The Red Fox [NARUHINA]

By SE_I30

44.8K 4.3K 141

Hyuuga Hinata adalah pewaris dari klan tertua di Jepang. Pewaris dari kemampuan yang sudah turun temurun di t... More

Episode 1: Pertemuan.
Episode 2: Mereka yang berada dalam kegelapan.
Episode 3: Kenangan yang Tertimbun Dalam Hati.
Episode 4: Awal Malam yang Panjang.
Episode 5: Di bawah Bulan Purnama.
Episode 6 : Perasaan dan Kutukan.
Episode 7: Hati yang tidak bertemu.
Episode 8: Yin dan Yang.
Episode 9: Doa Sang Cermin.
Episode 10: Pembawa Pesan.
Episode 11: Awal dari Takdir, Bagian 1.
Episode 12: Awal dari Takdir, Bagian 2.
Episode 13: Awal dari Takdir, Bagian 3.
Episode 14: Awal dari Takdir, Bagian 4.
Episode 15: Awal dari Takdir, Bagian akhir.
Episode 16: Murid Pindahan.
Episode 17: Dream and Reality.
Episode 18: Like Before.
Episode 19: Alasan dan Masa Lalu.
Episode 20: Ketika benang menjadi kusut.
Episode 22: Kamu tidak sendiri.
Episode 23: Festival.
Episode 24: Klimaks
Episode 25: The Ending.
Omake

Episode 21: Babak Baru.

923 120 2
By SE_I30


Tiga hari semenjak meninggalnya Hyuuga Hiashi, kepala utama klan Hyuuga. Klan tertua yang masih berdiri di zaman yang semakin canggih ini, masih dalam suasana berkabung. Tidak hanya itu, desakan dari para anggota Hyuuga untuk mengangkat pewaris juga semakin memanas.

Hizashi menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Dengan yukata hitam serta dupa di tangannya, manik rembulannya menatap foto pada altar di depannya. Wajah Hiashi yang tenang dan berwibawa tercetak jelas di sana, membuat Hizashi masih merasa tengah bermimpi.

"kepergianmu terlalu mendadak, Nii-sama..."

Jika biasanya Hizashi menikmati keheningan, kali ini tidak. keheningan ini membuatnya cukup tersiksa. Mereka adalah anak kembar, satu jiwa, dan kadang saling berbagi perasaan. Semenjak Hiashi wafat, Hizashi selalu merasa ada separuh jiwanya yang hilang. Lenyap, dan terasa hampa.

"Tou-sama," panggilan itu membuyarkan lamunannya. Hizashi berbalik untuk bertemu muka dengan anak tunggalnya. "Toneri-san ingin berbicara denganmu."

Manik lavender yang terlihat letih itu beralih, menatap sosok laki-laki muda yang berdiri di belakang puteranya. Otsutsuki Toneri, anak dari kerabat jauh yang berada di Kyoto. Pemuda yang selalu disanjung dan disebut-sebut sebagai pasangan yang cocok untuk penerus Hyuuga.

"Selamat sore, Jii-sama."

Jika biasanya Hizashi selalu menyambut senyum pemuda itu, untuk saat ini hatinya menolak.

...

Setelah mereka bertiga berpindah tempat, duduk di salah satu ruangan keluarga Hyuuga. Hizashi barulah membuka suara sambil menatap Toneri yang duduk di seberang dengan tatapan tenangnya.

"Aku dengar, kau ada di tempat kejadian. Bisa kau ceritakan apa yang terjadi Toneri-kun?"

Pemuda dengan rambut putih keabu-abuan itu mengangguk pelan. "Siang itu, aku diundang alrmarhum untuk makan siang bersama. Sekaligus untuk membicarakan perihal pertunanganku dengan Hinata-sama."

Manik rembulan Neji melebar, dia sama sekali tidak mendengar hal ini sebelumnya. Kakak sepupu Hinata menatap Toneri dan ayahnya bergantian sebelum berujar, "Sejak kapan? Kenapa aku baru mendengar hal ini—"

"—Neji!"

Nada tegas ayahnya, berhasil membungkam Neji. Memaksanya untuk menahan rasa ingin tahunya. Dan fokus pada masalah di depan mereka saat ini, yaitu penyebab kematian Hyuuga Hiashi.

Toneri menghela nafas pendek, sebelum ia mulai bersuara.

"Alasan kenapa kami melakukan pertemuan siang itu, adalah karena Hiashi-sama ingin membatalkan pertunangan kami."

"Eh?" Neji mengerjapkan kedua matanya. Melongo.

Sekarang ini perasaannya terasa campur aduk. Semula ia terkejut, marah, tidak terima adiknya di tunangkan tanpa sepengetahuan dirinya. lalu sekarang, ia merasa lega karena Hiashi ingin membatalkan pertunangan. Tapi... kenapa?

Toneri tersenyum tipis, manik lavender yang lebih pucat itu terlihat menerawang. Mengingat kembali apa yang Hiashi katakan padanya, siang itu.

"Sebagai seorang Ayah, aku ingin memberikan yang terbaik bagi putri-ku. Terutama Hinata, gadis itu sudah memikul beban berat sejak ia lahir." Hiashi menyesap teh hijaunya dan fokus terhadap daun teh yang mengapung di permukaan. "Karena itu dengan menjodohkan kalian berdua, adalah keputusan yang terbaik menurutku."

"Tapi, semakin lama aku merasa..." Manik lavender itu naik, dan menatap lurus ke arah Toneri. "Lebih baik aku tidak melakukannya."

Neji cukup tercengang mendengar cerita Toneri. Hiashi yang terkenal tegas akan segala keputusan yang ia buat. Untuk pertama kalinya, menarik kembali perkataannya.

"Terlebih sepertinya Hinata-sama tengah menyukai seseorang."

Ucapan Toneri yang gamblang itu cukup membuat Hizashi dan Neji terbatuk keras. Lelaki paruh baya itu melirik putranya, terlihat jelas wajahnya seakan meminta kepastian dari anaknya. Neji hanya bisa menggelengkan kepalanya, berpura-pura tidak tahu.

Remaja itu menghela nafas pendek, ia tidak berbohong. Neji tidak tahu pasti, apa benar Hinata tengah jatuh cinta. Tapi untuk kandidat laki-laki yang berhasil mencuri hati putri Hyuuga. Hanya ada satu orang yang Neji yakini.

Yaitu, siluman rubah, Uzumaki Naruto.

...

Suara ketukan pintu terdengar, Hanabi berdiri di depan pintu berwarna coklat tua dengan nampan berisi makanan. Sudah sejak dari kematian ayahnya, kakak perempuannya mengurung diri di kamar. Menolak siapapun, tidak menyentuh makanan sedikitpun, dan terus berdiam diri.

"Nee-sama, aku membawa makanan kesukaan mu."

Seperti yang sudah-sudah, tidak ada jawaban dari kamar Hinata. Manik lavender gadis itu menyayu.

"Ne... bukankah disaat seperti ini, kita harus saling mendukung? Seperti itu 'kan keluarga? Jadi biarkan aku membantumu, Nee-sama."

Sekali lagi, Hanabi mengetuk pintu kamar Hinata. Berharap perasaannya tersampaikan dan kakaknya mau membuka pintu. Mau meraih uluran tangan yang Hanabi berikan.

Dari balik pintu itu, ruang kamar Hinata cukup gelap. Lampu kamar yang dibiarkan mati serta jendela yang tertutup gorden. Di atas tempat tidur, Hinata meringkuk dengan rambut panjanganya yang kusut. Wajahnya pucat, manik lavendernya tampak sayu dengan sisa jejak air mati di pipinya.

"Maaf... maafkan aku... Tou-sama..."

...

Suara detik jarum jam terdengar di ruangan yang sunyi. Tiga laki-laki berbeda generasi saling tatap dengan wajah tegang.

Toneri meremas tangannya dengan gugup, "Waktu itu... tiba-tiba saja terjadi ledakan yang cukup kuat." ingatan yang terjadi beberapa waktu lalu, mulai berputar. "Ledakan yang berasal dari jendela itu seperti dipukul beban berat hingga, membuat lubang cukup besar."

Wajah remaja itu terangkat, dan manik bulannya menatap kedua laki-laki di depannya. "Dari balik lubang besar itu, ada lima youkai yang menatap kami penuh hawa membunuh."

Neji meneguk ludah gugup, ada perasaan was-was saat Toneri mengatakannya. Tatapan mata remaja itu seakan memperlihatkan bagaimana tatapan siluman yang mereka hadapi.

Saat remaja Otsutsuki itu menunduk, Neji menghela nafas yang ia tidak tahu kapan ia tahan.

"Salah satu dari mereka, memiliki rupa seperti seekor rubah."

Degh!

Neji membulatkan matanya, menatap Toneri tidak percaya.

Remaja itu kembali mengangkat kepalanya, menatap lurus dengan tatapan serius. "Dan dia mengatakan kalau ia bernama, Uzumaki Naruto."

'Oi,oi... ini pasti bercanda, 'kan?' Neji meremas kedua tangannya.

...

"HACHOO!"

Kiba menatap pemuda pirang di sampingnya, rada ngeri sebenarnya. Karena bersin yang temannya itu keluarkan cukup besar, belum lagi mereka saat ini sedang menikmati makan siang mereka. Remaja pecinta anjing itu takut, kalau makanannya terkena virus.

"Oi, kau baik-baik saja?"

Naruto menggosok hidungnya kuat-kuat, "Ah, ini sepertinya ada yang sedang membicarakanku." Ujarnya dan kembali menyeruput ramen.

Kiba termangu sebelum bernafas lega, "Lain kali, tutup mulutmu kalau bersin. Virus."

"Iya, bawel banget."

"Makananku taruhannya di sini, kau duduk di depanku, rubah bodoh."

Shikamaru yang duduk di sebelah Kiba, menghela nafas lelah. Di depannya Sasuke tampak acuh dan menikmati makan siangnya. Kepala dengan rambut model nanas itu celingak-celinguk, merasa sedikit aneh.

Pemuda bermarga Nara itu menendang pelan kaki Sasuke, menghentikan temannya menyantap tomat segar. Sasuke mendelik sengit ke arah Shikamaru, kesal karena mengganggu acara makannya.

"Hei, Sakura mana? Tidak biasanya si pinky tidak berisik ke sini."

"Dia makan dengan si rambut cepol dua, sekalian menghiburnya karena Hinata tidak masuk."

"Hinata masih belum masuk juga, padahal sudah tiga hari." Kiba yang sudah selesai makan, ikut menyahut. "Padahal aku kangen masakan Hinata-sama."

Sebuah jitakan mendarat di kepala Kiba, "Stop sok manja, jijik tahu." Cetus Shikamaru, dalang pelaku kekerasan.

Kiba berdecak sebal, "Bercanda rusa." Lalu tiba-tiba ia mencondongkan badannya ke tengah meja dengan raut serius. "Apa kita coba menjenguknya? Menghiburnya. Kau tahu, pasti sulit kehilangan orang tua satu-satunya."

Shikamaru, Sasuke dan Naruto menatap Kiba seakan remaja itu telah tumbuh dua kepala.

Kiba mengernyit bingung, "kenapa?"

"Enggak, tumben aja otakmu encer" jawab Shikamaru jujur.

Sasuke ikut mengangguk setuju.

Wajah Kiba kini sudah memerah menahan kesal, "Kalian bener-bener menyebalkan!"

Gebrakan meja yang Kiba lakukan justru membuat tawa empat sekawan itu meledak. Mengundang perhatian penghuni kantin.

...

Rembulan sudah menggantung indah di langit malam. Menandakan malam yang mulai larut. Hanya kesunyian yang ada, sampai sesosok bayangan hitam hadir di salah satu dahan pohon besar.

Sosok itu kembali melompat, tanpa suara, ia mengendap menuju sebuah kamar yang berada di dekat kolam ikan. Dengan hati-hati ia membuka jendela geser dan masuk kedalam.

Ruangan yang remang dengan hanya cahaya lilin. Langkah ringan itu menghampiri sesosok perempuan yang tengah tertidur pulas di atas futon. Saat cahaya lilin mengenainya, wajah sendu Naruto terlihat.

Manik biru lautnya menatap lekat-lekat wajah Hinata yang pucat. Naruto duduk di samping Hinata, menatap wajah lelah gadis itu. Ada sisa air mata di sudut mata, dengan sisa jejaknya di kedua pipi. Gadis itu, ia terus menangis sejak tiga hari yang lalu.

Naruto mengusap pelan pipi Hinata, menyeka sisa air mata dan merapikan beberapa rambutnya yang menutupi wajah cantik gadis bulan itu.

Ingatannya kembali datang, saat sore tadi mereka jadi datang kemari untuk menjenguk Hinata. Namun yang menemui mereka justru seorang wanita tua yang sepertinya kepala pelayan keluarga Hyuuga. Wanita tua itu meminta maaf karena tidak bisa mengizinkan mereka untuk masuk.

Hanya mengatakan Hinata yang sedang tidak enak badan dan tidak ingin diganggu. Sebuah kebohongan yang jelas terlihat di mata Naruto.

Dan ia semakin yakin, begitu melihat kondisi Hinata. Gadis bulan itu pasti mengurung diri di kamarnya. Menangis seharian dan tertidur begitu ia lelah.

Naruto menghela nafas pelan, "Aku tahu kamu gadis yang tegar, jadi cepatlah ceria kembali. Aku merindukan senyumanmu."

Jemari panjang itu menyibak pelan poni Hinata dan memberikan ciuman lembut di kening. Seperti dahulu, berharap perasaan ini tersampaikan.

Setelah memberikan tatapan terakhir ke arah Hinata, Naruto menutup jendela geser dan mulai melangkah pergi.

Sayangnya belum sampai lima langkah, Naruto menghentikan langkahnya. Dari balik punggungnya, pemuda pirang itu dapat merasakan benda tajam yang siap menghunusnya.

Manik biru lautnya melirik tajam sebelum tersenyum hingga kedua matanya terpejam.

"Ada apa Neji-nii-sama?"

Sudut pelipisnya berkedut melihat betapa santainya sikap Naruto. Meski tahu saat ini ada sebuah pedang yang siap menusuknya.

"Kau ini tidak bisa takut sedikit?"

"Eh? Seperti ini?" Naruto mengangkat kedua tangannya, pose seakan menyerah dan mengeluarkan suara gugup. "Ma-ma-maafkan aku, Master!"

Duk!

Siluman rubah itu memegang bagian dimana tulang rusuknya berada. Tubuhnya bergetar menahan erangan yang ingin ia keluarkan. Naruto menoleh menatap Neji dengan mata berair.

"A-apa yang kau lakukan?"

Neji memasang wajah polos dengan sengaja, "Aku tidak tahu maksudmu." Katanya seakan ia tidak baru saja menusuk tulang rusuk Naruto dengan ganggang pedang di tangannya.

"Kau sengaja melakukannya! meski Cuma ganggang tetap saja sakit!"

Neji menatap tajam dan dingin pemuda di depannya, "Bersyukurlah bukan pedang yang aku hunus, siluman rubah."

"Ukh..." Naruto bangkit berdiri dan menatap Neji dengan wajah serius. Hilang sudah aura bercanda yang ia keluarkan tadi. "Lalu, apa yang kau inginkan?"

Neji setengah berbalik, menatap Naruto seakan memintanya untuk mengikutinya. Siluman rubah itu menurut dan mengekor Neji menuju paviliun paling ujung.

Setelah mereka sampai di sana, Neji mengeluarkan sekitar tiga gulungan kuno ke arah Naruto. Remaja pirang itu mengernyit heran saat menerimanya. Ia membuka salah satunya dan manik biru itu melebar.

"I..ini..." manik rembulan Neji menyipit tajam, menunggu apa yang akan Naruto katakan selanjutnya. "Ini artinya apa?"

Mau tidak mau Neji secara spontan jatuh dari tempatnya berdiri. Tingkah konyol Naruto kembali berulah, lelaki itu dengan wajah polosnya berucap seperti itu. Sementara seharusnya dia mengerti tulisan di gulungan kuno itu.

"JANGAN BERCANDA!"

Neji menjitak kepala Naruto tanpa ampun. Rasa kesalnya meledak, dia tidak pernah menyangka kalau siluman rubah ini benar-benar menyebalkan. Pantas saja Tenten selalu emosi setiap berhadapan dengannya.

"Bagaimana mungkin Hinata-sama bisa tertarik denganmu." Neji menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak habis pikir dengan kemungkinan adiknya itu jatuh cinta dengan siluman di depannya.

"Kau mengatakan sesuatu?"

"Bukan apa-apa!"

Naruto bergumam plan, ia tidak mendengar kata-kata Neji karena pemuda itu menggerutu dengan suara pelan. Manik biru lautnya melirik tumpukan gulungan kuno di pangkuannya. Sinar matanya sedikit redup, sudah lama ia melupakan masa lalunya. Masa lalu saat ia hidup bersama Hotaru, malaikat kecilnya.

"Jadi, apa yang mau kau lakukan dengan informasi seperti ini?"

Untuk sesaat, Neji hanya menatap Naruto dalam diam. Mencoba memilih kata mana yang baik untuk ia ucapkan.

"Kami bisa mempercayaimu," manik rembulan itu bertemu dengan manik samudera. Saling berbenturan, mencoba mencari celah kebenaran. "Benarkan?" Neji kembali bersuara, kali ini lebih tegas.

Segaris senyum hadir di wajah siluman rubah, sebelum berubah lebar. "Tentu saja."

Jawaban Naruto sudah cukup untuk membulatkan keputusannya. Neji memilih untuk mempercayai isi gulungan kuno, cerita tentang masa lalu Naruto dan Hinata. Serta mempercayai siluman rubah di depannya. Jika semua hal itu dapat membuat segalanya menjadi lebih mudah.

Tapi, jika memang Naruto bisa dipercaya. Apakah mungkin siluman yang membunuh Hiashi adalah Uzumaki Naruto. Seperti yang Toneri katakan, terlebih selama ribuan tahun Naruto telah melindungi klan Hyuuga. Tidak ada alasan bagi Naruto untuk membunuh Hiashi, hal itu justru akan membuat Hinata membencinya.

Jika semua itu benar, maka siapa siluman rubah yang dilawan Toneri.

"Siapa rubah yang Toneri-san lihat?"

"Toneri?"

Neji kembali mengalihkan atensinya pada Naruto. "Otsutsuki Toneri, orang yang semula dijodohkan Hiashi-sama menjadi suami Hinata-sama."

"A—"

"Tapi Hiashi-sama membatalkannya." Neji segera berujar saat melihat wajah Naruto yang memucat dengan mata yang memutih. "Dan dia mengatakan, kalau yang membunuh Hiashi-sama adalah siluman rubah bernama Uzumaki Naruto."

Naruto melebarkan matanya, ia segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Hei, aku tidak membunuh siapapun, apa lagi ayah Hinata!"

"Ya, aku tahu dan aku percaya padamu." Neji mengambil tempat di depan Naruto dengan pose berfikir. "Toneri-san adalah saksi satu-satunya yang ada di tempat kejadian. Dia berhasil selamat karena Hiashi-sama mengulur waktu yang membuatnya jadi tewas."

"Dan yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, siapa siluman rubah yang mengaku sebagai dirimu."

Pemuda pirang itu ikut memasang pose berfikir, kedua tangan yang terlipat serta matanya terpejam. Ekpresi yang selalu Naruto perlihatkan saat sedang berfikir. Sampai sesuatu menghantamnya keras, menyadarkan akan sesuatu.

'Syukurlah... aku percaya, Naruto-kun tidak akan melakukannya. Kau.. tidak menyerang Istana... syukurlah...'

Kedua kelopak mata itu terbuka, membiarkan mutiara biru itu melebar.

"Jangan-jangan..."

'Kami diserang, dan pengawal mengatakan bahwa kami diserang youkai yang dipimpin olehmu Naruto-kun.'

Sesosok lak-laki serba putih dengan rambut berwarna abu-abu yang dikuncir kuda hadir dalam ingatan Naruto. Laki-laki yang memiliki mata serupa klan Hyuuga dengan seringaian liciknya.

Rahang Naruto mengeras, kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Neji yang dapat merasakan aura membunuh Naruto tiba-tiba hadir, terkejut begitu ia mendapati mata biru Naruto berganti dengan warna merah.

"Dia..."

'kau hanya perlu membunuh Pangeran Yahiko.'

.

'Pesta baru saja dimulai, kau tahu itu.'

.

Di lain tempat, di sebuah ruangan yang dibiarkan remang-remang. Di depan sebuah jendela besar yang memperlihatkan bulan purnama di atas langit. Duduk seorang laki-laki di atas kursi yang terbuat dari kayu Jati yang kokoh. Di belakangnya juga terdapat empat sosok yang menyebar di ruangan itu.

Suara tawa terdengar dari laki-laki yang duduk di atas kursi. Manik rembulannya berkilat dengan seringaian di wajahnya.

"Apa kau mengingatnya, Uzumaki Naruto-kun?" ia melebarkan kedua tangannya sembari tertawa lantang. "Sekarang adalah babak kedua, tidak akan aku biarkan kau menang seperti dulu."

"Bersiaplah, rubah merah."

To Be Continue...

Continue Reading

You'll Also Like

62K 4.5K 29
Karena waktu akan menyembuhkan semua luka, menghilangkan semua benci. kadang hidup selalu memberikan pelajaran, pelajaran bagaimana cara untuk memaaf...
187K 19.6K 35
[sasusaku fanfiction] ❛❛Cerita klasik mengenai pernikahan. Hanya saja... pasangan ini 'tidak biasa' dalam menjalani rumah tangga mereka.❜❜ genre : ro...
15.5K 1.5K 27
Naruto dkk serta gambar bukan milik saya. Cerita karangan asli buatan saya. Klan Uchiha memiliki aturan yang sangat menyeramkan bagi setiap keturunan...
47.5K 2.7K 4
I was the war...she was the peace. I was the disaster...she was the beauty I was the sorrow...she was the happiness She was my salvation I was her de...