Caroline

By ceciliaccm

229K 5K 51

Hidup Cara berubah 180 derajat setelah ulang tahun ke 18 nya. Mengetahui seluruh anggota keluarga angkatnya t... More

Caroline
(2)
(3)
(4)
(5)
Pengumuman

(1)

23.6K 1K 21
By ceciliaccm

Chapter 1


            "Jadi... sudah ada yang mengajakmu?" tanya Jenna, sahabatku, kami berjalan di parkiran menuju gerbang sekolah. Kedua matanya yang besar dan berwarna abu-abu gelap memandangku dengan curiga. Rambutnya yang berwarna coklat keemasan diikat dengan sembarangan. Dan ya, Jenna sedang membahas Prom. Topik favoritnya tiga minggu belakangan ini.

            "Um, belum?" Jawabku ragu-ragu.

            "Ha! Kau menolak mereka kan?" Keningnya berkerut sebal, "Cara-baby, setidaknya kau butuh seseorang untuk prom-"

            "Kau?" Potongku sambil tersenyum manis.

            "Yang berbeda jenis, okay? Lagipula aku akan pergi bersama Dane."

            "Ok, Ok. Aku akan pergi dengan Eric."

            "Eric? Cara, please, ada apa dengan cowok? Lagipula Eric mungkin akan pergi dengan pacarnya." Jenna berkedip menahan tawa. Eric dan Jenna adalah dua sahabat terdekatku di SMA, aku dan Eric sudah saling mengenal sejak SMP, sedangkan Jenna bertemu dengan kami saat SMA. Dan Eric adalah seorang homoseksual.

            "Okay, itu urusan nanti. Sekarang-"

            "Cara?"

            Sebuah suara yang familiar memotong kalimat Jenna. Aku dan Jenna menoleh bersamaan ke sumber suara, satu meter di belakangku berdiri seorang cowok tinggi yang mengenakan kaos hitam, celana jeans, dan jaket. Ia tersenyum lebar ke arah kami. Matanya yang berwarna coklat memancarkan senyumnya. Rambutnya yang berwarna coklat gelap, sama denganku, dibiarkan berantakan.  Dan Ia membawa sebuket bunga mawar putih di tangannya.

            "Alex?" Bisikku tak percaya saat melihatnya berdiri di depanku, "Apa yang kau lakukan disini?"

            Alex adalah kakakku satu-satunya yang lebih tua lima tahun dariku. Ia baru lulus kuliah tahun lalu dan memulai magang di sebuah perusahaan di luar kota sebelum mengambil alih bisnis Dad. Mungkin kami tidak terlihat terlalu mirip. Satu-satunya persamaanku dengan Alex adalah warna rambut kami, sedangkan warna mataku perpaduan hijau dan semu biru. Alex selalu berkata bahwa mataku seperti kucing. Eksotis. Alias aneh.

            "Senang bertemu denganmu juga, Car." Alex memelukku dengan erat lalu mencium puncak kepalaku. "Hey Jen!"

            Jenna tersenyum malu sambil melambaikan tangan, ia pernah 'sangat' menyukai Alex.

            "Cara, aku duluan. Dane sudah menungguku. Bye Alex!" Ia melambai pada kami sebelum membalikkan badannya berjalan menjauh.

            Alex membalas lambaian tangannya.

            "Jadi?" Aku mengalihkan perhatian pada Alex sesudah Ia melepaskan pelukannya. Bau mint dan harum mawar tercium darinya.

            "Hm?" Ia berjalan di sampingku keluar dari gerbang.

            "Kau pulang lebih cepat dan tidak memberitahuku? Apa Dad dan Mum tau?" Berondongku.

            "Ya, dan ya. Aku tidak akan melewatkan ulang tahun Cara-bear lagi, tidak tahun ini." Alex menyodorkan buket bunga yang dibawanya. Aku berhenti sejenak menatap kumpulan kelopak mawar putih yang dibungkus buket berwarna putih gading.

            "Ulang tahunku masih besok, Al." Kataku sambil tersenyum, Alex benci saat aku memanggilnya Al. Alex hanya menjawab dengan memutar bola matanya saat aku mendekap buket mawarnya di pelukanku.

            "Jadi? Ada pesta atau sesuatu?" Tanyanya sambil berjalan ke arah mobilnya. BMW. Dan baru. Aku tidak tahu Dad membelikannya mobil baru.

            "Hanya Mum, Dad, Eric, Jenna, dan sekarang kau." Jawabku sambil memandang buket bunga darinya, "Thanks." Kataku dengan tulus.

            "Apapun untukmu Cara-bear." Jawabnya sambil tersenyum lebar.

***

            "Happy Birthday, Cara!" Jenna berdiri di depan pintu rumahku dengan senyum lebarnya.

            "Happy Birthday!" Eric menyapaku dari belakang Jenna. Rambut hitamnya yang sedikit panjang disisir rapi ke belakang. Dua buah lesung di pipinya terlihat jelas saat Ia tersenyum.

            "Um, kalian tidak membawa kado untukku?" Tanyaku dengan nada pura-pura kecewa.

            "Kadomu menyusul Cara, Eric dan aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu." Jenna dan Eric mencium pipiku bergantian.

            "Sorry, mendadak menggantinya dengan makan siang. Alex ingin mengajakku makan malam." Kataku sambil berjalan menuju ruang makan.

            "Ah, aku harap aku punya kakak seperti Alex." Jenna menghela nafasnya dengan panjang.

            "Well, aku harap Alex gay." Sela Eric. Kami tertawa terbahak-bahak. Makan siang hari ini berjalan dengan menyenangkan, Mum, Dad, Eric, Jenna, minus Alex. Ia memiliki sedikit urusan dan terpaksa melewatkan makan siang.

            Mum membuat sendiri kue ulang tahunku, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku memandang ke arah orangtuaku sambil tersenyum lebar sebelum meniup lilin kue ulang tahunku. Dad dan Mum sudah berumur 46 tahun, tapi wajah mereka masih seperti berumur 30 tahun, kadang-kadang orang menganggap mereka kakakku. Dan itu agak menyebalkan.

            Mum adalah perempuan paling cantik yang pernah kutahu, rambut dark blonde sebahunya membingkai wajahnya dengan anggun, dan matanya yang berwarna biru muda selalu membuatku sedikit iri dengan kecantikan Mum. Sedangkan Dad, mirip seperti Alex, Ia memiliki mata berwarna coklat dan rambut coklat gelap. Dad adalah pahlawanku. Aku ingat saat berumur 7 tahun, Dad selalu mengajakku pergi setiap minggu untuk membeli semua permen yang aku inginkan, tanpa sepengetahuan Mum dan Alex. Kami menyebutnya misi rahasia, walaupun setelah itu aku selalu sakit perut. Aku menyayangi mereka, mereka adalah orang tua terbaik.

            Setelah makan siang dan mengobrol sangat lama, Jenna dan Eric pulang. Aku membantu Mum membereskan sisa-sisa makan siang.

            "Cara, kau sudah tahu Alex akan mengajakmu kemana?" Mum bertanya sambil menyusun piring-piring yang sudah bersih.

            "Belum, Alex hanya memberitahuku untuk bersiap-siap. Hanya makan malam kurasa"

            Mum terdiam sejenak, sibuk dengan pekerjaannya. "Alex akan tinggal disini lagi, di kota ini, ia ingin membeli apartemen sendiri. Menurutnya Ia sudah tidak pantas tinggal bersama kami." Mum berkata sambil tertawa.

            "Dia- Dia tidak memberitahuku..." gerutuku sambil mengerutkan kening, biasanya aku selalu menjadi yang pertama tahu. Akhir-akhir ini Alex memang lebih jarang menghubungiku, kupikir karena Ia sedang sibuk.

            "Oh ya? Mungkin dia lupa. Bagaimana jika aku membantumu siap-siap?" tanya Mum sambil mengelap tangannya di apronnya.

            "Siap-siap untuk...?" Tanyaku bingung.

            "Makan malammu dengan Alex?"

            "Mum, aku hanya akan makan malam dengan Alex. Dia bahkan tidak akan keberatan jika aku hanya mengenakan piyama." Kataku sambil tertawa lalu meninggalkan Mum untuk bersiap-siap menuju kamarku di lantai dua. Samar-samar aku mendengar suara Mum yang sedang bergumam sendiri.

             Setelah setengah jam tiduran di kamar menunggu Alex menjemputku, handphone ku bergetar di sebelahku. Kulirik jam di mejaku, pukul 6 sore.

            "Yeah, Al?" Jawabku saat melihat caller id di layar handphone.

            "Sudah siap, Princess?"

            "Ew, kau terdengar menjijikan." Jawabku sambil tertawa. Alex membalas tawaku.

            "Ok, aku sampai 15 menit lagi. Bawa jaket."

            "Ay-ay captain." Balasku sambil tersenyum sendiri lalu memutuskan sambungannya. Aku berdiri menuju kaca di sudut kamarku, memandang pantulanku. Rambut coklat sebahuku sedikit berantakan. Jenna mengatakan bahwa aku memiliki wajah yang 'oke'.

            Mataku yang berwarna hijau kebiru-biruan memancarkan ketajamannya, Mum dan Dad selalu mengatakan warna mataku yang berbeda kudapat dari buyut Mum. Aku memiliki wajah yang berbeda dari Mum, Dad, dan Alex. Satu-satunya yang membuatku mirip adalah warna rambutku yang sama dengan Dad dan Alex.

            Malam ini aku mengenakan kaos putih dengan logo band The Strokes, band favorit Alex yang sekarang menjadi band favoritku juga, dan celana legging hitam. Aku tidak memakai make up sedikit pun, well, ini hanya Alex. Bukan kencan.

            Kuraih jaket hitamku yang berada di atas tempat tidur lalu pergi ke bawah. Dad, Mum, dan Alex sedang mengobrol di dapur, aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, kukerutkan keningku saat mereka berbisik-bisik keras.

            "Alex?" Sapaku dari belakang. Alex membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum padaku. Ia mengenakan setelan semi jas berwarna hitam dengan kemeja putih dan celana hitam, minus dasi. Rambutnya yang biasa berantakan kini disisir rapi ke belakang, mata coklatnya sedang memandangku.

            Jantungku berdebar keras, aku tahu Alex memiliki daya untuk membuat semua spesies cewek di dunia ini untuk terpesona padanya, dan itu yang sedang terjadi padaku sekarang. Walaupun Alex adalah kakakku.

            "Hm?" Alex menaikkan kedua alis matanya dengan senyumannya, senyum yang bisa membuat cewek manapun meleleh. Pipiku sedikit bersemu merah. Sial, Cara dia itu kakakmu.

            "Oh, jadi, um, sepertinya aku salah kostum?" Tanyaku sambil nyengir untuk menyembunyikan rasa malu setelah memikirkan Alex.

            "Nope, kau terlihat sempurna. Mum, Dad, kami pergi sekarang." Alex mencium pipi Mum sambil berpamitan. Mum mengusap hidungnya saat melihat kami berdua, Ia terlihat seperti ingin menangis, menangis bahagia?

            "Mum? Kau baik-baik saja?" Tanyaku ragu-ragu.

            "Yeah, kurasa hanya sedikit flu. Selamat bersenang-senang, sayang." Jawab Mum. Dad melingkarkan tangannya di pinggang Mum lalu membisikkan sesuatu. Aku tersenyum melihat mereka, lalu menyusul Alex menuju mobilnya.

            Alex membukakan pintu untukku, aku memandangnya dengan pandangan bertanya. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini. Alex hanya membalasku dengan menaikkan salah satu sudut mulutnya ke atas. Jantungku berdebar keras, entah kenapa aku merasa ini seperti kencan. Cara, dia itu kakakmu, ulangku di dalam kepalaku.

            "Apa yang sedang kau pikirkan, Cara-bear?" Tanya Alex setelah duduk di kursi kemudi, lalu ia mengambil sesuatu dari jok belakang mobilnya. Bau aftershave dan parfumnya samar-samar tersium olehku. Aku selalu menyukai bau parfumnya, Alex tidak pernah memakai parfum maskulin mahal yang justru berbau menyengat. Bau parfum Alex membuatku teringat bau hutan dan pepohonan. Bau pinus dan sedikit mint.

            "Happy Birthday Caroline Brennan." Alex menyodorkan sebuket bunga mawar merah darah dan sebuah kotak hitam kecil sambil tersenyum kecil.

            Aku tertegun memandangnya, terlalu terkejut untuk berbicara. Kalau Alex bukan kakakku pasti saat ini- kuhentikan pikiranku cepat-cepat, sekarang aku memikirkan tentang jika Alex bukan kakakku? Ew, aku merasa jijik pada diriku sendiri.

            Biasanya Alex hanya memberiku barang-barang kecil seperti parfum atau sepatu olahraga saat ulang tahunku. Aku menatap sebuket bunga mawar yang baunya menyergap seluruh atmosfer mobil bergabung dengan bau parfum Alex yang entah selalu membuatku tenang.

            "Alex, kau baru memberiku bunga kemarin." Aku tertawa gugup, gugup? Please Cara. Dia kakakmu, ulangku lagi dalam kepalaku. Aku ingin memukul kepalaku sendiri.

            "Kau tidak akan membukanya?" Alex masih menghadapku, Ia melihatku dengan sedikit serius.

            "Huh? Okay." Tanganku membuka pita beludru berwarna merah yang mengikat kotaknya, dari dalam terselip diantara kain beludru hitam sebuah kalung emas dengan bandul batu emerald hijau. Wow.

            "Wow... Alex..." Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, dengan Alex yang sedang memandangku sambil tersenyum, buket bunga mawar di pangkuanku yang menyebarkan aroma harum, dan kalung yang sekarang berada di tanganku. Aku merasa ini semua terlalu berlebihan untukku.

            "Kurasa warnanya cocok dengan warna matamu Cara." Katanya sambil mengangkat bahu. Ia memasukkan kunci mobilnya.

            "Uh, bukannya ini agak berlebihan? Seharusnya kau memberikan semua ini untuk pacarmu, bukan adikmu Al." Kataku sambil bercanda.

            Alex terdiam sesaat.

            "Aku tidak punya." Katanya sambil menatapku dengan pandangan serius. Aku hanys bisa membalas tatapannya dengan keningku yang berkerut. Bagaimana mungkin cowok seperti Alex tidak punya pacar? Tapi setelah kupikir-pikir lagi Alex tidak pernah mengenalkan pacarnya padaku, Ia tidak pernah terlihat mempunyai pacar...

            Oh. Tidak.

            "Alex, um, kau... Dengar aku tidak akan mempermasalahkan seksualitas seseorang, tapi apa kau-"

            "Apa? Cara! Aku normal!" Potong Alex sambil menekankan kata normal, dia melihatku dengan tatapan apa-kau-gila?

            "Oh. Okay... Baguslah- maksudku aku hanya bertanya tadi." Aku masih melirik ke arah Alex dengan curiga. Seorang Alex diantara bermiliaran cewek di dunia ini, single? Tidak mungkin.

            "Mau kupasangkan?" tanya Alex mengalihkan topik pembicaraan.

            "Yep. Thanks." Aku mengelung rambutku dengan tanganku lalu mengangkatnya keatas sambil berbalik memunggungi Alex. Kedua tangan Alex melingkari tubuhku, ia tidak menyentuhku sama sekali, tapi itu cukup membuat jantungku berdebar setengah mati. Aku mulai khawatir Alex akan mendengar debar jantungku. Bau pinus dan mint semakin kuat menyelubungi indra penciumanku, membuat otakku sedikit berkabut.

            Aku berusaha memikirkan hal lain selain Alex. Aku berusaha memikirkan Jenna, atau Eric. Tapi ketika nafasnya yang hangat menggelitik leherku, semuanya sia-sia, hanya Alex yang memenuhi kepalaku saat ini. Dia itu kakakmu, Cara! Untuk yang kesekian kalinya kuulangi mantra itu berkali-kali di dalam kepalaku.

            "Selesai." Aku berbalik menghadapnya, bersyukur dengan pencahayaan mobil Alex yang remang-remang, karena kalau tidak Alex akan melihat wajahku yang memerah saat ini.

            "Cara..." Alex memandangku seperti akan mengatakan sesuatu. Aku membalas pandangannya dengan pandangan bertanya.

            "Sempurna." Katanya tiba-tiba sambil mengalihkan pandangannya dariku lalu menyalakan mesin mobilnya. Kami berkendara dalam diam selama setengah jam ke arah menuju hutan di pinggiran kota. Aku menyalakan pemutar lagu yang berada di dalam mobil Alex, lagu All Too Well Taylor Swift menjadi yang pertama.

            "Taylor Swift? Kau serius?" Tanyaku sambil mengerutkan kening.

            "Playlistmu, Cara." Jawab Alex. Lalu aku mengingat playlist yang kutaruh di mobil Alex beberapa bulan lalu, "Kau masih menyimpannya?" Tanyaku dengan nada heran.

            "Well, Taylor Swift lumayan juga." Jawab Alex, "Lagunya membuatku ingin menangis." Tambahnya dengan nada mengejek. Aku memutar kedua bola mataku saat mendengarnya.

            Jalanan yang gelap dan hanya disinari bulan membuat keadaan di dalam mobil menjadi tambah gelap, aku hanya bisa melihat siluet Alex dengan mata coklatnya yang bersinar karena pantulan sinar bulan.

            "Aku tidak tahu di dekat hutan ada restauran..." gumamku.

            Alex hanya terdiam, kedua matanya fokus ke jalan di depannya.

            "Jangan bilang kau membawaku ke hutan malam ini untuk membunuhku, Alex." Kataku sambil tertawa.

            "Aku tidak akan pernah menyakitmu, Caroline." Jawab Alex dengan serius tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

            Jantungku berdebar setelah Alex menyebut namaku dengan lengkap. Aku memilih diam di sisa perjalanan, menenangkan jantungku sambil memenuhi kepalaku dengan pikiran selain Alex. Ada apa denganku hari ini?

            Alex memarkirkan mobilnya di pinggiran jalan hutan, lalu keluar untuk membukakan pintuku. Mataku terpaku pada cabang jalan kecil menuju kedalam hutan yang diterangi oleh ratusan lampu natal kecil berwarna putih.

            Nafasku tertahan di dadaku.

            Aku memandang Alex dengan mulut menganga. Alex menjulurkan tangannya padaku lalu menuntunku menuju kedalam hutan. Kami berjalan masuk ke dalam hutan sampai bagian hutan yang jarang ditumbuhi pepohonan, ditengahnya terdapat sebuah batu besar dan disekililingnya ditumbuhi bunga lavender. Pemandangan yang sekali lagi membuatku tertegun, aku tidak tahu bahwa di hutan ini terdapat taman lavender secantik ini. Suara jangkrik dan burung hantu terdengar samar-samar.

            Di balik batu besar tersebut tertata rapi sebuah meja dan sepasang kursi dengan taplak putih, diatasnya diletakkan sebotol wine, sebuah gelas berisi lilin dan sebuah vas dengan setangkai mawar merah. Aku kembali memandang Alex dengan tatapan tak percaya. Alex tersenyum melihat ekspresiku lalu mengajakku duduk.

            "Alex, ini benar-benar berlebihan..." Kataku sambil tersenyum lebar.

            "Untukmu, Cara, tidak ada yang berlebihan." Untuk sepersekian detik aku melihat ekspresi aneh di wajah Alex sebelum ditutupi oleh senyumannya.

            Alex membantuku duduk lalu mengisi gelas wineku. "Aku tidak menyiapkan makanan, kurasa setelah dari sini kita bisa mampir ke restauran terdekat, bagaimana dengan pizza?"

            "Sempurna." Jawabku sambil meminum sedikit wine merah di gelasku. "Thanks Alex."

            Kami mengobrol tentang segalanya selama setengah jam. Alex membicarakan tentang pekerjaannya, dan apartemen barunya di kota ini. Ia akan segera mengambil alih bisnis Dad segera setelah segala urusannya selesai.

            "Cara- Caroline." Alex memanggilku dengan ragu-ragu.

            "Yeah?"

            "Aku ingin membicarakan sesuatu." Aku memandangnya menunggu kelanjutan pembicaraannya.

            "Tentang kita. Ada sesuatu... yang kami rahasiakan selama ini." Alex terlihat mulai gugup. Apa maksudnya kami?

            "Apa maksudmu?"

            "Seharusnya Mum dan Dad yang memberi tahumu, tapi mungkin lebih baik jika aku yang memberitahumu." Alex menyisir rambutnya dengan tangannya.

            "Aku tidak mengerti, Alex." Kataku dengan nada mendesak. Kepalaku dipenuhi dengan rasa khawatir.

            "Tapi kau harus berjanji, jangan- jangan membenciku, apalagi Mum dan Dad. Dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Okay?" Tanyanya hati-hati.

            "Ini tentang Mum kan? Dia... Dia sakit? Karena itu Mum tadi menangis?" Rasa takut mencengkeram dadaku.

            "Apa? Bukan, Bukan tentang Mum." Alex memandangku dengan tatapan bingung. "Berjanjilah Cara, apapun yang terjadi, bagaimana pun perasaanmu nanti, jangan melarikan diri dariku."

            Aku mengangguk, berusaha mencerna apa yang dikatakan Alex. Ia menghembuskan nafasnya, sejenak terlihat ragu-ragu.

            "Aku, maksudku kita... Kau dan aku, kita... uh, kau adalah mate-ku Cara." Aku berusaha memproses kata-kata Alex lalu memandangnya dengan bingung.

            "Mate. Jodoh." Lanjut Alex pelan.

            Aku masih memandangnya dengan bingung.

            "Cara, kau bukan saudara kandungku. Kau diadopsi saat umur empat tahun."

            Semua yang dikatakan Alex berputar di kepalaku, rasanya seperti seseorang baru saja menyiram seember air dingin di atasku. "Jadi... Mum dan Dad bukan orangtuaku?" tanyaku dengan sangat pelan.

            "Cara..." Alex berusaha menenangkanku.

            "Katakan. Yang. Sebenarnya. Alex." Desisku.

            "Well... Mum dan Dad mengadopsimu dari panti asuhan, mereka mengajakku. Kita bertemu, lalu aku meminta Dad untuk membawamu." Alex menjelaskan kepadaku dengan suara pelan.

            "Bagaimana bisa- Siapa orangtuaku?" Mataku mulai berkaca-kaca, aku berusaha mengingat masa kecilku. Sekarang aku menyadari mengapa aku tidak mempunyai foto saat bayi di album keluarga kami.

            "Aku- aku tidak tahu."

            "Bagaimana kau tidak tahu?" tanyaku dengan suara bergetar, "Pasti ada data tentang orangtuaku di-"

            "Cara." Alex menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, aku mengangkat kepalaku memandangnya.

            "A-apa?"

            Alex hanya terdiam selama semenit penuh.

            "Kau adalah mateku." Ia menatapku dengan mata coklatnya yang memandangku dengan berharap.

            "Cara, aku adalah Werewolf."

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 159K 68
"Jilat aku, aku menginginkannya! Bagian bawahku juga! Aku ingin merasakan mulutmu di sana, cantik." ------------- Sejak mempunyai kekuatan membaca pi...
205K 19.6K 38
Haruto merasa dirinya memanglah seorang Beta dari keluarga Watanabe. Dia yakin seratus persen karena dia tidak mengalami heat saat umurnya genap 17 t...
63.6K 3.9K 23
15+ [Slow update] Tanpa dia sadari, mulutnya mengangga karena rasa takjub. Morea mengira itu seekor siberian husky dengan ukuran tubuh yang tidak nor...
95.3K 18.1K 31
⚠️Boys Love Mac, Seorang Manusia serigala dengan gelar Alpha yang keluar dari dunianya dan bertemu manusia, seorang pria manis dengan mata sipit, hid...