Aku, Kamu adalah Kita

By NyQueen98

1.4K 226 137

Untukmu, hidupku, prioritasku More

Blurb (Tahap Revisian)
1. Sari Purnama
2. Amelisa Bahtiar
3. Anita Azzahra
4. Hera Wati
6. Mencoba Move on
7. Sari....
8. SEPUPU
9. Sehari dengan Kak Imran
10. PUISI
11. Ini kencan?
cuap cuap Ny

5. Sari, Nita, Amel, Hera.

85 18 9
By NyQueen98

WARNING!

!

TYPO BERTEBARAN.

HARAP KRITIK DAN SARANNYA.

😘😘😘


.
.

Aditya sengaja bangun cepat untuk menjemput Sari di rumah cewek itu. Pedekate nya kemarin gagal gara-gara Arwan, anak kelas satu yang entah mengapa selalu jadi sorotan perhatian Sari. Dengan mengendarai Sedan hitamnya ia melesat cepat ke sebuah komplek perumahan elit. Tepat di sebuah rumah yang jadi tujuannya itu, baru saja keluar Kijang Silver yang tidak dikenalinya. Kijang itu melaju dengan cepat, melesat ke arah yang berlawanan dengannya. Saat mobil itu melintas sempat dilihatnya seseorang yang mengemudikannya dan sesorang yang duduk di sampingnya. Mengenali pengendara itu, Aditya mengerem mendadak. Ia menggeleng tak percaya. Nggak mungkin! Desisnya. Ia segera membanting setir lalu mengejar mobil itu.

Arwan yang mengemudikan mobil sesekali melirik kaca spion. Ia mengerutkan kening saat mendapati sebuah mobil Sedan hitam mengikutinya sejak keluar dari rumah Sari. Awalnya dia mengira kalau Sedan itu hanya kebetulan punya tujuan yang sama. Saat ia memberi jalan agar mobil di belakangnya jalan duluan, tapi Sedan hitam itu sama sekali tidak berniat mendahului ia jadi heran dan penasaran. Ia menarik kesimpulan kalau mobil itu mengikutinya.

"Kak?"

Sari yang sejak tadi sedang sibuk chatingan mengangkat wajahnya lalu menoleh pada Arwan. "Apa?"

"Lo kenal sama mobil di belakang?"

Sari mengerutkan kening lalu melihat kaca spion di sampingnya. Sedan hitam itu terus mengikuti mereka. "Kayaknya gue kenal deh mobil itu," gumamnya pelan tapi masih bisa di dengar oleh Arwan.

"Lo kenal?" tanyanya sekali lagi.

"Itu kayaknya mobilnya Aditya."

Arwan mengeraskan rahangnya. Sudah dia duga. Siapa lagi cowok yang berani mengikuti mereka selain cowok berandalan itu.

Arwan mengangguk lalu tiba-tiba di injaknya rem mendadak. Sari yang untungnya memakai seatbelt akhirnya tidak jadi kejedot dashboart. "Apaan sih, Wan!"

Sama seperti Sari yang terkejut, Aditya juga sama terkejutnya. Untungnya mobilnya tidak dalam kecepatan tinggi, ia bisa menghentikan mobilnya sebelum Sedannya mencium bodi belakang Kijang Arwan. Belum cukup keterkejutan Aditya, Kijang itu kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Keluar dari jalan komplek menuju jalan raya.

"Astaga, Wan! Lo mau bikin kita mati apa?" Arwan sama sekali tidak menggubris omelan Sari. Dia tetap diam walau Sari tetap berkicau. Sampai di sekolah Sari langsung keluar dan membanting pintu mobil. Hingga menimbulkan bunyi yang berdengung. Sari tidak peduli kalau misalnya mobil itu rusak atau apalah itu.

Setelah memarkir mobilnya, Arwan mengejar Sari. Sari yang tahu kalau Arwan mengejarnya, mempercepat langkahnya menuju kelasnya. Berpapasan dengan Takdir, ketua kelasnya, ia memberi pesan yang membuat cowok itu tidak bisa membantah.

"Jaga pintu. Jangan biarin anak kelas satu masuk. Ini pesan Aditya."

Setelah mengatakan itu. Sari segera ke mejanya yang terletak di pojok kelas. Tempat paling aman untuk tidur atau membaca novel sendiri. Memasukkan tas sekolahnya lalu mengeluarkan Hp nya dan menghubungi Aditya.

"Dit? Lo gak papa, kan?"

***

Nita sedang mengerjakan atau lebih tepatnya menyalin PR Fisika Mila, teman sebangkunya
Saat mendapati Aril masuk dengan wajah lesuhnya. Nita mengerutkan kening melihat tampang Aril yang kusut. Andai saja ia dan Aril dekat sudah pasti ia akan menanyakan sebab kekusutan wajah satu kelasnya itu.

Nita yang sejak tadi memperhatikan Aril langsung gelagapan saat mata setajam elang itu menghunusnya tepat di manik matanya. Nita segera memalingkan wajahnya. Entah mengapa jantungnya berdetak tidak karuan.

Aril yang melihat Nita gelagapan hanya mendengus. Setelah menyimpan tas nya di dalam laci mejanya. Ia segera keluar kelas.
Mila, yang sebenarnya sudah sejak tadi memperhatikan Nita dan Aril, memajukan badannya dan berbisik ke telinga Nita. "Lo naksir Aril, ya?"

"Apa?"

Mila menaik turunkan alisnya, menggoda Nita. "Cieee."

"Apaan sih!"

"Udah ngaku aja lo. Lo naksir sama Aril kan ya?"

Nita menoyor kepala Mila. "Sok tau lo! Siapa juga yang naksir sama cowok sampah kayak dia. Dih! Amit-amit deh jabang bayi!"

"Hush! Lo jangan ngomong begitu, Nit. Ntar lo naksir beneran sama Aril, gimana?"

"Nggak akan!" tandas Nita.
Mila hanya memutar bola matanya.

Tepat di dinding dekat pintu kelas, Aril bersandar dengan sebelah kaki menopang di belakang. Ia tengah menghirup nikotin di tangannya sambil menutup mata. Walau tengah menikmati nikotin, telinganya dengan jelas mendengar percakapan di balik dinding tempatnya bersandar.

***

Sehabis latihan cheers, Amel mengajak Hera ke belakang sekolah. SMA Semesta, selain memiliki lapangan luas untuk upacara, juga terdapat sebuah halaman belakang yang luas. Di sana juga terdapat sebuah gedung Laboratorium dan perpusrakaan. Di bangun di belakang sekolah untuk menghindari keramaian. Karna lab dan perpustakaan butuh ketenangan.

Selain Lab dan Perpustakaan, juga ada taman yang ditumbuhi dengan bunga-bunga. Di sana juga ditumbuhi pohon mangga yang berderet di dekat tembok.

Amel mengajak Hera ke perpustakaan untuk meminjam buku paket bahasa Inggris. Saat keluar dari perpustakaan tiba-tiba ia mendengar suara-suara yang membuat keningnya mengerut.
Suara-suara itu berasal dari ruang laboratorium.

Penasaran, Amel mengajak Hera ke lab. Mereka mengendap-ngendap agar langkah mereka tidak terdengar.

"Lo hebat." sebuah suara di sertai lenguhan membuat kening Amel tambah berlipat-lipat. Ia sudah menduga kalau di dalam ada sepasang kekasih yang sedang berbuat mesum.

"Kurang ajar banget sih, mesum kok di sini." gerutunya pelan. Hera yang mendengarnya terkikik pelan. "Namanya mesum tuh di tempat sepi, kak. Bukan di tempat ramai. Kalau di tempat ramai namanya cari mati."

"Gue mau lebih,"

Mendengar itu, Amel dan Hera membuka pintu sedikit untuk mengintip dan tertegun. Amel menendang pintu hingga mengagetkan sepasang kekasih di dalam sana.

"Amel?"

Amel berlari meninggalkan laboratorium tanpa memedulikan orang-orang yang memanggilnya. Hera masih tertegun saat memergoki Hengky, gebetan Amel yang sudah menyatakan cinta pada sahabatnya kemarin dan tinggal menunggu jawaban, sedang asyik melakukan french kiss sambil memangku seorang cewek yang dia kenali satu angkatan dengannya.
Hengky berusaha mengejar Amel namun ditahan oleh Hera.

PLAK

Satu tamparan sukses mendarat di pipi Hengky. Hengky terkejut, tidak menyangka bahwa Hera berani menamparnya.
"Lo.."

"Bajingan!"
Kembali satu tamparan mendarat di wajah Hengky. Setelah puas menampar Hengky, Hera segera menyusul Amel. Dia tahu kemana sahabatnya itu akan pergi.

Dan tebakannya benar. Amel memang ada di kelas Sari. Nita juga sudah ada di sana. Bel tanda pelajaran sudah lama berbunyi Hera berniat kembali ke kelas saat Sari mengatakan guru-guru sedang rapat. Yang akhirnya membuat Hera bergabung dengan ketiga temannya.

Kehadiran Amel, Hera dan Nita sudah biasa untuk kelas XII IPS 1. Jadi tidak akan ada yang kepo dan mencampuri urusan mereka. Hanya Aditya dan kelompoknya saja yang kadar kekepoannya sudah masuk taraf akut.

"Amel kenapa, Sar?"

"Nggak ada apa-apa. Lo mending keluar deh, beli apa gitu. Asal jangan ngeganggu dulu."

"Tapi, Sar..."

"Aditya Darmawijaya. Plis. Ladys time, oke?"

Menghela nafas, Aditya akhirnya mengangguk lalu keluar diikuti konco-konconya.

"Hiks.. He.. Hengky. Hiks... Di..."

"Hush! Lo gak usah ngomong dulu. Ntar aja. Percuma juga lo ngomong kalau masih sesenggukan." potong Sari.

Baginya menenangkan Amel dulu baru menanyakan alasan sahabatnya itu bisa menangis. Setelah puas menangis, Amel akhirnya menceritakan semuanya pada sahabat-sahabatnya dengan pelan. Takut ada yang mendengarnya.

"Kampret, ya, si Hengky. Gue pikir dia cowok baik-baik. ternyata..." Nita geleng-geleng kepala. Dia tidak menyangka kalau Hengky bajingan juga.

"Lo nggak usah nangis, Mel. Biarin aja. Lo harusnya bersyukur, belangnya Hengky ketauan duluan daripada nanti pas lo jadian, sakitnya malah parah."

Nita dan Hera mengangguk menyetujui perkataan Sari. Memang benar, mengetahui belang cowok sebelum jadi pacar lebih baik daripada mengetahui saat mereka sudah jadian.

Dalam hati Amel membenarkan ucapan Sari. Namun rasa sesak didadanya membuatnya terus menerus mengeluarkan cairan bening itu di matanya. Walau belum jadian dengan Hengky, tapi dia merasa dipermainkan oleh cowok itu. Karna baru kemarin Hengky menembaknya dan Amel sudah janji akan menjawabnya sepulang sekolah. Tapi melihat Hengky dengan gampangnya berciuman dengan cewek lain. Amel bertekad untuk bisa move on.

"Oke. Gue harus bisa move on."

Dan perkataannya itu membuat ketiga sahabatnya bersorak lalu memeluknya.

***


Arwan menghentikan langkah Hera saat cewek itu akan pulang. Hera yang tadi sudah mendengar cerita dari Sari sudah mengerti kenapa cowok itu mencegatnya.

"Apa?"

"Gue butuh bantuan lo. Kak Sari lagi ngambek."

"Sorry, Wan. Aku gak bisa bantuin kamu."

"Hera, plis, bantuin gue. Bujukin kak Sari deh buat gak ngambek lagi."

"Sorry, Wan. Kalau Kak Sari ngambek, susah buat ngebujukinnya."

"Aduh, Her. Plis! Bantuin gue ya. Gue janji bakalan ngasih apapun yang lo mau."

Hera berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Arwan akhirnya bernafas lega. Arwan yakin, Sari bisa luluh oleh bujukan Hera. Setelah Arwan pergi, Hera menghela nafasnya. Dia geleng-geleng kepala mengingat kelakuan Arwan fan Sari. Sebenarnya apa yang dilakukan Arwan bukanlah masalah besar. Tapi yang cowok itu hadapi adalah Sari. Sari Purnama. Cewek yang kalau ngambek ataupun marah bakalan susah ngebujuknya.

Hera melangkah menuju pelataran parkir. Sesekali ia bersay hello dengan beberapa orang yang bertegur sapa dengannya. Hera memang baru kelas satu, tapi namanya sudah terkenal seantero SMA Semesta karna kecerdasannya. Bahkan saat bergabung di team cheerleader namanya langsung melejit pesat. Jadi tidak heran kalau hampir seluruh siswa mengenalnya.

Dibanding Sari dan Nita yang ke sekolah membawa mobil sendiri, juga Amel yang kemana-mana selalu diantar jemput oleh sopir pribadinya, Hera lebih suka naik sepeda. Namun orangtuanya yang seorang pengusaha kelapa sawit di negri jiran sana yang tidak suka anaknya menjelma sebagai rakyat jelata, Hera terpaksa harus membawa mobil atau motor ke sekolah. Pilihannya jatuh pada motor matic biasa. Menurutnya lebih nyaman daripada harus naik mobil yang sudah pasti ribet, menurutnya.

Hera memakai helm bermotif kucing itu dengan hati-hati di kepalanya. Ia mengendarai motor maticnya keluar halaman sekolah. Hera bersenandung riang di atas motor  mengikuti lirik lagu sebuah girlband indonesia yang kini mungkin sudah bubar. Blink.

Ditengah perjalanannya untuk pulang, ban motornya tiba-tiba pecah. "Duh. Gimana nih, mana bengkel masih jauh."

Hera mengeluarkan Hp-nya menghubungi Nita.

"Ehm..."

"Kak.... Tut.. Tut.."

Hera menghela nafas. Ini nih yang membuatnya jengkel dengan Nita. Jika cewek itu sudah tidur, ada gempa dan banjir pun nggak bakalan bangun tuh anak, kecuali kalau Sari yang membangungkannya.

Hera coba menghubungi Amel. Bunyi NSP senyumin aja dari young lex menyapa pendengarannya. "Halo?"

"Halo, kak, aku minta tolong nih, buat jemput aku."

"Sorry, Ra, gue lagi ada di restoran, mommy lagi ada clien. Lo ngerti, kan, gimana nyokap gue?"

Hera menghela nafas, maklum. Sebagai anak dari seorang pengusaha kaya raya, Amel memang harus menghadiri setiap pertemuan dengan rekan kerja orangtuanya. Yang sebenarnya Amel sendiri tidak tahu untuk apa dia harus menghadirinya.

"Oke, kak. Kalau gitu aku coba telpon Kak Sari, deh. Semoga aja dia lagi gak ada acara."

"Iya. Sekali lagi, maaf ya, Ra."

"Oke kak. See you tomorrow."

Kembali Hera menghela nafas. Melafaskan basmalah sebelum menelfon Sari. Bunyi NSP the legend of the blue sea mengalun merdu di telinganya membuatnya ikut bersenandun kecil.

"Halo? Maaf dengan siapa, ya?"

Hera mengerutkan kening, menurunkan Hp nya dan mengecek id caller di LCD Hp-nya. Nama Kak Sari di sana.

"Maaf, bukannya ini nomornya Kak Sari?"

"Iya. Saya Inem, ART di sini. Benar ini nomornya non Sari. Maaf, non Sari tadi buru-buru pergi. Jadi lupa bawa Hp."

"Kak Sari ke mana, Bi?"

"Oh.. Saya dengar katanya mau ke Rumah Sakit."

"Rumah Sakit? Siapa yang sakit, Bi?"

"Saya juga ndak tau, non. Sudah dulu ya, non. Bibi masih banyak kerjaan."

"Oh. Oke. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam."

Hera menghela nafas untuk yang kesekian kali. Kembali dia menghubungi teman-temannya. Namun tidak ada yang bisa membantunya. Akhirnya ia memutuskan untuk mendorong motornya. Baru beberapa meter, nafasnya sudah ngos-ngosan. Ia menstandar motornya lalu duduk di trotoar. Beristrahat sejenak. Banyak pengendara yang berlalu lalang namun tak ada seorang pun yang berniat menolongnya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Setelah menghabiskan es krim yang tidak jauh dari tempatnya duduk ia kembali melanjutkan perjalanannya sambil mendorong mototnya. Beginilah nasibnya jika hidup sendiri. Ingin minta tolong pada Henry, kakak kembarnya, cowok itu malah sibuk katanya. Ingin menghubungi orang tuanya, mereka sedang ada di Malaysia. Jadi percuma saja. Ingin naik taxi masalahnya sayang motornya ditinggal. Bisa sih dia naik Taxi dulu ke bengkel lalu memanggil montir tapi dia takut kalau pergi, motornya akan dicuri orang. Jakarta kan kota yang terkenal tingkat kriminalitasnya paling terkenal.

"Butuh bantuan?"

Suara itu mengagetkannya. Hera menoleh dan mendapati Yayat berdiri di sebelahnya. "Ehmm... Iya sih, kalau kamu nggak keberatan."

Yayat menstandar sepedanya di trotoar. Lalu mengambil alih stan motor Hera. Mereka berjalan bersama-sama ke bengkel yang jaraknya lumayan jauh. Saru kilo dari sini. Hera yang berjalan di samping Yayat sesekali memperhatikan cowok itu. Dia memang sekelas dengan Yayat tapi tidak akrab dengannya. Yayat di kelas begitu dingin. Setahu Hera, cowok itu tidak memiliki teman di kelas. Yayat hanya bergaul dengan Aditya, biang kerok di sekolah.

Semakin lama memperhatikan Yayat, semakin besar semburat merah yang muncul di pipinya.

"Kamu sakit?" Hera terkejut saat punggung tangan Yayat sudah menempel di keningnya. "Nggak panas. Tapi kenapa wajahmu merah?"

Hera mundur selangkah lalu tersenyum kikuk. "Eh itu... Hmm.."

Yayat mengangkat sebelah alisnya, menunggu jawaban. "Eh.. Mungkin karna terkena sinar matahari. Iya! Matahari. Sekarang kan, lagi panas-panasnya. Hehe."

Yayat hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya.
Hera dan Yayat diam. Mereka tidak tahu bagaimana harus keluar dari situasi yang awkward ini. Duh! Kok aku jadi deg-degan gini? Gerutu Hera dalam hati.

"Nah, di sini tempatnya."

Hera mengangkat wajahnya dan benar kata Yayat. Mereka sudah sampai. Ia membaca papan nama bengkel itu 'Hidayat Bengkel' "bengkelnya mirip nama kamu, ya?"

Yayat hanya mengangguk lalu duduk di kursi panjang yang terletak di sana sembari menunggu salah satu montir mengganti ban motor Hera. Hera ikut duduk. Kesunyian kembali menyergap mereka.

"Mbak, Mas, motornya sudah selesai."

Hera bangkit, mengeluarkan selembar uang seratus ribu. Namun ditahan oleh Yayat. "Biar aku yang bayar."

"Tapi..."

"Udah. Sekarang kamu pulang aja. Ntar keburu malam."

"Eh. Iya. Aku antar kamu ke tempat tadi ya, biar kamu ambil sepedamu."

"Nggak usah. Aku masih ada urusan di sini. Kamu pulang aja dulu."

Hera berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Oke. Kalau begitu, thanks ya. Udah bantuin dan ngebayarin."

Yayat mengangguk dan memberikan senyum berdiameter sempitnya.
Setelah Hera pergi, montir yang tadi memperbaiki motornya menghampiri Yayat. "Aku-kamu?"

Yayat mengangkat satu alisnya bingung. Montir yang usianya tidak jauh beda dengan Yayat terkekeh pelan. "Gue nggak nyangka, lo akhirnya naksir cewek juga. Gue kira lo gay." satu jitakan menyambut cowkk itu setelah menyelesaikan kalimatnya. Cowok itu, yang bernama Dani meringis.

"Lo nggak usah sok tahu."

"Nah! Itu! Lo sekarang ngomong gue-lo, tadi sama tuh cewek aku-kamu. Ciee yang lagi jatuh cinta." sebelum bogem mendarat di wajahnya, Dani dengan cepat kabur. Yayat mendengus, masuk ke dalam bengkel lalu keluar dengan sebuah motor Ninja Sport hitam. Sebelum pergi dia berteriak pada Dani, "Dan! Tolong lo ambilin sepeda gue ya!"

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.4M 78.2K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
6.2M 483K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
2.5M 123K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...