1.2 | illusion ✓

Galing kay sparkleinureyes

811K 9K 2.9K

「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝You are just an i l l u s i o n, let me keep you in... Higit pa

i l l u s i o n
yang hanya diketahui satu
melepas yang masih tergenggam
jatuh untuk kesekian kali
perasaan-perasaan semu
Tentang Illusion
illusion II; b e m y b a b y
l i n e s
t h e s h o o t i n g s t a r
Yang iya iya pokoknya (ditutup)

semua harapan abu-abu

15.6K 998 371
Galing kay sparkleinureyes

And everything seems not right
after that.
—Elara.

"Lo harus liat tingkah si Selma, Ra!"

Mendengar itu, hanya Tiffany yang melihat ke mana jari telunjuk Fanya mengarah. Lapangan outdoor. Elara malah sibuk dengan ponselnya seraya bersandar pada dinding pembatas di lantai tiga ini, tepat di depan kelasnya berada.

Elara masih berusaha menghubungi Ardi untuk menjelaskan perkara gandengannya dengan Dimas pagi tadi, tetapi semua chat-nya belum ada yang dibaca oleh laki-laki itu.

Merasa tidak direspons, Fanya mengambil alih benda mungil itu dari tangan Elara. Yang berhasil membuat si empunya berdecak. "Ngapain lo ngambil hape gue sih? Urgent nih!" kata Elara dan merebut kembali ponselnya.

"Yang lebih urgent cowok lo lagi digoda, njir!" Sekarang Tiffany yang angkat bicara.

Mata Elara seketika membulat. Lalu, dimasukkannya ponsel putih itu ke dalam saku seragam. Ardi digoda? Sama siapa? Siapa yang berani menggoda laki-laki itu?

"Di mana?" tanya Elara dengan wajah yang sudah merah padam, siap meledak sebentar lagi.

"Noh di lapangan!" Fanya lagi-lagi menunjuk ke arah lapangan di bawah sana.

Ternyata memang benar. Di pinggir lapangan—dari penglihatan Elara, Ardi sedang terduduk di dekat tiang bendera dengan menggunakan kaus putih polosnya. Terlihat juga Reza dan Dimas yang masih bermain basket di sana. Dan jangan lupakan kakak kelasnya juga.

Selma Anathasya.

Elara masih memperhatikan gerak-gerik kakak kelas centil itu. Selma sedang memberikan botol air mineral ke Ardi dan diterima baik oleh laki-laki itu. Kemudian, mereka berbincang-bincang—entah apa, tetapi itu malah membuat Elara merasa harus tertawa.

Alasannya ya hanya satu; sikap cuek Ardi kepada semua cewek-cewek. Seperti sekarang, Ardi hanya menanggapi ucapan-ucapan Selma dengan gelengan atau sesekali dengan anggukkan.

Mampus! batin Elara, pandangannya masih belum lepas dari mereka berdua.

"Lo gak mau nyamperin mereka?" tanya Fanya yang bingung juga dengan reaksi Elara sekarang. Biasanya Elara pasti akan cepat tersulut.

Yang ditanya menggelengkan kepalanya. "Nanti aja. Di mana kelasnya si Selma?" Elara bertanya balik.

Tiffany yang langsung menjawab, "Di samping kelas cowok lo persis."

...

"Gimana sama si Australia?" tanya Reza yang mulai menutup matanya. Kedua tangannya ia silangkan untuk menyangga kepala.

Angin sepoi-sepoi dan matahari yang seakan tertutup dedauan di atasnya, memang menjadi dorongan untuk ia tertidur di pinggir lapangan ini.

"Sydney yang bener bukan Australia, tulil!" Dimas di depannya langsung melempar ranting di bawah kakinya ke arah Reza.

"Sama aja!"

"Beda lah, bego!"

"Suka-suka gue lah, Dim. Mulut-mulut gue!"

Ardi di sampingnya, dengan bola basket yang ia pantulkan ke dinding di depan, bergumam tidak jelas. Reza membuka satu matanya dan melirik ke Ardi. "Woy, Ar!"

"She's good," jawab Ardi akhirnya. Bola berwarna oranye di tangannya ia lempar entah ke mana.

"Ajak dia nongkrong bareng kek, udah lama juga gue gak ngeliat dia," sahut Dimas.

Mereka berdua sudah tahu keberdaan Sydney. Ardi yang memang terlalu percaya kepada kedua sahabatnya itu, selalu menceritakan semua hal yang menyangkut dirinya, tak terkecuali tentang Sydney. Dimas dan Reza pun sama. Selalu bercerita.

Memang seharusnya seperti itu kan di dalam suatu persahabatan, sama-sama membangun kepercayaan.

Ardi mengalihkan pandangannya ke arah depan sana, lebih tepatnya ke arah lantai tiga. Ia meloloskan napas kasar dari mulutnya. "Keadaannya belom stabil, Dim. Gue takut dia kenapa-kenapa."

"Tapi dia harus juga berinteraksi sama orang-orang di luar, Ar." Suara Dimas terkesan menuntut sekarang.

Kepala Ardi mengangguk pelan. "Gue tau."

"Lo gak penasaran?" tanya Dimas.

Mendengar itu, Ardi mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. Kali ini laki-laki itu melihat ke arah lawan bicaranya. "Sama?"

"Sydney lah!"

"Banget. Tapi mau gimana lagi? Dia gak inget apa-apa," sahut Ardi dan matanya saat ini terlihat menerawang. Sydney sekarang sudah menguasi pikirannya.

Yang Ardi tahu, gadis itu memang tidak mengingat apa-apa, kecuali satu hal—dan itu sangat Sydney takuti.

"Keluarganya belum ada yang ngehubungin lo?"

Mendengar pertanyaan Dimas itu, Ardi mengerjapkan matanya. "Mm, sampe sekarang.. belom."

"Lo mau kita bantuin cari?"

"Jangan!" jawab Ardi kelewat cepat. Menyadari tatapan aneh Dimas, Ardi berdeham pelan mencoba menghindari kontak mata dengan sahabatnya itu. "Mm, maksud gue.. iya, tapi jangan sekarang-sekarang ini, oke?"

Dimas semakin menyipitkan matanya. "Gak ada yang lo sembunyiin kan dari kita? Karena lo tenang aja, Ar. Kita bakalan bantu lo," kata laki-laki itu.

Ardi lagi-lagi mengangguk perlahan. "Iya."

Reza melepas earphone di telinga kirinya dan langsung menendang pelan kaki Ardi di depannya. "Ar, liat noh anak Macan, dia kayaknya mau nyamperin lo." Reza mengarahkan dagunya ke arah Elara yang berjalan ke arah mereka.

Ardi mendengus, kemudian laki-laki itu bangkit. "Gue ke kelas duluan," ujarnya dan menarik langkah menjauh dari lapangan.

Dan Ardi memilih untuk mengambil jalan memutar ke kelasnya, sengaja untuk menghindari Elara.

"Lo tau kenapa cowok macem Ardi bisa suka sama Elara?" tanya Dimas, tatapannya masih terfokus pada Elara yang kini sedang mengikuti Ardi.

"Kenapa?"

"Itu gue nanya, goblik!"

Mendengar itu, Reza mengangkat kedua bahunya. "Au dah, mungkin karena the heart wants what it wants. Seperti lagu mba Selena."

Dimas langsung saja melempar bola basket di tangannya ke arah Reza. "Tai!"

...

"Lo marah ya?" Entah sudah keberapa kalinya Elara bertanya seperti itu kepada Ardi yang kini sedang memasuki kelasnya.

Ardi hanya diam saja, tidak mengangguk atau pun menggeleng. Elara benci sekali jika pertanyaan atau pernyataanya tidak ditanggapi sama sekali oleh orang-orang yang sedang berbicara dengannya.

Maka, dengan tangan kanannya yang bebas Elara menahan lengan Ardi yang ingin membuka tas hitamnya itu. "Lo tau kan gue gak suka dicuekkin, Ar!"

"Marah kenapa?" Ardi akhirnya mengeluarkan suaranya. Mata laki-laki itu melihat teman-temannya yang menyibukan diri mencatat entah apa—berpura-pura tidak memperhatikan dirinya dengan Elara.

"Soal tadi pagi?" Suara Elara terdengar hati-hati.

"Enggak."

Elara memutar kedua bola matanya, semua orang pasti tahu jika Ardi sedang marah. Terlihat jelas dari sikapnya. "Tapi lo kayak marah sama gue."

Ardi hanya menggelengkan kepalanya. Karena untuk apa juga ia marah dengan adegan sahabatnya membocengi Elara dan menggandeng tangan gadis itu. Justru mungkin tindakan Dimas memang sudah tepat.

"Terus kenapa chat gue gak ada yang lo bales?!" Suara Elara terdengar kesal sekarang.

"Hape gue di tas, ini gue mau ambil. Minggir dulu." Tangan Ardi memengang kedua sisi lengan Elara dan menyingkirkan gadis itu dari hadapannya. Lalu, tangan Ardi meraih tas ranselnya. Mengeluarkan benda pipih hitam itu.

35 notifikasi Line, 23 notifikasi WhatsApp dan 12 panggilan tak terjawab.

Itu semua dari Elara memang.

Mata Ardi beralih melihat ke arah gadis itu yang sekarang sibuk memperhatikan langit-langit kelasnya, seolah-olah itu sangat menarik.

"Nyampah banget." Tanpa ingin membuka semua chat itu, Ardi langsung menghapus semuanya.

Dengan gerakan cepat pula, tangan Ardi meraih botol minum yang diberikan oleh Selma tadi.

"Nih minum ini aja, jangan minum yang itu!" Elara langsung mengambil alih botol air mineral itu dari tangan Ardi dan memberikan infused water yang sengaja Elara bawa dari rumah.

Elara tersenyum tertahan saat Ardi menerima botol minum itu dari tangannya. Dan yang sekarang Elara lihat adalah lelaki itu melangkah keluar kelas. "Mau ke mana?"

"Kantin," jawab Ardi singkat. Elara mengekorinya dari belakang dan menarik ujung seragam Ardi yang memang tidak laki-laki masukkan ke dalam celana.

"Lo jalan buru-buru amat sih, Kak!"

Ardi mencoba untuk tidak peduli dengan ucapan Elara itu dan matanya menangkap Dimas dan Reza yang sudah lebih dulu berada di sana.

"Nih, Dim dari Elara." Sebelum duduk di samping Dimas, Ardi memberikan infused water itu ke depan Dimas. Elara yang duduk di hadapan Ardi mendengus.

"Tau aja gue lagi aus, thanks Ra!" kata Dimas dengan senyuman 1000 watt-nya yang anehnya tidak mempan untuk Elara.

Elara hanya membalasnya dengan anggukkan kecil. Matanya melotot tajam ke arah Ardi seakan mengatakan; ngapain-sih-lo-malah-kasih-ke-dia?! Sedang Ardi, mana peduli.

"Ada anak baru. Cantik banget." Reza tiba-tiba membuka suaranya.

Elara yang memang duduk di sebelahnya langsung menghadap ke arah Reza. "Gue aduin lo ke Viorent!" Ancam Elara dengan senyum mengejek.

"Maennya adu-aduan mulu, yang kreatif kek sekali-kali," sahut Reza dan menegak minuman soda di tangannya.

"Lo itu penghasut, Kak Reza!"

"Mana, Za? Kelas berapa?" Ardi malah semakin memperkeruh mood Elara dengan bertanya seperti itu.

Demi apa, gue lagi ada di depan lo sekarang. Sempet-sempetnya ya mau liat cewek laen! batin Elara.

"Ar!" sentak Elara akhirnya, ia sudah tidak tahan.

"Kelasannya Elara," jawab Reza.

Mendengar itu, Elara menoleh ke sampingnya lagi. Keningnya berkerut. "Masa ada anak baru di kelas gue? Kok gue gak tau?!"

"Lo kan mana pernah ada di kelas, Ra." Itu suara Dimas. Elara meringis mendengarnya. Ia hanya tidak masuk di jam pelajaran pertama hingga istirahat.

"Siapa namanya, Za?" Ardi bertanya kembali. Dan itu sengaja. Sebenarnya laki-laki itu sama sekali tidak tertarik atau bisa dibilang tidak peduli.

"Litha. Nah itu tuh orangnya yang duduk sama Tiffany!" Jari telunjuk Reza mengarah pada meja di belakang Ardi.

"Anjir barbie idup," kata Dimas langsung.

Tempat Tiffany ada di belakang Ardi, sebelum sempat Ardi menengokkan kepalanya ke belakang, tangan Elara sudah lebih dulu menahan rahangnya. "B aja tuh anak, jangan diliat!"

"Apaan sih, Ra!" Ardi menepis pelan tangan Elara. Kemudian, melirik ke arah Dimas sebentar.

"Jangan diliat!" Elara masih keukeuh untuk melarang Ardi melihat ke arah Litha.

"Liat aja, Ar. Gak bakalan nyesel lo, gue jamin seratus persen. Ya kan, Dim?" Reza malah semakin gencar mempengaruhi Ardi.

"Iya, cantik banget. Tapi tetep, masih cantikan Elara ke mana-mana," jawab Dimas dan melihat Elara dengan senyumannya yang dibalas ekspresi pura-pura muntah dari Elara.

Ardi melihat ke arah belakangnya tepat di saat anak baru itu—Litha melihat ke arahnya juga.

Shit! Itu beneran orang? batin Elara dengan kedua tangan yang terkepal.

Yakali orang-orangan sawah, Ra;v lol

Ini aku buat alurnya gak terlalu cepet kayak Fire, jadi pelan-pelan aja wk.

Tengkyu yang udah nyempetin baca:*

[ E l a r a ]

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

114K 7.3K 35
「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝You are the shooting star that I always d r e a m of.❞ Bagaimana jika aku menceritakannya...
95.9K 8.9K 31
Bukan tentang siapa yang paling lama menemani. Tetapi tentang siapa yang menopang saat terjatuh. ABP series II ; -𝗟 ©2019...
121K 11.4K 59
CERITA INI BUKAN MILIK SAYA. CERITA INI PENULIS ASLI NYA ADALAH KAK GHINA VASILISSA. ENJOY♡♡ BUT Vote and comment to appreciate this story⚠⚠ Thank yo...