kita

By ___sadar

356K 10.8K 2.1K

Kepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtu... More

Prolog
01| Semesta Baru yang Menyebalkan
02| Kakak Beradik Itu Tampak Serasi Sekali
03| Hari Kekesalan Satu Semesta
04| Kabar-Kabar Tentang si Murid Baru
05| Satu Hari Jagat Tengusik
06| Lalu, Sebuah Deberan Selepas Senja
07| Berusaha Menjadi Saling
08| Sebuah Suara Kecil Ketidakrelaan
09| Menemukan Tanpa Disadari
10| Kotak Bekal, dan Selangkah Menuju Pintu Keterbukaan
11| Perhatian Tanpa Sadar Kesekian
12| Berbalas Pesan yang Pertama
13| Satu Hari Bersama
14| Damai
15| Konstelasi Baru
16| Rasa yang Salah Tempat Tercurah
17| Ketakutan Paling Nyata
18| Kembali Utuh
19| Mendung
20| Peduli yang Bersembunyi
22| Seperti Biru yang Kembali Mendapatkan Senjanya
23| Ketakutan Paling Nyata Ke-Sekian
24| Kepergian Terakhir
25| Sempat Resah

21| Manusia Paling Rapuh

6.4K 290 38
By ___sadar

yang menyimpan sakit sendiri
yang paling patah sendiri
yang paling kuat sendiri
yang paling egois sendiri
adalah manusia
paling rapuh









Sebagai seorang manusia, ialah yang paling rapuh. Ia gagal menyembunyikan rasa sakitnya. Ia gagal menumbangkan resah yang tertanam bersama serat-serat akar yang membumi hingga bagian paling dalam sebuah samudera hening.

Ia tidak bisa berpaling, ia memikirkan banyak hal. Seperti: kalau ia pergi dari sini sekarang, kira-kira semesta tanpa dirinya akan menjadi seperti apa? Atau ketika ia pergi, ada tidak, ya, orang yang akan merasa kehilangan?

Ia hanya merasa. Sepertinya, ia memang sudah harus secepatnya pergi. Ia bukanlah manusia baik yang patut dipertahankan. Kerjanya hanya merepotkan banyak orang. Membuat banyak orang bersedih, membuat banyak orang menangis.

Semesta, tolong. Dengarkan doanya. Ia ingin sembuh, semesta. Ia ingin lekas sembuh.

Dalam hening paling senyap, nyaring berteriak. Kepalanya sakit, sakit sekali. Nalarnya kebungungan. Sedang Nurani diam tidak tahu harus berbuat apa. Jika ia pergi, nanti akan ada banyak luka. Ia sudah ingin pulang sebenarnya. Akan tetapi, ia tidak ingin membuat banyak orang bersedih.

Ia menangis. Sambil memanggil sebuah nama paling agung selain Tuhan dari kehidupannya.

"Abang, Mily sakit, Abang. Kepala Mily sakit." Ia amat menangis.

Lalu sebutir air bening turun dari mata indahnya. "Kepala Mily sakit, Abang. Tolong Mily."

Barang sesaat ia berteriak, datang dua perawat menjemputnya ke dalam sebuah pelukan penenang, sementara ia yang satunya bergegas memanggil sang dokter agar cepat datang.

"Kepala Mily sakit, Suster. Mily mau ketemu Abang."

"Kamu tenang dulu, ya. Nanti Abangmu segera datang."

Ia memberontak, tetapi sakit. Ia diam, rasanya tetap sakit. Matanya perlahan menutup. Hingga gelap benar-benar menutup.

***

Ada sedikit bekas hitam di area bawah kantung matanya. Semenjak Emily dirawat, ia sudah tidak pernah lagi tidur pada waktunya. Polanya berantakan, karena keresahan-keresahan ini membuatnya tidak tenang.

Ia juga sudah jarang lagi pulang. Suasana di dalam rumah ini, memaksanya untuk berdiam diri di bawah naungan yang tidak dikehendakinya. Pagi ini, ia sempatkan untuk membuat mie rebus sebab tak sempat memasak.

Ditambah dengan telur rebus dan beberapa potongan sawi, 15 menit kemudian Libra telah selesai membuat semangkuk mie. Libra bersantap bersama kekosongan. Jika sebelumnya kursi di hadapannya selalu terisi dengan sebuah senyuman, kini sudah tidak lagi.

Ketika ia sedang melahap sesendok mie, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ada panggilan dari pihak rumah sakit. Itu tandanya, pagi ini ia harus kembali dengan sebuah kenyataan. Ada dua. Pertama: adalah bahagia. Kedua: adalah kecewa. Siap tidak siap, ini adalah kenyataan.

"Halo?"

"Ini dari pihak rumah sakit. Ada kabar yang harus kami sampaikan."

"Bagaimana keadaan adik saya?"

"...."

Ia mengepal. Akan tetapi hatinya semakin resah. Rautnya menegang, tetapi hatinya semakin gelisah. Tidak semesta, kamu tidak boleh mengambilnya.

"Bangsat."

***

Hal yang paling menyedihkan adalah sebuah ketetapan paling mutlak. Yang sudah tidak bisa diganggu gugat oleh campur tangan manusia, yang sudah tidak bisa dinegosiasi dengan rapalan-rapalan doa.

Jalanan Kota Bandung sedang berada di puncak kemacetan. Sial, semesta seperti sedang mempersulitnya. Ia merasa hampa, ia kehilangan cahaya. Oleh ketakutan yang semakin memperbudak nalarnya, oleh cemas yang semakin menari-nari di dalam hatinya.

Ia tidak peduli mengenai suara-suara bising dari pengendara sekitarnya. Telinganya sudah terlalu penuh dengan rintihan paling memuakkan. Sesampainya di rumah sakit, ia bergegas mengerahkan langkah tercepatnya. Baru bisa terhenti ketika kakinya berdiri di tempat persinggahannya. Pintu putih yang sudah terlihat tua itu masih tertutup. Orang berjubah putih masih ada di dalam. Lalu ia bersandar.

Biar saja beban yang ia pikul tersampaikan kepada bumi melalu dinding di belakangnya. Lututnya luruh. Hatinya sakit. Kepalanya tertunduk. Terlalu berat untuk ia angkat. Barang sejenak saja.

"Apa kamu Libra?"

Laki-laki itu mengadah. "Iya, Dok." Lalu berdiri.

"Mari ikut bersama saya."

Libra tetap diam.

"Saya belum siap menerima kenyataan, Dok. Saya akan tetap di sini."

"Tapi kamu harus menerimanya."

"Saya kesulitan."

"Adikmu lebih kesulitan."

Libra semakin terdiam.

"Jika sudah siap, temui saya. Ada beberapa yang harus saya sampaikan."

Ia pandangi raga adiknya. Padahal ia sudah berada di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Namun, matanya tak kunjung terbuka.

Ia tekadkan sebuah ketetapan di hatinya. Ia harus bisa. Ia harus bisa menerima semua kepastian dari sebuah garis mutlak yang dituliskan Tuhan melalui rembulan.

"Tunggu sebentar lagi. Abang pasti kembali."

***

"Jadi, apa yang harus saya dengar?"

"Tenang, duduk dulu."

Libra mengembuskan napas berat, lalu duduk. Ruangan ini terasa begitu mencekam baginya. Sepertinya ia tidak akan tahan berlama-lama berada di ruangan itu.

"Kami sudah melakukan usaha yang terbaik menangani Emily. Tetapi ia tidak menunjukkan perkembangan yang begitu signifikan. Cenderung menurun. Maaf, tetapi inilah kenyataannya."

Libra tercekat. Tidak mungkin, ini pasti ada yang salah. Kemudian Libra kembali bertanya kepada dokter.

"Gak mungkin, Dok. Ini pasti ada yang salah."

"Biar saya jelaskan sekarang. Kanker otak yang diderita Emily sudah mencapai stadium akhir. Kemungkinan Emily untuk sembuh sekarang sangat kecil. Tumor yang menggerogoti otaknya sudah semakin meluas dan tidak bisa diangkat dengan cara operasi karena letaknya yang tidak terjangkau. Yang hanya bisa kami lakukan adalah untuk segera melakukan terapi. Tetapi saya pun tidak bisa menjaminkan apa-apa."

Benar-benar tertegun dengan semua perkataan sang dokter, apa memang sesulit itu untuk menyembuhkan Emily?

Dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit, Libra masih juga bungkam. Pertama: ia tidak ingin melihat Emily merasakan sakit lagi, kedua: ia juga tahu kalau terapi itu memiliki efek samping yang tidak main-main.

"Jika itu yang terbaik, maka lakukan dok."

Biar saja sakit yang sementara ini gadis itu rasakan demi kesembuhannya. Dalam hati, Libra lebih menguatkan tekadnya lagi dengan berdoa semoga Emily bisa. Merasa sudah tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Libra ke luar dari ruangan dokter itu dan bergegas kembali. Langkah gontai menyeretnya menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Pandangannya tertunduk, mentap lantai yang satu-persatu ia jejaki.

Wajah sendu ia bawa memasuki kamar Emily yang sunyi sepi. Begitu tenang, dengan ruangan yang agak gelap karena cahaya matahari yang masuk terhalang tirai. Dalam hening, laki-laki itu terduduk di atas kursi tepat di sebelah ranjang yang adiknya tiduri. Melihat bagaimana wajah polos itu tertidur tenang, sungguh. Sedikit perasaan sakit, marah, kecewa, bermunculan begitu saja bepadu satu yang berkecamuk dalam hati.

Sebelah tangan ia kepal keras karena setelah menunggu dari beberapa hari yang lalu sejak ia mengirim pesan, hingga sekarang belum juga mendapat respons. Balasan, ataupun hanya untuk sekadar dibaca.

Rambut panjang Emily yang sudah ada dalam genggamnya, Libra pandangi lekat-lekat. Sebelum pada akhirnya rambut ini perlahan akan terlepas dari kepala adiknya akibat terapinya nanti. Membelainya lembut, lalu menghirup aroma sampo yang gadis itu pakai.

Laki-laki itu menghela napas gusar seraya menutup mata dan berharap. Semoga kejadian ini bisa cepat berlalu, dan pada akhinya Libra bisa melihat senyum manis penuh semangat itu lagi. Mengacak rambutnya gemas setiap hari.

Libra membuang napas panjang. Sekarang tak ada lagi yang harus ia lakukan selain menjaga adiknya di sini. Libra berjanji agar selalu ada di samping Emily. Karena saat ini prioritasnya sedang membutuhkan kehadirannya.

Continue Reading

You'll Also Like

6.4M 270K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.1M 61.3K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.4M 118K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
394K 48.3K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...