TRS (3) - Mika on Fire

By wulanfadi

2.5M 190K 26K

Mika, cowok aneh, suka berbicara sendiri, bertingkah konyol dan berturut-turut menjadi badut kelas ternyata m... More

TRS [3] - Mika on Fire
M-J :: (1) Jam 12
M-J :: (2) Sarapan
M-J :: (3) Kenapa?
M-J :: (4) Jatuh
M-J :: (5) Bertukar
M-J :: (6) Dekat
M-J :: (7) Rasa
M-J :: (8) Tertangkap
M-J :: (9) Pesta
M-J :: (10) Pukulan
M-J :: (11) Berita
M-J :: (12) Ngobrol
M-J :: (13) Tau
M-J :: (14) Nyaris
M-J :: (15) Rencana
M-J :: (16) Sistem
M-J :: (17) Kejar
M-J :: (18) Kenapa?
M-J :: (19) Lagi
M-J :: (20) Makan
M-J :: (21) Pertunjukkan
M-J :: (23) Akhir
TRS (3) - Epilog
One-Shot

M-J :: (22) After

68.6K 6.4K 522
By wulanfadi

M-J :: (22) After

=============

M I K A

Gue terbangun.

Disorientasi.

Gue seperti telah bermimpi panjang. Sangat panjang hingga gue merasa semuanya nyata. Tubuh gue kelelahan, seolah telah terbebani lama. Gue membuka mata, hal pertama yang gue tahu, gue berada di kasur. Hal kedua, yang membuat gue terkejut, sekarang tanggal 25 Mei. Padahal gue yakin, gue tidur di tanggal 1 Mei, berharap nantinya bakal mendapat hadiah dari Nyokap karena berulangtahun.

Tapi, 25 Mei?

Ada sesuatu yang salah, gue tahu itu.

Gue turun dari kasur, keluar kamar dan menuruni tangga. Tampak Mello tengah meminum teh hangat di bar kecil kami. Kami berdua saling tatap, bingung.

"Lo ngerasa ada yang aneh, gak?" tanya gue.

Mello mengangguk. "Mello kayaknya kelamaan tidur jadi gini."

Gue duduk di sebelahnya, ikut membuat teh hangat. "Gue mimpi gue punya kembaran dari dunia entah apa .... Dan abis itu ada portal ... ada peri ... ada ... ugh!"

Kepala gue terasa berdenyut kala mengingat mimpi itu. Seolah ada blok yang menghalangi gue untuk mengingat lebih jauh.

"Kak, itu mobil yang disamping city car Mama punya siapa, ya?" tanya Mello penasaran sambil menunjuk mobil merah yamg ada di samping city car Nyokap.

Gue menjetikkan jari. "Di mimpi gue, itu mobil hadiah dari Nyokap!"

"Ada kuncinya?" tanya Mello antusias.

Gue melihat tempat kami biasa menggantung kunci. Terdapat kunci asing di sana. Gue yakin betul itu kunci mobil merah itu.

Semuanya terasa sangat aneh, canggung, dan membingungkan. Apa yang terjadi? Apa mimpi itu nyata? Atau tidak? Gue menyisir rambut dengan jemari, berusaha mengingat lebih lanjut.

Tapi tetap diblok.

Gue menaiki tangga menuju lantai dua, bermaksud menghampiri Nyokap dan menanyakan mimpi itu. Kali saja Nyokap tahu. Gue mengetuk pintu kamar Nyokap tiga kali.

Tidak ada jawaban.

Dengan tak sabar, gue menggedor pintu itu.

Tetap tak ada sahutan.

Gue menghela napas, berusaha sabar. Gue ketuk pintu Nyokap pelan. "Ma, Mama di dalem? Ini Mika. Bangun, Ma. Udah pagi."

Masih tak ada jawaban. Pasti Nyokap masih tidur. Gue membuka pintu kamar Nyokap pelan. Ternyata, Nyokap terbaring di kasurnya. Rambut ikal Nyokap jatuh di bahunya. Nyokap memakai piyama yang paling bagus. Baju itu berwarna putih cerah dengan motif bunga-bunga. Dengan posisi seperti itu, Nyokap tampak damai. Apalagi senyumnya dalam tidur. Gue ikut tersenyum.

Pandangan gue beralih ke arah nakas. Tergeletak surat yang telah menguning. Rasanya gue pernah melihat surat itu. Dengan rasa penasaran yang kuat, gue pun membaca isi surat.

Eddenick, 1 Mei 1997  

Ini kesalahanku karena tidak membawanya ikut serta. Aku hanya membawa Mika dan segala kesedihanku yang larut karenanya. Aku menaruh segala rasa percayaku pada Mika, hingga aku menaruh portal menuju Dunia Nyata di kamar tidurnya. Aku tahu tindakanku mengandung konsekuensi yang dapat menyakiti Mika dan dia. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa.  
Aku tahu kedepannya, dia menaruh dendam pada Mika. Aku tahu, dia yang akan menerobos portal secara ilegal untuk mencari Mika dan membawanya pada kegelapan. Namun, lagi-lagi aku tidak sanggup. Aku harus melakukan ini.  

Aku akan melupakan hal ini, menikah lagi, dan menjadi keluarga kecil yang normal. Aku akan melupakan Eddenick, melupakan sejarah itu, dan kemampuanku menutup portal.  

Ini surat terakhirku. Kusisipkan di kertas yang tersembunyi. Mungkin, hingga waktunya tiba, aku akan mengingat hal ini lagi, mempelajarinya perlahan. Namun tidak untuk saat ini, aku tak sanggup menerimanya lagi.  

Maaf membuatmu kecewa.  

Seseorang yang mencintaimu, Ayana.

Gue terdiam.

Sedetik kemudian, ada sesuatu yang menohok hati gue langsung. Tepat. Gue ingat. Semuanya bukan mimpi. Eddenick nyata. Apa Nyokap yang memblok ingatan gue? Tapi, kenapa?

Terdapat secarik kertas lain di bawah surat itu. Gue membacanya.

24 Mei 2014

Untuk Anakku Mika

Maafkan Mama telah memblok ingatanmu, tapi akhirnya kau mengingat kejadian belakangan ini lagi kan? Jika aku menutup portal, otomatis ingatan anak yang paling kupercaya akan diblok, juga orang-orang sekitar yang mengetahui Eddenick. Aku tahu kau tak mau aku memblok ingatanmu, jadi aku mengingatkan Eddenick lagi lewat surat itu.

Maafkan Mama karena telah menyembunyikan banyak rahasia padamu. Tentang Ayahmu yang sebenarnya, tentang Eddenick, dan tentang Nutella yang aku sembunyikan di lemari bawah (kalau kau makan Nutella seperti orang yang belum makan tiga bulan, aku takut kau membengkak, Sayang. Aku hanya mau yang terbaik untukmu).

Maafkan Mama karena telah menjadi orangtua buruk yang sibuk bekerja. Aku masih ingat sewaktu kau memberiku uang yang sebanding dengan upah bekerjaku dalam sehari di kantor. Kau bilang kau ingin aku temani sehari penuh, dan karena itu, aku berubah. Masih ingat hari itu kita menangis berdua seperti bayi?

Maafkan Mama.

Karena Mama tidak selamanya berada di sisi kamu.

Jadilah orang sukses, Mama akan melihatmu dengan rasa bangga di atas langit.

Salam Sayang, Ibumu.

P.S; jangan menyalahkan dirimu karena kamu meminta Mama menutup portal, sudah seharusnya seperti ini, Sayang. Salah satu dari kami bertiga ada yang pergi, kami telah siap sebelumnya.

Air mata yang bergumul di pelupuk gue langsung jatuh mengenai kertas itu. Gue menengok ke arah Nyokap. Bukan, dia bukan tertidur. Gue mengecek napasnya. Tidak ada. Napas hangat Mama tak ada.

Hati gue hancur.

"Ma?" gue menelungkupkan tangan di sekitar wajahnya hati-hati. "Ma? Mama denger suara Mika 'kan? Ma? Mama?"

"Ma? Mama jangan pergi, Ma. Mika sama siapa selain sama Mama? Ma, Mika janji gak makan Nutella banyak-banyak, asal Mama mau buka mata Mama," gue berujar parau, tak tahu harus berbuat apa. Nyokap gue pergi.

Dia pergi ke tempat yang lebih indah.

Tanpa gue di sisinya.

===M i K a===

A N A

Aku seolah bermimpi sangat panjang. Seperti roller coaster yang sudah berhenti. Masih tersisa pusingnya. Kureguk susu cokelat hangat yang berada di mug sambil duduk di samping Adikku, Julian. Cowok itu tampak kebingungan juga.

"Yan, kok kayaknya ada yang aneh, ya?" tanyaku sambil menggaruk kepala.

Julian mengangguk. "Gue pusing."

Pintu kamar Ayah terbuka. Tampak Ayah dengan piyamanya berjalan hilir mudik di dapur. Seperti biasa, membuatkan kami sarapan.

Aku mengobrol dengan Julian tentang acara televisi. Meski di pikiranku banyak pertanyaan, namun begitu aku mencoba mengingat lebih jauh, seolah ada blok di dalamnya.

Ponselku berdering.

Mengambil ponsel itu dan mengecek caller id-nya, aku mengernyit. Mika. Padahal aku telah putus dengannya berbulan lalu. Aku sudah nyaris move on darinya. Tapi kenapa tiba-tiba cowok ini meneleponku?

"Angkat aja," ucap Julian iseng, "Kali aja ngajak balikan."

"Apaan sih," pipiku memerah.

Kuterima panggilan itu, menempelkan speaker ponsel pada telinga secara hati-hati. Terdengar suara tangis, suara Mika. Aku terduduk tegap dan menjauh dari Julian begitupun Ayah. Aku tidak pernah mendengar tangisan Mika seperti ini.

"Mama aku meninggal, Jules," ucap Mika setelah aku bertanya "ada apa?".

Aku termangu.

"Kamu pasti lupa kalo kita udah balikan. Kamu pasti ngira aku cuman ngada-ngada tentang Mama aku. Tapi enggak, Jules," suara Mika terdengar putus asa. "Aku butuh kamu sekarang ..."

Mungkin aku lebih cepat dari seekor macan karena setelah mendengar suara Mika, aku langsung keluar rumah dan menyetop taksi. Aku cemas padanya. Aku tahu dia jarang berbohong. Aku tahu dia benar-benar membutuhkan aku sekarang.

Oh God, beritahu aku Mika baik-baik saja.

Begitu sampai di rumah Mika, ada bendera kuning tertancap di sekitar gerbang. Untungnya aku membawa uang di saku piyama, jadi aku langsung memberi uang itu pada supir dan keluar dari mobil. Aku melangkah cepat ke dalam rumah Mika. Terdengar suara orang-orang mengaji.

Begitu melihat ibu-ibu tengah duduk melingkar di rumah Mika, aku tahu Mika tidak berbohong. Apalagi sewaktu kulihat jasad Tante Ayana dibalut kain kafan. Hatiku remuk. Tidak menyangka inilah hari itu, hari dimana orangtua orang yang aku sayang pergi.

Bagaimana dengan hati Mika?

Aku masuk. Tanpa peduli hanya aku satu-satunya orang yang memakai piyama, aku melangkah masuk lebih dalam.

Di situlah aku melihat Mika, tengah terduduk di kursi tinggi sambil mengaji. Pakaiannya hitam-hitam. Air mata membasahi pipinya kala lantunan ayat terucap di bibirnya. Dia menengok ke arahku begitu sadar bukan hanya dia orang yang berada di dapur.

Mika berdiri dan melangkah ke arahku, menangis sepuasnya di bahuku. Aku memeluknya, mengusap-usap punggung Mika yang berguncang hebat.

"You don't know how hard it is to let her go," Mika berbisik lirih di telingaku, "It's really suck, I don't know."

"Udah, Mik, udah," aku ikut menangis bersamanya. Sakit yang Mika rasakan ternyata kurasakan juga. Kutatap wajah Mika, mengusap air mata yang terus membanjiri wajahnya.

"Dimana pilox kamu? Kalo ..." aku memberi jeda karena tak sanggup menahan isakan, "Kalo kamu sedih atau marah, kamu nyemprotin apapun pake pilox itu 'kan?"

Mika menggeleng lemah. "Aku gak tau cara memakai pilox lagi."

"Mika," panggilku pelan.

"Hm?" suara Mika terdengar parau.

"Kau tahu aku selalu ada di sisi kamu 'kan?" tanyaku pelan.

Mika mengangguk pelan, bersembunyi lebih dalam di lekukan bahu dan leherku. Persis seperti anak kecil.

Sepanjang hari, aku menghabiskan waktu di rumah Mika. Menghibur cowok itu. Kami bernostalgia dengan membaca buku-buku non-fiksi dan jurnal yang ditulis oleh Tante Ayana. Juna, Alvaro, Seth, dan Julian datang melayat. Mereka menangis sepuasnya di bahu Mika, sementara Mika hanya tercengir seraya mengatakan dia baik-baik saja.

Aku telah mengingat Eddenick lagi sewaktu Mika memberiku surat itu. Begitu Faren datang melayat, kami pun melakukan hal yang sama. Kami bertiga mengingat hal yang telah kami lalui bersama, dan kami sontak menangis.

Revon pun datang bersama seorang pria yang wajahnya tampak penuh kesedihan. Pria itu tiba-tiba saja memeluk Mika dan mengatakan dia adalah Ayahnya. Mello yang berdiri di sudut ruangan hanya menatap kami ragu. Pria yang mengaku Ayah Mika itu menatap Mello.

"Kamu pasti Mellody 'kan? Sini, aku Ayah kamu sekarang," ucap Pria itu. Mello yang berdiri langsung berlari menuju pria itu dan memeluk lehernya.

Aku senang Mika dan Ayahnya berkumpul lagi, meski tanpa Ibu di sisinya.

Malam menyapa. Mika mengantarku pulang. Cowok itu berusaha melucu seperti biasanya, namun akhirnya kami lagi-lagi menangis. Lucu. Mika memarkirkan mobilnya di sisi rumahku. Aku keluar, dia juga. Dia mengantarku sampai teras rumah, tapi aku dan dia tetap berhadapan. Sama sekali tidak ada yang beranjak.

"Waktu Ibu gue meninggal, rasanya gue hancur. Gue gak tau harus melakukan apa tampa Ibu gue. Gue ngurung diri di kamar tiga bulan," ceritaku dengan pelan setelah lama terjadi keheningan.

Mika menunduk.

"Trus gue sadar, gue harus bangkit. Banyak orang yang sayang sama gue, dan gue tanpa sadar udah nyia-nyiain mereka.

"Dan sekarang posisi itu berada di lo. Lo gak sadar, ada orang yang sayang sama lo dan gak mau lo nangis. Orang itu gue," aku berhenti berbicara, menengok ke arah Mika yang termangu. "Gue sayang sama lo. Gue gak mau lo sesedih gue dulu."

Senyum di bibir Mika terukir, sementara setitik air mata keluar dari pelupuknya.

Melihat iris cokelat Mika, aku tahu.

Aku tahu, sewaktu aku berada di satu titik, aku tidak bisa memungkiri semuanya lagi.

Aku telah jatuh.

Aku telah jatuh untuk yang kedua kalinya.

Aku mencintainya.

===M i K a===

"Kenapa lo baru bilang Nyokap lo udah gak ada?" Sashi bertanya dengan mata memerah. "Gue ngerasa bukan jadi sahabat yang baik karena baru tau sekarang."

Mika yang melihatnya tampak bersalah. "Yah, ya udah deh. Jangan nangis dong. 'Kan gue waktu itu kacau. Gue gak tau harus ngapain. Gue lupa."

"Tuh! Lo lupa sama gue!" jerit Sashi tak terima. "Lo-Lupa-Sama-Gue," ucapnya dengan mata horror.

"Maaf beneran ini mah, Sus," Mika tertawa pelan.

Mendengus sebal, Sashi meminum susu cokelatnya sebelum bertanya. "Terus Eddenick gimana?"

"Portalnya bener-bener ketutup. Gak ada lagi Eddenick di Dunia Nyata. Semuanya selesai," jawab Mika.

Sashi mengangguk. "Bokap Ana-Faren gak apa-apa?"

"Iya, mereka lupa semua tentang Eddenick lagi, tapi mereka gak kenapa-kenapa."

"Jadi, yang tau Eddenick cuman lo, Ana, sama Faren?" tanya Sashi lagi.

"Iya. Udah, ah. Lo kayak wartawan aja nanya-nanya," Mika mulai merasa tidak nyaman. "Ceritanya udah mau selesai nih. Gils, dikit lagi jam 10 pagi. Seharian ya cerita ginian."

"Ha-ha-ha, iya," Sashi nyengir. "Eh, lo belom gue kasih tau, ya? Bokap gue dimutasi lagi ke Jakarta. Tahun ajaran baru gue pindah ke National High," ucap Sashi semangat.

Mata Mika melotot. "Demi apa? Lo gak bilang-bilang!"

"Lagian, sibuk mulu kalo mau dihubungin," Sashi menggerutu jengkel.

"Wah, asik. Kelas 12 bareng Sashi. Lo IPA apa IPS?" tanya Mika senang.

"IPA-lah, yakali IPS. Puyeng gue sama sejarahnya," Sashi mengedikkan kedua bahu. "Intermezzo selesai. Back to topic!"

Mika mendesis. "Gue kira lo udah lupa cerita gue."

Tawa jahat Sashi berderai. "Gue gak mungkin lupa. Ayo cepet cerita lagi!!"

"Iya-iya."

"Ayooo."

"Seminggu setelah itu ..."

===M i K a===

23-05-14

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 300K 44
Di Jepang, ada tiga cara untuk mengupkapkan perasaan cinta. Daisuki, untuk teman atau orang yang kamu suka. Aishiteru, untuk hubungan spesial yang le...
372K 47.6K 40
[PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI "NEW ADULT"] "HEI!" Rasi, cowok itu kembali memanggil. Sejujurnya Rasi ingin bertanya kenapa dengan cewek itu, namun s...
1.6K 78 8
≡;- ꒰ ° , 🦄 P U N G U T P R O J E C T 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ 𝘚𝘦𝘮𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶... 𝘈𝘬𝘢𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘬 �...
569K 27.4K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...