The Red Fox [NARUHINA]

By SE_I30

44.8K 4.3K 141

Hyuuga Hinata adalah pewaris dari klan tertua di Jepang. Pewaris dari kemampuan yang sudah turun temurun di t... More

Episode 1: Pertemuan.
Episode 2: Mereka yang berada dalam kegelapan.
Episode 3: Kenangan yang Tertimbun Dalam Hati.
Episode 4: Awal Malam yang Panjang.
Episode 5: Di bawah Bulan Purnama.
Episode 6 : Perasaan dan Kutukan.
Episode 7: Hati yang tidak bertemu.
Episode 8: Yin dan Yang.
Episode 9: Doa Sang Cermin.
Episode 10: Pembawa Pesan.
Episode 11: Awal dari Takdir, Bagian 1.
Episode 12: Awal dari Takdir, Bagian 2.
Episode 13: Awal dari Takdir, Bagian 3.
Episode 14: Awal dari Takdir, Bagian 4.
Episode 16: Murid Pindahan.
Episode 17: Dream and Reality.
Episode 18: Like Before.
Episode 19: Alasan dan Masa Lalu.
Episode 20: Ketika benang menjadi kusut.
Episode 21: Babak Baru.
Episode 22: Kamu tidak sendiri.
Episode 23: Festival.
Episode 24: Klimaks
Episode 25: The Ending.
Omake

Episode 15: Awal dari Takdir, Bagian akhir.

1K 129 7
By SE_I30


Manik coklat yang terkena bias kilau cahaya mentari senja. Menatap lurus padang bunga lavender dengan tatapan menerawang. Ingatan kilas balik, memutar di benaknya tanpa ia pinta.

Malam itu, ia terbangun saat mendengar suara benda jatuh. Pemilik rambut serupa langit senja itu semula mengacuhkannya sebelum sebuah suara asing menarik perhatiannya.

"Maaf Hinata... aku tidak akan lagi... bertindak sebodoh ini."

Yahiko membuka sebelah matanya, melirik sekilas sebelum kedua matanya terbuka lebar. Dapat ia rasakan hatinya memanas melihat Sang Istri berada dalam pelukan laki-laki lain. Mereka terlihat saling mencintai satu sama lain.

Hinata tidak pernah melihatnya, itu adalah kenyataan yang sudah Yahiko ketahui semenjak kedatangan Hinata dan Hikari ke Istana. Senyum yang Hinata ulas saat mengatakan dia bersedia menjadi Istrinya, adalah senyum palsu dan sangat dipaksakan. Senyum yang membuat Yahiko bersumpah akan membuat gadis itu tersenyum tulus dan tidak akan merasa menyesal karena telah memilihnya.

Namun kini, melihat pemandangan di depannya membuat hati Yahiko remuk. Perlahan, ia berbalik, memunggungi kedua insan yang masih hanyut dalam dunia mereka. Yahiko memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan rasa perih dalam hatinya. Dan berharap dia bisa cepat terlelap dan bangun seakan semua ini tidak pernah terjadi.

"Yahiko-sama..." suara lembut yang selalu menenangkan hatinya.

Lelaki itu memutar kepalanya, menatap sosok anggun yang datang menghampirinya. Hinata tersenyum tipis, dia membawakan secangkir teh yang ia buat sendiri. Yahiko mengucapkan terima kasih sebelum menyesap teh dengan harus melati itu.

"Yahiko-sama... apa anda baik-baik saja? Akhir-akhir ini anda terlihat lesu dan sering melamun."

Dari ekor matanya, Yahiko tahu bahwa Hinata benar-benar mencemaskannya. Wanita itu terlalu baik, dia lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri. Dan mengingat hal itu semakin membuat Yahiko terpuruk.

Diletakannya cangkir teh sebelum menarik pinggang Hinata pelan. Ia bersandar pada perut besar Hinata, di mana calon anaknya berada. Dentuman lembut dan samar-samar itu seakan menjadi obat paling ampuh untuk menghilangkan kegelisahannya saat ini.

"Hinata..."

"Ya, Yahiko-sama?"

"kau tahu..." jeda sejenak sebelum Yahiko menggeleng lemah. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Hinata lembut. "Tidak apa-apa, kehadiranmu dan si kecil cukup membuatku merasa lebih baik."

Senyum yang sedikit dipaksakan, Hinata dapat melihatnya jelas, sejelas jendela yang terbuka. Namun hal yang berkabut adalah apa yang tengah dirisaukan Yahiko. Kerisauan yang entah kenapa Hinata rasakan, ada sangkut pautnya dengan dirinya.

...

"Yahiko-sama..."

Suara Momoshiki terdengar sayup namun cukup untuk menarik perhatian Yahiko. Laki-laki itu menutup buku kecil yang tengah ia baca, lalu mengalihkan netranya. Momoshiki berdiri di ambang pintu, membungkuk hormat sebelum berjalan menghampiri Yahiko yang tengah berada di ruang kerjanya.

"Anda dipanggil Yang Mulia Raja di ruang kerjanya."

"Benarkah? Ada apa jam segini ayah memanggilku?" Yahiko segera beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruangan bersama Momoshiki. "Terima kasih Momoshiki, ah! tolong lihat keadaan Hinata, minggu-minggu ini adalah masa rentan baginya. Jangan lupa kabari aku kalau terjadi sesuatu!"

"Saya mengerti, Yahiko-sama. Anda tidak perlu cemas, karena tabib nenek Chiyo selalu berada di samping Hinata-sama."

"Haa... baguslah kalau begitu." Yahiko mulai melangkah pergi, namun baru beberapa langkah dia kembali menoleh menatap Momoshiki. "Astaga! Aku tidak bisa berhenti cemas belakangan ini! Chiyo-baa-san tidak pernah meleset sebelumnya dalam memperhitungkan kelahiran, benar bukan?"

"Ya, karena itu anda tidak perlu cemas, karena menurut perhitungan Chiyoo-baa-sama. Hinata-sama baru akan melahirkan pertengahan sampai akhir bulan ini."

"O-oh.. benar dan ini masih awal bulan. Ya... kau benar, baiklah aku pergi dulu."

"Baik Yahiko—"

"Ah tidak! mungkin lebih baik jika aku melihat keadaan Hinata terlebih dulu."

Momoshiki menghela nafas pendek, pemuda dengan rambut keperakan itu segera menahan pundak yahiko lalu mendorong laki-laki yang lebih muda beberapa tahun darinya itu.

"Hinata-sama baik-baik saja, Yahiko-sama. Sudahlah, tidak baik membuat Raja menunggu."

"Tapi... Momoshiki-kun~ aku ingin melihat Hinata sebentar~"

"Nanti saja setelah anda bertemu dengan Raja."

"Momoshiki... Hinata~~~"

...

Yahiko menghela nafas pelan, dia kalah dari Momoshiki. Pemuda lavender itu selalu tahu bagaimana cara membuatnya menyerah. Manik coklatnya melirik sekilas, langit begitu gelap dengan awan hitam yang semakin membuat malam terlihat larut. Rintik-rintik hujan menambah hawa dingin yang sudah menusuk tulang.

Sesampainya didepan ruangan Sang ayah. Yahiko mengetuk pintu tiga kali sebelum membuka pintu dan melangkah masuk.

"Ayah, aku datang..."

Suara petir yang mulai saling sahut menyahut terdengar. Yahiko sempat tersentak kaget dengan suara keras dari cahaya langit. Ia sempat terpejam sesaat, sebelum maniknya terbuka.

"Ugh.. uhuk!"

Tes...

Tes...

Tes...

Tetesan darah yang mengalir dan jatuh perlahan membasahi karpet beludru. Sosok yang Yahiko kenali kini mulai limbung sebelum jatuh dengan suara keras. Manik coklatnya masih terpaku pada sosok laki-laki dengan ekor yang menggeliat dengan ujungnya yang runcing dan terdapat darah segar di sana.

"Ya..Hiko..."

Suara dari wanita yang telah melahirkannya terdengar, seketika menyadarkan Yahiko. Laki-laki itu segera berlari menuju lemari, tempat biasa ayahnya menyimpan pedang cadangan. Ia segera menarik sarung pedang dan menghunuskannya ke arah sosok yang telah melukai Ibu dan Ayahnya.

"Siapa kau!"

Sosok itu tak menjawab, ia hanya mengibaskan ekornya yang telah berlumuran darah. Saat petir kembali menyambar permukaan bumi. Manik coklat itu melebar saat melihat helaian berwarna kuning dan mata merah menyala.

Gigi geraham saling beradu sebelum erangan terdengar bersama desingan pedang membelah udara.

Klang!

Dengan mudahnya, pedang Yahiko terpental dan menancap dinding di belakang sang Putra Mahkota. Pelaku dari penyerangan Raja dan Ratu Pain, melangkah pelan hingga kini berdiri di depan Yahiko.

Rambut pirang, mata merah dengan tiga garis halus di kedua pipinya. Yahiko yakin, laki-laki di depannya ini adalah orang yang sama dengan pemuda yang waktu itu. Pemuda yang berada dalam pelukan istrinya.

"Apa mau mu? Bukankah kau teman Hinata?"

Suara tawa terdengar, sinis dan penuh dengki. Naruto mengibaskan ekornya hingga membuat percikan darah mengenai wajah Yahiko. Meski begitu raut wajah dan tatapan Pangeran tetap tegas, tanpa menunjukkan rasa takut ataupun gugup.

"Teman? Apa kau yakin?" senyum licik yang berubah menjadi seringaian sadis. Manik merah darah itu mengkilat sesaat.

"Kami lebih dari teman~"

...

Malam itu, ketika bulan mulai menanjak naik, keheningan penuh damai tidak pernah terdengar lagi dari Istana Pain. Percikan dari benturan logam terdengar, suara raungan para penghuni yang bersembunyi dalam kegelapan. Teriakan para tentara dan kobaran api menjadi satu-satunya yang ada malam itu.

"Hinata-sama, cepatlah masuk!"

Langkah kecil itu tertatih dan hampir limbung, untunglah salah satu pengawal berhasil menahannya. Laki-laki bertubuh agak kekar itu membantu Hinata untuk naik ke atas kereta kuda. Hinata sama sekali tidak bisa mengikuti arus yang tengah terjadi saat ini. Baru beberapa saat yang lalu, dia duduk santai di paviliun sembari bersenandung pelan. Namun kini, dia sudah berada di dalam kereta kuda dengan iris bulannya menatap kilatan api kemerahan yang menelan separuh bangunan Istana.

"Tunggu dulu! Bagaimana dengan Yahiko-sama? Raja serta Ratu?"

Dua pengawal saling adu tatap, seakan enggan untuk berkata. Atau memang mereka tidak tahu apa yang telah terjadi dengan tiga orang terpenting bagi Kota Sawah. Hinata dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, firasat buruk datang bersama rasa mual.

"Yahiko-sama! Katakan di mana Yahiko-sama?!"

"Tenanglah Hinata-sama, beliau tidak apa-apa saat ini Pangeran sedang berada dibarisan depan dalam melawan para monster!"

"Mo-monster?"

Manik lavender itu bergetar pelan, tidak ingin mempercayai apa yang ia dengar dari mulut salah satu dari pengawalnya.

"Istana... telah diserang oleh segerombolan siluman yang dipimpin siluman rubah."

...

Suara teriakan penuh keputus-asaan terdengar, menggema bagai melodi. Satu persatu, mereka diserang, diterkam, dimangsa oleh para monster yang kelaparan. Kobaran api yang semakin besar dan mengamuk mejadi latar belakang bagi para kumpulan monster dengan berbagai bentuk. Dan di depan mereka berdiri sesosok laki-laki dengan yukata hitam yang sudah terkena noda merah di sana sini. Helai rambut kuning berkibar tersapu angin malam dengan percikan api.

Senyum sadis dan menakutkan terlukis jelas disana, memberi janji betapa mengerikannya neraka itu. Di depan puluhan para youkai, berdiri pula tanpa gentar para prajurit yang dipimpin Yahiko. Pemuda itu, tidak dalam keadaan baik. Ia mendapat luka serius dari hasil perlawanannya terhadap Naruto. Pemuda meringis pelan, namun ia masih berusaha berdiri tegak dan menghunuskan pedangnya.

"Jangan harap kau bisa bebas dari semua yang sudah kau lakukan!"

"Oho~ memang itu yang aku harapkan, jika pesta berakhir singkat itu sama sekali tidak menarik bukan?"

Yahiko mengeratkan genggamannya, sebelum ia berseru lantang.

"SERANG MEREKA!"

...

Dari kejauhan, Hinata masih bisa melihat cahaya merah kekuningan dengan sedikit percikan api. Kereta kuda melaju dengan kecepatan tinggi, membawanya jauh, jauh dan semakin jauh dari Istana. Kedua tangannya bergetar dan basah oleh keringat. Jantungnya berdetak lebih cepat, rasa takut dan cemas menghantuinya, namun ada yang lebih membuatnya cemas.

'Istana... telah diserang oleh segerombolan siluman yang dipimpin siluman rubah.'

Hinata menggeleng cepat-cepat, tidak mungkin siluman rubah yang dimaksudkan itu adalah Naruto. Berulang kali Hinata berusaha menguatkan dan mengingatkan dirinya. Naruto, Uzumaki Naruto, sahabat sekaligus orang yang dia cintai tidak akan pernah melakukan hal seperti ini.

Tiba-tiba kereta kuda terguncang kuat, membuat punggung Hinata terbentur keras. Suara kuda yang meringkik dan tawa yang menggema membelah malam. Setelah itu Hinata yakin, ia mendengar suara teriakan dari luar. Suara yang ia dengar sama sekali bukan pertanda baik, aura menyeramkan yang ia rasakan saat ini juga sama sekali tidak membantu.

Hinata tersontak kaget saat tiba-tiba muncul benda tajam yang menjebol pintu kereta kuda. Benda tajam yang mirip dengan cakar itu menarik paksa hingga membuat pintu kereta terlepas dari tempatnya.

"Kikiki~ aku menemukan Sang Putri~"

Seekor monyet berbulu coklat kehitaman dengan mata kuning terang tertawa nyaring. Ia mengulurkan tangannya, berusaha menggapai Hinata yang mencoba menjauh dan berada di sudut kereta kuda. Berharap tangan besar siluman itu tidak mampu meraih dirinya.

"KHIIIHKHHH!"

Jeritan siluman monyet memekakan telinga lalu lenyap bersama dengan limbungnya siluman besar itu. saat Hinata bernafas lega, ia kembali menegang saat sebuah sosok terlihat berdiri di depan pintu kereta kuda.

"Hinata-chan?"

Iris lavender itu mengerjap, agak tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Namun saat sinar bulan menyinari sosok itu, lelehan air mata meluap dan membasahi pipinya. Rambut pirang dengan tiga garis halus di kedua pipinya, serta manik biru laut yang selalu menenangkannya.

"Naruto-kun!"

"U-ups! Hinata-chan kau tidak apa-apa?"

Naruto mencoba mengecek Hinata yang berlari memeluknya, apakah dia terluka atau tidak. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Hinata saat ia dan Gaara tengah berjalan santai. Gaara yang berada di belakangnya, tengah memperhatikan siluman yang sudah mulai mengabu dan terbawa angin malam.

"Naruto-sama," Gaara berujar pelan, "Dia... bukan bagian kita."

Perkataan Gaara cukup untuk membuat Naruto menyipitkan matanya. Raut wajahnya berubah serius dan rahangnya sedikit mengeras.

"Apa mereka Youkai Barat?"

"Entahlah... tapi mungkin saja, mengingat tak jauh dari sini adalah perbatasan kita dan Youkai Barat."

"Syu-syukurlah..." gumaman pelan Hinata menarik perhatian Naruto dan Gaara.

Hinata mengangat wajahnya dengan mata memerah dan air mata yang masih mengalir. "Syukurlah... aku percaya, Naruto-kun tidak akan melakukannya. Kau... tidak menyerang Istana... syukurlah..."

Kerutan di dahi Naruto menandakan bahwa ia tidak paham. Apa maksudnya dengan dia menyerang Istana? Suara Gaara segera membuyarkan pemikirannya. Manik biru lautnya mengikuti arah dimana Gaara menunjuk sesuatu.

"Kau... pasti bercanda..." desis Naruto saat melihat kobaran api besar yang berada tak jauh dari tempat mereka bertiga berpijak. "Itu daerah Istana Pain, bagaimana bisa?"

"Kami diserang, dan pengawal mengatakan bahwa kami diserang youkai yang dipimpin olehmu Naruto-kun."

"Apa?!" Kedua youkai itu membulatkan matanya mendengar penuturan Hinata.

Gaara merasakan firasat buruk, "Naruto-sama kita harus memberitahu Kurama-sama mengenai hal ini!"

Manik biru laut itu memandang jauh kepulan asap yang terbentuk di langit malam. Kedua tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Beraninya... beraninya para youkai itu menghancurkan salah satu daerahnya terlebih daerah di mana Hinata berada.

"Ukh!"

Naruto sontak menoleh ke arah Hinata saat mendengar wanita itu merintih kesakitan. Hinata memeluk perutnya yang sudah membesar, wajahnya terlihat sangat pucat dengan peluh mulai membanjiri wajahnya. Samar-samar telihat noda hitam yang mulai terlihat berbentuk ular yang tengah melilit. Kesekian kalinya, Naruto membulatkan matanya.

"Hi-Hinata-chan... kau..."

"Haa... haa.. aku- aku baik-baik saja Naruto-kun."

"Tidak, kau tidak baik-baik saja! Bajingan itu... dia benar-benar menanamkan kutukan padamu!"

Tak sanggup untuk menahan bobotnya, Hinata menjatuhkan badannya. Beruntung Naruto dengan sigap menahannya dan menyandarkan Hinata pada sebuah pohon besar. Sinar bulan yang menerpa mereka semakin memperjelas bercak hitam yang mulai membelit di sekujur tubuh Hinata.

"Aku... bisa mengatasi hal ini, haa... se-seperti biasanya."

"Apa maksudmu? Hinata-chan... jangan-jangan kau sudah mengetahui hal ini?"

Bibir yang selalu terlihat cerah dan merona kini begitu pucat. Namun senyum itu tetap lah sama, senyum menenangkan yang membuat hati Naruto menjadi lebih tenang.

"Ini... hal yang kau cemaskan wa-waktu itu... benar bukan, Na-Naruto-kun?" Hinata terbatuk keras, rasa sakit, panas dan nyeri ia rasakan bersamaan. Sungguh sangat menyiksanya. "Aku tahu, dan bukan hanya kamu saja... yang mencari penawarnya Naruto-kun... haa... jadi, jangan me-merasa bersalah..."

Hinata kembali menjerit kuat, rasa sakit diperutnya membuatnya mengeluarkan air mata. Sungguh, Hinata merasa ini bukan waktu yang tepat untuk melahirkan, tapi ia dapat merasakan air ketubannya telah pecah. Naruto kini panik bukan main, melihat Hinata mengerang kesakitan dan juga kutukan yang semakin memekat membuatnya sangat khawatir.

"Hinata-sama harus segera mendapatkan perawatan, kita harus cepat kembali." Gaara berujar dengan tenang, berharap dengan begitu kepanikan Naruto berkurang.

"Ah, ya kau benar! kita harus ce—"

"Na-Naruto-kun... to-tolong... selamatkan Ya-Yahiko-sama..."

Kedua iris berbeda warna itu saling tatap, berusaha menyampaikan sesuatu. Naruto mengangguk paham, ia melepaskan genggamannya pada kedua bahu Hinata dan menatap Gaara.

"Aku titip Hinata, setelah kau sampai beritahu Kakek dan kirim bala bantuan secepatnya."

Gaara segera menahan langkah Naruto, "Tunggu dulu! Apa kau akan pergi sendiri? Kau sama saja cari mati!"

"Karena itu aku memintamu untuk memanggi bala bantuan. Lagi pula kita tidak punya banyak waktu, terutama Hinata." Naruto menatap sekilas Hinata yang tengah menahan sakit sebelum menatap Gaara lagi. "Jika dugaanku benar, ini semua ulah sosok misterius yang telah menaruh kutukan pada Hinata. Kita sudah mencari berbagai macam cara untuk menyembuhkan Hinata, tapi tidak berhasil."

"karena itu, aku akan pastikan dia memberikan penawarnya bagaimanapun caranya."

Tatapan yang Naruto berikan begitu tegas dan tak terbantahkan. Hal itu membuat Gaara menarik tangannya dan menghela nafas pelan. Pemuda merah itu lalu mengangkat tangannya, membuat gumpalan pasir dan mengelilingi Hinata.

"Aku paham, aku janji secepatnya kami akan datang membantumu. Jadi tetaplah utuh Naruto."

"Hei! Kau bisa juga berkata seperti itu, Gaara!" Naruto menyunggingkan senyum lebar sebelum mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Aku pergi dulu!" seru Naruto lalu ia melesat membelah malam.

Gaara menatap punggung temannya yang mulai menghilang sebelum ia bersama dengan Hinata melayang bersama pasir-pasirnya menuju hutan.

...

"Kau bukan dia..." Yahiko menggeram pelan saat pedangnya beradu dengan ekor sang rubah.

Naruto tertawa pelan, "Aku bukan siapa?"

"Jangan pura-pura bodoh, siapa kau sebenarnya?! Pemuda itu... aku yakin tidak mungkin akan melakukan ini!" Yahiko mengherdik,

Kembali suara tawa terdengar, pelan sebelum berubah besar dan terdengar gila. "Kau sungguh naive Pangeran Yahiko. Kau bahkan tidak mengenalku, bagaimana mungkin kau yakin kalau aku mungkin tidak akan melakukan hal ini?"

"Karena aku percaya Hinata."

Jawaban Yahiko yang tegas sukses membuat Naruto membisu. Namun keheningan itu tak berlangsung lama. Karena dari langit, tiba-tiba saja sesuatu atau seseorang menghantam Naruto dengan keras hingga ia terpental beberapa meter.

"A-apa?"

Dari kepulan asap yang menipis, berdiri seseorang dengan helaian rambut pirang. Yahiko membulatkan mata coklatnya. Bagaimana mungkin... sosok itu membelah diri menjadi dua?

"Hah! kata-kata yang bagus Pangeran!" seru Naruto lalu menoleh dan tersenyum lebar.

"Kau... musuh atau kawan?"

Pemuda pirang itu menggaruk pipinya, "Setelah aku menghajar dia, kau masih bertanya?" tak mendapat respon dari Yahiko, Naruto mendengus pelan. "Aku... Uzumaki Naruto, Youkai rubah dari Timur! Dan aku teman Hinata, yang asli."

Kemudian Naruto berbalik dan menujuk sosok palsu yang kini terbaring di tanah dengan luka parah di wajahnya. Pukulan yang Naruto berikan cukup memberi dampak yang besar, dan juga keuntungan karena dengan begitu mereka berdua tahu siapa sebenarnya sosok yang menyamar menjadi Naruto.

"Aku tidak ada waktu untuk bermain dengan boneka jelek sepertimu—ttebayo! Cepat panggil tuanmu karena aku ada urusan dengannya!"

"Ha-ha-ha... kau da-tang ju-ga ru-bah me-rah ha-ha-ha."

"Ya, ya, ya... aku datang jadi panggil tuanmu boneka jelek!"

"kau benar-benar tidak sabaran hum.. Naruto."

Sebuah suara baru terdengar dari atas, Naruto dan Yahiko mendongak dan mendapati sosok laki-laki melayang sekitar sepuluh meter di atas mereka berdua. Manik coklat Yahiko melebar, surai lavender pucat yang tertutupi tudung transparan serta manik lavender yang ia kenali.

"Mo-Momoshiki-kun?"

Yahiko mengerjapkan matanya, berharap apa yang ia lihat hanyalah ilusi semata. Momoshiki tertawa lantang, keras, dan mengerikan. Senyum lembut yang selalu diulas Momoshiki tak terlihat dimanapun, yang ada hanyalah seringaian lebar.

"Seharusnya kau membenci Naruto, Yahiko-sama. Bukankah karena dia kau belum juga mendapatkan hati Hinata-sama?"

"Momoshiki... kau tidak benar-benar melakukan ini bukan?"

Lelaki itu mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Menurutmu? Ha~ sayang sekali, seharusnya aku hanya duduk dan memperhatikan kalian berdua saling membunuh satu sama lain. Tapi kalian berdua terlalu bodoh rupanya."

Serangan tiba-tiba melesat dan hampir mengenai Momoshiki, jika saja laki-laki itu tidak menghindar tepat waktu. Manik lavender itu jatuh pada sosok Naruto yang telah mengeluarkan ekornya.

"Selalu tidak sabaran seperti biasanya, Naruto."

"Jangan memanggilku seakan kita akrab, kau... beraninya mengacau di daerah kekuasaan Kurama!"

"Oho~ sepertinya kau mulai marah, itu bagus karena pesta akan semakin meriah~"

"Berhenti bicara dan serahkan penawar Hinata!"

Dalam sekali lompatan, Naruto melesat dan meluncurkan tendangan yang ia arahkan ke perut Momoshiki. Pukulan telak yang mengakibatkan Momoshiki terpental hingga menabrak bangunan Istana. Kepulan asap kembali terjadi dan saat asap mulai menghilang, sekali lagi pemuda itu tertawa.

"Jangan terburu-buru, pesta baru saja dimulai, kau tahu itu."

Kulit putih pucat yang hampir terlihat licin, wajah yang dulu menyimpan sejuta kehangatan berubah menjadi dingin dan memberi perasaan tak enak kepada setiap orang yang melihatnya. Kedua tangan yang dulu selalu membantunya kini penuh dengan sisik.

Yahiko terperangah menatap sosok asli dari laki-laki yang sudah ia anggap saudaranya sendiri. Sosok Momoshiki yang penuh dengan sisik dan kakinya yang berubah menjadi badan ular. Momoshiki tersenyum puas, seakan bangga dengan kejutan yang ia berikan kepada Pangeran Mahkota.

...

Malam itu adalah malam terpanjang yang Hinata rasakan. Rasa sakit serta perihnya proses melahirkan serta kutukan yang menyerangnya membuatnya lemah. Setiba ia dirumah kediaman Familiar Tsunade-sama. Gaara segera memanggil bantuan untuk mengobati Hinata dan membantu persalinannya. Setelahnya, ia segera menghadap Kurama dan menceritakan apa yang telah terjadi.

Tanpa membuang waktu, Kurama memerintahkan para youkai kelas atas untuk pergi bersama Gaara menuju Istana Pain dan menolong Naruto. Sementara itu Hinata kini tengah berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Keringat dingin tak hentinya mengalir dan membasahi tubuhnya yang terbaluk yukata putih.

"Hinata, berjuanglah!"

Seorang gadis dengan rambut pirang pucat berseru. Dia bertugas untuk membantu kelancaran persalinan Hinata. Dibantu beberapa siluman, gadis itu mencoba membaca mantra untuk menahan laju kutukan yang menyerang gadis Hyuuga itu.

"Arrgh!"

"Shion-sama... bagaimana ini? kutukan ini sudah sangat parah." Sosok siluman kerdil yang sedari tadi mengelap peluh di kening Hinata terlihat panik dan sedih.

"Tenang saja, Naruto-sama pasti akan kembali dan membawa penawarnya." Manik ungunya berkilat, meski ia mencoba tenang hatinya mencelos dan berharap Naruto benar-benar cepat kembali. Karena jika tidak, nyawa Hinata tidak akan tertolong.

Kutukan tua yang hanya diketahui siluman yang sudah hidup ribuan tahun. Lawan kali ini, bukanlah lawan yang mudah. Mereka diburu waktu, dan semakin sempit kesempatan untuk membuat Hinata bertahan. Jika sudah seperti ini, mungkin hanya salah satu dari mereka yang akan selamat. Hinata atau anaknya, Shion menggeleng pelan. Berusaha menghilangkan pemikiran negatif itu dan kembali memberikan separuh chakra-nya untuk menghambut kutukan.

"Sh-ion...-chan..."

"Jangan banyak bicara Hinata-sama!"

Pemilik dua iris bulan itu tertawa tanpa suara, jujur saja dia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk bicara. Namun ada hal yang harus ia katakan kepada youkai rubah itu. Sesuatu yang sangat penting.

"Tolong...se-lamatkan...a-nak-ku..."

Kedua pasang iris yang hampir sama itu saling beradu tatap, mencoba untuk menyampaikan dan menerima. Shion memalingkan wajahnya sebentar sebelum menatap Hinata dalam.

"Bukan hanya anakmu, tapi kau juga Hinata-chan."

"He-he-he... per-tama kalinya... kau me-manggilku seperti itu..."

Shion tidak mengerti, bagaimana bisa manusia ini tetap tersenyum seperti itu, walau tahu nyawa dia tengah terancam. Banyak siluman yang mengatakan kalau manusia itu bodoh dan mudah diperdaya, tapi baru kali ini ia melihat seorang anak adam yang membuatnya tidak mengerti.

...

Saat itu bulan purnama telah berada dipuncak, membawa gumpalan kapas hitam dengan rintik hujan. Pertempuran telah berakhir tepat sebelum bulan di atas kepala. Suara gesekan dedaunan terdengar di Hutan, cukup banyak dan sekitar dua meter di depan mereka ada yang lain. Jika tadi gesekan daun terdengar ribut, maka kali ini tidak.

Naruto melompat keluar dari hutan dan berlari menuju sebuah kuil. Sebuah Kuil yang tidak terlalu besar yang telah menjadi tempat para manusia berdoa pada Sang Dewa Padi. Sebuah botol yang berisikan butiran kecil berwarna hitam, berada dalam genggaman Naruto. Senyum bahagia terlihat jelas, menandakan kalau dia telah mendapatkan penawar untuk Hinata.

"Hinata!" seru Naruto sesudah ia sampai di rumahnya.

Rumah yang terbuat dari kayu Jati dan berwarna coklat muda. Rumah yang dikelilingi danau buatan dimana siluman air menikmati harinya. Naruto membuka pintu geser, mencoba menemukan dimana Hinata berada.

"Hinata-chan! Lihat apa yang aku bawa!" Naruto segera berlari dan duduk di samping Hinata yang tengah tertidur.

Yukata putih yang semula wanita itu pakai kini telah berganti dengan kimono selembut sutera dengan hiasan bunga anggrek. Hinata membuka mata, ia mengulas senyum tipis lewat bibir pucatnya.

"Selamat datang... Naruto-kun."

"Ya, dan lihat apa yang aku bawa! Obat penawar, kau akan sembuh Hinata."

Senyum itu masih ada, tidak bergetar sedikitpun. Namun ada sesuatu dari senyuman itu. Gemuruh detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu, Naruto segera mengambil segelas air dan mengeluarkan sebutir obat penawar.

"Hinata cepatlah diminum..." Pemuda pirang itu membantu Hinata untuk duduk.

"Naruto-kun..."

Bahkan suara lonceng itu kian memudar, lemah dan samar-samar. Tidak, dia belum terlambat. Hinata pasti akan baik-baik saja.

"Maafkan aku... Naruto-kun..."

Tidak! jangan meminta maaf, tidak, tidak, dia telah berjanji akan melindungi Hinata. Apapun yang terjadi, dia sudah berjanji dan bahkan dia berhasil membawakan obat penawarnya. Ya, obat penawar Hinata akan sembuh setelah meminumnya.

Manik biru laut itu membulat saat pil kecil itu berubah menjadi pasir. Segera pemuda itu mengambil pil yang lain, namun semua berubah menjadi pasir dan terbawa angin malam. Naruto mengerang frustasi, bahkan sampai matipun siluman brengsek itu tetap menipunya.

"Hinata aku mohon bertahanlah... jangan tinggalkan aku!"

Pemuda pirang itu mencium kening Hinata. Berharap dengan begitu ia dapat memberitahukan betapa ia membutuhkan sosoknya, betapa ia mencintainya. Jemari lentik yang terasa dingin mengenai kulit pipinya, menyeka air mata yang entah sejak kapan sudah tumpah.

"Naruto-kun... maafkan aku..." Senyum getir itu bukanlah senyuman yang ingin Naruto lihat.

Senyum menawan dengan sejuta kehangatan setiap ia memandangnya. Itu lah senyuman Hinata yang ia kenal. Naruto menggenggam erat tangan mungil yang begitu dingin dalam genggamannya. Tidak, dia tidak bisa kehilangan Hinata. Dia rela jika Hinata berada disamping orang lain, tapi jangan. Naruto sangat memohon jangan sampai Hinata menghilang dalam hidupnya, jangan sampai...

"Ja-jangan menangis... Na-Naruto-kun..."

"Hinata..."

Senyum damai penuh ketulusan hadir di wajah cantik gadis bermata lavender sebelum menutup sepenuhnya. "Aku bahagia... mengenalmu... Naruto-k..u..n..."

Naruto melebarkan matanya, diguncangnya tubuh mungil Hinata dan memanggil namanya berulang kali. "Hinata... Hinata! Hinata!" terus memanggilnya, berharap si gadis bulan kembali membuka mata dan tersenyum seperti biasa.

Isak tangis yang berubah raungan, hujan yang mulai melebat seakan turut bersedih. Bulan purnama juga tertutup awan hitam, menutupi sinar terangnya dan hanya memberikan kegelapan. Selama beberapa jam Naruto hanya memeluk tubuh Hinata yang kini semakin dingin. Jejak air mata masih tertinggal di sana, mengering bersama hatinya yang mengeras, retak dan rapuh perlahan-lahan.

.

.

.

To Be Continue...

Continue Reading

You'll Also Like

15.5K 1.5K 27
Naruto dkk serta gambar bukan milik saya. Cerita karangan asli buatan saya. Klan Uchiha memiliki aturan yang sangat menyeramkan bagi setiap keturunan...
746K 35.7K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
6.3K 521 11
"New, invite meet B. Indo dong. Microsoft Teams gue error." "Bentar." "Sekalian nanti meet Sejarah ya. Thanks, New!" [COMPLETED] SOCIAL MEDIA & NARRA...
37.3K 3.1K 24
Semua bermula saat sakura mendapati kekasih nya selingkuh, membuat hati nya terasa hancur lebur dengan rasa sakit yang hebat yang ternyata menuntun n...