The Red Fox [NARUHINA]

Por SE_I30

44.8K 4.3K 141

Hyuuga Hinata adalah pewaris dari klan tertua di Jepang. Pewaris dari kemampuan yang sudah turun temurun di t... Más

Episode 1: Pertemuan.
Episode 2: Mereka yang berada dalam kegelapan.
Episode 3: Kenangan yang Tertimbun Dalam Hati.
Episode 4: Awal Malam yang Panjang.
Episode 5: Di bawah Bulan Purnama.
Episode 6 : Perasaan dan Kutukan.
Episode 7: Hati yang tidak bertemu.
Episode 8: Yin dan Yang.
Episode 9: Doa Sang Cermin.
Episode 10: Pembawa Pesan.
Episode 11: Awal dari Takdir, Bagian 1.
Episode 12: Awal dari Takdir, Bagian 2.
Episode 13: Awal dari Takdir, Bagian 3.
Episode 14: Awal dari Takdir, Bagian 4.
Episode 15: Awal dari Takdir, Bagian akhir.
Episode 16: Murid Pindahan.
Episode 17: Dream and Reality.
Episode 18: Like Before.
Episode 19: Alasan dan Masa Lalu.
Episode 20: Ketika benang menjadi kusut.
Episode 21: Babak Baru.
Episode 22: Kamu tidak sendiri.
Episode 23: Festival.
Episode 24: Klimaks
Episode 25: The Ending.

Omake

2.8K 191 27
Por SE_I30


Pagi itu langit cerah tanpa ada setitik awan sedikitpun. Seakan langit tak ingin membuat hari indah seseorang menjadi berantakan. Di sebuah rumah tradisional, dengan halaman yang cukup besar dan nuansa kuno yang melekat erat. Terlihat beberapa mobil hitam berkumpul dan berbaris rapi di parkiran mobil.

Seorang laki-laki paruh baya keluar dari salah satu mobil itu. Yukata berwarna abu-abu dengan sabuk obi hitam, membuatnya terlihat berwibawa. Mata lavendernya yang mengabu karena termakan usia, tetap menunjukkan kehangatan.

Lelaki itu memasuki rumah besar dan menuju ke bagian dalam rumah. Ia disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu serta mata perak. Wanita itu membungkuk hormat sebelum menyambutnya.

"Selamat datang di keluarga Otsutsuki, Hyuuga Hizashi-sama."

Hizashi membalas sambutan wanita itu dengan senyum tipis, "Terima kasih telah mau menerimaku di rumah ini, Kaguya-san."

"Tidak masalah, justru seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih. Karena anda mau menggelar rapat tentang ahli waris di kediaman kami, setelah apa yang telah dilakukan putra kami." Mata perak Kaguya berubah sayu, dengan rasa bersalah yang terpancar jelas di matanya.

Hizashi menepuk pundak wanita itu dan tersenyum ramah, "Yang telah berlalu, biarlah berlalu. Karena itu juga yang diinginkan Hinata."

Kaguya menurunkan wajahnya, setetes air mata jatuh di pipinya. "Meski begitu, kami harus tetap menghukumnya. Karena bukan hanya dia telah menodai tangannya, ia juga bahkan membuat kontrak dengan Iblis. Hal yang tabu bagi Onmyouji."

"Lalu, sekarang Toneri berada di mana?"

Mata perak itu memandang taman bunga yang terletak di samping kanannya. Mata peraknya menerawang jauh, mengingat kembali di mana Putra semata wayangnya berada.

"Dia berada di tempat hukuman..."

Tempat itu berada di bawah tanah, dengan cahaya matahari yang nampak dari sela-sela fentilasi udara. Ruangan yang tidak terlalu besar itu membentuk sebuah ruangan dengan jeruji kayu yang di beberapa tempat ditempeli kertas mantra.

Di salah satu jeruji kayu itu, duduk seorang pemuda dengan rambut abu-abu kusam. Ia memakai baju dan celana putih. Kelopak matanya tertutup rapat sebelum terbuka saat telinganya menangkap sebuah suara.

Suara itu pelan dan ringan. Suara yang berasal dari langkah seorang anak kecil. Mata perak itu memerhatikan saat sosok anak kecil berdiri di tempat gelap. Membuat wajah anak itu tidak kelihatan jelas.

"... kau tidak seharusnya berada di sini, bocah." Laki-laki itu berujar pelan.

"Kenapa?"

"Karena di sini, tempat untuk mereka yang telah melakukan kesalahan."

Anak laki-laki itu terdiam, namun tak lama ia kembali bertanya. "Jadi, kau bersalah?"

Laki-laki itu tertawa pelan, "Bukan hanya itu, karena aku berdosa dan ternoda." Mata peraknya menatap langit-langit yang terbuat dari bebatuan. "Seharusnya mereka membunuhku saja waktu itu. Bukannya malah menyelamatkanku."

"Kau tidak senang telah diselamatkan?"

"Aku lebih senang, bila aku mati dan bertemu lagi dengan Tuanku di dunia sana."

Keheningan menyelimuti mereka berdua, saat keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Sampai suara helaan nafas terdengar di susul suara tawa kecil.

"Begitu. Jadi kau sama sekali tidak berubah, Momoshiki-kun."

Mata perak itu melebar saat nama itu terucap. Nama yang sudah ia pendam begitu lama dan tidak seharusnya seorang anak kecil mengetahuinya. Ia menatap tajam sosok itu, "Siapa kau?"

Perlahan anak kecil itu melangkah mendekat. Hingga wajahnya tertimpa cahaya yang lewat dari celah-celah. Toneri kini dapat melihat dengan jelas sosok anak kecil yang mungkin berumur sekitar dua belas tahun. Rambut hitamnya yang panjang dan lurus di kuncir rendah. Ia memakai kimono biru muda dengan sabuk obi berwarna hitam dan celana panjang hitam. Matanya runcing dengan mutiara kuning terang seperti mata seekor ular.

Toneri dapat merasakan tubuhnya menegang, ia jelas ingat dengan mata kuning itu. serta wajah yang sama sekali tidak asing baginya. Wajah yang selalu ia impikan sejak ingatan kehidupan lampaunya bangkit.

"Kalau kau mati, bagaimana bisa aku memintamu untuk menjadi tangan kananku lagi, Momoshiki-kun."

Mata perak itu bergetar pelan dan setetes air mata jatuh di pipinya, "...Orochimaru-sama..."

...

Lantunan musik jazz mengalun lembut di sebuah ruangan dengan ornamen-ornamen mewah. Banyak tamu yang saling bercakap dan ada pula yang menikmati hidangan yang tersedia. Mereka semua berpakaian rapi dengan setelan dan gaun mewah. Di salah satu panggung kecil berdiri sepasang pengantin dengan senyum bahagia. Mereka menyambut tamu dan terkadang ikut berfoto dengan mereka.

Di salah satu meja bundar, duduk beberapa pemuda dan pemudi. Salah satunya adalah Naruto dan seorang pemuda berambut merah. Siluman rubah itu menoleh, memerhatikan raut wajah sahabat sekaligus tangan kanannya.

Mata hijau Gaara memerhatikan pengantin perempuan yang tak jauh dari tempat mereka. Seorang wanita dengan balutan gaun pengantin indah. Rambut pirang wanita itu digulung hingga memerlihatkan leher jenjangnya. Di sampingnya, laki-laki yang kini telah menjadi Suaminya tengah berbincang dengan kedua teman laki-lakinya.

"Temari-nee-san..." bisiknya pelan.

Gaara tidak pernah membayangkan, akan melihat kembali sosok kakak perempuannya. Tidak hanya itu, di samping wanita itu ia melihat kakak laki-lakinya, Kankuro. Dua orang yang paling ia sayangi, kini berdiri tak jauh darinya, mereka hidup, dan tersenyum bahagia. Hal yang membuat Gaara berusaha untuk menahan tangis haru.

Naruto menepuk pelan pundak sahabatnya, jelas ia tahu bagaimana perasaan Gaara saat ini. Dan ia juga turut merasa bahagia melihat dua orang itu diberi kesempatan untuk terlahir kembali.

"Mungkin sebaiknya kau coba untuk mati, siapa tahu kau terlahir jadi adik mereka."

Gaara mendelik begitu mendengar gurauan konyol temannya. Ia menyikut pelan tulang rusuk Naruto, membuat siluman rubah itu mengaduh.

"Candaanmu sangat payah, Naruto-sama."

Pemuda pirang itu meringis pelan, ia menyandarkan punggungnya sambil tertawa pelan. "Maaf, aku hanya bercanda. Lagi pula kalau kau mati, aku juga yang repot." Kedua mata mereka saling bertemu, "Bagaimanapun, kau itu tangan kanan ku, Rakun-san."

Gaara berdecih pelan namun senyum miring terukir di wajahnya. "Mau bagaimana lagi, karena kau itu teman yang merepotkan."

"Kata-katamu seperti Shikamaru saja."

Tawa kecil hadir di wajah Gaara, ia kembali menatap sepasang pengantin itu dengan tatapan serta senyum tulus. "Mungkin akan menyenangkan jika kelak, aku bisa dekat dengan mereka."

Naruto tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit, "Mau aku kenalkan?"

"Tidak perlu."

"Ugh... jangan menjawab secepat itu, bodoh!"

Perdebatan konyol mereka terhenti saat tiba-tiba musik berubah. Naruto memandang ke atas panggung di mana berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian putih dan merah. Di tangan wanita itu tergenggam sebuah kipas ungu muda dengan corak bunga lavender.

Suara musik seruling dan gendang terdengar melantun lembut. Menjadi pengiring tarian dari Hinata yang kini mulai menari dengan gemulai. Seluruh mata hadirin yang datang tidak bisa lepas dari sosok indahnya. Mata biru laut itupun sama, seketika terkunci dan mengikuti setiap gerakan indah Hinata.

Gadis bulannya, kini menari dan bernyanyi dengan lepas. Senyumnya merekah dan kedua pipi wanita itu bersemu merah. Begitu indah seperti kuncup bunga yang perlahan mekar dengan sempurna. Naruto dapat merasakan jantungnya berdebar keras dan wajahnya memanas.

Ia meraba dada kirinya dan merasakan dentuman pelan jantungnya sendiri. "Hanya kau yang mampu membuat jantung ini berdetak dengan kerasnya."

Sepulang dari acara pernikahan Shikamaru dan Temari, siluman rubah itu langsung mengantar Hinata menuju kediaman Hyuuga. Kini mereka berdua tengah duduk sembari menikmati pemandangan bulan purnama di kamar Hinata.

Ruangan yang tidak terlalu besar itu penuh dengan aroma lavender yang menenangkan. Naruto duduk bersila dengan yukata hitam membalut tubuh atletisnya. Rambut pirangnya sudah lama ia pangkas pendek, membuat garis rahangnya terlihat jelas.

Di sampingnya Hinata duduk dengan tenang. Mata lavendernya ikut memerhatikan indahnya bulan sembari di temani secangkir teh hijau. Gaun yang ia gunakan saat pesta pernikahan kini telah terganti dengan yukata biru muda dan sabuk obi merah tua.

"Hinata," gadis rembulan itu menoleh kala namanya disebut. "Apa kau serius dengan pilihanmu?"

Mata biru laut itu kini beralih untuk bertemu dengan mata perak gadis itu. Naruto ingin memastikan kembali bahwa keputusan gadis itu sudah bulat. Karena bagaimanapun, separuh hatinya menolak dengan pilihan yang gadis itu buat.

Hinata tersenyum lembut, ia bergeser dan duduk tepat di samping Naruto. Ia meraih tangan kekar laki-laki itu dan membawanya kedalam genggamannya.

"Keputusanku sudah bulat, Naruto-kun." Hinata menaruh kembali tangan laki-laki itu sebelum menangkup wajah tampan siluman Rubah itu. "Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Dan kali ini, aku ingin menjadi milikmu sepenuhnya."

Kecupan lembut Hinata berikan pada Naruto sebelum ia mengalungkan kedua tangannya pada leher pemuda itu. "Aku menginginkanmu, Naruto-kun. Jadi, maukah kau menerimaku sebagai Istrimu?"

Naruto mengusap lembut pipi Hinata, begitu hangat dan lembut. Pelan siluman rubah itu mencium pipi putih bersih itu. Kecupan-kecupan lembut yang ia daratkan di kening, mata dan bibir gadis itu. Sentuhan lembut dan penuh hati-hati itu, mampu membuat Hinata merasa nyaman.

"Bagaimana bisa aku menolaknya, saat hati ini jelas menginginkanmu, Hinata." Suara berat itu berbisik lembut di telinga Hinata. Membuat wajah gadis itu memerah malu.

Naruto menggendong Hinata dan membaringkan gadis itu di atas kasur. Kecupan lembut ia berikan di kening sebelum turun ke bibir. Dengan lumatan pelan penuh kasih, keduanya membiarkan naluri dan nafsu mereka untuk menuntun pada malam yang panjang.

.

.

.

Tiga belas tahun kemudian...

Suara tawa terdengar balik balik bukit yang di kelilingi pepohonan. Bersama dengan penghuni hutan lainnya, dua sosok anak kecil terlihat. Sosok anak laki-laki dengan rambut pirang bermata biru laut itu, melompati beberapa bebatuan. Tak jauh darinya, sosok anak kecil lain terlihat, kali ini anak perempuan dengan rambut hitam malam dengan mata biru.

"Onii-chan, tunggu aku!" seru anak perempuan yang lebih kecil.

Anak laki-laki itu berhenti melompat dan berdiri di atas salah satu dahan pohon besar. Senyum lebar dengan dua buah garis halus di kedua pipinya terlihat. Anak laki-laki itu memakai jaket berwarna hitam dengan garis berwarna merah muda.

Ia duduk dan menganyunkan kedua kakinya yang menggantung. Mata biru lautnya menatap sosok adik perempuannya yang berusaha melompati bebatuan. Ia tertawa geli saat melihat adiknya bersusah payah untuk menyusulnya.

"Oi, Himawari! Cepatlah atau Ayah dan Ibu akan memarahi kita!"

Gadis kecil yang bernama Himawari itu mendongak menatap kakak laki-lakinya. Pipinya mengembung lucu dan bibir kecilnya mengerucut. Ia menepuk tangannya, membersihkan debu dan mulai kembali melompat.

"Kau curang, kak!"

Gadis kecil itu memakai sweater berwarna kuning lembut dan rok pendek berwarna merah muda. Ia juga memakai sepatu tinggi berwarna sama dengan rok-nya. Gadis kecil yang berusia sekitar sepuluh tahun itu mencoba untuk melompat kembali. Namun sialnya, salah satu kakinya tidak siap dan membuatnya tergelincir jatuh.

"Onii-chan!"

"HIMAWARI!"

Gadis kecil itu memejamkan kedua matanya saat badan kecilnya terus berguling turun. Ia dapat merasakan beberapa bagian tubuhnya terantuk sesuatu sebelum ia terhempas keluar dari semak-semak.

Himawari meringis pelan dan ia mencoba untuk bangkit. Namun rasa nyeri menyerang kakinya, membuat ia mengaduh dan menatap pergelangan kakinya yang terasa sakit.

"Kau baik-baik saja?" suara baru itu mengejutkan Himawari.

Mata biru laut itu bertemu dengan mata hijau yang menatapnya cemas. Himawari terdiam, saat sosok anak laki-laki dengan rambut pirang yang ia ikat rendah mendekatinya. Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya, yang justru malah membuat Himawari tersentak kaget.

"Eh? Te-telingamu..."

Himawari menyentuh kepalanya dan wajahnya memerah saat ia menyadari kalau tanpa sadar telinga rubahnya muncul. Ia meringkuk hingga membentuk bola dengan wajah menahan tangis. Bagaimana bisa ia memperlihatkan telinganya pada orang asing.

"Jangan lihat aku!" katanya dengan suara ketakutan.

"Kenapa?" anak laki-laki itu bertanya dengan tatapan heran, "Kau terlihat manis dengan telinga itu."

Mata biru laut itu melirik sebelum ia menatap anak laki-laki itu sepenuhnya, "Su-sungguh?"

Bocah pirang itu mengangguk dengan senyum ramah, "Sungguh! Jadi tidak perlu malu."

Telinga putih itu bergerak pelan, dan saat melihat wajah Himawari yang kini berseri. Anak laki-laki itu terkekeh pelan. "Apa kau bisa berdiri?"

Himawari menggeleng pelan dan telinga rubahnya turun. "Sakit... aku ingin kakakku!"

"Jangan menangis, aku yakin sebentar lagi kakakmu pasti datang." Anak laki-laki itu mendekat dan menyematkan sebuah bunga di sela kuping Himawari. "Sambil menunggu, bagaimana kalau menemaniku melukis?"

"Melukis?" Himawari melirik sebuah buku sketsa dalam genggaman anak laki-laki itu.

Bocah pirang itu duduk di samping Himawari dan membuka lembar demi lembar buku sketsanya. Membuat gadis kecil itu kagum akan hasil kumpulan gambar-gambarnya. Mata biru laut Himawari berbinar indah dengan senyum lebar.

"Indah!" Himawari menatap bocah itu dengan antusias, "Bisakah kau melukisku?"

"Tentu!"

Himawari segera merapikan rambut pendek sebahunya dan mencoba untuk menutupi telinga rubah yang masih belum mau menghilang. Bocah pirang itu terkekeh pelan melihat wajah cemberut gadis kecil itu.

"Kau tidak perlu menutupinya, aku akan lebih senang kalau kau tampil apa adanya."

Gadis itu terlihat ragu, selama ini ia tidak pernah menunjukkan sosok aslinya saat berada di sekitar kota. Hanya di rumah dan di hutan saat ia bersama kakaknya, ia berani memperlihatkan sosok aslinya. Tapi melihat senyum tulus anak laki-laki itu, akhirnya Himawari mengangguk dengan senyum cerah.

Mata hijau itu mengerjap saat sosok anak perempuan di depannya mulai berubah. Rambut hitam malamnya tetap sama, namun ekor rubah berwarna putih itu berdiri tegak. Dari balik jaket kuning lembut itu muncul ekor berbulu perak dan mata biru gadis kecil itu berubah perak.

Senyum menawan hadir di wajah bulatnya dengan guratan halus di keduanya mempermanis figurnya. Untuk sesaat bocah pirang itu tertegun dengan keindahan yang baru kali ini ia temui. Pensil dalam genggamannya tanpa ia sadari bergerak pelan. Menarik garis demi garis untuk segera mengunci keindahan yang ia lihat pada kertas putih itu.

"Himawari!"

Gadis kecil itu menoleh dan tersenyum lebar melihat sosok anak laki-laki bersurai kuning terang, berlari ke arahnya. Anak laki-laki itu menghampiri adik perempuannya, memeriksa keadaan gadis kecil itu sebelum menemukan pergelangan kaki adiknya memerah.

"Kita harus cepat pulang dan meminta Kaa-san menyembuhkanmu!"

Dari suaranya, Himawari tahu bahwa kakak laki-lakinya sangat mencemaskannya. Ia mengangguk dan mencoba untuk berdiri, namun gagal dan ia terkejut saat kakaknya sudah menyodorkan punggungnya.

"Naiklah, akan aku gendong."

"Um, terima kasih, Onii-chan!"

Setelah Himawari berada dalam gendongannya, barulah laki-laki itu menyadari sosok yang menemani adik kecilnya. Mata biru lautnya menyipit tajam, penuh selidik.

"Kau siapa?"

"Onii-chan! Dia menemaniku dan memberitahuku kalau Onii-chan pasti akan datang!" Ujar Himawari dengan senyum merekah.

Anak laki-laki itu menatap adiknya sebelum beralih pada anak laki-laki yang mungkin seusia dengannya. "Begitukah? Terima kasih sudah menemani adikku-dattebasa!"

"Tidak masalah, aku senang bertemu dengan adikmu."

"Ah! boleh aku tahu namamu?" Himawari bertanya dengan tangan yang terulur.

Bocah pirang itu menaruh pensilnya dan meraih genggaman gadis kecil itu.

"Inojin, namaku Yamanaka Inojin."

"Salam kenal Inojin-kun!" Himawari tersenyum cerah "Namaku Uzumaki Himawari!"

Inojin tersenyum lembut, "Senang bertemu denganmu, Himawari-chan!"

.

.

.

Fin...

yeah akhirnya cerita ini selesai. Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini. Semoga yang membaca bisa terhibur dengan cerita ini. Salam hangat dariku...

Seguir leyendo

También te gustarán

47.5K 2.7K 4
I was the war...she was the peace. I was the disaster...she was the beauty I was the sorrow...she was the happiness She was my salvation I was her de...
222K 18.8K 27
•SasuSakuFanfiction• Highest rank #Rank1 in narutofanfic #Rank1 in sasusakufanfic #Rank1 in ssl #Rank2 in comfort #Rank2 in uchihasasuke #Rank2 in ha...
62.1K 4.2K 10
Cerita tentang bahagianya pernikahan Sasuke dan Hinata sekaligus suka duka membangun rumah tangga. squel dari L.O.V.E Diharapkan untuk membaca squel...
4.2K 467 8
[Prequel Golden Memories] "Some people are meant to fallin' love but doesn't mean to be together" Disclaimer: Naruto by Kishi-sensei Fanfic by nafasn...