YOUR GANGSTER GIRL - Christin...

By Gramedia

3.6K 251 8

Nukilan novel terbaru Christina Juzwar dari #BadGirlSeries. Terbit Januari 2018. *** Namanya Kassandra Olivia... More

Your Gangster Girl 1
Your Gangster Girl 2
Your Gangster Girl 3

Your Gangster Girl 4

561 37 2
By Gramedia

"Apa?" Aku membentak Dewi.

            "Lo sadar nggak dia cowok yang sebelahan sama kita di perpus?"

            "Sadar dan gue nggak peduli," cemoohku.

            "Dan lo bilang dia ngikutin lo terus?"

            "Kayak orang maniak," tambahku.

            "Dan dia minta lo bantuin tugas kuliahnya?"

            "Ogah dan gue nggak bakal mau sampai gue mati"

            Mendadak Dewi mencengkeram lenganku. Matanya melebar. "Pasti ada apa-apanya."

            "Maksud lo, dia mau menyakiti gue? Huh! Awas aja!"

            "Bukannn..." seru Dewi gemas.

            Aku melihat sorot mata Dewi dan langsung menyadari artinya. Jangan sebut aku sahabatnya kalau aku tidak mengenal sahabatku sendiri. Aku langsung berseru, "Nggak mungkin!"

            "Mungkin aja." Dewi berdiri dan menghampiri penjual nasi goreng. Tak lupa menarik tanganku agar aku ikut serta. "Dan dia ganteng lho, Liv."

            "Please deh, kayaknya perlu gue ingetin lagi, gue nggak akan jatuh cinta. Gue benci cowok!"

            Suaraku cukup keras hingga beberapa orang, yang berjenis kelamin laki-laki, menoleh ke arah kami. Dewi sigap mengajakku berjalan lebih cepat. Dengan suara lincah, dia memesan nasi goreng untuk kami berdua. Sejujurnya aku sudah kehilangan nafsu sarapan. Terutama setelah melihat cowok bernama Jamie.

***

"LIV..."

            Tangan berkeriput tertumpang di lenganku, sesaat, agar aku menyadari kehadirannya di tengah kucuran air deras di tempatku mencuci piring.

            "Ya, Oma?" jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir-cangkir dan piring-piring yang sedang kucuci.

            "Oma dan Opa duluan. Mau ke dokter."

            "Oh, oke." Aku mematikan keran dan mengelap tangan di serbet yang tersampir di pundakku. Hari ini memang jadwal Oma check up ke dokter. Oma sakit jantung dan harus memeriksa kondisi kesehatannya sebulan sekali. Well, sebenarnya tidak harus, tapi tahu sendiri deh Opa Alung. Dia yang memaksa dan mengharuskannya.

            "Kamu nggak apa-apa ditinggal sendiri?"

            "Ih, si Oma. Kayak baru pertama kali tinggalin aku sendiri aja. Jangan kuatir. Oma langsung pulang saja nanti. Bilang sama dokternya sekalian periksa si Opa ya."

            Oma terkekeh pelan mendengar gurauanku. Kalau soal si Opa Alung, aku punya ribuan candaan dan gurauan saking terlalu ekstrem kelakuan lelaki kurus berambut putih tersebut.

            "Jangan lupa kunci semua ya, Liv." Oma berpesan lagi.

            "Beres, Oma."

            Kepergian Oma dan Opa Alung menyisakan kesunyian yang biasa kuhadapi. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Aku menyalakan televisi. Bukan karena ingin menontonnya, tapi berupaya mengusir kesunyian suasana. Ada satu pekerjaan lagi yang perlu kuselesaikan yaitu mengepel kedai. Untung ukuran kedai tidak terlalu besar sehingga aku cepat menyelesaikannya. Seluruh ototku mulai berontak minta istirahat.

            Maklum, aku belum istirahat sejak pagi. Sepulang kuliah aku langsung kemari karena salah satu karyawan yang suka membantu di kedai sedang sakit.

            Aku menghela napas lega begitu selesai membereskan kedai, lalu pulang setelah mengecek dua kali seluruh pintu.

            Saking lelahnya, memarkir motor di kos saja agak miring. Aku menyadarinya tapi tidak punya keinginan untuk membetulkannya lagi. Aku berjalan menuju kamar. Hasrat untuk mandi yang sebelumnya muncul saat di kedai, sirna karena kelelahan yang menggelayut. Aku hanya melepas sepatu hingga terpental ke bawah lemari dan merebahkan tubuh di ranjang.

            Belum lima menit aku menikmati kenyamanan kasur dan kesunyian yang mendukung ketika terdengar suara cukup keras. Aku membuka mata dan menghela napas keras. Aku mencoba menutup mata lagi. Walaupun emosi sudah merayap naik, aku coba menahan diri karena badanku teramat lelah. Tentunya sambil berdoa semoga lagu itu berhenti dan yang memutarnya ditegur Tuhan.

            Setelah menunggu beberapa saat, aku tidak tahan. Mataku kembali terbuka. Dengan segenap kekuatan yang kumiliki, aku pergi keluar dan berjalan menyusuri lorong menuju arah musik tersebut berasal. Aku mengetuk pintunya.

            Pintu langsung terbuka dengan tampaklah wajah yang mengernyit. Lebih tepatnya cemberut. Aku tidak memberi si pembuat keberisikan itu kesempatan untuk bicara. "Tolong dong suaranya dipelanin. Ini udah malam dan orang butuh istirahat."

            Cewek itu bukannya maklum dan minta maaf, justru bersedekap dan tersenyum mengejek. "Apa urusan lo? Ini kan kamar gue. Terserah gue dong mau masang musik atau tidak."

            Tanganku sudah mengepal erat. "Tapi kan lo tinggal di kos. Di sini yang tinggal dua puluh orang. Lo harus tau diri. Tolong dikecilin ya."

            Wajah yang ditunjukkan cewek itu semakin songong. Matanya pakai melotot segala. "Kalau gue nggak mau, emang kenapa? Udah sana, jangan ganggu gue!"

            Pintu ditutup keras tepat di depan hidungku. Rahangku mengencang. Aku berbisik dalam hati, Sabar, Liv. Sabar. Nggak ada gunanya gue marah sama dia. Aku membalik badan dan menjauh dari kamar terkutuk itu. Namun yang membuatku menghentikan langkah adalah lagu itu diputar dengan sengaja.

            Ya. Aku tahu betul dia melakukannya dengan sengaja.

            Tanpa berpikir lebih lama, aku kembali ke kamar itu dan... BRAKKK!

            Aku menendang pintu yang terbuat dari tripleks jelek itu. Terdengar jeritan kencang dan lebay. Pintu itu terkoyak dan engsel pun copot. Aku menyerbu masuk. Cewek itu berteriak histeris, "Gila lo ya?"

            "Heh!" Aku membentak. "Dengar. Lo matiin tuh radio bapuk atau gue ancurin? Lo kira yang tinggal di sini lo doang? Ini sudah malam, brengsek!" Suaraku menggelegar dan mampu membuatnya bungkam. Usahaku untuk menggertak dan menakutinya berhasil.

Cewek tengil yang kerjaannya mengkhayalkan Ariel Noah sepanjang waktu itu  menangis di pojok kamar. Dia tak berkutik setelah tadi nyolot menolak permintaan baik-baikku. Nyatanya dia berani di luar saja, tapi di dalamya lembek.

            Semua penghuni, termasuk ibu kos yang memang satu rumah dengan kos miliknya,  melongo melihat pintu yang rusak seperti terkena palu godam Thor.

            "Ya ampun, Olivia...." Ibu kos yang kepalanya membulat karena banyaknya rol rambut pink terang, mengelus dada.

            "Usir aja, Bu!" Tahu-tahu cewek rese yang tadi meringkuk di pojok bersuara keras. Rupanya dia menyadari dapat bala bantuan.

            "Kenapa nggak lo aja?" sahutku. "Bawa tuh musik lo keluar dari sini! Memangnya nih kos punya lo, hah? Banyak orang mau istirahat!"

            "Ayo, sudah, sudah." Ibu kos menengahi. Dia menarik lenganku untuk menjauh dari sana. Sementara beberapa penghuni kos kembali ke kamar masing-masing, tapi ada juga yang mencari muka dengan menghibur si cewek belagu itu.

            Ibu kos dan aku berhenti tepat di depan kamarku. Dia menatapku dengan sorot mata yang... entahlah. Mungkin marah, mungkin kecewa, mungkin jengkel. Mungkin juga ketiganya.

            "Kamu harus keluar dari kos ini, Liv."

            Aku menganga. Ucapan Ibu kos yang tanpa basa-basi sungguh mengejutkan diriku, terlebih lagi saat aku sedang kelelahan luar biasa seperti sekarang.

            "Tapi kan salah dia, Bu."

            "Ini sudah kesekian kalinya kamu ribut dengan siapa saja. Kamu harus maklum. Hidup di kos harus bisa toleransi."

            "Maklum? Toleransi?" Aku tidak tahan untuk tak bersuara keras. "Ibu maklum sama dia? Aku sudah capek kuliah, kerja, dan hanya butuh istirahat! Tapi dia nggak tahu diri! Dia yang mengganggu ketenangan orang lain! Dia yang tidak bisa toleransi!"

            "Ibu kasih waktu sampai besok."

            Ibu kos berjalan meninggalkanku tanpa memberiku kesempatan lagi untuk membela diri maupun berkata-kata. Dadaku bergelora menahan amarah.

            Aku langsung masuk ke kamar dan mengumpulkan barang-barangku. Sebisa mungkin kubawa semuanya turut serta. Aku melirik ke jam dinding yang tergantung di atas tempat tidur. Sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku berpikir sejenak ke mana aku harus pergi.

            Banyak tempat, banyak tujuan.

Dengan sangat terpaksa, dan banyak pertimbangan, aku pun memilih. Dan aku memutuskan untuk pulang.

***

Ketika kita memiliki firasat, seharusnya kita sadar dan memperhatikannya. Masalahnya, aku sering banget mengabaikannya.

            Seperti sekarang ini.

            Aku memarkir motor tepat di garasi yang penuh dengan barang. Suasana rumah sunyi dan sepi tidak mengenakkan. Rumah juga gelap. Penerangan yang ada hanya berasal dari lampu teras yang pencahayaannya hanya lima puluh persen dari seharusnya.

            Aku membuka pintu dan mendapatkan tidak ada siapa-siapa. Kenyataan itu membuatku sedikit lega. Aku bergegas menuju kamarku yang mungkin sudah berdebu saking lamanya tidak kumasuki.

            Sayangnya seseorang keluar dari salah satu kamar.

            "Lho, Olivia?"

            Aku menghela napas.

            "Ya, Ma," jawabku dengan nada malas.

            "Kok kamu...?" Mama tidak segan menunjukkan keterkejutannya.

            "Aku harus cari kos baru besok." Aku menanggapinya dengan cepat sebelum mendengar apapun.

            "Ada masalah apa?"

            "Nggak usah ditanya."

            Wajah Mama yang digelayuti kantuk jadi tampak sendu. Tangannya bersedekap. "Liv, kenapa nggak tinggal di...?"

            "Nggak." Aku segera menyahut memutus omongan Mama yang belum selesai, karena sudah tahu apa yang akan dikatakannya. Dia tetap memintaku pulang.

            "Olivia..."

            Jegrek!

            Aku maupun Mama menoleh dan melihat pintu depan terbuka. Kami berdua tidak mengharapkan ada yang datang selarut ini. Maksudku, aku sendiri sudah pulang ke rumah selarut ini... tapi seharusnya aku tahu...

            "Tumben pulang?" Suara berat sosok yang muncul di pintu depan terdengar begitu melihatku. Matanya memerah dan jalannya sempoyongan.

            "Emangnya nggak boleh?" Aku tidak tahan untuk tak menyahut. Apalagi setelah kesialan yang menimpaku.

            "Olivia..." tegur Mama.

            "Kamu kan tinggal di kos. Ngapain kemari lagi? Memangnya kamu pikir kamu siapa bisa mondar-mandir seenak jidatmu?"

            "Beni..." Mama bersuara pelan untuk menengahi kami berdua.

            "Ma, jangan. Dia benar. Aku hanya mau ambil beberapa barang." Aku mencari alasan dan berlalu dari hadapan mereka. Aku masih bisa mendengar suara keduanya berdebat. Semakin lama semakin keras. Aku mendengar namaku disebut beberapa kali.

            Walaupun kejadian seperti ini sudah sering, tetap saja dadaku terasa sesak.

            Setelah mengambil beberapa baju, aku bergegas keluar dan melewati keduanya tanpa benar-benar peduli. Aku hanya ingin segera pergi dari sini.

            Aku mendengar Papa berteriak memanggil namaku dan meracau tidak jelas akibat alkohol yang menyebar ke darah di seluruh tubuhnya.

            Aku ingin cepat pergi dari sini.

            Betapa bodohnya aku bisa berpikir untuk pulang ke rumah.

            Karena sebenarnya aku tahu rumah itu tidak lagi pantas kusebut sebagai rumah. Serta orang seisinya sebagai keluarga.

            Aku mengendarai motor perlahan sambil berpikir tempat pelabuhanku untuk malam ini. Badanku sangat lelah, emosiku masih bergejolak seperti api, dan hatiku remuk. Tidak mungkin selarut ini mendatangi rumah Dewi. Aku tahu ia tinggal berdua saja dan ibunya sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, tapi aku tidak suka mengganggu ibunya yang selalu bekerja keras membuat kue-kue sepanjang pagi dan malam. Dia pasti lelah dan membutuhkan istirahat.

            Jadi aku ke tempat yang sudah menghidupiku selama hampir dua tahun terakhir ini.

            Kedai kopi tiam Rasa Malay.

            Aku kembali membuka gembok yang besar dan tebal. Tidak hanya satu tetapi tiga. Aku tidak tahu apa yang dikhawatirkan Opa Alung sampai memasang tiga gembok. Besar-besar pula. Setelah membuka rolling door, aku menyalakan lampu. Bau kopi menguar dan menusuk penciuman. Aku menaruh tas di meja dan menurunkan beberapa kursi dari meja. Aku menyusunnya memanjang. Setelah itu aku merebahkan tubuh yang remuk-redam di atasnya. Badan dan hatiku semakin terasa sakit karena kursi yang kutiduri keras. Seharusnya aku sudah pulas di kasurku yang kecil tapi nyaman itu.

Seharusnya.

            Aku menghela napas panjang. Benar-benar malam yang menyenangkan.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 72.6K 61
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

1.3M 55K 56
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...
687K 32.4K 53
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
452K 23.4K 54
Bagaimana jika kalian berada dalam posisi seorang gadis bernama Auraline yang pada saat membuka matanya, dia sudah berada dikehidupan sebuah novel mi...