Dunia Kepenulisan I (The Writ...

By Ariestanabirah

1.7K 205 0

Sraylira Melati, adalah calon penulis novel yang menyukai genre misteri. Suatu hari ia bertemu dengan Dilly P... More

Chapter I.A
Chapter I.B
Chapter II.A
Chapter II.B
Chapter III.A
Chapter III.B
Chapter IV.A
Chapter IV.B
Chapter V.A
Chapter V.B
Chapter VI.A
Chapter VI.B
Chapter VII.A
Chapter VII.B
Chapter VIII.B
Chapter IX.A
Chapter IX.B
Chapter X.A
Chapter X.B
Chapter XI.A
Chapter XI.B
Chapter XII.A
Chapter XII.B
Chapter XIII.A
Chapter XIII.B
Spesial I: Erika
Spesial II: Blueray

Chapter VIII.A

31 6 0
By Ariestanabirah

-Sraylira Melati-

"Sraylira Melati?" Wanita berwajah cantik itu memanggilku. Dengan cepat aku menganggukkan kepala. Dia memintaku duduk di sebuah kursi di hadapannya. Ia memandangku dari bawah ke atas beberapa kali. Dia seperti penyidik dibandingkan pewawancara. Kulirik badge yang terselip di pakaian terusan serba merahnya. ERIKA.

"Mengapa kamu tertarik menjadi asisten editor?" tanyanya sambil tersenyum ramah. Dari balik senyumnya yang lebar terlihat gigi gingsul yang membuatnya semakin manis, hidungnya lurus dan mancung, matanya lembut dan bersahabat, diperkuat dengan bola mata bewarna biru. Tampaknya Nona Erika adalah orang yang menyenangkan.

"Karena passion saya ada dalam dunia penulisan," jawabku singkat. Nona Erika berdiri dan berjalan ke arahku. Tubuh proporsionalnya benar-benar sangat enak dilihat. Dia benar-benar anggun dan berkharisma. "Apakah kamu pernah punya pengalaman?"

"Belum ada. Saya hanya berpengalaman dalam menulis dan merevisi tulisan sendiri saja."

Nona Erika mengangguk-angguk kecil. "Aku memiliki selembar kertas berisi cuplikan naskah. Tugasmu adalah menemukan kesalahan dan memperbaikinya. Kemudian ada selembar lagi yang kosong, di kertas kosong silahkan ceritakan mengenai dirimu entah itu mimpimu atau apa pun yang berhubungan denganmu." Nona Erika menyerahkan dua lembar kertas dan sebuah pena padaku.

Seperti seorang anak sekolah yang menerima kertas ujian, aku segera menyambar kertas-kertas itu dan menulis jawaban. Nona Erika yang bertugas mengawasi ujianku diam membisu di kursi kebesarannya. Ruangan tempatku berada saat ini adalah ruang pimpinan redaksi. Nona Erika juga CEO perusahaan penerbitan ini.

Beberapa hari lalu, Anis menunjukkan padaku lowongan sebagai asisten editor. Karena aku sedang bebas habis skripsi, aku melamar kerja di sini. Meski aku belum menjadi penulis, aku berpikir menjadi asisten editor bisa mendekatkanku pada mimpi. Meski hanya berjalan satu langkah pun tak apa. Aku ingin membuat sebuah perubahan yang baik dalam mengasah kemampuanku menyunting.

Dan aku baru ingat kalau perusahaan ini adalah perusahaan tempat Dilly bekerja sebagai editor. Syukurlah aku tak melihatnya di sini.

Beberapa pelamar yang juga mengincar posisi asisten editor telah diseleksi sebelumku. Aku adalah pelamar terakhir karena itu saat ini rasanya agak angker karena hanya berduaan dengan pimpinan redaksi.

Setelah selesai Nona Erika mengamati kertas jawabanku dan mengangguk-angguk. "Jika kau diterima, kau akan menjadi rivalku. Jika tidak, kami yang rugi karena kemampuanmu," keluh Nona Erika. Aku menatap Nona Erika dengan penuh tanda tanya.

Apa itu rival?.

"Okelah. Silahkan kamu tunggu keputusan selanjutnya. Terima kasih telah melamar."

****

Beberapa pasang mata menatapku penuh selidik sementara pada Nona Erika yang berjalan di depanku bak seorang ratu yang dihormati para rakyatnya ditatap dengan penuh hormat. Ah, ini hari pertamaku bekerja sebagai asisten editor. Berjalan di samping kananku seorang anak kecil berusia dua belas tahun, namanya Blueray. Dia hanya mengatakan namanya ketika aku mengajaknya berkenalan. Aku tak tahu mengapa Blueray di sini. Apa mungkin dia anak Nona Erika?

"Baiklah semuanya. Hari ini kita kedatangan teman baru." Nona Erika melirikku dan Blueray. "Sraylira Melati dan Blueray. Mereka akan menjadi asisten editor mulai hari ini." Aku membelalakkan mataku pada Blueray. Anak ini menjadi asisten editor? Anak kecil? Bagaimana bisa? Bukankah di persyaratan, ada syarat pendidikan minimal Strata I?

"Salam kenal. Saya Sraylira Melati," aku menundukkan kepala tanda memberi salam perkenalan.

"Perkenalkan. Namaku Blueray. Tolong jangan permasalahkan nama dan usiaku. Tidak semua yang terlihat adalah kebenaran. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Blueray memberikan senyum licik pada semua orang yang melihat kami.

Nona Erika menepuk pundakku dan Blueray. "Meja kerja kalian di sana. Karena kalian berdua asisten editor, kalian akan satu tempat."

Aku melirik Blueray. Kesan pertamaku padanya tidak terlalu bagus. Meski dia anak kecil, kata-katanya begitu dewasa dan menusuk. Tunggu! Bagaimana dengan sekolahnya?

"Mana Dilly?" tanya Nona Erika setelah matanya menyapu bersih seluruh ruangan hingga sudut-sudutnya. Seorang wanita mengangkat tangannya, "Dilly tengah berjumpa dengan seseorang. Dia bilang siang nanti kembali ke kantor."

Ah ya~ aku lupa kalau Dilly di sini.

****

"Namaku Cherry, editor fiksi. Oh ya, ini naskah yang lolos tapi belum direvisi. Kalian bisa melakukannya, kan?" Wanita berwajah manis itu menyerahkan empat buah print out padaku dan Blueray. "masing-masing dua naskah untuk hari ini. Jika kalian sudah selesai, kalian bisa pulang."

Setelah Cherry berlalu. Aku dan Blueray berbagi naskah. Naskah-naskah yang disodorkan pada kami tergolong tipis. Berkisar 100-150 lembar. Mungkin Cherry hendak menguji seberapa jauh kemampuan kami dalam menyunting. Sedetik setelah menerima naskah, Blueray segera mengeluarkan pena, spidol, dan kertas memo dari tasnya. Kemudian dia tenggelam dalam balutan kata-kata.

Anak sekecil dia sudah mencintai dunia penulisan. Aku tak boleh kalah!

Aku menyusuri kalimat demi kalimat, mencermati dan mencari-cari kesalahan. Satu-satunya mencari kesalahan yang benar adalah mencari kesalahan penulisan!, bukan mencari kesalahan orang lain ~eh. Tapi mencari kesalahan penulisan orang lain, benar!

"Ketika Dua Angsa Bermain." Aku membaca kembali judul naskah yang akan aku revisi. Ini adalah naskah bergenre misteri, detektif misteri. Aku mengingat-ingat novel terbitan perusahaan tempatku bekerja ini. Semua genre yang diterbitkan adalah roman dan ini pertama kalinya ada novel misteri di sini! Aku membaca nama penulisnya, Tery. Aku meneguk air ludah. Pikiranku langsung tertuju pada rentetan buku yang terpajang di rak buku di kamarku, 'A', 'B', 'C' adalah novel-novel misteri yang ditulis oleh Tery. Ah, pantas saja naskah ini langsung menarik sejak halaman pertama. Tery adalah seorang penulis pro. Putri Misteri.

Aku membaca halaman demi halaman dengan takjub, tiap kata-katanya memiliki sihir yang membuatku terpesona dan tak bisa berhenti untuk membaca kata-kata selanjutnya. Sempat tak percaya jika di tanganku sekarang tengah ada naskah seorang pro, naskah yang belum dibaca orang lain selain editornya, Cherry. Naskah yang belum tersebar luas.

Hampir tidak ada kesalahan ketika aku menutup lembar terakhir 'Ketika Dua Angsa Bermain'. Kesalahannya hanya pada catatan kaki, ada catatan kaki pada beberapa kata asing yang harus ditambahkan. Selebihnya, menurutku sudah pas. Penggambaran dan penguatan karakter, penjelasan deskripsi, alur yang memikat, dan trik-trik pengungkapan misteri yang sudah sangat hebat hingga aku tak berani untuk memberi kritik. Yang harus aku tulis di lembar revisi naskah ini hanyalah, "Aku ingin membaca karyamu selanjutnya." Ini benar-benar memuaskan dahaga para pecinta genre misteri. Kurasa Dilly juga berpikiran begitu jika dia membaca naskah ini.

"Ya, selesai deh." Blueray meletakkan alat tulis dan melakukan gerakan peregangan setelah membaca dua naskah dalam beberapa jam. Aku meliriknya sekejap, Blueray memandangku balik dengan tatapan sebal, "Kenapa?" tanyanya.

"Aku heran kenapa kau bisa menjadi asisten editor? Bukankah syarat melamar kerjanya adalah lulusan Strata I? Dan bagaimana dengan sekolahmu?"

Blueray duduk kembali ke kursi dan meneguk segelas air putih. "Aku jadi asisten editor karena aku memang kompeten dan kemampuanku sangat bermanfaat untuk mengisi kursi asisten editor," sombongnya. Ah aku jadi teringat dengan Dilly melihat sikap sombongnya. Anak kecil seperti ini!

"Kemudian, syarat itu diabaikan oleh Bos Erika karena kemampuanku lebih dibutuhkan dibandingkan pelamar yang memenuhi syarat tapi tidak ada skill. Mengenai sekolah, aku sudah lulus SMA kok. Aku mengambil kelas excel. Tahun depan aku berencana keluar negeri untuk melanjutkan pendidikan."

Aku memandangnya takjub. Dalam otakku, aku melakukan perhitungan. Sejak umur berapa anak ini sekolah? Dan seberapa pintar anak ini hingga bisa lulus SMA di usia 12 tahun?!

"Mengapa kau mau menjadi asisten editor?"

Blueray tersenyum licik, "Untuk merasakan atmosfer penerbitan. Aku berencana membangun sebuah penerbitan nanti. Ah, aku juga menulis novel."

Mataku membesar, anak ini menyedot keingintahuanku. "Novel? Novel apa? Novel anak-anak?"

"Novel bergenre science fiction berpadu dengan fantasi."

Hah? Scifi dan fantasi? Dua genre yang sangat jarang di negara ini! Dan seorang anak kecil menulis genre itu? Seperti apa tulisan anak ini? Dia jenius!.

"Boleh kubaca tulisanmu?"

Sebuah naskah diletakkan Blueray ke tanganku. Kulirik judulnya. THE CLEANER.

Pemerintahan busuk dengan persentase kejujuran mencapai angka 0% membuat pasukan pembersih korupsi dibentuk.

Pasukan rahasia itu dipimpin oleh profesor yang membuat robot yang tak pernah berbohong dan selalu menegakkan keadilan.

Dan kamu, siapa pun itu yang kotor dalam pemerintahan akan didatangi oleh pasukan pembersih!.

Aku menahan napas dan membaca pengenalan karakter dalam The Cleaner. Beberapa detik kemudian aku memandang Blueray dengan sinar mata terang. Anak ini jenius! Dia menulis cerita yang berbeda! Antimainstream di tengah maraknya novel yang berkisah tentang romansa!

"Ini akan menjadi novel yang hebat!" pujiku. Blueray memasang tampang pongah. "Iya dong! Semua yang kutulis dengan hati akan menjadi hebat."

"Apa ini sudah pernah diperlihatkan ke penerbit?" tanyaku sambil membolak-balik naskah setebal 210 halaman itu. Pandangan mata Blueray menerawang. "Aku sudah mengirimkannya sejak dua tahun lalu ke berbagai penerbit. Tapi mereka selalu berkata, genre yang aku tulis tidak sesuai visi dan misi mereka, tidak sesuai selera pasar. Tidak ada penerbit yang menerima novel genre itu kecuali novel terjemahan yang terkenal."

Aku menerima kata-kata Blueray dan mengaitkannya denganku. Ya, rasanya begitu kecewa jika suatu naskah ditolak karena genrenya tidak laku di pasaran negeri ini. Atau karena kualitas penulis di negeri ini belum bisa menyamai kualitas penulis luar negeri. "Aku juga seperti itu. Tapi, tetap saja menulis itu tak bisa dihentikan."

Blueray tersenyum, kali ini dia tidak menampakkan kelicikan dalam auranya. Tanpa sadar aku menarik tangannya dan menenggelamkan tubuhnya ke pelukanku. Aku melakukannya dengan spontan. Ada sesuatu di dalam diriku yang membuatku melakukannya.

Tunggu! Aku bukan penderita pedofil, kan?

"Apa maksudmu memeluk anak kecil yang baru saja kau temui hari ini?" tanya Blueray. Aku melepaskan pelukan dan meminta maaf padanya. Wajahnya tersipu meski ia berusaha menutupinya dengan keangkuhan dan sok jual mahalnya. "Jangan-jangan kau penyuka anak kecil?" tanyanya pelan.

Aku tertawa kecil dan mencubit pipi chubby-nya dengan gemas, "Aku menyukaimu Blueray."

"Aku tidak suka tante-tante cerewet," balasnya.

Tante-tante? Cerewet? Aku?

"Oke. Aku akan pulang. Bye! Tante cerewet."

****

Saat ini Anis sedang berdiri di hadapanku dengan dress putih selutut. Di tangannya terdapat sebuah amplop coklat berukuran A4. Biar kutebak, di dalam amplop coklat itu pasti naskah!. "Selamat pagi Nona asisten editor," sapanya. Aku menutup naskah yang baru kurevisi kemudian menatap Anis penuh selidik.

Gara-gara dialah aku jadi seorang asisten editor! Mulai dari rasa depresi karena gagal sampai pemaksaan yang dilakukan olehnya agar aku melamar sebagai asisten editor. "Kau pasti bisa menjadi asisten editor!" Begitulah yang dikatakan Anis sambil menyodorkan koran yang memuat lowongan kerja Asisten Editor waktu itu.

Kata-kata 'Kau pasti bisa menjadi asisten editor' terdengar sangat tidak mengenakkan bagiku yang ingin mendengar, 'Kau pasti bisa menjadi penulis novel'. Apa mungkin Anis beranggapan aku hanya bisa sebatas menjadi asisten editor? Bukan sebagai penulis?. Ah~ dibilang seperti itu oleh orang yang kurang pengalaman dalam menulis benar-benar menyebalkan. Rasanya seperti darah naik ke kepala.

"Apa kau masih banyak pekerjaan?" Anis duduk di kursi kosong sebelahku. Tempat yang tadi diduduki oleh Blueray sebelum dia pulang. Aku memandangi dua naskah di meja. Dua naskah fiksi yang bakal diterbitkan. "Aku sudah selesai merevisi dan mungkin akan pulang sebentar lagi." Mataku terpaku pada wajah Anis yang terlihat damai. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau akan menyerahkan naskah final?"

Anis menyeringai, "Masih ada revisi," jawabnya cepat.

"Kalau begitu kerjakan. Aku akan menyerahkan ini ke editor kemudian pulang." Aku berdiri dan meninggalkan Anis. Entah mengapa, sejak aku menerima kegagalan aku jadi tidak bisa berinteraksi dengan Anis seperti biasa. Terlihat menyesakkan. Mungkin jauh dalam diriku ada bagian yang tidak menerima kegagalan dan terus membanding-bandingkan diriku dengan Anis. Aku tak bisa mengatakan bagian burukku itu pada siapa pun. Tak akan ada yang mengerti. Jikalau seseorang tahu pun, paling akan mengatakan, "Tidak apa-apa. Masih ada lain kali."

Jika kegagalan itu hanya beberapa kali, hanya beberapa tahun, dan saingannya memang berat dalam hal waktu dan kerja keras, maka aku tak apa-apa. Perasaan sesak ini tak akan terasa begitu dalam dan berlarut. Tapi, Anis adalah pemula! Dia tidak terlalu suka membaca apalagi menulis. Dia baru menulis novel selama tiga hari! Dia baru saja memulainya. Tapi mengapa? Mengapa orang seperti itu ada? Mengapa orang yang beruntung tanpa kerja keras itu ada? Mengapa ada orang yang berhasil tanpa merasakan gagal?

Aku berjalan melewati para editor yang sibuk dengan tumpukan naskah masing-masing. Beberapa di antara mereka terlihat berdiskusi satu sama lain. Mataku mencari-cari Cherry. Ketika aku menemukannya, dia sedang fokus pada komputer, sedang membuat cover. Aku membaca sekilas tulisan di cover tersebut.

Ketika Dua Angsa Bermain.

Oh, sudah sampai bagian cover dan layout, kah?

"Sraylira. Apa naskah-naskah ini sudah selesai kau revisi?" Cherry menolehkan kepala. Aku segera meletakkan naskah itu di meja Cherry. "Naskah Ketika Dua Angsa Bermain benar-benar bagus. Aku tak sabar membaca versi finalnya," seruku. Cherry sumringah, "Ya. Tery benar-benar pantas dijuluki putri misteri. Dan apabila Ketika Dua Angsa Bermain laris, mungkin penerbitan ini bakal menerima naskah misteri." Cherry meneguk air putih yang ada di dekat komputernya kemudian dia kembali melihat monitor.

"Apa Anda melakukan pembuatan cover?" tanyaku.

"Sebagai editor, aku mengerjakan bagian editing, layout, cover, dan kadang juga pemasaran. Menjadi editor itu tak mudah," jelas Cherry.

Cherry mengambil naskah yang telah kurevisi, membuka halaman secara acak untuk melihat hasil kerjaku. "Oke. Tampaknya kamu telah melakukan yang terbaik." Dia memberikanku senyuman lebar. "Ngomong-ngomong. Kau penulis Girl's Play dan Firasat Ailee, kan?"Aku terkejut Cherry menyebutkan karya-karyaku. Dengan cepat aku menganggukkan kepala.

"Meja sebelahku ini adalah meja kerja Dilly. Aku tahu mengenaimu dari dia. Dia orangnya berisik kalau menemukan sesuatu yang menarik. Ah, aku juga membaca Firasat Ailee. Sebenarnya itu menarik, tapi belum berjodoh di sini," jelas Cherry. Aku menunduk dalam-dalam. 'Belum berjodoh'. Ya, tiap karya memiliki jalannya masing-masing, memiliki jodohnya masing-masing.

Aku memandangi meja kerja Dilly yang rapi. Tidak ada tumpukan naskah di sana padahal di tiap meja editor terdapat tumpukan naskah. "Maaf, kenapa tak ada tumpukan naskah di meja Dilly?"

"Oh, itu karena dia adalah editor paling egois di sini. Dia menyeleksi semua naskah yang ditumpuk dengan cepat. Karena tak ada yang menarik perhatiannya, akhirnya mejanya kosong. Dia itu hanya tertarik dengan genre seram, seharusnya dia tidak berada di sini jika bersikeras ingin sesuatu yang seram." Chery menghela napas cepat, "Oh ya, dia belum tahu kalau kamu bekerja di sini. Aku tak membayangkan jika dia tahu kamu masuk ke sini mungkin akan ada kerja rodi," lanjut Cherry. Mendengar kata-kata Cherry barusan, bulu kudukku berdiri. Kata 'kerja rodi' jika dikaitkan dengan Dilly, itu menghasilkan sesuatu yang menakutkan! Dia bisa-bisa menyuruhku ini itu tanpa henti.

"Apakah Dilly menemui penulis?" Aku melontarkan pertanyaan yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Cherry tersenyum kecil, matanya menatapku curiga. "Entahlah. Dia hanya bilang ingin menemui seseorang. Satu-satunya penulis yang di-handle-nya saat ini adalah Dara Annisa. Tapi tadi kulihat dia di sini. Berarti, ada orang lain lagi yang ditemuinya. Bisa jadi, dia menemukan penulis genre gelap selainmu." Cherry menutup mulutnya. "Ah, maaf."

Aku terdiam. Ya, selalu ada kemungkinan seseorang selain aku menulis genre yang sama. Dan Dilly, akan selalu mencari penulis yang sesuai dengan idealisnya. Bukan hanya aku.

"Maaf sudah terlalu banyak bertanya. Saya permisi pulang. Pekerjaan saya sudah selesai."

Dan ketika aku sibuk berpikir mengenai berbagai macam hal. Tahu-tahu aku diajak Anis menuju kafe A. Di depan mataku sosok Dilly terlihat nyata. Anis memperkenalkanku sebagai asisten editor yang baru. Dilly tampak terkejut. Aku tak peduli dengan keterkejutannya. Aku lebih peduli pada lukisan yang tergantung di kafe ini. Melihat lukisan itu lebih menenangkan dibandingkan melihat Anis dan Dilly yang semakin membuatku sesak.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 334K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.4M 35.9K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1.2K 319 47
Babak ke dua Xade dalam melatih dan membawa Lubang Hitam ke Sanivia. Usai mendapatkan kekuatannya kembali, Vahn sang Lubang Hitam justru mengalami ke...
790 178 32
Satu kebangkitan sihir memanggil sebuah buku bernama Arkiv yang menuliskan rahasia masa depan, dan ada tiga yang harus menjaganya diam; Arthkrai, san...