Love, lost, And, Found (Ci...

By titisanaria

2.2M 260K 18.2K

Kara menikmati hidupnya yang sekarang. Dia punya pekerjaan yang dia sukai dan tinggal di luar rumah setelah m... More

Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Bukan Update-an
Bukan Update
Bukan Update-an
Numpang Promo DSJ
Open PO

Tiga

53.8K 9.1K 443
By titisanaria

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess... Bagi komen tentang gimana ceritanya menurut kamu sejauh ini dong. Sudah bisa bikin penasaran atau belum?

**

Kurasa tidak ada orang yang sebahagia aku saat meninggalkan masa-masa suram di SMA. Seandainya aku bukan sepupu Pretty Puspa Citra yang menjadi model setelah memenangkan kontes gadis sampul sebuah majalah remaja waktu SMP, aku pasti akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan menyadari kehadiranku, karena aku memang termasuk kategori orang yang tidak terlihat. Tidak akan ada yang sadar dan peduli aku ada atau tidak. Roda kehidupan di sekolah akan terus berputar normal meskipun aku tidak ada.

Namun karena Pretty menikmati menjadikanku bahan olok-olok, semua orang di sekolah jadi mengenalku sebagai sepupunya yang tidak diinginkan. Itu mengerikan.

"Kok nggak kayak Pretty, ya?" Adalah tanggapan yang sering kudengar.

"Kan katanya mereka bukan sepupu beneran. Dia diangkat anak sama tantenya Pretty."

"Oh, pantesan. Kirain dia tumbal di keluarganya. Cantiknya disedot habis sama yang lain, jadi dia kebagian jeleknya doang. Kakaknya kan cakep banget juga. Lebih cocok adik-kakak sama Pretty."

"Jelas aja. Mereka kan punya hubungan darah. Gen mah nggak pernah bohong."

"Tapi kalau diperhatikan dia sebenarnya nggak jelek-jelek amat kok."

"Emangnya ada yang mau perhatiin dia kalau dibandingin dengan Pretty? Ya ampun, perbandingkannya jomplang banget. Dia sih bisa kelihatan cantik kalau dilihat dari puncak pakai sedotan aqua." Di bagian sini biasanya diberi jeda untuk tertawa. "Lo nggak perhatiin waktu dia jalan? Gue ngeri banget lihatnya, takut tungkai dia lepas dari sendi saking kurusnya." Dan tawa mereka akan jadi lebih panjang.

Aku menarik napas panjang berulang-ulang untuk mengusir kenangan yang kupikir tidak akan kuingat lagi. Ya, mau bagaimana lagi? Hidup memang tidak bisa diprediksi. Orang-orang yang kita pikir sudah kita potong dari kehidupan masa lalu ternyata bisa kembali dan memotong kebahagiaan kita di masa kini.

Tidak, kali ini aku tidak lagi bicara tentang Pretty, karena meskipun hidup dan dunia kami berada di kutub yang berbeda, kami masih akan terus bertemu karena kami masih keluarga. Aku bicara tentang Atharwa. Laki-laki yang datang bersama Pretty dan ternyata menjadi manajer marketing kami yang baru.

Ya, seperti yang kalian duga, dia cinta pertamaku. Cinta monyet. Cinta yang tentu saja tidak kesampaian dan hanya terpendam di dasar jiwa, karena tidak mungkin terwujud. Orang seperti Atharwa jelas tidak akan melirik orang seperti aku.

Tidak seperti pemeran utama dalam komik dan novel teenlit yang menjadi sahabatku sejak aku kehilangan Pretty sebagai teman berbagi, Atharwa bukan cowok paling tampan di sekolah, meskipun tampangnya menyenangkan untuk dilihat. Setidaknya, menurut versiku. Aku jatuh cinta kepadanya, kan? Dia tidak bermain basket. Dia memang selalu mendapat peringkat pertama di kelas kami, tetapi tidak masuk dalam 5 besar rangking umum untuk angkatanku. Jadi ya, dia bukan yang paling pintar juga. Dan dia juga bukan tipe bad boy yang menghabiskan waktu berbuat onar untuk menarik perhatian cewek-cewek.

Pembawaan Atharwa tenang. Tidak seperti teman-teman cowok lain yang mendadak banjir dopamin saat berpapasan dengan Pretty, dia terlihat biasa saja. Mungkin sikap itu yang membuatku menyukainya. Hampir tidak ada orang tidak tertarik untuk berinteraksi dengan Pretty, dan Atharwa termasuk orang yang langka itu.

Aku ingat pernah ke kantin dan duduk sendiri seperti biasa. Atharwa datang tidak lama kemudian. Dia duduk di meja yang sama denganku. Makan dengan tenang seolah tidak menyadari ada aku di situ. Aku sampai harus bernapas pelan-pelan untuk membuatnya tetap merasa sendiri di meja itu. Aku takut dia akan mengangkat piringnya dan pergi kalau tahu dia tidak sendiri di situ, meskipun rasanya tidak mungkin dia tidak melihatku karena akulah yang lebih dulu duduk di situ.

Aku sedang menyesap minumanku saat Pretty dan gengnya datang. Terlambat untuk menghindar karena mereka langsung menuju tempat aku dan Atharwa duduk.

"Makan di dekat orang bulimia kayak gini bikin selera makan gue hilang," sindir Pretty.

Aku tidak menyukai konfrontasi, jadi memutuskan tidak membalas. Aku berniat menghabiskan minumanku sebelum pergi. Saat itulah Atharwa berdiri dan melihatku.

"Gue mau balik ke kelas. Lo masih mau tinggal atau ikut balik?" Dua kalimat itu membuatku sulit memejamkan mata dan terus tersenyum sepanjang malam. Untuk pertama kalinya ada orang yang menyelamatkanku dari serangan verbal Pretty. Aku tahu Atharwa tidak melakukan itu karena dia juga menyukaiku, tetapi rasanya tetap saja menyenangkan.

Saat itu, aku yang naif mengira karena terkesan membelaku dari Pretty, Atharwa sungguh-sungguh menganggapku sebagai temannya. Apalagi dia kemudian kerap menawarkan pergi ke kantin bersama. Dia tidak mungkin menyukaiku lebih daripada seorang teman, tetapi aku sudah cukup senang berdekatan dengannya. Dia sama sekali tidak menjadikanku olok-olok untuk memancing perhatian dan tawa bahagia Pretty seperti orang lain.

Ketika aku merasa Atharwa tulus berteman denganku, aku lantas mendengar percakapannya dengan beberapa orang temannya dari balik rak buku perpustakaan. Aku sebenarnya tidak bermaksud menguping seandainya tidak mendengar namaku disebut.

"... sepupu Pretty itu manis juga sebenarnya," kata salah seorang dari mereka. "Iya sih kurus, tapi tampangnya lumayanlah. Lo dekat dengan dia ya, Thar?"

"Biasa aja sih," jawab Atharwa. "Gue cuman kadang kasihan lihat dia dikerjain sama Pretty. Saudara kok digituin sih?"

"Orang cantik mah bebas. Manner belakangan, yang penting cantik saja dulu," sambut yang lain sambil tertawa.

"Lo beneran nggak tertarik sama dia, Thar?"

Aku mendengar Atharwa ikut tertawa pelan. "Memangnya kenapa? Jangan bilang lo yang tertarik."

"Gue sebenernya nggak bermaksud perhatiin dia sih, tapi keseringan jadi bahan omongan Pretty, gue jadi penasaran juga." Meskipun aku tidak melihat orangnya, aku mengenali suaranya. Itu Remmy. Dia cukup terkenal di sekolah. Rasanya aneh mendengarnya bicara seperti itu. Dibandingkan Atharwa, Remmy lebih tidak masuk akal untuk merasa penasaran, tertarik, atau pun namanya kepadaku.

Dan tanggapan Atharwa membuatku sangat sakit hati. Tawanya terdengar lagi. "Lo beneran tertarik sama tumpukan tulang berjalan kayak Kara? Ya ampun, selera lo receh banget. Memangnya lo bulldog?"

Aku benar-benar syok. Orang yang kupikir menganggapku teman ternyata bisa menikamku dari belakang seperti itu. Sejak itu aku menghindari Atharwa. Aku tidak masalah kalau Remmy atau orang lain yang mengataiku, tetapi tidak Atharwa. Dia menganggap orang yang tertarik kepadaku sama dengan anjing? Aku tidak butuh orang bermuka dua seperti itu dalam hidupku.

**

Ini hari ketiga Pretty dan Atharwa sekantor denganku, tetapi aku belum pernah berinteraksi dengan mereka. Syukurlah. Selain karena berada di bagian yang berbeda, dan punya ruangan sendiri yang terpisah dari kubikel para staf seperti aku, mereka juga tampak sibuk dengan divisinya masing-masing. Selain tentu saja usahaku bermain kucing-kucingan supaya tidak perlu bertemu mereka. Usaha yang sepertinya terlalu keras karena Atharwa toh belum tentu masih mengenaliku setelah berpisah sekian lama. Kenal pun, belum tentu dia peduli. Dan Pretty? Kalau dia serius ingin bekerja, dia pasti punya banyak urusan yang harus dikerjakan, selain mencari bahan untuk mengolok-olokku.

Meskipun aku curiga tentang motivasi Pretty melamar pekerjaan di kantorku, aku juga merasa kalau dia meninggalkan pekerjaannya yang bagus hanya untuk membuatku sengasara sepertinya terlalu mengada-ada. Aku tidak mungkin sepenting itu untuknya. Hanya saja, meskipun aku bekerja di perusahaan nasional yang sudah go public, aku yakin gaji manajer PR yang ditawarkan kepada Pretty jauh di bawah penghasilannya sebagai artis. Pretty adalah trend setter. Dari Tante Elis aku tahu kalau orang-orang yang mau meng-endorse Pretty dengan produk mereka harus mengambil nomor antrean saking banyaknya. Penghasilannya sebagai model iklan dan bintang film juga luar biasa. Pretty punya Bugatti, meskipun ke mana-mana dia memakai Alphard untuk memuat barang-barangnya. Boleh dikatakan kalau mobil itu sudah menjadi rumah keduanya. Jadi sangat tidak mungkin dia meninggalkan pekerjaan di dunia hiburan untuk bekerja di kantor --yang aku ragu bisa membiayai gaya hidupnya— hanya untuk menyusahkanku.

"Turun makan sekarang yuk, Kar!" Suara Jingga mengejutkanku. Dia sebenarnya tidak mengajak, karena dia sudah menarik tanganku. Mustahil bisa melawan kekuatan tenaga trontonnya.

Sial, kami sedang berdiri menunggu di depan lift saat aku mendengar suara yang familier di belakangku. Pretty. Aku benar-benar terjebak karena tidak mungkin bisa melarikan diri sekarang. Seandainya saja aku punya trik sulap yang bisa membuatku menghilang, itu akan sangat membantu.

Aku berusaha tidak menoleh, meskipun Jingga memberi tanda dengan kerlingan karena mengira aku tidak menyadari kehadiran selebriti itu di belakangku. Sejak kedatangan Pretty di kantor kami, Jingga mendadak nge-fans. Aku memang tidak pernah mengatakan bahwa Pretty adalah sepupuku. Aku tidak akan pernah menggunakan Pretty untuk membuatku dikenal orang, terutama dengan kondisi hubungan kami yang mirip dengan bongkahan es di artartika.

"Kara?" Panggilan itu diikuti tepukan di bahu. Sebenarnya aku tidak ingin berbalik, tetapi Jingga setengah mendorongku untuk melakukannya. Baginya, aku seperti melakukan dosa besar saat mengabaikan teguran seorang artis terkenal.

Aku mendesah dan memaksakan senyum tipis saat melihat Pretty dan Atharwa yang berdiri berdampingan. "Hai," sapaku pendek.

"Mama bilang kamu kerja di sini juga," Pretty melihatku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebelum balas mendesah. "Lo beneran harus belajar cara berpakaian." Dia lantas menoleh kepada Atharwa. "Thar, ini sepupuku. Kita dulu satu SMA dengan dia, meskipun kamu mungkin nggak ingat lagi."

"Aku kenal Kara kok. Kami dulu kan satu kelas dari kelas X sampai kelas XII. Nggak mungkin nggak kenal."

Aku lebih suka seandainya dia tidak mengingatku lagi.

**

Maaf kalau nggak semua komen-komen di lapak watty ini nggak bisa aku jawab, ya. Jika ingin berkomunikasi, aku lebih mudah dihubungi di :

Instagram : titisanaria

Facebook : Titi Sanaria


Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 475K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
141K 10.1K 55
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
1.5M 116K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
1.9M 194K 48
Dibantu temannya, Juwi bertekad move on dan mencari pengganti setelah putus dari pacar sejak SMP-nya. Targetnya sebulan. Mulai dari berkenalan dengan...