JAGA MALAM [Wattys 2018 Winne...

By felisurya

45.6K 6.3K 184

[Winner of Wattys 2018 Category The Storysmiths] [Finalis 5 Besar Sayembara Fiksi Femina 2016/2017] Semua ora... More

Prolog
01: Menghindar
02: I (Don't) Really Care About You
03: Her Photographic Memory
04: Flashback (1)
05: Flashback (2)
06: I (Don't) Need
07: Flashback (3)
08: The Truth
09: Flashback (4)
Epilog

10: Surat Dari Aimee

3.2K 497 20
By felisurya

Pertemuan Laura dan Aimee berakhir begitu saja sore itu di Ofra. Laura yang terkejut akhirnya menguasai diri dan berpamitan dengan singkat pada Aimee.

Dia bersikap seolah tak terjadi percakapan berat di antara mereka.

"Ehm," Laura berdeham setelah tercipta hening yang panjang di antara mereka. "Aku ... harus pergi sekarang. Semoga lancar persiapan ke Eropanya. Aku duluan ya."

Laura pergi begitu saja meninggalkan Aimee seperti seorang pengecut dan tak mendengar kabar apa pun lagi dari Aimee setelahnya. 

Laura hanya sesekali mendapat pesan-pesan dari Tante Rena yang menceritakan singkat tentang kesibukan Aimee.

"Hari ini Aimee ke Jakarta lagi, Lau, tapi pulang hari. Visanya sudah jadi. Mungkin dia ingin bertemu sebentar denganmu kalau kamu sempat."

Aimee tak menghubunginya sama sekali dan Laura pun tak mencoba mengontaknya.

"Aimee akan berangkat tanggal 18 September dini hari nanti ke Jerman. Apakah kamu punya waktu untuk menemuinya di bandara, Lau?"

"Maaf, Tante. Aku harus dinas," balas Laura singkat.

Pesan yang paling baru dari Tante Rena didapat Laura pagi ini saat dia tiba di rumah sakit, berisi kabar bahwa Aimee telah dua minggu tinggal di Jerman dan mulai beradaptasi.

"Nama kotanya Erfurt, sekitar dua setengah jam naik kereta dari Frankfurt. Aimee tinggal di asrama, mulai pandai mengurus diri sendiri. 

Memasak, mencuci baju, belanja. Sebentar lagi perkuliahan di mulai, dia sangat bersemangat, bahkan sudah mulai pergi ke perpustakaan dan membaca-baca. 

Ini nomor ponselnya yang baru di Jerman, barangkali kamu membutuhkannya."

Tante Rena membubuhkan sederet angka yang merupakan nomor telepon Aimee yang baru beserta sebuah foto Aimee yang berdiri di depan gedung bertuliskan Fachhochschule Erfurt. 

Laura tak bisa menjelaskan rasa ngilu di dadanya saat melihat wajah Aimee yang tersenyum di layar ponselnya. Dengan segera Laura menghapus foto itu.

"Dokter Laura?"

Ponsel di tangannya hampir terlempar karena Laura dikejutkan oleh sapaan Suster Gita. Laura mendengus. "Ya ampun, lain kali jangan membuat saya kaget seperti itu."

"Maaf, Dok. Tadi saya sudah mengetuk pintu. Saya cuma mau menyampaikan ada surat untuk Dokter," Suster Gita menghampiri Laura di mejanya dan menyodorkan sepucuk surat.

"Terima kasih, ya."

Suster Gita tersenyum dan pamit. Laura mengamati sepucuk surat beramplop putih dengan tempelan berwarna biru bertuliskan priority. 

Surat itu sedikit kotor dan kusut, pertanda telah mengalami perjalanan jauh dan berpindah-pindah. Tertulis nama Dr. Laura Sudibyo dari departemen bedah dengan alamat rumah sakit tempat Laura bekerja. 

Jantung Laura seolah mencelus saat dia membalikkan amplop tersebut dan melihat nama pengirimnya: Aimee Tandiono, Nordhäuser Straße 78, Erfurt 99089, Germany.

Laura menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar ketika membuka amplop itu dengan hati-hati. Ditariknya keluar selembar surat yang terlipat rapi dengan tulisan tangan yang bagus.

"Ci Laura, apa kabar? Sejak pertemuan kita di kafe Ofra aku cukup disibukkan dengan berbagai persiapan untuk berangkat ke Jerman. 

Aku rasa Cici juga sibuk dengan kegiatan sehari-hari di rumah sakit. Itu sebabnya sudah lama kita tidak saling berkirim kabar. 

Itulah yang senantiasa kuulang-ulang di dalam benakku, padahal kenyataannya setiap hari aku selalu memikirkan kejadian sore itu di kafe Ofra dan Ci Laura.

Apa Ci Laura ingat dua tahun lalu ketika aku operasi usus buntu? 

Aku terkejut saat teman-teman baikku yang ikut menungguiku operasi mengatakan mereka mendengar sempat terjadi masalah saat aku hendak dioperasi. 

Sebabnya adalah karena Papa dan Mama tidak bisa melakukan transfusi darah untukku. 

Mereka berkata, 'Akhirnya menunggu kakakmu didatangkan dari Jakarta dan dia yang melakukan transfusi darah untukmu. 

Kami tidak tahu kamu ternyata punya kakak, wajahnya pun mirip denganmu. Kamu tidak pernah bercerita tentangnya'. 

Aku bingung. Aku saja tidak tahu siapa yang mereka maksud dengan 'kakak'ku, bagaimana mungkin aku bisa bercerita tentangnya? 

Belakangan baru kuketahui bahwa orang itu ternyata Ci Laura. 

Belakangan juga baru kuketahui bahwa saat itu Mama dan Papa tidak bisa melakukan transfusi karena golongan darah kami berbeda.

Bagaimana mungkin golongan darah kami berbeda? 

Padahal aku anak mereka. Kecuali jika ternyata aku bukan anak mereka. 

Bagaimana golongan darahku dan Ci Laura bisa sama? Apakah hanya kebetulan? Bagaimana Mama dan Papa bisa tahu jika golongan darahku dan Ci Laura sama? 

Dari sekian banyak sepupuku yang lain, mengapa Ci Laura yang dipilih? 

Mengapa Cici yang tidak dekat, selalu menjaga jarak dan bersikap dingin terhadapku rela datang dari Jakarta untuk memberikan darahnya bagiku?

Mendadak semuanya menjadi seperti kepingan puzzle yang ditumpahkan ke dalam kepalaku. 

Kutelusuri mundur jejak-jejak diriku, tak ada satu pun dokumentasi atau pun foto sebelum aku lahir. 

Tak ada foto ketika Mama mengandung. Tak ada dokumentasi hasil USG. Untuk orang yang baru melahirkan, Mama pun terlihat terlalu sehat saat menggendongku. 

Kebingunganku semakin menjadi-jadi saat aku menatap wajahku di cermin dan menyadari memang benar kita berdua mirip, padahal Ci Laura mirip dengan ayah Cici .

Dan aku tak seharusnya memiliki hubungan darah dengan ayah Ci Laura, sebab adalah kedua ibu kita yang berhubungan darah sebagai kakak adik.

Kecuali kita berdua memang ada hubungan darah yang lebih dari sekedar sepupu. 

Diam-diam aku mencoba menggali sebanyak mungkin kepingan informasi tentang diriku yang sebelumnya tak pernah kupedulikan. 

Semua pertanyaanku terjawab saat kutemukan sertifikat akta lahirku yang menyebutkan aku adalah anak dari Laura Sudibyo. 

Itu sebabnya Mama dan Papa tidak pernah membiarkanku mengurus sendiri pendaftaran sekolah atau kuliah. Mereka mau menyembunyikan dokumen data diriku.

Jadi Laura Sudibyo, sepupuku yang tertua, yang usianya terpaut tujuh belas tahun denganku, yang adalah seorang dokter bedah yang selama ini kupanggil dengan sebutan cici, yang selama ini dingin, menjaga jarak dan tidak ingin banyak bercakap- cakap denganku ternyata adalah ibu kandungku. 

Aku begitu terperanjat. Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi? Aku punya sejuta pertanyaan dalam benakku yang begitu kusut, aku tak bisa menguntainya menjadi kata-kata. 

Namun aku tahu, takkan pernah Cici membuka mulut dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku jika hubungan kami berdua hanya sebatas seperti orang asing saja.

Itu sebabnya aku ingin magang di Jakarta, terlebih saat aku tahu ternyata kantorku dekat dengan rumah sakit tempat Cici bekerja. 

Diam-diam aku suka membuntuti dan mengamati Ci Laura setiap kali ada kesempatan. 

Aku percaya jauh di lubuk hati Cici sebetulnya ada jiwa dan kasih seorang ibu, walau hanya segelintir, walau hanya setitik. 

Itu sebabnya Ci Laura tidak menggugurkanku. Itu sebabnya Cici memberikanku untuk diasuh Mama dan Papa yang Ci Laura percayai. 

Itu sebabnya Cici pulang ke Indonesia setelah sekian lama tinggal di Australia. 

Itu sebabnya Ci Laura rela datang dari Jakarta ke Bandung untuk melakukan transfusi darah bagiku. 

Itu sebabnya Ci Laura khawatir padaku saat aku dijambret dan kepalaku bocor ketika sedang magang di Jakarta. 

Itu sebabnya Cici datang jauh-jauh ke Bandung hanya untuk membawakan nasi ulam untukku. 

Hanya saja Ci Laura selalu berusaha mengubur perasaan-perasaan itu karena mengartikan diriku sebagai pengingat masa lalu Cici yang tidak menyenangkan.

Ci Laura, aku tidak meminta Cici untuk mengakui diriku sebagai anak

Aku juga tidak akan memanggil Ci Laura dengan sebutan Mama. 

Bagiku, hanya ada satu orang yang ingin kupanggil Mama dan juga hanya satu orang yang ingin kupanggil Papa, yaitu Mama dan Papa yang selama ini merawat dan membesarkanku. 

Bagiku, Cici akan tetap menjadi seorang Ci Laura seumur hidupku. 

Tapi, aku hanya meminta dan berharap supaya Ci Laura membolehkan aku hadir dalam hidup Cici. Berbagi cerita, tawa dan kesedihan bersama. 

Aku tidak pernah membenci Cici dan takkan pernah membenci.

Sebab karena Ci Laura telah melahirkanku, aku jadi bisa melihat dan merasakan banyak hal terindah di dunia ini: teman-temanku, saudara-saudaraku dan yang terutama cinta kasih Mama dan Papa."

Hati Laura luluh lantak membaca surat dari Aimee. 

Dua puluh satu tahun yang sia-sia berusaha mengaburkan jalan Aimee untuk menghampirinya. 

Pada akhirnya Aimee tetap berhasil menemukannya. 

Pada akhirnya Aimee tetap muncul dan berharap kasih seorang ibu darinya. 

Begitu berat Laura mengakuinya, namun setelah dua puluh satu tahun akhirnya dia mengiyakan itu semua

Bahwa masih ada sedikit nalurinya sebagai seorang ibu menyala jauh di lubuk hatinya yang paling dasar. 

Itu sebabnya dia menangis tersentuh saat tahu Aimee menyebutnya spesial. 

Itu sebabnya dia sedih dan khawatir namun sekaligus juga bangga saat tahu Aimee akan kuliah di Eropa.

"N.B. Aku hanya berharap, sungguh aku sangat berharap Ci Laura mau menerimaku di dalam hati Cici."

Air mata Laura pun menetes.

~

Continue Reading

You'll Also Like

5.2K 1K 33
"Qwincy wincy spider climbed up the waterspout. Down came the rain and washed the spider out" Tuh, kan! Bahkan di lagu para bocah, Qwincy di'kalah'ka...
137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
15.4K 1.1K 15
"We look happy outside, but we hurt each other inside."
206K 7.2K 55
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.