Bad Boy CEO And I [#MFFS 3]

By Anindana

11.4M 735K 20.6K

Megan Penelope dimata Alceo Tyler adalah seorang perempuan yang sangat menyebalkan di kehidupannya. Disaat se... More

Prolog
BadBoy 1
BadBoy 2
BadBoy 3
BadBoy 4
BadBoy 5
BadBoy 6
BadBoy 7
BadBoy 8
Badboy 9
BadBoy 10 (1)
BadBoy 10 (2)
OPEN PO FATED!!!
BadBoy 11
BadBoy 12
BadBoy 13
BadBoy 14
BadBoy 15
BadBoy 16
BadBoy 17
BadBoy 18
BadBoy 19
BadBoy 20
BadBoy 21 (1)
BadBoy 21 (2)
BadBoy 22
BadBoy 23
BadBoy 24
BadBoy 25
BadBoy 26 (1)
BadBoy 26 (2)
BadBoy 27
BadBoy 28
BadBoy 29
BadBoy 30
BadBoy 31 (1)
BadBoy 31 (2)
BadBoy 32
BadBoy 33
BadBoy 34 (1)
BadBoy 34 (2)
BadBoy 36
BadBoy 37
BadBoy 38
Badboy 39
BadBoy 40
BadBoy 41
BadBoy 42
BadBoy 43
BadBoy 44
Epilog (End super End!)

BadBoy 35

195K 13.4K 1K
By Anindana

Muncul lagiiii 🙈🙈

Yang baper tunjuk tangan coba mana absen dulu! *ikutan tunjuk tangan*

Ah ya, dibawah aku ada vote untuk cerita baru. Jadi tolong bantu kasih masukan ya!

Sebelumnya, selamat membaca, kesayangan ❤

Dengkuran halus terdengar dari laki-laki yang tertidur lelap dalam pelukannya.

Setelah pengakuan itu dan juga kecupan-kecupan lembut Alceo pada Megan yang diikuti oleh air mata kesedihan yang masih tersisa, akhirnya Megan berhasil membujuk Alceo untuk beristirahat dengan syarat Megan tidak akan meninggalkannya sampai laki-laki itu terbangun.

Megan menepati janjinya dengan terus memeluk laki-laki itu hingga Alceo terlelap dalam tidurnya.

Wajah tenang yang semakin membuat Alceo terlihat tampan dengan mata sembabnya membuat Megan tersenyum sendiri.

Laki-laki ini baru saja memperlihatkan sisi terlemahnya kepadanya. Megan merasa sedikit senang dengan kenyataan itu, karena itu menunjukan sisi manusiawi Alceo yang tidak melulu terlihat kuat dan berkuasa. Setiap orang akan selalu membutuhkan sandaran, tidak peduli seberapa kuat dan tegar ia selama ini.

Sama seperti Megan yang memiliki ketiga sahabatnya, maka Alceo memiliki Megan sekarang.

Ponsel dalam saku celana Megan bergetar. Megan melirik sedikit ke arah Alceo, takut tidur laki-laki itu terganggu. Ia lalu meraih ponsel yang masih bergetar itu dari saku celananya yang ternyata adalah ponsel Alceo.

Nomor tidak dikenal yang tertera di layar sempat membuat Megan urung untuk menerimanya. Apalagi itu adalah ponsel Alceo. Bagaimana kalau itu adalah telepon dari rekan bisnisnya? Tapi membangunkan Alceo saat laki-laki itu sudah sedikit terlihat lebih tenang tentu bukan pilihan.

Sambil menarik nafas, Megan melepaskan lingkaran tangan Alceo dari pinggangnya dan beranjak menjauh dari kasur laki-laki itu. Ia berdiri di depan jendela besar sambil membelakangi Alceo lalu menjawab panggilan itu.

"Halo?"

Jeda sejenak sebelum seorang wanita membalas sapaan Megan. "Selamat malam, apa benar ini ponsel Tuan Alceo Marvello Tyler?"

Hal pertama yang terpikirkan oleh Megan adalah, telepon itu penting. Bagaimana tidak? Itu adalah ponsel CEO perusahaan besar. Tidak mungkin orang yang menelepon kesana hanya untuk berbasa-basi?

Megan meringis. "Ya benar," ucap Megan. "Saat ini Mr.Tyler sedang beristirahat. Apa ada hal yang ingin di sampaikan?"

"Maaf, saya berbicara dengan siapa?" Tanya wanita itu  berhati-hati.

Pertanyaan menjebak bagi Megan. Sebagai apa lagi ia harus memperkenalkan dirinya sekarang? Kekasih? Apa mereka sudah resmi? Entahlah. Hanya ada pengakuan dan tidak ada pertanyaan mengenai itu. Teman kencan? Hell. mereka bahkam belum pernah berkencan.

Maka Megan mengambil jalan pintas. "Saya Megan Penelope, Sekretaris Mr.Tyler."

Wanita diseberang sana menghela nafas kemudian kembali berkata, "saya Wanda dari Los Angeles National Hospital, saya ingin memberitahukan bahwa pasien bernama Barbara baru saja sadar dari komanya, dan kembali mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri begitu mengetahui bahwa bayinya meninggal. Singkatnya, saat ini Nyonya Barbara sedang ditangani dan bank darah kami kebetulan sedang kehabisan stok darah setelah saat ini. Bank darah dari pemerintah pusat baru bisa memberikan pada kami besok, dan kami takut kalau Nyonya Barbara tidak bisa bertahan sampai hari esok karena ia kehilangan cukup banyak darah."

Megan terkesiap. Ia menutup mulutnya dan menoleh ke belakang. Alceo masih terlelap.

"Bisakah anda memberitahu Mr.Tyler bahwa kami membutuhkan darah B atau O secepatnya? Mungkin ada kenalan atau-"

"Saya bergolongan darah B, saya akan segera kesana. Tolong pastikan Barbara bisa bertahan sampai saya datang," potong Megan terburu-buru dan langsung mematikan panggilan.

Tangannya bergetar lagi. Ia menatap Alceo ragu. Apa ia sebaiknya membangunkan Alceo atau tidak? Tapi Barbara membutuhkan darahnya.

Ia berjalan mendekati Alceo yang masih terlelap dan meletakkan ponsel laki-laki itu di nakas. Ia merobek kertas memo yang berada di atas meja itu dan menuliskan beberapa baris kalimat agar Alceo tidak kebingungan mencarinya nanti.

Ia berjongkok di sebelah Alceo dan mengecup kening pria itu. "Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku kali ini. Kau mungkin akan marah padaku, tapi aku harus menyelamatkan Barbara," bisiknya sambil tersenyum kecil.

***

Suara derap langkah terburu-buru menggema ke sepenjuru lorong rumah sakit.

Orang-orang yang melihatnya pasti tahu kalau ia sedang tergesa-gesa mencari sesuatu, atau seseorang. Sendal kamar berwarna hitam yang dikenakan laki-laki itu sangat kontras dengan kemeja kerja yang masih di gunakannya. Sangat tidak seragam, namun sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya meskipun ia terlihat panik.

"Dimana ruangan tempat mendonorkan darah?" Tanya Alceo memburui suster jaga di hadapannya.

"A-ah sebentar..." sedikit terpesona, suster itu mencoba menarik kesadarannya sebelum menjawab pertanyaan Alceo.

Tanpa mengucapkan terima kasih, Alceo kembali berlari menuju ke ruangan yang disebutkan tadi.

Begitu menemukan ruangan itu, Alceo langsung membukanya dengan kasar dan ia baru bisa bernafas lega begitu melihat Megan sedang berbaring dengan suster yang seakan baru selesai mengambil darahnya. Megan sedang menekan bekas suntikan itu dengan kapas saat kedatangan Alceo mengejutkannya.

"Kau sudah bangu-"

"Bodoh!!!!" Seru Alceo tiba-tiba memeluk Megan. "Jangan meninggalkanku tanpa kabar!"

"Aku sudah menulis surat, kan?" Tanya Megan tanpa melepas bekas suntikan di tangannya.

"Kau seharusnya membangunkanku!!" Omel Alceo seperti anak kecil yang kesal ditinggal oleh orang tuanya. "Aku mencarimu tadi, aku kira aku hanya bermimpi..."

Megan terkekeh dan mendorong kecil tubuh Alceo agar laki-laki itu melepas pelukannya.

"Sekarang, jelaskan padaku. Kenapa kau berada disini dan meninggalkanku?" Sergap Alceo tidak terima.

Megan hanya terkekeh karena suster di belakang Alceo lebih dulu menyela percakapan mereka.

"Saya akan membawa ini ke Dokter Fredrick. Seharusnya darah anda sudah cukup untuk menyelamatkan pasien. Mungkin anda akan merasa pusing, mual, atau berkunang-kunang, itu hal normal setelah melakukan donor darah. Anda bisa beristirahat dulu disini." Suster itu tersenyum lalu meninggalkan Megan juga Alceo sendirian.

"Untuk siapa?" Tanya Alceo sambil menunjuk kearah pintu yang baru tertutup.

"Barbara," jawab Megan sambil tersenyum. "Dia kehilangan banyak darah karena dia mencoba untuk melukai dirinya lagi begitu sadar tadi."

Alceo terdiam sejenak. Ia kemudian bergumam membalas perkataan Megab tadi. "Kau seharusnya membiarkan dia mati saja. Dia tidak pantas mendapatkan darahmu setelah dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya dan juga membunuh anakku."

Megan berdecak dan mencoba untuk duduk. Namun peringatan suster itu sepertinya benar karena Megan merasa berkunang-kunang saat ia mencoba untuk bangkit.

Alceo menahan kedua bahu Megan dan menatap wanita itu dengan raut panik. "Kau tidak apa-apa? Apa yang sakit?"

"Aku hanya sedikit pusing," jawab Megan pelan. "Aku tidak apa-apa, sungguh. Suster juga sudah mengatakan kalau itu hal normal, kan? Lagipula, aku juga mendonorkan cukup banyak darah tadi."

"Lihat! Sekarang siapa yang menderita?" Omel Alceo lagi seraya membaringkan Megan kembali ke kasurnya. "Istirahat dulu, setelah itu aku akan membawamu pulang."

"Membawaku pulang?" Megan mengernyit. Kalimat barusan terdengar salah di telinga Megan. Alceo bukan mengatakan 'mengantarmu' melainkan 'membawamu' yang berarti Alceo akan membawanya pulang bersama laki-laki itu. Bukan mengantarnya pulang ke Apartemennya sendiri.

"Iya, membawamu pulang. Kau tentu tidak berpikir kalau aku akan membiarkanmu sendirian dengan keadaanmu yang seperti ini, bukan?" Selidik Alceo. Sebelah alisnya terangkat ketika menatap Megan.

"Aku hanya perlu istirahat sebentar, bukannya berhari-hari, Al. Aku hanya mendonorkan darah-"

"Yang banyak! Sekarang berhenti berbicara dan istirahat. Menurut padaku sekali ini saja. Apa itu sulit?" Tanya Alceo heran.

Megan tersenyum geli melihat kesewotan Alceo. Sepertinya baru tadi ia membujuk Alceo untuk istirahat dengan kalimat yang sama. Hanya dalam hitungan jam, laki-laki itu sudah membalikkan ucapannya dengan nada bossy. Setidaknya Megan sedikit lega karena Alceo sudah tidak terlalu bersedih dengan kabar siang tadi.

"Kau tahu, Al?"

"Aku tidak memintamu berbicara." Alceo mendengus.

"Aku akan sangat senang kalau darahku bisa menyelamatkan Barbara." Megan mengabaikan dengusan Alceo dan kembali berbicara. Alceo menoleh menatap Megan seakan Megan adalah wanita teraneh di muka bumi. "Aku serius," tambahnya.

"Setelah apa yang dia katakan dan lakukan padamu? Anakku? Dan dirinya sendiri?" Tanya Alceo sarkas. "Aku tidak menyalahkannya, tapi aku tidak memaafkannya yang merahasiakan semua itu dan membahayakan nyawa anakku."

"Lalu apa yang mau kau lakukan kalau kau tahu lebih dulu mengenai gangguan bipolarnya?" Tanya Megan seraya menyentuh tangan Alceo. "Tidak jadi menidurinya? Lebih bersikap lembut kepadanya? Memberinya obat penenang yang ia mau? Atau menikahinya? Waktu tidak bisa di ulang, Al."

Alceo meringis dan membalas genggaman tangan Megan. Menepuk tangan kecil itu dengan lembut. "Aku tahu."

Megan membalaa tatapan lembut Alceo dan menikmati sapuan hangat dari tangan laki-laki itu di kepalanya. Matanya kemudian beralih menatap sepasang sendal rumah berwarna hitam yang Alceo pakai.

"Kau masih memakai sendal rumah?" Tanya Megan menahan tawanya.

"Aku panik, Meg. Hal pertama yang terpikirkan saat kau meninggalkan surat yang mengatakan kau akan kerumah sakit untuk mendonorkan darah adalah mencarimu." Bibir Alceo mengerucut membuat Megan tidak kuasa menahan tawanya.

Megan mengingat jangka waktu yang diperlukan dari ia meninggalkan Apartemen Alceo hingga ia selesai mendonorkan darah dan Alceo muncul di ambang pintu. Itu artinya Alceo bangun tidak lama setelah ia pergi meninggalkannya.

Megan kemudian bergeser dan menepuk sisi kasurnya. "Kemari, kau juga harus beristirahat," ucap Megan sambil tersenyum.

"Kau mau berbagi kasur denganku?" Tanya Alceo iseng.

"Kalau kau mau tidur di lantai juga tidak masalah."

Alceo tergelak dan tanpa disuruh dua kali, Alceo langsung melepas sendal rumahnya dan berbaring di kasur Megan.

Sempit memang, tapi hal itu di manfaatkan Alceo untuk memeluk Megan dan merapatkan tubuh mereka.

Megan bisa mendengar debar jantung Alceo yang tidak beraturan juga merasakan hembusan nafas Alceo di puncak kepalanya. Ia menyusupkan tangan di bawah tubuh Alceo kemudian membalas pelukannya tidak kalah erat.

"Aku ingin bisa seperti ini setiap hari bersamamu, Megan." Alceo berbisik dengan lembut seraya membelai kepala dan punggung Megan.

"Maksudmu, setiap hari aku mendonorkan darahku, dan kau bisa beristirahat sambil memelukku di ranjang rumah sakit?" Tanya Megan sengaja menggoda Alceo.

Alceo tergelak dan memundurkan sedikit wajahnya agar bisa melihat wajah Megan. "Kau tahu bukan itu maksudku. Kau mungkin akan kering kehabisan darah kalau kau menyumbangkan darahmu setiap hari, Meg," sindir Alceo.

Megan terkekeh karena ia tahu Alceo sedang menyindirnya. Kecupan lembut yang berdurasi cukup lama diberikan Alceo pada kening Megan sebelum ia kembali membenamkan wajah wanita itu kedalam dadanya.

"Terima kasih, Meg. Terima kasih karena tidak meninggalkanku," bisik Alceo. "Aku menyesal mengatakan hal-hal menyakitkan itu padamu. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan sampai-"

"Aku percaya padamu, Al." Megan memotong ucapan Alceo. Ia menarik sudut bibirnya untuk tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya. "Karenanya aku bertahan."

Alceo kembali mengecup puncak kepala Megan sekali lagi. Ia merasa bersyukur karena saat ia merasa kehilangan, ada yang datang untuk mengganti kekosongan itu.

"Dan kenapa aku ingin Barbara selamat? Sejujurnya aku merasa bersalah pada Barbara karena aku seperti wanita jahat yang mau merebut anaknya. Aku merasa bersalah dengan keadaan Barbara yang seperti ini," ucap Megan sedikit bergetar. "Cukup satu kematian dan kesedihan, jangan ada lagi yang kedua." Megan menguraikan sedikit pelukannya untuk menatap mata Alceo.

Alceo membalas tatapan mata itu dan mengangguk kecil. "She'll be fine. Dia sudah mendapatkan darahmu, dia pasti akan baik-baik saja," bisik Alceo menenangkan Megan.

Tbc

Semoga suka yaaaa ❤

Oh ya, aku mau tanya! Kalau aku bikin cerita baru di luar McKenzie, Tyler, dan Bramantyo, which one you guys prefer?

A. SAD - ROMANCE

B. ROMANCE - COMEDY

C. TEENFICTION

D. HORROR

Tolong bantu polling ya hehehehe ❤

Continue Reading

You'll Also Like

4M 19.6K 7
[TAHAP REVISI] "Ini cuman main-main, gak lebih. Jadi, lo gak usah baper." "Dan satu lagi, lo cuman mainan buat kita berdua. Inget ya sekali lagi, gak...
3.3K 632 46
•happy reading gays! •share ke temen-temen kalian yaaa cerita aku!✨ •support trus aku,dan pantau terus cerita JADI MILIKKU SLAMANYA inii!!!✨ •jangan...
10.9M 279K 62
TAMAT! PART LENGKAP! [Follow Evathink sebelum membaca, agar mendapat Info update!] "Aku hanya ingin mengenalkan calon istriku pada kedua orangtuaku...
1.4M 20.7K 39
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...