HUJAN | END

By Shineeminka

6.3M 539K 85.3K

Tanpa mempedulikan air hujan yang mulai membasahi tubuhnya, Arlita berjalan ke arah Revan. Dia berdiri tepat... More

Blurb
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
31
32
33
34
35. After Married (1)
36. After Married (2)
37. After Married (3)
38. After Married (4)
39. After Married (5)
40. After Married (6)

30

123K 12K 2.9K
By Shineeminka

"Sesungguhnya perjalanan ini masih jauh, Namun bekal masih jauh dari kata cukup. Teruslah melangkah di jalan kebaikan, langkah yang diayunkan sebagai pelebur dosa."

-Panji Ramdana-

💦💦💦

"Tidak usah meminta ijin padaku. Bila memang dia menerima lamaranmu itu berarti dia jodohmu bukan jodohku," Revan tersenyum tulus pada Candra yang kini duduk di sampingnya. Keduanya baru saja menyelesaikan shalat ashar berjamaah di Masjid Umar bin Khattab, Berlin.

"Apa kau sudah tidak lagi mencintai Arlita?"

"Tidak pantas rasanya aku menyimpan cinta untuk seseorang yang belum halal bagiku."

"Jawaban yang kau berikan memiliki arti kalau kau tidak lagi mencintainya."

Revan menyandarkan punggungnya pada pilar besar yang menopang langit-langit masjid, "Aku tengah berusaha untuk tidak membuai hatiku pada perasaan yang bisa saja digunakan oleh setan untuk membawaku keperkara yang dibenci oleh Allah."

"Aku serius Van. Apa yang aku ucapkan saat ini bukan caraku untuk menggertakmu agar lekas pulang."

Revan kembali tersenyum, "Aku tahu kau serius karena Kak Candra yang aku kenal tidak pernah bermain-main dengan apa yang dia ucapkan."

"Bulan depan aku akan melamarnya," ujar Candra.

"Semoga lamarannya berjalan lancar," setelah mengatakan itu Revan berdiri dari posisi duduknya, "Aku harus segera kembali ke kantor Kak. Senang bisa bertemu denganmu, maaf aku tidak bisa menemanimu keliling kota Berlin."

Candra mengangguk, "Kalau lamaranku diterima olehnya kau wajib hadir di acara akadnya."

"InsyaAllah."

Revan menghela napas panjang, pandangannya menatap ke arah pemandangan kota Berlin yang terlihat begitu indah dari ruangan kerjanya yang berada di lantai 38.

Meskipun matanya tengah dimanjakan oleh pemandangan indah kota Berlin, namun itu tidak membuat hatinya bisa merasa tenang. Percakapan antara dirinya dan Candra satu bulan yang lalu terus berdengung di telinganya. Bagai kaset kusut yang terus saja berputar ulang.

Andai dia memiliki hak untuk melarang Candra, sudah tentu dia akan mengatakan kalau dia melarang Candra untuk melamar Arlita, namun apa daya dia bukan siapa-siapanya Arlita. Dia hanyalah seseorang yang kini hanya dapat mencintai Arlita dalam diam. Berharap kalau Allah dapat menjaga kesucian cintanya.

Munafikah dirinya? Berkata pada banyak orang kalau dia tidak lagi menyimpan cinta pada Arlita namun pada kenyataannya cinta itu masih tersimpan kokoh di dalam hatinya.

Andai saja dia tidak terlanjur mengukir janji pada Kakaknya mungkin sudah dari tiga tahun yang lalu dia melamar Arlita, menghalalkan Arlita untuk dirinya, namun janji telah terlanjur terucap maka dia harus sabar menunggu dan dia berharap Arlita pun akan sabar menunggu.

Dia tidak berani menyuruh Arlita untuk menunggu, bukan karena dia tidak mencintai Arlita. Namun dia melakukan itu karena dia takut kalau kemungkinan yang tidak diinginkan akan terjadi, lagi pula dia tidak mau memenjara seseorang yang dia cintai pada sesuatu hal yang tidak pasti.

Hari ini dia bisa bernafas, tapi tidak ada yang dapat menjamin besok dia masih dapat bernafas.

Sekarang dia serahkan semuanya pada Allah, bila Allah mentakdirkan dia dan Arlita berjodoh dia yakin selama apapun perpisahan yang terjadi antara dirinya dengan Arlita pada akhirnya dia dan Arlita pasti tetap akan berjodoh.

Suara ketukan di pintu membuat Revan mengakhiri kemelut yang sedari tadi menguasai hati dan pikirannya.

"Nona Nindia sudah datang Pak," ucap seorang wanita berambut pirang yang bertugas sebagai sekretaris Revan. Sekarang Revan menjabat sebagai General Manager di perusahaan milik suami Samantha, kakak ipar Nino.

"Suruh dia masuk."

"Baik Pak."

Tidak membutuhkan waktu lama, sosok Nindia kini sudah berdiri di depannya.

"Ada apa kau memanggilku. Apa kau merindukanku?" Nindia berucap ceria.

"Apa maksud semua ini Nindia?" Revan menunjukkan layar laptopnya pada Nindia, di layar laptopnya terpampang jelas potret dia bersama Nindia di depan masjid Umar Bin Khattab, saat itu dia memang berfoto dengan Nindia setelah menghadiri pengajian yang memang secara rutin diadakan disana, saat itu Nindia merengek padanya untuk berfoto bersama. Awalnya dia hendak menolak namun karena Nindia terus saja merengek akhirnya dia menyetujui permintaan Nindia untuk berfoto bersama, "Kapan kita bertunangan?"

Nidia tersenyum, tanpa di persilahkan dia langsung mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang tersedia di dalam ruangan Revan.

"Sebentar lagi... Sebentar lagi kita pasti akan segera bertunangan," ujar Nindia penuh percaya diri. Senyuman manis setia menghiasi wajah cantiknya, namun tentu senyuman itu membuat Revan muak.

Revan melipat kedua tangannya di depan dada, "Berhentilah merangkai kebohongan. Semuanya akan diminta pertanggung jawabannya kelak di akhirat."

"Kalau kau mau aku berhenti merangkai kebohongan ini maka satu-satunya cara kau harus membuat semuanya nyata," Nindia beranjak dari posisi duduknya, dia sudah hendak mendekati Revan namun urung saat Revan memberikan peringatan padanya.

"Aku diam selama ini karena aku tidak mau membuatmu malu Nindia. Aku sudah menganggapmu sebagai temanku. Sebab aku, kau dan Dika telah mengenyam pendidikan di universitas yang sama. Kita merasakan jatuh bangun bersama untuk mendapatkan gelar yang kini tersemat dibelakang nama kita. Jadi aku mohon jangan rusak pertemanan kita dengan kebohongan."

Nindia mengepalkan tangannya, "Kenapa kau tidak bisa memberi kesempatan padaku? Dari dulu aku selalu berusaha untuk berada di dekatmu bahkan aku merubah penampilanku karenamu. Semuanya karenamu Revan. Aku memakai jilbab ini karenamu, aku memilih mengenyam pendidikan di Jerman karenamu, bahkan aku rela jatuh bangun, menangis setiap malamnya pada Mamaku agar tetap diijinkan tinggal di negara ini hanya karena agar aku bisa tetap berada di dekatmu.... Sekarang apalagi yang harus aku lakukan agar kamu bisa mencintaiku..."

"Aku tidak pernah meminta semua itu padamu. Belajarlah untuk meniatkan semuanya karena Allah."

Nindia menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya, "Mudah bagimu untuk berucap demikian karena kau tidak merasakan apa yang kini aku rasakan," setelah mengatakan itu Nindia berdiri dari duduknya, dia menatap intens Revan, "Apapun yang terjadi kau harus menjadi milikku!" ucap Nindia sebelum pergi meninggalkan Revan.

Revan menarik napas dalam-dalam.

Cinta yang seharusnya indah bisa menjadi begitu menakutkan kalau cinta itu tanpa didasari oleh keiman kepada Allah.

💦💦💦

Arlita bersandar manja di bahu Mamanya. Matanya menatap layar televisi yang kini tengah menayangkan acara tausiyah yang berlangsung secara live di masjid Istiqlal.

Arlita mendengarkan tausyiah itu dengan sangat serius, sebab tausiyah itu temanya tentang mencari jawaban melalui shalat istikharah.

"Dalam hadis tidak dijelaskan bagaimana jawaban dari shalat istikharah akan diberikan. Sehingga apakah akan lewat mimpi atau lewat isyarat lainnya, kita tidak pernah mendapatkan keterangan yang pasti dan shahih. Mimpi bisa saja jadi media jawaban dari Allah. Namun bukan berarti hanya selalu lewat mimpi. Sebab yang namanya mimpi sangat mungkin diintervensi oleh syetan. Syetan adalah makhluq Allah yang paling licik sekaligus paling mungkin masuk ke dalam mimpi seseorang. Syetan bisa dengan mudah berpura-pura menyamar menjadi siapa pun, sehingga yang mengalami mimpi itu jadi sangat yakin. Padahal bisa saja isinya justru menyesatkan. Yang jelas apa pun yang ada di dalam mimpi itu, tidak boleh dijadikan sebagai rujukan masalah syariah. Demikian juga, tidak boleh bertabrakan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh syariah. Jadi yang seharus dilakukan adalah, setelah kita melaksanakan sholat istikharah. Lalu kita pilih mana yang terbaik dengan cara ber’azam dan menyerahkan segala urusannya pada Allah. Indikatornya, bila pilihan tersebut adalah pilihan yang terbaik, maka Allah akan memudahkannya bagi orang tersebut dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut adalah sebaliknya maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang tersebut kepada kebaikan dengan idzin-Nya."

"Mah tadi malam Arlita mimpiin Revan," ucap Arlita pada Mamanya saat acara tausiyah di televisi telah selesai, "Ini kali pertama Arlita mimpiin Revan. Di mimpi, Arlita ketemu sama Revan di halaman masjid Nabawi. Revan nggak ngomong apa-apa sama Arlita, dia cuma ngulurin tangannya ke arah Arlita, tapi Arlita nggak nyambut uluran tangan Revan sebab di mimpi itu Arlita sadar kalau Revan belum halal untuk Arlita sentuh," Arlita menghentikan ucapannya, hatinya merasakan sakit, "Apakah mimpi itu petunjuk dari Allah agar Arlita tak lagi menunggu Revan? Apakah Arlita harus menerima lamaran Kak Candra? Apa itu hanyalah mimpi yang digunakan syetan untuk menipudaya Arlita?"

Sungguh kini dia begitu merasa kebingungan.

Mama Arlita membelai pucuk kepala Arlita, "Mama tidak bisa memberi jawaban apapun. Yang bisa menjawab pertanyaanmu adalah hatimu sendiri. Anak Mama sudah dewasa dan Mama percaya anak Mama pasti mampu menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya sendiri, satu pesan Mama, selalu libatkanlah Allah dalam pilihanmu."

"Bolehkah Arlita menyerahkan pilihan ini pada Mama dan Papa?"

"Maksud kamu?"

"Bila Mama dan Papa menerima lamaran Kak Candra. InsyaAllah Arlita pun akan menerima lamaran Kak Candra. Arlita tidak bisa menentukannya sendiri..."

"Be..benarkah? Kamu yakin mau menyerahkan keputusan ini pada Mama dan Papa?"

Arlita mengangguk, "Arlita yakin pilihan Mama dan Papa untuk Arlita tidak akan keliru."

💦💦💦

Revan menaikkan sebelah alisnya saat melihat Dika merangkul mesra bahu Ananta, kakak perempuannya satu-satunya.

"Apakah ada yang tidak aku ketahui tentang kalian berdua?" Revan tengah duduk di kursi meja makan menopang dagunya di atas kedua tangannya yang dia tautkan.

Dika tersenyum lebar, sedangkan Ananta hanya tersenyum tipis.

"Tadi sore lamaran gue di terima sama Anya. Anya nerima lamaran gue dan itu berarti lo bakal jadi adik ipar gue," ucap Dika penuh suka cita saat dia sudah mendudukkan tubuhnya di samping Revan.

Revan membelalakkan matanya, "Benarkah Kak? Ka..kau menerima lamaran si kutu kupret ini? Memangnya tidak ada lagi laki-laki yang lebih baik, lebih tampan dan lebih kaya dibandingkan dia?"

Dika langsung memukul kepala Revan dengan sangat kencang, "Sopan dikit lo sama calon kakak ipar."

"Sakit Dik," Revan meringis kesakitan, "Baru calon aja udah songong gimana kalau jadi beneran, bisa-bisa gue terdaftar sebagai adik ipar yang teraniaya."

Ananta tertawa geli saat melihat interaksi antara Revan dan Dika, "Iya Van. Aku nerima lamaran Dika."

Revan berdiri dari duduknya, menghampiri Ananta yang sudah hendak berjalan menuju kamarnya.

"Selamat," ucap Revan sambil memeluk erat tubuh Ananta, kakak kesayangannya, "Aku harap ini bukan caramu untuk melepaskanku dari janji yang telah aku buat."

Ananta membalas pelukan Revan tidak kalah erat, "Awalnya aku memang melakukan ini untuk melepaskanmu dari janjimu, namun perlahan aku mulai menyukai Dika, belum ke tahap cinta sih namun aku yakin seiring berjalannya waktu aku pasti dapat mencintai Dika. Dia sangat baik dan lucu."

Revan tersenyum lebar saat mendengar jawaban yang terucap dari bibir Kakaknya, "Jangan permainkan perasaannya yah Kak. Dia sahabat yang ku sayang dan kau kakak yang ku sayang. Aku tidak mau orang-orang yang kusayang pada akhirnya akan saling menyakiti."

"Bagaimana aku bisa menyakitinya kalau dialah yang berhasil membawaku keluar dari rasa sakit yang selama ini membelengguku. Sekarang sudah saatnya kamu menjemput cintamu. Jangan biarkan dia menunggumu lebih lama lagi," Ananta melepaskan pelukkan Revan, dia menatap adiknya dengan penuh sayang, "Saatnya kamu yang sekarang berjuang."

Senyuman di wajah tampan Revan pudar, "Aku tidak bisa menjemputnya Kak."

Kening Ananta berkerut, "Maksud kamu?"

"Arlita sudah dilamar oleh Candra."

"APA???" Ananta dan Dika yang secara diam-diam mendengarkan pembicaraan antara Ananta dan Revan kompak menyerukan kata apa.

"Woow kalian berdua kompak sekali.  Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan? Aku harap bisa segera. Aku sudah tidak sabar ingin punya keponakkan," ucap Revan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan tentang Arlita. Namun sayang seribu sayang Ananta dan Dika tetap mengajukan pertanyaan tentang  Arlita yang dilamar oleh Candra.

"Beneran si Candra ngelamar Arlita? Dia temannya Kakaknya Arlita kan, teman lo juga kan. Bukannya dia juga tahu kalau lo cintai sama Arlita? Pagar makan tanaman dia. Nggak setia kawan masa calon temen sendiri diembat," cerocos Dika penuh emosi.

Revan menepuk bahu Dika, "Bukan pagar makan tanaman Dik, namun pagar yang hendak menjaga tanaman yang ada di dalamnya dengan sungguh-sungguh. Cinta itu mempersilahkan dan memperjuangkan. Gue udah mempersilahkan Candra buat memperjuangkan Arlita karena saat ini gue sendiri belum bisa berjuang buat dapetin Arlita."

"Jangan bilang kalau lo ngasih ijin sama si Candra buat ngelamar Arlita?"

Revan mengangguk.

"LO GELO.. ANU GELO SIA MAH!!!! Lo udah ngelewatin banyak cobaan, lo udah nunggu lama banget dan sekarang lo nyerah. Dimana sih lo naruh otak lo?? Jangan bilang lo naruh otak lo di telapak kaki lo. Bener-bener bego lo mah!" Dika benar-benar terlihat emosi, layaknya dia sendirilah yang tengah merasakan bagaimana sakitnya saat tahu kalau dia yang kita cintai telah dilamar oleh lelaki lain.

Revan menghela napas panjang, "Nggak usah emosi. Gue mencintainya lillahi ta'ala. Malah gue bersyukur kalau Candra lah yang akhirnya melamar Arlita. Dia laki-laki yang baik agamanya dan gue yakin dia pasti dapat menjadi pendamping yang tepat untuk Arlita."

"Males benget gue denger kata-kata lo," dengus Dika sebal, "tampang lo nggak cocok buat pesimis Van. Belum tentukan lamarannya si Pagar Makan tanaman di terima sama si Arlita," ucap Dika menggebu-gebu, "Gue yakin Arlita pasti nolak lamaran dia! Udah sekarang lo balik aja ke Bogor, lamar Arlita kalau bisa langsung akad aja. Udah nggak sanggup gue lihat muka madesu lo."

"Gue akan kembali ke Bogor setelah memastikan kalau lo dan Kak Ananta telah resmi mengikat janji suci. Lo benerkan cinta sama kakak gue? Gue benar-benar bakal ngebenci lo kalau lo nyakiti Kakak gue."

"Jangan ragukan cinta gue ke kakak lo. Asal lo tahu aja, gue tuh udah cinta sama Kakak lo dari jaman seragam putih biru masih nempel di badan gue."

"Masa? Nggak percaya gue!"

"Yaudah sih, lagian nggak penting juga lo percaya apa nggak."

"Udah sekarang sana balik! Bosen gue lihat muka lo!"

Dika langsung memasang wajah melas, "Gue mau nginep Van."

"Nggak ada acara nginep-nginep. Kalau lo udah resmi jadi suami Kakak gue baru lo boleh nginep disini selama-lamanya."

"Yang adik kamu jahat sama aku. Kamu nggak mau apa belain aku," kini perhatian Dika beralih pada Ananta yang sedari tadi memilih diam di samping Revan.

"Kamu pulang yah sudah malem. Bukannya besok kamu harus kerja," bukannya dibela Ananta malah melakukan hal yang sama dengan Revan. Mengusir Dika dengan cara yang sangat halus tapi menyakitkan.

"Ah kamu mah nggak asik. Masa calon suami mau nginep malah disuruh pulang," Dika berjalan mendekati Ananta, dia hendak memberikan ciuman selamat malam plus selamat tinggal pada Ananta, namun tak berhasil karena Revan menarik kerah bajunya ke belakang.

"Balik sana!"

Dika mendelik kesal, "Dasar calon adik ipar durhaka."

"Bodo amat." jawab Revan santai.

Akhirnya dengan berat hati dia meninggalkan apartemen pujaan hatinya, sebelum benar-benar pergi dia berucap lembut pada Ananta, "Jangan lupa mimpiin aku yah.. Aku cinta kamu."

Ananta tersenyum tipis, pipinya merona merah, sedangkan Revan langsung memasang ekspresi mau muntah.

"Mual gue dengernya Dik."

"Kalau mual nggak usah lo dengerin. Gampang kan, gitu aja repot," sahut Dika sewot sambil berjalan menuju pintu keluar.

Setelah kepergian Dika senyum di wajah cantik Ananta pudar, dia menatap Revan dengan tatapan sangat bersalah, "Maafkan aku Van. Ini semua karena aku. Andai aku tidak terjebak dengan rasa sakitku.. Ka..Kamu dan Arlita pasti sudah menikah."

Revan menggeleng, dia kembali membawa tubuh Kakaknya ke dalam pelukkannya, "Jangan menyalahkan dirimu Kak. Semuanya sudah ditakdirkan seperti ini. Yang terpenting sekarang kamu harus bahagia."

Ananta mengangguk kelu, "Semoga masih ada kesempatan untukmu."

Revan mengamini ucapan Kakaknya. Dia memang berharap masih memiliki kesempatan untuk memperjuangkan Arlita.

💦💦💦

25 Jumadal Tsaniyah 1439H

Continue Reading

You'll Also Like

37.4M 2.3M 45
🍁 N E W V E R S I O N 🍁 **** Gimana pendapat lo kalau dengar kata 'bad boy'? Nakal? Always. Playboy? Mayoritas seperti itu. Merokok? Pasti. Suka bo...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
SAMUEL By Itakrn

Teen Fiction

20.2M 2.4M 38
[Sudah Terbit + Part Masih Lengkap] Baby El, panggilan kesayangan dari Azura untuk Samuel. Namanya Samuel Erlangga. Laki-laki tampan dengan segala ke...