Paperplane

By deavilie

5.4K 129 48

Ia tak pernah ingin terlibat dengan sesuatu yang merepotkan. Itulah prinsipnya, " Jauhi hal hal yang hanya ak... More

Paperplane
Prologue - The Beginning of Everything
Chapter 1 - You Won't ... And I'll Never
Chapter 3 - The Raindrops of Espresso
Chapter 4 - No More
NOTICE FOR READERS
Chapter 5 - Your Smile

Chapter 2 - Taste Like Sweet Honey

580 19 4
By deavilie

Chapter 2 - Taste Like Sweet Honey

' Anna, lihat apa yang Papa punya untukmu ! '

' Papa? Apa itu ? '

' Coba buka. '

' Waaah ! Cantik sekali ... '

' Kalung ini Papa hadiahkan untukmu. Jagalah baik-baik, ya. '

' Ng ! Akan kujaga baik-baik! '

' Anak pintar... Happy Birthday, Anna. '

------------------------------------------------

" Anna .. Anna ... "

Aku merasa ada yang menepuk pundakku lembut, membuat mataku perlahan-lahan terbuka.

Seorang wanita tersenyum lembut lalu mengelus rambutku.

" Jika kau tidur disini terus, kau akan masuk angin. Ayo, masuk. "

Sambil mengucek mataku pelan, aku mengangguk.

" Mama ... Baru pulang? " Tanyaku, masih bersandar di bawah pohon apel yang besar, tempat dimana aku tertidur tadi.

" Yah, begitulah. Belakangan ini pekerjaan terus bertambah, padahal Mama juga ingin bersantai di rumah. " Mama hanya menghela nafas lalu melangkah masuk ke rumah melalui pintu kaca yang terhubung ke ruang keluarga.

" .... " Sambil menguap, aku berpikir tentang peristiwa di masa lalu itu.

Kenangan disaat aku berulang tahun ... Sebelum Papa meninggal.

" Mimpi ... " Gumamku pelan sambil menggapai kalung yang kupakai di leherku.

Kalung yang berleontinkan sebuah batu kecil berwarna ungu kebiruan. Batu yang Papa sebut "Amethyst". Hadiah ulang tahunku, yang juga merupakan kenangan peninggalan Papa.

Papa adalah jewel designer yang cukup terkenal. Perhiasan yang ia buat selalu dibeli dengan harga yang luar biasa mahalnya. Sehebat itulah Papa. Papa selalu berkata bahwa ia ingin agar perhiasan yang ia buat dapat membuat orang yang memakainya bahagia.

Walaupun aku sama sekali tidak mengerti maksud Papa apa.

Sambil berjalan menuju pintu kaca yang sejak tadi masih Mama biarkan terbuka, aku berbalik untuk melihat pohon apel yang tumbuh dengan besar itu.

Pohon apel dimana Papa sering memanjatnya untuk mengambil apel yang sudah masak untuk dimakannya bersama Mama dan aku.

" Ah, sudah mulai berbuah. " Ujarku sambil tersenyum kecil.

Tangan kananku meronggoh saku celanaku dan mengeluarkan kamera kesayanganku.

Mengabadikan pohon apel yang kini sudah mulai berbuah lagi, diterpa oleh sinar berwarna jingga keemasan yang indah.

" Anna ... ? " Mama memanggilku dari dalam dan aku menyahutnya.

Memasuki ruangan dan menutup pintu kaca itu rapat, masih dengan senyuman yang menghiasi wajahku.

--------------------------------------------------

" ... "

" Anna. "

" ... "

" Anna ! "

" .... Hm? "

" Hey, apa kau dengar apa yang aku katakan? "

Kini aku menolah pada Eri yang kini sudah mulai cemberut, dan disambut oleh kekehan halus dari Michelle.

" ... Tidak. " Jawabku singkat, membuat Elly kini menyodorkan majalah yang sejak tadi ia pegang, tepat ke depan wajahku.

" Lihat halaman ini ! " Ujarnya.

Aku menelusuri halaman itu dan mengangguk paham.

" Oh, butik Mamaku jadi sponsornya. Yah, wajar saja ya. Butik Mama memang terkenal sih. " Jawabku dengan nada datar.

" Bukan itu ! Lihat yang di atasnya ! "

Mataku kini menelusuri halaman atas. Seorang pria berpose disana, dengan pakaian yang bisa kutebak, pakaian yang dibuat oleh perusahaan Mama. Pria yang berpostur tinggi dan berwajah tampan. Bisa dibilang, ia memiliki kualitas tinggi sebagai model, dan ... Ia memiliki warna rambut yang cukup aneh. Merah kecoklatan, warna rambut yang jarang terlihat, dan aku yakin itu rambut hasil cat, bukan asli.

" Siapa ? " Tanyaku.

" Hah ?? Yang benar kamu gak tahu?? Walaupun Mamamu adalah seorang fashion designer ?? Kupikir pasti kau pernah melihat orang ini karena ia cukup sering disponsori oleh perusahaan Mamamu. " Elly menatapku dengan terkejut, dan tidak perlu dibilang bahwa matanya melebar dengan hebat sampai-sampai aku takkan kaget jika tiba-tiba bola matanya menggelinding keluar.

" Tidak. Aku memang sering ke perusahaan Mamaku, tapi ... Aku tak pernah melihat orang ini. " Balasku.

" Bisa dibilang ... Anna sama sekali tidak tertarik dengan hal beginian. " Michelle menambahkan, dan aku mengangguk, mengiyakan.

" Ah, sulit dipercaya. Dia adalah Klaus ! Klaus Christopher, model berumur 16 tahun yang karirnya lagi melonjak sekarang! Dan juga ... Dia ... Sangat CAKEP !! " Elly menjelaskan dengan antusias, dan entah kenapa ia seperti menegaskan kata CAKEP.

Aku kembali menatap majalah yang berisikan foto orang yang bernama Klaus itu. Memang sih, ia begitu tampan. Bukan hanya wajah saja, postur tubuhnya juga sangat mendukung profesinya sebagai model. Warna rambutnya yang berwarna merah kecoklatan juga secara ajaib begitu cocok dengannya, seakan ia terlahir dengan rambut seperti itu. Bisa dibilang, apapun akan cocok dengan manusia setampan dia.

Ngomong-ngomong soal warna rambutnya, aku ... Ingat bahwa pernah melihat orang berwarna rambut seperti itu. Ya, orang yang ada bersama Zen Droic waktu itu. Orang yang memakai masker, kacamata dan topi.

Tapi ... Mustahil kan ?

" Ah, pulang yuk ! " Elly mengemaskan majalahnya kedalam tas.

" Iya, ayo pulang. Lagipula bel sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. " Michelle tersenyum sambil mengambil tasnya.

Ah, iya ya. Kelas sudah kosong. Tapi ... Entah kenapa ... Ribut sekali.

" Ada apa ya? Kok berisik ? " Michelle bertanya-tanya.

" Dari arah gerbang sekolah. " Elly menunjuk keluar jendela, melihat kerumunan siswi-siswi yang berteriak-teriak gak jelas.

Setelah diperhatikan baik-baik, ada manusia di tengah tengah kerumunan itu.

" EHH ??! Bohong !! Yang benar ?!! " Elly tampak heboh setelah menatap ke arah kerumunan itu minimal 10 detik.

" Apa? "

" I-itu kan !!! KLAUS CHRISTOPHER !!! "

Elly dengan cepat melesat keluar kelas dengan membawa tasnya. Dengan kecepatan lari seperti itu, aku takkan kaget jika tiba-tiba Elly bisa menang di olimpiade lari.

Aku dan Michelle hanya berjalan keluar gedung dengan santai. Aku sama sekali tidak tertarik dengan manusia yang disebut-sebut oleh Elly.

Dan aku ... Sama sekali tidak ingin bergabung dengan kerumunan orang yang berisik itu. Selama bertahun-tahun, aku hidup dengan damai dan tentram karena menghindari hal-hal yang menurutku akan merepotkanku, ataupun hal-hal yang akan membawa masalah padaku.

Mottoku " Jauhi hal yang hanya akan mendatangkan masalah ! ".

Michelle hanya bisa menahan tawanya saat melihatku menghela nafas. Mungkin ia menerjemahkannya dengan baik.

' Merepotkan . ' Batinku.

Aku dan Michelle berjalan melewati kerumunan manusia itu, dan dengan santai keluar dari area sekolah. Tanpa mempedulikan Elly yang masih berteriak-teriak di sekitar Klaus, Michelle membuka pembicaraan.

" Elly tampak senang ya, bertemu idolanya seperti itu. "

" Yah, Elly memang orangnya seperti itu. Ia selalu senang terhadap sesuatu yang kecil. " Balasku.

" Ah, tapi ... Klaus ... Dia mengenakan seragam SMA Hammington. " 

Oke, kini aku tertarik.

" Berarti ... Apa dia ada hubunganya dengan Zen Droic? " Tanyaku, memberhentikan langkahku hanya untuk berpaling pada Michelle dan berbicara.

" Mungkin. Soalnya ... Yang terpikirkan hanyalah Zen Droic yang memang mantan murid Hammington. "

" ... Hmm ... " Gumamku lalu melanjutkan langkah kakiku.

Jika dia ada kaitannya dengan Zen, berarti ... Ia ada di SMA Louie karena ada urusan dengan Zen? Tapi, jika dilihat-lihat. Orang yang bernama Klaus itu, mirip dengan orang yang kulihat bersama Zen kemarin. Apa orang yang sama?

" ... "

" Anna ? Sedang memikirkan sesuatu? "

Aku menoleh pada Michelle yang kini berdiri di sebelahku. Aku baru sadar bahwa aku kini sudah berhenti melangkah, hanya berdiri diam sambil melipat kedua tanganku di depan dada.

" ... Bukan apa-apa. Ayo pulang. " Aku menggeleng kepalaku, lalu lanjut berjalan, tidak mempedulikan tatapan bingung Michelle.

Rasa ingin tahuku ... Terlalu besar.

Aku harus mengubah kebiasaan buruk ini, atau aku akan berakhir memikirkan hal ini selama seharian penuh tanpa tidur.

--------------------------------------------------

Dihari yang sama, aku bertanya-tanya.

Aku melakukan dosa apa, sampai-sampai aku harus berakhir di situasi seperti ini?

" ... "

Aku melirik ke arah pergelangan tanganku yang sedang digenggam oleh seseorang yang familiar, bersembunyi bersama-sama di gang kecil.

Nafasnya memburu, begitu pula nafasku. Ia dengan seksama melihat ke sekelilingnya, berharap tak ada lagi yang mengejar kami.

-flash back-

" Sampai jumpa besok, Anna. "

Aku dan Michelle berpisah di perempatan jalan yang memisahkan rumah kami yang memang berada di jalur yang berlawanan. Berniat membeli sesuatu yang dingin untuk meredakan dahagaku, aku berjalan menuju supermarket dan tak lama kemudian keluar dengan sebotol jus yang dingin.

Sampai akhirnya aku melihat seseorang berlari ke arahku, dengan tatapan panik ia berusaha mengurangi kecepatan larinya, tapi ia terlambat menyadari bahwa kini ia telah menabrakku.

Aku jatuh terduduk dan meringis pelan, mengelus pantatku yang menghantam semen itu. Dengan kesal aku melotot ke arah laki-laki bermasker, kacamata dan bertopi itu. Ia tampak panik melihatku kesakitan dan meraih lenganku, membantuku untuk berdiri.

Sosok misterius yang kulihat beberapa hari yang lalu.

Mendengar suara berisik mendekati kami, entah kenapa laki-laki itu menggapai pergelangan tanganku dan berlari, menyeretku bersamanya.

-end of flashback-

Setelah melihatnya bersandar lega di dinding belakangnya, aku bisa menyimpulkan bahwa orang yang mengejarnya (Baca: mengejar NYA, karena aku hanya terlibat di tengah-tengah).

" Bisa lepaskan tanganmu? " Tanyaku sambil menunjuk ke arah tangannya yang masih menggenggap pergelangan tanganku.

" Ah ! Maaf. "

Dengan segera ia melepaskan tangannya. Aku hanya mengelus pelan pergelangan tanganku yang sedikit sakit.

" Lalu ? Apa yang mereka inginkan dari seorang Klaus Christopher ? " Tanyaku lagi.

Ia tampak membeku lalu menoleh ke arahku perlahan.

" Kau ... Sadar? "

" Kau kira hanya dengan topi, kacamata dan masker bisa menutupi identitasmu? Ah, walaupun mungkin akan berhasil ... Jika kamu tidak mengenakan seragam sekolahmu. " Balasku santai.

Aku kini baru sadar bahwa botol jus dingin yang baru kubeli tadi kini sudah tidak ada bersamaku. Mungkin aku menjatuhkannya tadi. Ah, disaat dahaga kembali merasukiku.

" Lalu ? Kau tidak seperti mereka? " Klaus menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya, mungkin ia merasa sulit bernafas disaat ia baru habis berlari jauh.

" Seperti apa? Kau ingin aku berteriak-teriak histeris seperti mereka? Di hari yang panas seperti ini? Jangan bercanda. " Aku mengeluh sambil mengibas-ngibaskan telapak tanganku, berharap bisa menghasilkan kibasan angin yang bisa mendinginkanku.

" Tidak, aku sangat bersyukur kau tidak bereaksi seperti itu. " Ia terkekeh ramah mendengar balasanku. " Oh! Seragammu ... Kamu dari SMA Louie ? "

Aku mengangguk. Aku kaget ia baru sadar sekarang ... Disaat jelas-jelas yang aku kenakan sekarang adalah baju seragam SMA Louie. Ditambah lagi hari ini aku tidak memakai cardigan maupun jaket, seharusnya ia bisa melihat lambang sekolah SMA Louie dari baju seragamku.

" Kamu kenal Zen Droic? Yang baru pindah . " Tanya Klaus masih dengan senyuman kecil melekat di wajahnya.

" Dia ... Teman sekelasku. "

" Ooh ! Kebetulan sekali ! Aku tadi menunggu di depan gerbang sekolahmu, berniat mau bertemu dengan Zen. Tapi ... Dalam waktu singkat aku diserbu oleh pasukan fans, jadi ... Aku tak dapat bertemu dengannya. " Klaus tertawa lalu meronggoh saku celananya.

" Besok, tolong berikan ini padanya. Habis ini aku harus pergi kerja, dan besok juga aku sibuk. Jadi, tolong berikan ini padanya untukku. "

Klaus menggapai tanganku kananku dan memberiku sebuah kotak kecil berwarna hitam.

" Oh, apa kau suka makanan manis? " Tanya Klaus padaku lagi.

Aku mengangguk pelan, bertanya-tanya apa lagi yang orang ini inginkan.

" Kalau begitu ... " Ia kembali meronggoh saku celananya, menggapai tangan kiriku dan meletakkan sesuatu di telapak tanganku.

Permen lolipop rasa madu.

" Hadiah." Ia terkekeh lalu kembali memakai maskernya.

" Makasih ya! Ah, namamu ! " Ia baru saja akan berjalan keluar gang kecil ini, tapi kembali menghentikan langkahnya. Berbalik melihatku.

" Anna. " Jawabku singkat.

" Nama yang bagus. Sampai jumpa, Anna! "

Ia melesat pergi dari hadapanku dan menghilang di tengah keramaian.

" Ah, aku lupa menanyakan apa hubungannya dengan Zen. " Gumamku pada diriku sendiri.

Sambil menatap permen lolipop madu itu, aku hanya bisa menghela nafas, berharap kejadian seperti hari ini tak terulang lagi. Atau ... Aku takkan bisa hidup dengan damai dan tenang.

Orang-orang seperti Zen dan Klaus ... Adalah orang-orang yang bisa membuat kehidupan idealku (damai dan tenang) terancam.

" ... "

Kembali menghela nafas pasrah, aku memasukkan kotak hitam itu ke dalam ranselku, mengingat itu benda titipan.

" Merepotkan. " Gerutuku singkat lalu memasukkan lolipop madu itu ke dalam mulutku.

-------------------------------------------------

Zen menatapku aneh saat melihatku berdiri di depannya sambil menyodorkan sebuah kotak hitam padanya. Ia hanya menatap ke kotak itu, lalu kepadaku secara bergantian.

" Apa? " Tanyanya.

" Titipan ... Dari Klaus. "

" ... Kau kenal dia? "

Aku menggeleng kepalaku lalu berbalik dan meninggalkannya setelah memastikan aku sudah memberikan kotak itu padanya.

Tugasku selesai, jadi tidak perlu melibatkan diriku pada Zen ataupun Klaus lagi. Aku akan menghindari mereka dengan sekuat tenaga.

" Hm ? " Aku meronggoh saku celanaku, membiarkan lollipop susu yang kubeli tadi berada di dalam mulutku.

" Mama ? "

Aku menjawab telepon itu sambil memainkan lollipop itu di tanganku. Tentu saja akan susah berbicara jika lollipop itu kubiarkan tetap di mulutku.

" Oh, Anna. Sebentar lagi jam pulang sekolah kan? Bisa minta tolong antarkan amplop yang ada di atas meja mama ke kantor? " Suara Mama sedikit sulit terdengar karena disana tampak berisik. Apa mama sedang sibuk?

" Aku tidak keberatan. Apa ada batas waktu? " Tanyaku, bertanya-tanya apakah harus sesegera mungkin.

" Jam 4 ! "

" Baiklah. Akan kuantar nanti. "

Setelah memutuskan sambungan, aku menghitung waktu yang kupunya untuk mandi dan ganti baju sebelum pergi ke kantor mama. Cukup banyak.

" Hey, Annabelle ! Simpan HP mu dan cepat masuk ke Lab ! "

Suara pak Henry, guru Fisikaku, menggema di koridor dan aku cukup terkejut dengan panggilan tak terduga itu.

Dan tentu, aku baru ingat bahwa sekarang lagi pergantian jam pelajaran dan sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju Lab Fisika. Diselingi oleh memberikan titipan Klaus ke Zen, dan telepon dari Mama.

" Annabelle ! " Panggil Pak Henry sekali lagi, mengingat aku belum bergerak sama sekali sejak tadi.

" Iya, iya ! "

---------------------------------------------------

Sambil memegang Amplop pesanan Mama, aku berjalan menelusuri jalan yang berisik karena suara transportasi dan keributan masyarakat. Matahari lumayan terik hari ini, tak ada angin yang berhembus sedikitpun. Langit biru cerah yang tak berawan menghiasi angkasa.

Dengan kaos putih, celana jeans pendek dan jaket rajut merah maroonku yang kebesaran, aku berlari kecil memasuki gedung tinggi dan megah yang merupakan kantor Mamaku. Kantor yang bisa dibilang adalah kantor utama Fashion brand 'La Cordelia' milik Mama.

" Selamat datang, Nona Anna. Ibu Gracia sudah menunggu kedatangan Anda. " Resepsionis itu menyambutku dengan hormat, mengenaliku sebagai Anak bosnya.

Disaat ia hendak mengantarku ke ruangan Mama, aku menolaknya dengan lembut.

" Ah, berikan saja lokasinya. Aku akan pergi menemuinya sendiri."

" Ibu Gracia ada di ruangannya di lantai 10. Apa benar tidak apa-apa tanpa diantar, Nona? " Tanyanya lagi.

" Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah sering kemari. Lanjutkan pekerjaanmu. " Aku tersenyum kecil sebelum menekan tombol lift dan menaiki lift tersebut.

Aku bersandar di dinding lift, mengetuk-ngetukkan sepatu boots ku ke lantai lift, menunggu sampai ke lantai 10.

Disaat pintu terbuka, aku kira aku telah sampai, tapi di monitor menunjukkan lantai 8. Mataku sedikit melebar saat melihat seseorang langsung memelukku erat.

" Oh, Anna ! Kita bertemu lagi ! "

Suara familiar, dan terlebih lagi ... Warna rambut merah kecoklatan itu. Tidak salah lagi ... Dia ...

" K-Klaus ?? " Ujarku kaget, masih tak menyangka akan disapa dengan pelukan tiba-tiba seperti ini.

Bayangkan saja, disaat pintu lift terbuka, dan tiba-tiba kau diterjang dengan pelukan erat disaat kau bahkan tidak sempat melihat siapa pelakunya.

Klaus Christopher, kau sangat buruk untuk jantungku.

" Se-Sesak ! " Aku menepuk-nepuk punggungnya lalu iapun akhirnya melepaskan pelukannya.

" A-Ah ! Sorry ... Aku hanya tak menyangka akan bertemu denganmu disini. Aku terbawa suasana. " Ia tertawa pelan.

Ia hendak menekan tombol lift tapi ia berhenti.

" Kau juga mau ke lantai 10 ?" Tanyanya.

Aku mengangguk lalu berjalan keluar lift, menyadari pintu lift telah terbuka dan sudah sampai ke tujuan.

Klaus hanya berjalan mengikutiku dari belakang, dan anehnya, ia juga berhenti tepat di depan pintu besar yang ada di ujung koridor. Tepatnya pintu ruangan Mamaku.

Setelah mengetuk pintu, aku mempersilahkan diriku masuk, bahkan sebelum dipersilahkan masuk. Apa peduliku? Kantor ini sudah seperti rumahku sendiri.

" Mama, pesananmu. " Ujarku sambil berjalan mendekati Mamaku yang sibuk dengan sesuatu di mejanya.

" Makasih, Anna. Wah-wah ... Klaus juga? Ada apa ? " Tanya Mama setelah menerima Amplop pesanannya.

" Aku hanya bawa pesan dari Leon, dia mencarimu di ruang foto. " Klaus tersenyum kecil.

" Oh, ya? Terima kasih. Anna, bersenang-senanglah dulu disini, sekalian makan dulu di cafetaria lantai 5. "

Setelah berkata seperti itu, Mama pergi meninggalkan kami.

Mungkin aku akan makan dulu. Batinku lalu berjalan keluar ruangan bersama Klaus.

" Ah, ada waktu? Ayo makan bersama~" Klaus menepuk punggungku lembut dan hanya tersenyum manis.

Dan anehnya, aku tak bisa menolak melihat senyumannya yang sempurna itu.

Terkutuk kau, Klaus Christopher !

Terkutuk Annabelle Cordelia, karena kau luluh oleh bujukannya !

--------------------------------------------------

" Apa hubunganmu dengan Zen? "

Tanyaku dengan terus terang, mengambil kesempatan disaat kami sedang berdua di cafetaria, dengan 2 cangkir teh yang asapnya masih menggepul hangat.

" Aku dan Zen? " Klaus hanya berkedip saja, sambil meniup teh yang masih panas itu.

" Kami ... Dulu teman sekelas. Ah, dan juga ... Teman kelahi waktu SMP. " Jawab Klaus terhadap pertanyaanku.

" Teman kelahi? " Ulangku bingung.

Aku tahu Zen sering berkelahi, tapi ... Klaus yang ada di depanku adalah seorang model. Model yang berkelahi ... Agak aneh.

" Wajahmu mengatakan bahwa kau terkejut, model sepertiku malah berkelahi." Klaus tertawa, seakan bisa membaca pikiranku.

" Bukannya bagi seorang model, tubuh yang utuh adalah segalanya? "

" Yah, begitulah. Tapi ... Aku cukup percaya diri dengan kekuatanku. Tidak masalah. "

" Ngomong-ngomong ... Kamu tadi bilang kamu dulu sekelas sama Zen. Apa itu ... Waktu Zen masih di SMA Hammington? "

Klaus mengangguk, " Yap. "

" Berarti kamu ... Kelas 2 SMA ? "

" Tidak. "

Aku terdiam, bingung.

" Aku tinggal kelas, sama seperti Zen. Bedanya, aku tidak dikeluarkan dari sekolah. " Tambah Klaus tak lama kemudian.

" Eh? Kok? "

" Aku tinggal kelas karena terlalu sering absen, berhubung jadwalku yang padat karena pekerjaanku sebagai model. "

" Hmm ... Gitu... Tapi, apa bedanya dengan Zen? Kalian hanya sama-sama tinggal kelas karena masalah absen, kan? Kenapa cuma Zen yang dikeluarkan? "

" ... Anna, itu ... Aku tidak akan mengatakan alasannya. " Klaus hanya tersenyum kecil.

Aku tak membalas saat merasakan rasa kesedihan pada pancaran matanya. Ia tampak, tak ingin membicarakan hal ini.

" Baiklah, aku takkan bertanya lagi. " Balasku lalu mulai meminum teh ku yang sudah mulai mendingin.

" Kau penurut, ya? Ini, kuberi hadiah. "

Klaus menyodorkan sebuah lollipop padaku.

Lollipop madu .... Orang ini, apa membawa lollipop kemana-mana?

" Klaus, waktu istirahatmu telah habis! " Seseorang yang berpakaian rapi memanggil Klaus dari kejauhan. Sepertinya itu managernya Klaus.

" Oke ! " Sahutnya sambil sedikit melambai.

Ia bangkit dari tempat duduknya lalu mengacak rambutku pelan.

" Oh, apa aku pernah bilang bahwa kau cantik seperti Mama mu? " Ia terkekeh lalu berjalan pergi.

Aku hanya bengong mendengar perkataannya sampai akhirnya aku sadar bahwa wajahku telah memanas dan aku jadi salah tingkah sendiri.

Terkutuk kau, Klaus Christopher!

------------------- to be continued

Continue Reading