CIRCLE [Revisi]

By Arabicca69

79.1K 4.1K 384

[Thriller+investigation] #2: Dendam bermula dari masa lalu. Saat itu Tim Satu Divisi Pembunuhan Kepolisian Se... More

Arsip
Prolog
Bab 1: Koper Misterius
Bab 2: Ada Yang Aneh
Bab 3: Firasat
Bab 4 : Padang Ilalang
Daftar Pelaku (1)
Bab 6: Alur Yang Sempurna
Bab 7: Menelusuri Jejak
Bab 8: Titik Acuan
Bab 9: Melawan Arus
Bab 10: Mengulik Kisah

Bab 5: Pikirkan Baik-Baik

2.5K 323 40
By Arabicca69

Dua minggu yang lalu ....

Abraham mengeluarkan kunci dari dalam saku celana, lalu membuka pintu rumah. Ditekannya saklar lampu. Teras rumah yang semula gelap gulita pun seketika menjadi terang benderang.

“Ayah udah pulang?” Arini, putri semata wayangnya, menyambut dari dapur.

Abraham menyahut “Iya”, lalu membanting diri di atas sofa hingga muncul suara derak aneh. Payah, batinnya kesal. Sofa kulit di ruang tamunya sudah tua. Usianya barangkali sepantar dengan umur anjing peliharaan tetangga sebelah. Enam tahun. Sudah waktunya diganti.

Abraham menatap seisi ruang tamu. Lemari kayu di sudut ruangan juga telah menunjukkan tanda-tanda keropos yang semakin parah. Tampaknya Abraham memang harus segera membongkar tabungan untuk membeli perabotan baru. Mungkin, sekalian mengubah tampilan rumah. Belakangan hari-hari yang dia lalui terasa begitu melelahkan, ada banyak sekali berkas kasus yang harus dia periksa. Menumpuk di atas meja kerja dan semua itu seolah tidak ada habisnya. Dia butuh suasana baru. Sesuatu yang dapat membuatnya menjadi lebih segar ketika dia pulang ke rumah.

Arini pernah berkata, warna krem membuat tampilan dinding rumah mereka menjadi kusam dan tidak menarik. Abraham sedang mempertimbangkan saran dari Arini. Putrinya itu sangat suka dengan warna-warna yang cerah. Dan kali ini, sepertinya Abraham akan membiarkan Arini memilih warna yang bagus untuk rumah mereka supaya terlihat lebih menarik.

Abraham juga berencana menambah sebuah kamar yang terhubunng ke ruang keluarga. Kamar itu nantinya akan dia isi dengan buku-buku. Sejak dulu Abraham mengimpikan sebuah perpustakaan kecil di rumahnya. Perpustakaan yang nyaman dilengkapi dengan sofa empuk di sudut ruangan. Pada bagian dindingnya akan dia pajang banyak foto dengan tema hitam-putih. Foto-foto dirinya bersama Arini. Kemudian, benda-benda klasik koleksinya akan dia susun dalam rak tanam. Abraham yakin, semua itu bisa membuatnya betah berlama-lama berada di perpustakaan.

Wangi masakan tercium dari dapur. Abraham bangkit dari duduknya, berjalan ke dapur untuk menemukan Arini yang tengah sibuk mengaduk sesuatu dalam panci. Pantry terlihat sedikit berantakan oleh sampah sisa sayur-mayur yang telah selesai disiangi. Melihat Arini yang kewalahan, Abraham berinisiatif mengulurkan tangan. Dia membereskan pantry, kemudian membuang sampah tersebut ke dalam trash bag di bawah bak cuci piring.

“Menu makan malam hari ini, sop udang!” ujar Arini penuh antusias. Dia mengambil irisan daun bawang di atas talenan, lalu menaburkannya ke dalam panci.

Abraham tersenyum lebar.

“Wah, pantesan baunya harum begitu,” pujinya tulus.

Usai mencuci tangan, dia mengambil air dari kulkas, lalu menuangnya ke dalam gelas. Dia duduk di meja makan setelah meneguknya sampai habis. Di atas meja, dilihatnya aneka gorengan telah tersaji dalam piring. Diam-diam Abraham mengambil kesempatan untuk mencicipi satu.

Arini menoleh cepat, berhasil memergoki ayahnya. “Ih, Ayah! Mandi dulu baru makan,” protesnya kemudian. Arini berusaha menjauhkan piring gorengan dari sang Ayah, tetapi Abraham bergerak lebih cepat. Digesernya piring itu hingga Arini tidak bisa lagi menjangkaunya.

“Mandinya nanti ajalah. Ayah udah laper ini. Dari siang belom makan. Lihat, perut Ayah kempes begini.”

Arini tergelak saat melihat Abraham mengelus-elus perutnya sendiri. “Kempes apanya, Yah. Masih buncit gitu, kok!” ejeknya.

Arini mematikan kompor, menuang sop ke dalam mangkok, lalu duduk di depan Abraham. Mereka makan bersama dalam khitmad. Abraham memuji masakan Arini yang semakin hari dirasanya semakin enak saja.

Acara makan malam itu sesekali diselingi oleh canda dan tawa. Arini menceritakan kesehariannya di sekolah, sementara Abraham mendengarkan dan menanggapi dengan serius saat Arini membawa-bawa nama teman lelaki yang suka menganggunya di kelas ke dalam cerita. Berulang kali Arini mencuri pandang kepadanya. Abraham yang menyadari itu pun langsung bertanya.

“Pasti kamu ada maunya, kan?”

Arini spontan tercengir. “Kok Ayah tahu, sih?”

“Taulah.”

Setelah hening sejenak, Arini kembali bersuara.

“Em, Yah,” panggilnya ragu-ragu “Libur semester ini Arini boleh nggak pergi sama temen-temen Arini?”

“Ke mana?” tanya Abraham penasaran.

“Ke pulau Bintan.”

“Pulau Bintan?” ulang Abraham. “Seberang pulau?”

Arini mengangguk sambil menyuap makanan ke dalam mulut.

“Iya, Yah. Itu loh Pantai Lagoi. Tempatnya bagus banget, Yah. Arini pengen liburan ke sana, Yah, sekali-kali,” rengek anak perempuan itu usai menelan makanan yang tadi dia kunyah.

“Ya? Ya?”

Arini terus membujuk ayahnya, sementara Abraham masih menimbang-nimbang. Dia tahu putrinya itu pasti merasa penat. Selain bersekolah, setiap hari Arini harus disibukkan dengan urusan rumah.

Arini menatapnya penuh harap. Membuat Abraham tidak kuasa menolah permintaan putrinya. Dia menggangguk. “Boleh. Tapi ....”

Arini sedikit berjengit dari duduknya. “Tapi apa, Yah?”

“Pulang nanti, bawa oleh-oleh ya buat Ayah.”

Arini tersenyum semringah, lalu mengacungkan jempolnya pada sang Ayah. Liburan ke Pulau Bintan pasti akan sangat menakjubkan. Arini membayangkan laut biru, ombak yang bergulung-gulung, resort yang mewah, serta panorama yang indah.

Arini merasa tidak sabar untuk pergi ke sana. Tanpa tahu, sesuatu yang buruk sedang mengintainya.

_________________________________

Jari-jari Genan Surbakti sibuk menari di atas papan tombol. Kendra dan Wirya menunggu dengan harap-harap cemas. Wirya mondar-mandir tak menentu, sedang Kendra menimbang-nimbang ponselnya sambil memikirkan banyak hal. Sampai detik ini Abraham belum juga menghubungi mereka. "Apakah Komandan sudah tahu kalau putrinya menjadi korban pembunuhan?" tanya Kendra dalam hati.

Dia cemas, cemas sekali. Pikirannya hendak melayang jauh, namun segera disentak oleh bunyi kuat saat Genan menekan tombol enter.

Perhatian Kendra dan Wirya segera tersita pada layar laptopnya. Begitu pula Inggrit yang telah sejak pagi berjaga di ruangan, menemani Genan. Bersama mereka menunggu hasil pencarian pada data demografi E-KTP yang tengah me-loading ribuan sampel sidik jari yang akan mereka cocokkan.

Kris masuk tak lama kemudian. Lengannya tanpa sengaja menyenggol daun pintu hingga menimbulkan bunyi hantaman cukup keras. Dia tercengir saat mendapati Kendra, Wirya, Inggrit, dan Genan menatapnya dengan ekspresi masam.

Kris berjalan mendekati mereka.

"Mobil itu ternyata mobil curian yang dilaporkan hilang dua minggu lalu," ujarnya kemudian, melaporkan perkembangan Mitsubishi Galant yang diselidikinya.

Wirya memandang Kris sejenak. "Siapa pemiliknya?" tanyanya dengan kening berkerut.

Kris menyerahkan selembar kertas pada Wirya.

“Mobil itu terdaftar atas nama seorang pria bernama Wijaya.” Wirya membaca sekilas keterangan di dalamnya, kemudian menggebrak meja saking kesalnya.

“Pak Wijaya membuka bisnis rental mobil. Pada tanggal 10 Juli mobil itu dirental oleh Hamid. Perjanjiannya hanya satu hari, tetapi mobil itu tidak kunjung dikembalikan kepada sang pemilik. Sampai sekarang,” jelas Kris.

"Bukankah mobil itu terlalu bersih untuk ukuran mobil curian?" Inggrit segera angkat bicara. Ini sangat aneh, menurutnya. "Harusnya ada banyak sidik jari yang bisa kita temukan. Tapi tidak, kan?"

"Kau benar," sambar Wirya sambil mengusap-usap dagunya. "Hanya ada satu sidik jari--"

"Yang seolah sengaja ditinggalkan pemiliknya di sana," Kendra ikut bergabung ke dalam pembicaaraan. "Tim Inafis hanya menemukan satu sidik jari dan polanya utuh. Sepertinya ... pelaku sengaja menempelkannya di kaca depan mobil."

“Tapi untuk apa?” gumam Wirya merasa tidak habis pikir.

Kendra menjauhi jendela besar yang menjadi tempatnya bersandar sedari tadi. "Ini tidak bisa disebut sebuah kecelakaan. Lagi pula jasad Arini berada di kursi penumpang. Pasti ada yang mengemudikan Mitsubishi Galant itu sampai ke kolong jembatan."

"Kris," panggil Wirya dengan raut wajah serius.

Kris menyahut dengan cepat. “Siap, Pak!”

"Aku ingin kau selidiki dulu teman-teman dekat Arini. Dan cari tahu apakah ada orang yang memiliki dendam tertentu padanya. Juga soal mobil itu, cari tahu di mana alamat Hamid, si penyewa itu. kurasa dia ada kaitannya dengan pembunuhan ini."

Kris mengangguk paham. "Baik, Pak. Besok teman-teman korban akan tiba di Pelabuhan Telaga Punggur. Mereka bersedia bekerja sama."

Ketegangan terasa semakin memberat di ruangan itu. Setelah mendapat instruksi dari Wirya, Kris pun segera berlalu dari hadapan mereka. Sudah menjadi tugasnya sebagai penyidik pembantu untuk bekerja ekstra mengumpulkan informasi. Karena itu dia tidak banyak mengeluh, meski orang-orang kerap menjulukinya manusia bermulut seribu.

Genan menyeru, "Hasilnya sudah keluar!"

"Bagaimana?" Inggrit yang merasa penasaran langsung mendekat pada pria bertubuh gempal itu. Tanpa sadar dia meremas bahu Genan saat informasi soal pemilik sidik jari tersebut ditampilkan dalam layar.

"... Sidik jari tersebut cocok dengan Alfian Narendra."

___________________________

"Alfian Narendra alias AF, bukankah dia itu narapidana yang dihukum atas kasus mutilasi tujuh tahun lalu?" Kendra berkata sambil menunggu reaksi dari Wirya. Jangan bilang Wirya lupa perihal kedatangan jurnalis Harian Metro 24 yang menanyainya soal ini beberapa hari lalu.

Wirya mengangguk gamang. Kendra menarik bahunya mendekat. Selasar pun menjadi sepi saat Wirya berhenti melangkahkan kaki.

Wirya menelan gugup. Hanya ada dia dan Kendra di sana. Dia berbalik hanya untuk mendapati tatapan penuh selidik dari Kendra.

Tatapan Kendra membuat jantungnya berdentam tidak keruan. Wirya bergeming.

“Apa kau tau sesuatu?” Kendra jelas akan menanyakan hal itu padanya, kalau saja Komandan Teguh tidak datang dengan derap sepatu pantofelnya yang menimbulkan kebisingan di sana-sini.

Kendra yang lebih penasaran soal TKP di padang ilalang segera menghambur ke hadapan pria berumur empat puluh dua tahun itu. "Bagaimana, Komadann?"

"Aku suka matamu," ujar Komandan Teguh tiba-tiba, membuat Kendra mengernyit heran. Dia tidak sedang ingin membahas soal mata saat ini.

"Kau orang yang ambisius dan aku bisa melihat masa depan cerah di dalam matamu."

"Komandan ...," sergah Kendra malas.

Komandan Teguh menghela napas. Dia menyerah pada Kendra yang sulit sekali diajak bergurau. "Koper mahal beserta potongan kaki itu sudah dibawa ke laboratorium forensik. Kau bisa mengeceknya di sana."

Usai mengucapkan terima kasih, Kendra segera berlalu dari tempat itu. Dia berlari meninggalkan Wirya yang kini tampak canggung berdiri di hadapan Komandan Teguh. Kedua polisi itu saling pandang dengan tatapan yang sulit diartikan.

Komandan Teguh mendekat pada Wirya, lalu berkata seraya menepuk pundaknya. "Wirya, Komadan Roy mencarimu. Dia menunggu di ruangan."

"Siap, Komandan!"

__________________________

Setibanya di ruang Kanit Tim Tiga, Wirya disambut oleh tatapan tajam dari Komandan Roy. Asbak rokok melesat begitu cepat ke arahnya. Wirya terperanjat. Asbak itu pecah menyerpih lantai. Beruntung, dia dapat dengan sigap mengelak sehingga kepalanya tidak perlu menjadi korban kebrutalan Komandan Roy. Terlambat sedikit saja dia mungkin akan menderita gegar otak.

Hening mengisi ruangan tersebut.

Komandan Roy memecahnya dengan debasan yang serasa menyesak di kerongkongan.

Di tempatnya, Wirya berdiri dengan posisi tegak sempurna dan menunggu pria itu bicara.

"Wirya," telunjuk pria itu teracung padanya. "jaga sikapmu. Lama-lama Kendra bisa curiga kalau begini terus," hardiknya tidak main-main.

Wirya menahan napas. Asap rokok menyembul dari dalam mulut pria itu. Membuat pengap udara di dalam ruangan.

Usai mengucapkan kalimat tersebut, Komandan Roy segera berbalik, memunggungi Wirya, menatap rintik hujan yang mengetuk-ngetuk kaca jendela. Iramanya menghanyutkan. Hujan menderas lima menit kemudian. Diawasinya area lahan parkir yang mulai tergenang oleh air. Di bawah sana, tanpa sengaja dia melihat Kendra melintas. Kendra berjalan lurus, terus menuju Rumah Sakit BHK.

Roy berdecak.

Ini tidak bagus, batinnya. Bukan hanya pangkatnya yang dia pertaruhkan di sini. Tetapi para jendral bintang tiga, yang berada di atasnya, juga bernasib sama seperti dirinya: terancam.

Selama ini mereka sudah mewanti-wanti jikalau kasus seperti ini naik kembali ke permukaan. Mereka kerap melempar kasus-kasus segar pada Kendra. Tetapi kali ini, mereka tidak bisa lagi menggunakan strategi itu.

Mereka tidak punya pilihan selain mempertahankan Kendra. Kendra itu orang yang sangat andal dan teliti. Dia pasti akan curiga kalau tiba-tiba dikeluarkan dari tim penyidik.

Diam-diam Wirya menggeram tidak terima. Kenapa dia seolah ikut ditarik ke dalam masalah ini? Tanpa sadar Wirya telah terjebak di dalamnya. Dia seolah berperan sebagai salah satu kaki tangan dalam konspirasi gila ini.

Selama ini Wirya tidak tahu-menahu alasan mengapa dia diberi tugas untuk mengawasi Kendra sejak di hari pertama Kendra masuk. Ternyata ini yang mereka sembunyikan. Kasus AF.

"Ada hal-hal yang tidak bisa dicegah, Komandan. Seorang jurnalis datang dua hari lalu ke ruang Divisi Pembunuhan untuk membicarakan kasus itu. Aku yakin, Kendra sudah mulai curiga saat ini."

Roy menjetikkan rokoknya.

"Aku tahu cepat atau lambat hal semacam ini akan terjadi," sahutnya geram. Kendra dapat dengan mudah mengetahui kebenaran di balik kasus ini. Kesalahan yang selama ini berusaha keras mereka tutupi, sudah jelas akan terbongkar.

"Kau memang tidak becus." Roy meremehkan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Itu sebabnya kau tidak bisa melindungi Naura, adikmu, dari tangan seorang pembunuh berantai."

Wirya menggebrak meja dengan penuh emosi. "Jangan bawa-bawa adikku. Jangan bawa-bawa Naura! Dia ... dia ...!"

"Apa?" Komandan Roy berbalik, kemudian menantang Wirya dengan tatapannya. Dia yakin Abraham yang lembek itu tidak sanggup mengatur bawahannya, sehingga mengubah kepribadian mereka menjadi seperti ini; pembangkang.

Adrian Prawirya dan Kendra Masturi memiliki sifat keras yang hampir sama. Hanya saja ... Wirya masih bisa dikendalikan jika rantai yang membelenggu lehernya ditarik paksa. Lain halnya dengan Kendra, mereka tidak tahu apa-apa tentangnya, selain perihal dia yang menghamili kekasihnya di luar nikah. Hal itu pun tidak bisa dijadikan bahan ancaman, sebab kekasih Kendra telah tewas dalam sebuah kecelakaan.

"Komandan tidak bisa mengancamku," gertak Wirya dengan suara dalam. Dia ingin membuktikan bahwa ancaman apapun itu tidak akan mempan untuknya. "Aku tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini."

"Begitu?" Komandan Roy merogoh saku celana, mengambil ponsel, kemudian memutar sebuah video yang membuat Wirya mendadak terkena serangan jantung.

"Apa kau masih bisa bercakap setelah melihat ini?"

Wirya mendengus. Matanya tiba-tiba terasa panas. Bagaimana bisa .... Komandan Roy memiliki rekaman kasus tabrak lari di mana Wiryalah yang seharusnya bertanggung jawab saat itu. Video itu terputar di depan mukanya. Ini sungguh tidak adil.

"Pilihan ada di tanganmu, Wirya. Pikirkan itu baik-baik."

Continue Reading

You'll Also Like

421 88 36
Carl Addison kehilangan adik laki-lakinya, Ben, tepat dua hari setelah pria itu dipecat dari pekerjaannya. Pihak kepolisian hampir menutup kasus yang...
486K 22.7K 93
Ratih berusia 30 tahun yang telah memiliki seorang anak lelaki bernama Dani dari suaminya yaitu Yadi. Ratih diganggu mahluk misterius yang menjelma s...
81.7K 4.2K 30
"How lucky we are. God let us meet again in the same town. How lucky we are. We don't have to wait till next another life to be together." #repost fr...
24.9K 2.5K 11
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah rantai yang menjaga Indonesia dari kejatuhan. Rantai yang patah ... bisa apa? Selamat membaca be...