertinggal pada kaca mobil itu terkonfirmasi. Dia merasa Alfian Narendra seakan sengaja menunjukkan identitasnya. Tapi, untuk apa?

"Inggrit," panggil Kendra kemudian, yang serta merta membuat Inggrit menoleh padanya. "Aku ingin kau mencari berkas kasus di ruang arsip Sektor Sekupang."

Merasa tertarik, Inggrit segera melompat dari kursinya. "Kasus apa?"

"Kasus serupa, tepatnya tujuh tahun lalu. Oh, jangan lupa kumpulkan informasi tentang Alfian Naredra juga."

"Gampang." Inggrit menyanggupinya dengan anggukan.

Kendra beralih pada Laura. "Bagus. Oh, ya, di mana koper mahal itu?"

"Sudah dibawa oleh Iptu Rangga ke Labkrim."

"Hm, baiklah, aku akan menemuinya sekarang." Kendra menatap kedua wanita hebat itu bergantian, lantas berkata, "Kabari aku secepatnya."

Kasus ini harus segera diselesaikan.

______________________________

Rangga sedang memeriksa kelengkapan berkas di atas meja saat pintu ruangannya diketuk dari luar. Dia berseru, “Masuk!”. Pintu membuka. Tak lama sosok Kendra muncul dari balik pintu.

Rangga membetulkan letak kacamatanya.

Kendra menyapa, “Apa kau sibuk?”

Dia menutup pintu, lalu mengedar pandang sejenak. Labkrim sedang sepi saat itu. Di dalam ruangan, hanya tersisa Rangga dan seorang polisi wanita berseragam yang saat ini tengah sibuk mengetik sesuatu di balik komputer. Kendra berpikir, barangkali anggota lain dikerahkan untuk menangani kasus baru.

Rangga menanggapi sapaan Kendra dengan senyum. "Nggak sibuk-sibuk banget," jawabnya. "Aku bahkan belum menghubungimu, tapi kau sudah ada di sini sekarang."

Kendra tercengir. "Iya, aku ingin tahu soal koper itu."

Rangga tidak menjawab. Dia bangkit dari kursinya, lalu berderap ke sudut ruangan untuk melakukan sesuatu. Kendra menunggu di depan meja Rangga. Dia tidak tahu apa tengah yang dilakukan pria berkacamata itu. Sebab, Rangga berdiri memunggunginya.

Begitu mendengar suara air keluar dari dalam dispenser, Kendra buru-buru berkata, "Tidak perlu repot-repot, Ngga."

"Buat ginian, nggak repot, kok, Ken," sahut Rangga seraya menoleh pada Kendra. Dia menyendok gula lalu memasukkannya ke dalam mug. Dia tahu takaran yang pas untuk Kendra. Sebab, mereka sering menghabiskan waktu bersama sambil meminum kopi di kafeteria.

Suara denting sendok yang saling bersentuhan dengan permukaan gelas segera memenuhi ruangan kemudian. Disusul aroma kopi yang kas, membuat indra penciuman Kendra merasa tergelitik.

Rangga membawa dua mug kopi ke hadapan Kendra. Kendra tidak bisa menolak saat Rangga menyodorkan salah satu mug itu padanya. Kendra menerimanya sembari mengucapkan 'terima kasih'.

"Apa kau masih berduka?"

Kendra mendengkus pelan. Membuat alis kiri Rangga terangkat naik, heran. Dia pikir, mungkin memang beginilah cara Kendra menutup diri. Dia adalah tipe orang yang menempatkan harga diri di urutan teratas. Sangat sulit menerjemahkan dirinya, terlebih ekspresi wajahnya. Apa yang dia rasakan, apa yang ada dalam hatinya, barangkali hanya dirinya yang tahu. Dia tidak membuka diri sepenuhnya untuk orang-orang di sekelilingnya.

"Tidak juga. Aku mulai bisa tidur beberapa hari ini tanpa bantuan obat tidur."

"Baguslah."

Kendra meniup kopinya, lalu menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Dalam satu hari, kita sudah mengumpulkan beberapa bukti yang langsung mengarahkan kita pada tersangka utama."

Kendra mengangguk setuju.

"Aneh sebenarnya." Ucapan Rangga kali ini berhasil membuat Kendra tertarik. Dia meletakkan mugnya di atas meja, kemudian mengikuti Rangga masuk ke dalam ruang steril.

Di dalam ruangan tersebut, rak besi berjejer merapat pada dinding. Tersimpan banyak sekali barang bukti di dalamnya--yang masih harus diteliti oleh Rangga. Setiap barang bukti disusun dengan rapi dan diberi label khusus dalam kantong transparan. Di atas meja, Kendra mendapati sebuah koper berwarna cokelat tua. Tergeletak dalam posisi membuka.

"Kami menemukan banyak bercak darah kering di dalam koper," Rangga menjelaskan. "Setelah diteliti, ternyata bercak darah itu berasal dari dua sampel yang berbeda. Yang satu milik korban, dan dugaan kami, sampel yang satu lagi milik pelaku.

“Ada kemungkinan, pelaku tidak sengaja melukai tangannya sendiri saat memutilasi korban. Sehingga tanpa dia sadari, darahnya ikut tertinggal saat mengepak kaki korban ke dalam koper ini."

Kendra mendengarkan tanpa berniat menyela sedikitpun.

"Tetapi, bukan ini masalah terbesarnya, Ken," lanjut Rangga misterius, membuat Kendra gemas sendiri.

"Lalu apa?"

"Ini." Rangga menunjuk koper di depan mereka.

"Apa maksudmu?"

"Dengar dulu, Ken," cegah Rangga sebelum Kendra makin emosi dibuatnya. "Aku minta bantuan dari tim pendamping, polisi wanita yang di depan tadi, dan kau tahu apa?"

"Apa? Jangan berbelit-belit."

"Koper mahal ini ternyata diproduksi terbatas. Hanya ada lima orang di Indonesia yang memilikinya. Masing-masing koper yang dijual, diberi nomor seri beserta nama pemiliknya. Aku sudah mengeceknya. Pemilik koper ini adalah Alfian Narendra."

Kendra nyaris menjatuhkan rahang saat nama itu lagi-lagi disebut dalam kasus pembunuhan Arini.

________________________

Kendra melangkah gontai. Sepanjang perjalanan menuju ruang Divisi Pembunuhan, dia terus terpikirkan nama itu. Siapa lagi, kalau bukan Alfian Narendra.

Namanya muncul berkali-kali. Kendra bertanya-tanya, apa maksud dari ini semua. Apakah AF memang seceroboh itu sampai meninggalkan jejaknya di mana-mana? Kendra yakin, ini semua bukan kebetulan semata. Terlalu banyak kebetulan dalam kasus ini. Kendra merasa, ada petunjuk yang hendak Alfian sisipkan di balik ini semua.

Kendra terdiam begitu tiba di gawang pintu masuk.

Dia mendapati keramaian yang tak biasa di dalam sana. Tim dua dan tim tiga tengah melakukan briefing gabungan dengan Komandan Teguh dan Komandan Roy sebagai pembicara utama. Kedua perwira polisi itu bergantian berbicara. Kendati demikian, suara Komandan Roy-lah yang terdengar paling serius. Raut wajah pria itu terlihat berapi-api. Dia memaparkan sesuatu di depan papan linimasa yang membentangkan separuh peta kota Batam.

Berderap perlahan, Kendra mengambil tempat di sebelah Wirya. “Apa yang sedang kalian diskusikan?” bisiknya.

Wirya melirik sekilas pada Kendra melalui ekor mata. “Kita akan bersiap melakukan operasi ke kediaman AF,” sahutnya berbisik.

Kendra tertawa miris mendengarnya. “Bagus sekali,” cemoohnya dengan wajah datar. “Mereka bahkan tidak berpikir untuk menungguku.”

Wirya tidak menjawab lagi. Di depan sana, Komandan Roy masih berbicara sembari menandai lokasi penting dalam peta. Dia memperkirakan rute pelarian yang mungkin akan ditempuh tersangka dan titik-titik mana yang harus dijaga oleh personel polisi. Beberapa poin penting tak lupa dia sebutkan dalam briefing. Tak sampai sepuluh menit kemudian, Komandan Roy menutup briefing-nya dengan kalimat “Baiklah. Sekian,”. Ditatapnya satu per satu petugas polisi di dalam ruangan kemudian. Di antara wajah orang-orang itu, dia mendapati Kendra yang berdiri kaku, tetapi dia memilih meleoskan pandangan ke arah Komandan Teguh di sebelahnya.

Kendra mengangkat tangan, berharap diberikan kesempatan berbicara, tetapi Komandan Roy tampak tidak berniat menggubrisnya. Roy berkemas, bersiap meninggalkan ruangan. Dia berjalan melewati Kendra tanpa menoleh sedikitpun.

“Kendra, apa kau punya sesuatu untuk ditanyakan?” Komandan Teguh, merasa dirinya harus segera angkat bicara, pun bersuara sambil mengedik ke arah Kendra. Atmosfer di dalam ruangan makin bertambah keruh, akibat sikap Roy yang terang-terangan mengabaikan Kendra.

“Iya, Komandan!” seru Kendra lantang, membuat satu dua kepala menjadikannya sebagai pusat perhatian. “Apa kita akan melakukan operasi ke kediaman lama AF?”

Komandan Teguh mengangguk.

“Aku jamin dia tidak akan ada di tempat,” lanjut Kendra.

Komandan Roy spontan menghentikan langkah, tepat di gawang pintu. Dia menoleh, menatap Kendra dengan ekspresi tidak suka. “Terserah apa kau mau ikut atau tetap tinggal di sini.”

Kendra mengepalkan kedua tangan saking kesalnya. “Saya merasa disisihkan, Komandan!” teriaknya.

Komandan Teguh buru-buru beranjak dan meraih bahu Kendra. Dia menggeleng keras. “Kau hanya sedang tidak berada di tempat, Kendra.”

Briefing dan operasi ini memang dilakukan mendadak,” tukas Roy kemudian.

“Kenapa?” tanya Kendra yang masih belum puas dengan jawaban pria itu.

“Mulai dari sidik jari, koper, dan bercak darah—semua sudah terkonfirmasi dan AF jelas tersangka utama kita. Apa ada hal yang harus membuat kita menunda-nunda penangkapan? Daripada kebanyakan bicara, lebih baik kau persiapkan dirimu. Bukan begitu?” Roy tersenyum ganjil. Sorot matanya menajam memaut tatapan Kendra.

Kendra dibuat bungkam olehnya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi di ruangan itu, Roy pun segera berbalik. Langkah kakinya yang tegas lesap seiring sosoknya menghilang di balik bilah pintu yang terayun.

Tim dua dan tim tiga membubarkan diri ke kubikel masing-masing. Menyisakan Kendra dan Komandan Teguh yang masih saling bertatap-tatapan. Rahang Kendra mengencang. Dia seperti petarung yang siap melakukan duel di atas arena, dengan Komandan Teguh yang berperan sebagai lawannya. Lambat laun ekspresi wajahnya mengendur. Helaan napas yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar dari dalam mulutnya. Kendra berhasil menahan diri, dia tidak membiarkan dirinya tergerus oleh emosi.

Komandan Teguh menepuk bahunya sebagai upaya menghibur pemuda itu. Dia memberitahu, “Malam ini juga kita akan bergerak. Bersiaplah.”

Kendra enggan menyahut. Dia hanya menunduk ketika Komandan Teguh berlalu, menyusul Komandan Roy keluar dari ruangan. Tak lama Kris datang menghampirinya. Dia menyerahkan selembar kertas yang di dalamnya berisi informasi terbaru mengenai Alfian Narendra.

“Dia baru dibebaskan seminggu yang lalu,” Kendra membaca keterangan yang tertulis. “Apa yang membuatnya sampai begitu harus menghabisi nyawa seseorang?”

“Dengar-dengar, kasusnya dulu, yang menangani Komandan Abraham, Pak.” ujar Kris pelan. Membuat Kendra spontan menyeru, “Kau yakin?”

Kris mengangguk.

Apakah ini berarti sesuatu? Batin Kendra gamang.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 165 17
Keseharian murid-murid LSG yang bobrok bin gaje sehingga membuat guru-guru ikut gaje. Ada trio meresahkan yang mencari member baru. Ada senpai-senpai...
[end] Silent Reading By

Mystery / Thriller

216K 26.5K 188
[boyslove] [Terjemahan] Masa kecil, pola asuh, latar belakang keluarga, hubungan sosial, trauma .... Kami tak henti-hentinya mencari dan menyelidiki...
10.9K 1.3K 38
[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Sang utusan Tuhan menyebut dirinya sebagai 'Postulat'---Messal, ia akan menggulingkan istana Sang Mata Satu yang melayang...
12.1K 1.4K 5
[Pemenang The Wattys 2018 Kategori The Originals] Imaji - Arman ingin dicintai, tapi oleh siapa dan dengan siapa? Rimba Raya - Ia anak kutukan, lahir...