The Red Fox [NARUHINA]

By SE_I30

44.8K 4.3K 141

Hyuuga Hinata adalah pewaris dari klan tertua di Jepang. Pewaris dari kemampuan yang sudah turun temurun di t... More

Episode 1: Pertemuan.
Episode 2: Mereka yang berada dalam kegelapan.
Episode 3: Kenangan yang Tertimbun Dalam Hati.
Episode 4: Awal Malam yang Panjang.
Episode 5: Di bawah Bulan Purnama.
Episode 6 : Perasaan dan Kutukan.
Episode 7: Hati yang tidak bertemu.
Episode 8: Yin dan Yang.
Episode 9: Doa Sang Cermin.
Episode 10: Pembawa Pesan.
Episode 11: Awal dari Takdir, Bagian 1.
Episode 12: Awal dari Takdir, Bagian 2.
Episode 13: Awal dari Takdir, Bagian 3.
Episode 14: Awal dari Takdir, Bagian 4.
Episode 15: Awal dari Takdir, Bagian akhir.
Episode 16: Murid Pindahan.
Episode 17: Dream and Reality.
Episode 18: Like Before.
Episode 19: Alasan dan Masa Lalu.
Episode 20: Ketika benang menjadi kusut.
Episode 21: Babak Baru.
Episode 22: Kamu tidak sendiri.
Episode 24: Klimaks
Episode 25: The Ending.
Omake

Episode 23: Festival.

1K 117 1
By SE_I30

.

.

.

"Hei! Dimana alat jahit yang ku simpan?"

"Dimana Paku dan alat lainnya?"

"Hei! Jangan main-main dan cepat kerjakan!"

Suara ramai dari murid-murid yang disibukan terdengar. Siang ini para murid Konoha benar-benar bersemangat. Itu dikarenakan festival seni yang merek tunggu, tinggal menghitung jari. Semua bekerja keras untuk mensukseskan acara sekolah mereka.

"Hinata bisa kau bawakan kardus ini?" salah satu murid perempuan berseru. Ia menyerahkan dua buah kardu pada Hinata. "Setelah itu coba cek kostum yang sudah selesai."

"Eh-ah! ba-baik!"

"Oi Hinata! Jangan lupa kita ada latihan di aula!" Kiba berseru saat melihat teman lavendernya hendak keluar kelas.

Hinata membalasnya dengan anggukan. Dirinya terlalu lelah walau hanya untuk bersuara. Selama persiapan, dia tidak menyangka akan begitu merepotkan. Tidak hanya latihan drama, ia juga dimintai tolong teman-temannya. Mengerjakan ini dan itu, dan tanpa sadar hal itu membuatnya langsung tertidur begitu tiba di rumahnya.

Manik lavender Hinata terlihat tidak fokus. Deru nafasnya tidak beraturan setelah ia menyelesaikan tugasnya. Saat ini ia tengah menyendiri di taman belakang sekolah. Kabur lebih tepatnya, karena ia sudah tidak tahan untuk bersandar dan mengambil nafas panjang.

Suara langkah terdengar, mengalihkan atensinya dan bertemu dengan manik biru laut. Naruto tersenyum tipis, di kedua tangannya terdapat minuman dingin. Remaja pirang itu menghampiri dan menyerahkan salah satunya ke Hinata.

"Te-terima kasih..." Hinata menerimanya namun tak berani menatap langsung mata Naruto.

Sementara pemuda itu duduk di samping Hinata, dan meminum jus kaleng miliknya. Sepi menyelimuti, tanpa ada salah satu yang berniat membuka suara. Keduanya menikmati semilir angin yang terasa lembut dan sejuk.

"Kau tidak apa-apa?" Naruto berujar tanpa menoleh.

Hinata hanya menatap minuman kalengnya, tanpa ada niat untuk menjawab. Baginya pertanyaan Naruto sangat sulit untuk untuk dijawab. Manik biru laut itu akhirnya melirik, jelas ia tahu bahwa gadis itu memaksakan dirinya. Salah satu tangannya terulur, berniat menyentuh rambut panjang itu dan mengusapnya lembut.

Namun, ia kembali menarik tangannya dan menaruh kepalan tangannya di sampingnya. Naruto tidak tahu, bagaimana ia harus bersikap. Hinata memintanya untuk tidak bersikap baik padanya, namun yang ingin ia lakukan adalah memeluknya, memanjakannya.

Naruto menghela nafas pelan, "Sebenarnya pemilihan Romeo dan Juliet itu disabotase oleh Sakura."

Manik lavender itu mengerjap, Hinata sontak menoleh menatap Naruto dengan mata melebar. Pemuda itu kembali berujar tanpa menoleh ke Hinata.

"Dan anak-anak sengaja membuatmu sangat sibuk akhir-akhir ini." Manik biru laut itu akhirnya melirik. Mempertemukan kedua mata berbeda warna itu. "Mereka melakukannya, agar kau tidak punya waktu untuk bersedih."

Kedua manik lavender itu berkilat, bibirnya terkatup rapat. Mencoba mempertahankan dirinya agar tidak terisak. Hinata kehilangan kata-kata, hatinya terharu dengan apa yang sudah teman-temannya lakukan. Dan seketika ia merasa bersalah karena sudah kabur dan bersembunyi di sini.

Naruto tertawa pelan, "Pasti kau menyesal karena bolos."

Gadis itu menggeleng cepat, ia beranjak tiba-tiba dengan wajah gugup. "A-aku tidak bolos! Cu-Cuma istirahat sebentar!"

"Cuma yah..." seringaian jahil hadir di wajah siluman rubah.

Hal itu membuat wajah Hinata terasa panas, "Su-sudahlah! Aku duluan!"

Hinata segera melangkah, berniat kembali ke kelasnya. Namun langkahnya terhenti begitu Naruto menahan tangannya. Manik lavender itu menoleh, menatap heran pemuda pirang yang saat ini tengah menunduk.

Remaja pirang itu masih terdiam, namun genggamnya mengerat. Menimbulkan dentuman lebih cepat bagi jantung Hinata. Wajah gadis itu kini telah memerah, dengan perasaan gugup yang hadir tiba-tiba.

"Ti-tidak bisakah kita... seperti ini sebentar lagi?"

Naruto memalingkan wajahnya, mencoba menutupi rona merah yang hadir di kedua pipinya. sementara itu, Hinata sudah melebarkan mata dan mulutnya. Antara kaget dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar saat ini.

Angin yang berhembus pelan, seakan menjadi dorongan tak kasat mata bagi Hinata. Membuat ia mengangguk pelan dan membalas genggaman tangan Naruto yang kian mengerat.

Waktu yang terasa berhenti bagi mereka berdua, membuat keduanya tidak menyadari sepasang mata memerhatikan dari jauh. Minuman kaleng dalam genggamannya remuk hingga menumpahkan isinya begitu ia mengeratkan genggamannya. Seakan meluapkan amarah yang sudah tidak bisa ia bendung lagi.

...

Suara kembang api dengan ramainya suasana di pagi hari memeriahkan Festival Seni Konoha. Murid-murid yang bertugas mempromosikan kelas mereka berada di gerbang sekolah. Menyambut mereka yang datang untuk menikmati festival.

Tenten dengan gaun berenda berwarna merah maroon dengan gaya Eropa, berdiri bersama jajaran murid-murid lainnya. Membagikan selebaran brosur untuk mempromosikan kelas mereka yang mengadakan pentas drama.

"Pentas drama Romeo dan Juliet jam sepuluh! Silahkan mampir dan menonton!" Tenten mengeluarkan suara terkerasnya. Ia menghentikan salah satu pengunjung dan memberikan mereka selebaran. "Silahkan, kami pentas dengan tema genderbander! Jangan sampai kalian melewatkannya!"

Sementara itu di aula sekolah tempat pentas akan diselenggarakan. Murid-murid kelas Hinata sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Sakura sibuk memberi arahan kepada teman-temannya sebelum ia menyadari kalau tokoh utama hari ini belum kelihatan.

"Ne, apa Naruto dan Hinata-chan belum selesai?"

Salah satu murid perempuan dengan rambut serta mata hitam segera berlari ke arahnya. "Hinata-chan sedang berganti baju. Kalau Uzumaki-san, aku tidak tahu."

Kiba yang sibuk mempersiapkan layar, segera berdiri. "Kalau Naruto, aku melihatnya di ruang ganti. Dan aku rasa, dia sudah lama di sana." Remaja bersurai coklat itu memasang pose berfikir.

"Mou! Apa yang dilakukan bocah itu, sih!" Sakura menyentak kakinya dengan perasaan gusar. "Kiba, coba cek bocah bodoh itu!"

"Kenapa aku, sih?! Kau tidak lihat aku lagi sibuk?"

Manik hijau itu menyipit tajam, "Apa kau bilang?"

Kiba menelan ludah gugup dan ia segera berlari, "Akan aku panggilkan!"

"Sial, disaat lagi sibuk begini juga!" Sakura mendengus pelan. Saat ia mendengar suara langkah, gadis musim semi itu langsung menoleh. Manik hijaunya berbinar begitu ia melihat sosok yang ia cari. "Hinata-chan, kau keren sekali!"

Wajah Hinata bersemu merah, ia mencoba merapikan kerah dengan dasi merumbai di lehernya. Gadis itu kini memakai kemeja putih dengan celana bahan berwarna hitam. Ia juga mengenakan vest berwarna abu-abu, serta jas berwarna hitam dengan sepatu boot hitam legam. Rambut biru malamnya ia kuncir rendah dengan tali putih.

"Lepaskan aku, Kiba!"

"Sudah cepat masuk atau Sakura akan membunuhku!"

Suara Kiba dan Naruto jelas menarik perhatian Sakura dan Hinata. Keduanya menoleh hanya untuk terpaku melihat penampilan teman pirang mereka. Naruto datang dengan gaun rumbai berwarna oranye lembut. Rambut pirang panjang itu melewati pinggul dengan hiasan bunga mawar merah terselip di dekat telinganya.

Manik perak Hinata mengerjap beberapa kali, harus ia akui. Kalau penampilan Naruto tidaklah buruk. Siluman rubah itu justru tidak disangka sangat cocok berpenampilan seperti perempuan. Jika bukan karena warna kulitnya yang agak kecoklatan serta tinggi badannya. Hinata yakin, banyak laki-laki yang akan tertipu dengan penampilan Naruto.

Manik biru laut itu melirik malu dan wajahnya berubah merah begitu menyadari Hinata menatapnya tanpa berkedip. Ia berdehem pelan, guna menghilangkan rasa malunya dan menyadarkan Hinata.

"Ka-kau cocok juga dengan pakaian itu."

"Eh-Ah, te-terima kasih, Naruto-kun." Hinata menunduk malu, "Ka-kau juga pantas dengan gaun itu. Cantik sekali," ia mengatakannya dengan jujur.

Namun Naruto sama sekali tidak merasa senang dengan pujian itu. Siluman rubah itu hanya bisa tertawa hambar dengan wajah lesu karena gadis yang dia sukai malah memujinya cantik. Sementara itu Kiba dan Sakura saling menahan tawa geli.

"Aku yakin pentas drama kita pasti akan sukses!" Kiba berujar riuh dengan semangat yang lebih dari sebelumnya.

Sakura ikut mengangguk, dia juga mendapat firasat kalau acara mereka akan berhasil begitu melihat Hinata dan Naruto. Manik hijaunya kembali meneliti setiap sudut penampilan Naruto dan Hinata, membuat sahabat rembulannya dilanda rasa gugup.

"A-apa ada yang salah, Sakura-chan?

Gadis musim semi itu menggeleng, "Tidak ada. Aku hanya merasa takjub dengan hasil kerja keras Tenten dan kawan-kawan. Mereka berhasil membuat dadamu yang besar kelihatan datar dan membuat Naruto secantik ini.

Wajah keduanya seketika berubah merah. Perkataan gamblang Sakura membuat Naruto harus menahan diri untuk tidak melepaskan wig, serta gaun yang ia kenakan. Sementara itu Hinata menutupi wajahnya, mencoba melupakan ingatan saat Tenten dan murid perempuan lain mengukur badannya dan membuatnya merasa seperti boneka barbie.

...

Suara musik dan juga narator kini terdengar dari aula sekolah Konoha. Dengan lampu yang dimatikan serta banyaknya kursi yang ditempati membuat Hinata tanpa sadar mulai dilanda perasaan gugup. Dapat ia rasakan tangannya mulai dingin dan rasa mual datang begitu saja.

Naruto berjalan mendekati Hinata, sebentar lagi adalah gilirannya untuk tampil di panggung. Manik biru lautnya melirik Hinata yang sejak tadi hanya menunduk dengan kedua mata terpejam erat. Bibirnya tertarik, membentuk senyum menahan geli.

"Fuh~!"

"Hya!"

Hinata sontak mundur dan menutup telinganya. Mata peraknya melebar saat melihat Naruto sudah berdiri di sampingnya. Remaja pirang itu menyengir lebar, puas melihat reaksi Hinata saat ia meniup telinga gadis itu.

"Apa kau mau pergi ke toilet dulu? Jangan ditahan kalau sakit perut."

Wajah Hinata memerah mendengarnya, jelas ia tahu kalau Naruto hanya menggodanya. Hal itu membuat gadis bulan itu mendengus pelan, "Jangan bercanda disaat seperti ini, Naruto-kun!"

"Ha ha ha! Tapi setidaknya itu membuatmu lebih rilek, benarkan?"

Manik lavendernya mengerjap, ia menatap kedua tangannya yang sudah berhenti bergetar. Sebuah tepukan ia rasakan di kepalanya, membuat Hinata mendongak dan menemukan senyum mentari di wajah Naruto.

"Ja! Aku pergi duluan yah, Romeo!"

Senyuman hangat dari pemuda pirang itu selalu berhasil membuat dadanya terasa hangat. dentuman kecil serta darah yang berdesir. Seakan sudah sangat lama sekali Hinata tidak melihat senyuman itu. Mata lavendernya fokus pada sosok Naruto yang kini berada di atas panggung. Dirinya terlihat lebih bersinar di matanya, lebih dari sebelumnya.

Ketika suara musik berubah, latar panggung berubah. Hinata mulai melangkah menuju panggung yang sama. Tanpa ia sadari, dia berhasil mengucapkan dialog-nya tanpa ada kesalahan. Berakting dengan baik bahkan saat kini mereka masuk adegan Romeo dan Juliet pertama bertemu.

Hinata membungkuk pelan, lalu mengulurkan tangannya pada Naruto. "Maukah kau berdansa denganku?"

"Dengan senang hati," mata biru laut itu menatap lembut sosok Hinata.

Di bagian penonton, Neji menatap pertunjukan dengan raut yang tidak bisa diartikan. Saat ini dia memiliki waktu bebas, dan berniat untuk melihat pertunjukan pentas adik sepupunya. Melihat keduanya dari jauh, membuatnya semakin menyadari lewat tatapan keduanya satu sama lain.

Matanya terpejam dengan rasa sakit di kepalanya. Mereka begitu saling mencintai. Bisik batinnya membenarkan. Apa takdir memang tidak bisa dirubah? Apa mereka memang harus kembali bertemu?

"Romeo... kenapa kau adalah Romeo?" Naruto menatap sendu Hinata yang ada di depannya.

Saat ini mereka tengah berada di adegan saat Romeo diam-diam menemui Juliet di beranda kamarnya. Hinata mengeratkan genggamannya, entah mengapa perasaan sesak hadir di dadanya. Terlebih begitu ia membalas tatapan mata biru laut di depannya.

"kumohon, kalau kau memang mencintaiku..." manik biru laut itu bergetar pelan. "Buang saja semua. Baik nama maupun status juga masa lalu." Naruto memejamkan matanya dan mencium lembut tangan Hinata. "Dan tetaplah bersamaku. Karena asal ada dirimu, itu sudah cukup bagiku."

Getaran aneh itu kembali, membuat Hinata membuka mulutnya hanya untuk kembali tertutup. Matanya memanas dan perlahan netranya mengabur. Ia tahu, bahwa dialog itu, tatapan itu, bukan lagi akting. Tetapi perasaan Naruto yang sebenarnya. Memintanya untuk melupakan segalanya, termasuk kisah cinta masa lalu mereka. Dan memulai semuanya dari awal.

Hanya antara Uzumaki Naruto si murid pindahan, dan Hyuuga Hinata.

"A-aku—"

BLAR!

Kedua manik berbeda warna itu menoleh bersamaan. Saat tak jauh dari tempat mereka berdiri, suara ledakan dan kepulan asap mulai memenuhi panggung. Para pengunjung mengerjapkan kedua mata mereka, memperlihatkan rasa tertarik dengan apa yang akan terjadi. Sementara Neji, melebarkan matanya saat perasaan ngeri tiba-tiba hadir.

"Hinata!" remaja pirang itu segera menarik gadis rembulan itu kebelakang dirinya. Menyembunyikan sosok Hinata dan melindungi gadis itu.

Dari dalam kepulan asap yang mulai menghilang. Sesosok bayangan berdiri tegak, ujung bajunya berkibar pelan. Sebuah mantel berwarna hitam dengan tudung menutupi kepalanya. Cahaya lampu memantul, memperlihatkan kilauan sabit tajam yang berdiri tegak dalam genggamannya.

Saat asap benar-benar menghilang, barulah terlihat wajah pendatang baru itu. Manik lavender itu melebar saat ia mendapati topeng tengkorang menatap ke arahnya. Penampilan bagai malaikat pencabut nyawa, mengundang riuh para pengunjung. Sakura dan teman-teman yang berada di balik layar, sama-sama terkejut.

"Hei! Memang ada adegan seperti itu?!" Kiba yang baru datang segera bertanya pada Sakura.

Gadis musim semi itu menggeleng kuat-kuat, "Tentu saja tidak ada, bodoh!"

Naruto menatap awas terhadap sosok asing yang berdiri di depannya. Aura yang pekat itu mampu membawa rasa dingin ke lehernya. Membuatnya tahu, kalau sosok itu tidak bisa dianggap remeh. Hinata yang berada di belakang Naruto juga dapat merasakannya. Aura yang sama sekali tidak mengenakan dan membuatnya mual.

"Lama tidak bertemu, Hime." Suara datar dan dingin itu bergema dalam aula yang sepi. "Melihat kallian berdua seperti ini, jelas mengingatkanku pada Tiga ribu tahun yang lalu."

Sosok itu melebarkan kedua tangannya lalu mengetuk tanah dengan tongkat sabitnya. Menimbulkan getaran pelan di atas panggung dengan pekat mengelilingi sosok misterius itu.

"Mengingatkanku pada rasa benci dan dendam ini." sosok itu mengayunkan sabitnya dengan sekali hentakan dan menimbulkan dorongan angin kencang yang menyesakkan. "Melihat kalian kembali bersama seperti itu."

"HINATA-SAMA!" Neji berseru keras dan berlari menuju panggung. Namun terhenti saat sebuah suara yang ia kenal terdengar bersamaan angin yang terbelah menjadi dua.

"Heh! Kau masih sama menyebalkannya seperti dulu."

Hinata membuka kedua mata yang entah sejak kapan tertutup. Manik lavendernya melebar saat ia melihat sesuatu bergerak di depannya. Tiga pasang ekor berwarna oranye meliuk-liuk di depannya. Naruto menyeringai lebar dengan matanya yang sudah berubah merah.

"Na-Naruto-kun?"

Remaja pirang itu menoleh dan tersenyum lebar, "Tenang saja. Aku pasti akan melindungimu!"

Remaja pirang itu menatap lurus pada sosok misterius di depannya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat sosok Neji yang menatapnya dengan kelegaan. Sebelum riuh tepuk tangan bergemuruh di dalam aula. Seluruh pengunjung tampaknya mengira ini adalah salah satu bagian pertunjukkan dan mereka menikmatinya.

Membuat siluman rubah itu mendengus geli, antara ingin tertawa dan juga merasa lega dengan kepolosan para manusia di sekelilingnya. Atensinya kembali pada sosok hitam yang sejak tadi hanya diam memerhatikan.

"Jadi, akhirnya kau memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianmu, huh?"

"Aku tidak pernah bersembunyi. Justru kau yang melakukannya, Rubah." Sosok itu melepaskan topeng tengkoraknya dan memperlihatkan sepasang manik rembulan yang amat Hinata kenali.

"Bohong..." Hinata bergumam pelan dengan sekujur tubuhnya yang bergetar pelan. "To-Toneri-kun?!"

Toneri tersenyum sinis dan melirik ke arah Hinata. Ia melambai dengan senyum santai sambil memanggil Hinata. "Ini bukan kebohongan, Hinata-sama." Mata perak itu menyipit tajam dan melemparkan tatapan maut yang mampu membuat Hinata tersentak pelan. "Ini adalah kenyataan yang tidak bisa kau ubah meski terlahir kembali berulang kali."

Tiba-tiba di depan Toneri sebuah asap berwarna hitam mengumpul dan membentuk sebuah sosok laki-laki. Hinata dan Neji melebarkan kedua matanya saat sosok itu semakin jelas terlihat. Tidak hanya mereka berdua, Sakura dan Kiba juga terkejut bukan main saat melihat sosok laki-laki dengan rambut hitam serta yukata putih bergaris yang sangat mereka kenali.

"Tou-sama?!"

Rahang Neji mengeras dengan sorot mata kebencian yang jelas terlihat. Sementara Hinata sudah jatuh terduduk, kedua lututnya lemas dan tak mampu menompang tubuhnya sendiri. Kenyataan bahwa sosok ayahnya yang telah tiada, kini ada di depannya.

Toneri menyeringai, "Butuh waktu lama untuk melumpuhkannya. Dan kalian tidak akan menyangka kalau Hyuuga Hiashi rela mati asal aku tidak menyentuh Putri tersayangnya."

"Kau! Jadi kau yang membunuh Hiashi-sama?!" Neji berseru keras, persetan dengan puluhan mata yang memandangnya heran. "Kenapa? Bukankah kau itu masih keturunan Hyuuga?!"

Suara tawa lolos dari bibir Toneri sebelum ia terbahak keras. "Keturunan Hyuuga? Kau benar, aku terlahir kembali dari garis keturunan wanita dan pria itu. Bukankah takdir benar-benar mempermainkanku?" mata lavendernya menyipit tajam, "Jika saja aku tidak ingat dengan kehidupan lampauku. Mungkin sampai detik ini, aku pasti akan berada di pihak kalian."

Hinata hampir memekik saat tatapan Toneri beralih ke arahnya. Begitu menusuk dan penuh akan kebencian yang membuat gadis itu bergetar. "Semua ini tidak akan terjadi, jika kau dulu menyelamatkan Orochimaru-sama!"

Alis Naruto naik tak mengerti, merasa tidak asing dengan nama itu. Namun ia sama sekali tidak ingat dimana ia pernah mendengarnya. Lamunannya buyar saat Toneri kembali bersuara.

"Kau punya kekuatan penyembuh, seharusnya kau bisa menyembuhkannya. Tapi apa?! Kau jatuh dan hilang ingatan?" Toneri tertawa, seakan apa yang baru saja ia katakan adalah lelucon paling konyol yang pernah ia dengar. "Dan sampai matipun, kau sama sekali tidak ingat dengan janjimu dulu."

"Hentikan omong kosongmu itu!" suara berat Naruto terdengar membelah sunyi yang sempat terjadi. "Tidak ada bukti bahwa apa yang kau katakan itu benar adanya. Dan lagi, tidak seharusnya kau terus terikat dengan masa lalu."

Wajah remaja bulan itu berubah dingin dan datar. "Kau tidak punya hak berkata seperti itu, rubah." Tangannya terangkat dan dalam sekali jentikan, sosok Hiashi mulai berubah menjadi abu. Perlahan hilang terbawa angin dan menyebar keseluruh aula sekolah. "Jika kalian menganggapku berbohong. Maka akan kubuat kalian melihat kebenarannya."

"Uhuk uhuk!"

Neji sontak menoleh saat tiba-tiba saja para pengunjung terbatuk keras. Wajah mereka memerah sambil memegangi tenggorokan mereka. Seperti tercekik, mereka yang berada di aula tidak bisa berhenti batuk.

Begitu pula dengan Sakura dan Kiba yang ada di balik layar. Mereka menunjukkan raut kesakitan membuat Hinata menatap mereka khawatir. Tanpa ia sadari seseorang mengedap di belakangnya dan mengangkat sebuah balok kayu dan siap menghantamnya ke kepala Hinata.

"Hinata!"

Naruto memeluk gadis bulan itu dan melompat menjauh. Manik lavender Hinata melebar saat ia melihat sosok Sakura. Orang yang hampir memukulnya dengan balok kayu. Gadis musim semi itu menatapnya dengan pandangan kosong. Ia berjalan terhuyung sebelum tiba-tiba kembali menyerang Naruto dan Hinata.

Remaja pirang itu berdecak kesal, ia mencoba melompat kembali. Tapi sialnya salah satu kakinya menginjak gaun yang ia kenakan. Membuat Naruto dan Hinata terjerembab. Silumaan rubah itu meringis pelan saat rasa panas di wajahnya ia rasakan. Ia mengusap pelan hidungnya yang mencium lantai.

"Na-Naruto-kun kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik. Gaun ini benar-benar menyusahkan!" tanpa pikir panjang, Naruto langsung melepaskan gaun itu dan menampilkan dirinya yang memakai kaus putih dan celana olahraganya. "Ini lebih baik!"

"Mereka dikendalikan!" suara Neji terdengar, pemuda itu berusaha melumpuhkan pengunjung tanpa melukai mereka. "Sepertinya akibat abu yang dikeluarkan Hiashi-sama."

Hinata mengalihkan atensinya menuju Toneri yang masih berdiri tenang. Ia tidak mengerti bagaimana bisa Toneri melakukan hal seperti ini. Gadis rembulan itu mengingat dengan jelas masa kecilnya dengan pemuda itu. Mereka selalu bersama dengan Neji dan Tenten, menikmati masa kecil mereka dengan canda dan tawa.

Tapi, apa yang baru saja ia dengar tadi sama sekali tidak bisa ia terima. Toneri, teman masa kecilnya telah membunuh ayah kandungnya. Ia juga menunduhnya karena semua ini adalah kesalahan dirinya. Karena ia tidak menyelamatkan laki-laki yang bernama Orochimaru. Tapi ini adalah kali pertama ia mendengar nama itu, ia sama sekali tidak mengingatnya.

"Karena itu aku akan membantumu, untuk mengingat semuanya." Suara bisikan di telinganya seketika membuat tubuh Hinata menegang.

Dalam sekali hentakan yang entah dari mana. Kini tubuh Hinata sudah melayang menuju tempat Toneri berada. Suara teriakan Neji dan Naruto dapat ia dengar bersamaan dengan tangan besar yang mencengkram di lehernya.

"Ukh!"

Hinata mencoba melepaskan cengkraman tangan itu. Kakinya sama sekali tidak menapak lantai, membuatnya semakin ketakutan. Sebelah matanya terbuka dan terkejut mendapati laki-laki bersurai merah yang pernah ia lihat dulu.

"Sasori!" desis Naruto menahan amarah.

Entah darimana laki-laki itu muncul dan berdiri di samping Toneri. Tangannya mencekik Hinata dan membuat gadis itu kesulitan bernafas. Neji dan Naruto sama-sama menyerang mereka berdua, berniat untuk menolong Hinata.

Namun tiba-tiba di depan mereka, para pengunjung yang dikendalikan menjadi benteng. Menahan mereka dan mendesak mereka untuk mundur. Toneri menatap Hinata datar dan dingin, sebelum ia berjalan mendekat. Membuat sekujur tubuh Hinata merinding dan suhu tubuhnya turun menjadi dingin.

Toneri meletakkan telunjuknya pada kening Hinata dan setelahnya mata gadis itu perlahan menutup. Setelah yakin bahwa Hinata telah tertidur, Sasori melepaskan cengkramannya. Membiarkan Hinata jatuh tak sadarkan diri atas panggung.

Mata perak itu berkilat saat memandang datar sosok Hinata. "Kau harus mengingatnya, karena semua ini adalah kesalahanmu."

.

.

.

To Be Continue...

Continue Reading

You'll Also Like

222K 18.8K 27
•SasuSakuFanfiction• Highest rank #Rank1 in narutofanfic #Rank1 in sasusakufanfic #Rank1 in ssl #Rank2 in comfort #Rank2 in uchihasasuke #Rank2 in ha...
45.3K 5.7K 27
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
9.5K 748 24
Cerita tentang kehidupan Jimin, yang berusaha mendapatkan kasih sayang ibunya, diwarnai dengan kisah cinta yang tak mudah. Cerita ini bener bener cum...
193K 10.5K 20
#Note! : Dianjurkan untuk baca lebih dulu "Marriage Life" sebelum membaca ini.# "Perasaan ini akan menyatukan kita atau malah akan menghancurkan kita...