TRS (3) - Mika on Fire

By wulanfadi

2.5M 190K 26K

Mika, cowok aneh, suka berbicara sendiri, bertingkah konyol dan berturut-turut menjadi badut kelas ternyata m... More

TRS [3] - Mika on Fire
M-J :: (1) Jam 12
M-J :: (2) Sarapan
M-J :: (3) Kenapa?
M-J :: (4) Jatuh
M-J :: (5) Bertukar
M-J :: (6) Dekat
M-J :: (7) Rasa
M-J :: (8) Tertangkap
M-J :: (9) Pesta
M-J :: (10) Pukulan
M-J :: (11) Berita
M-J :: (12) Ngobrol
M-J :: (13) Tau
M-J :: (14) Nyaris
M-J :: (16) Sistem
M-J :: (17) Kejar
M-J :: (18) Kenapa?
M-J :: (19) Lagi
M-J :: (20) Makan
M-J :: (21) Pertunjukkan
M-J :: (22) After
M-J :: (23) Akhir
TRS (3) - Epilog
One-Shot

M-J :: (15) Rencana

71.5K 6.8K 275
By wulanfadi

a.n

haiii!

mungkin ini bakal pendek dan nonsense, sebenernya ini jembatan dari chap sebelumnya dan di chap selanjutnya. maaf juga apdetnya malem, gak penting sih tapi tadi macet di jalan dan gue gak bisa ngetik. ngetiknya pas pulang jam 12-an. maaf kalo gak ada feeling-nya di sini. dan bakal ada banyak narasi.

makasih juga buat vommentsnyaaa! gatau dah gue mau bilang apa lagi saking senengnya. ai luv yu all

happy readinggg!

===============

M-J :: (15) Rencana

================

M I K A

Kami makan siang bersama.

Karena Ruang Makan rumah gue terlalu sempit untuk rombongan (gue menelepon Juna dan yang lain untuk ke sini, ngomong-ngomong) jadi kami makan siang di halaman belakang. Seperti biasa jika Juna-Alvaro-Seth-Julian-Gue-minus Matt ngumpul, pasti ada aja yang diomongin. Nyokap gue sampe geleng-geleng kepala waktu kami berandai-andai kalau saja ada alien menyerang bumi, pasti kami menyabotase pesawat aliennya.

Nyokap belum sadar kalo Revon kembaran gue. Dari tadi dia mengobrol akrab dengan Revon tanpa tau yang sebenarnya. Revon juga mengisyaratkan gue lewat mata agar tidak memberitahu.

Gue gak ngerti isi kepala kembaran gue itu.

Ana gak ikut makan siang di sini. Dia di kamar Mello. Badannya demam, dia sebenarnya mau ikut makan siang bareng. Tapi gue memaksanya untuk istirahat.

Selesai makan siang, Faren dan keempat temen gue langsung ke kamar gue. Juna dan yang lain semangat banget waktu Faren bilang dia minta bantuan mereka. Setelah gue tahu penyebab Miles dijebloskan ke penjara, gue merasa bersalah. Harusnya gue gak sebego itu nyoret dinding. Harusnya gue mikir dua kali.

"Jadi, gitu," ucap Faren setelah selesai memberitahu rencana di otaknya pada keempat temen gue.

Alvaro yang pertama merespon. "Emang ada tenaga listrik di sana?"

"Bukannya bisa pake aki?" timpal Juna.

"Oh!" Julian menepuk-nepuk pahanya berkali-kali. "Gue tau yang cocok buat rencana nanti!"

Mereka terus membicarakan rencana. Gue sesekali menimpali. Revon juga memberi saran. Ruangan kamar gue dengan tujuh cowok di dalamnya terasa sangat sempit. Tapi ngocak sih. Saking sempitnya Julian bersandar di paha Juna, dikata bantal kali.

"Berarti tengah malem nanti kita bakal masuk portal itu?" Juna bertepuk tangan heboh. Julian menoyor kepala Juna. "Bahagia banget lu."

"Bahagia lah," mata Juna melotot sambil memegang kepalanya. "Nanti gue bisa ketemu Maudy Ayunda."

"Inget Lizzy," sindir Alvaro, cowok sadis itu menendang bokong Juna. Sekarang Juna melotot pada Alvaro. "Ya inget, sakit ini bokong."

"Udah-udah," Seth menengahi.

Gue baru sadar, mereka lucu banget.

Siang berganti sore. Juna dan yang lain siap-siap di rumah masing-masing. Karena Juliana sakit, gue meminta Faren mengantarnya ke rumah (Si Julian odong udah duluan, dasar, gak peduli sama Kakaknya sendiri). Gue bilang, mending Ana gak usah ikut ke Eddenick. Tapi dia ngotot gak bakal ada apa-apa. Yah, gue gak bisa larang juga sih.

"Tidur yang cukup," ucap gue pelan sambil mencium puncak kepala Ana, mumpung gak ada yang liat.

Ana mengangguk, pipinya bersemu. Entah karena demam atau malu. "Iya. Nanti gue ke sini bareng Julian."

"Jangan. Bareng Faren aja. Atau gue yang jemput, gimana?" tanya gue. Bahaya kalo sama Julian. Cowok itu baru dapet SIM, dan cara menyetirnya masih bagusan supir angkot.

"Lo yang jemput?" mata Ana berkilat penuh harap.

Gue tersenyum melihat harapan di iris hitam itu. "Iya-iya. Gue yang jemput."

Faren yang menunggu di mobil menurunkan kaca, lalu berteriak. "Woi, pacaran mele."

Gue dan Ana saling tatap, lalu tertawa. Dengan riang, Ana berjalan ke arah mobil Faren. Langkahnya mirip Luna di Harry Potter. Makin lucu aja.

Gue masuk ke dalam rumah. Seperti yang gue duga, Mello mencak-mencak karena gue mengobrak-abrik lemarinya. Mengingat lemari, gue jadi mengingat kejadian tadi siang. Kenapa bisa gue kelepasan? Bahayanya lagi, jantung gue malah berdentum makin cepat kala mengingat hal itu. Menggeleng berkali-kali, gue pun menyisir rambut dengan tangan.

"... Makanya kalo nyari sesuatu tuh bilang ke Mello dulu--dengerin gak?!" mata bulat Mello yang polos melotot.

"Iya, dengerin, Nyonya Besar," jawab gue sekenanya.

"Kenapa kok ribut-ribut?" Nyokap muncul tiba-tiba dari arah dapur.

Dapur.

Tunggu, bukannya dapur menghadap ke teras? Jadi, Nyokap tadi ngeliat waktu gue--

"Apa?" melihat wajah gue terkejut, alis Nyokap tertaut samar. "Iya. Mama liat kok yang tadi."

Ah seriusan.

"Yang tadi bukan apa-apa kok, cuman--"

"Apa-apa juga gak apa-apa. Asal bukan sama dia," Nyokap tersenyum tipis, saking tipisnya mirip dengan lukisan Monalissa.

"Tapi, Ma--"

"Kamu gak ngerti-ngerti, ya, Mik?" sentak Nyokap. "Mama cuman gak mau--"

"Gak mau kisah Mama sama Ayah Ana keulang lagi?" potong gue langsung, Nyokap terdiam.

"Mik ..." Nyokap memegang bahu gue dengan wajah kaget bercampur risau.

Rasanya ada yang aneh. Ada yang meletup di dada gue. Mungkin karena gue akhirnya membuka rahasia Nyokap tepat di depannya. Atau karena Nyokap melarang hubungan gue dengan Ana.

"Udahlah, Ma," gue melepas pegangan Nyokap di bahu gue perlahan. "Udah. Mika mau ke atas dulu."

Nyokap masih termangu, begitupun Mello. Gue menaiki tangga menuju lantai dua.

Pikiran gue kacau.

Lagi.

===M i K a====

A N A

Faren menyetir dengan tenang. Tatapannya terpaku pada jalanan di depannya. Sesekali dia mengganti channel radio. Aku jadi tahu jenis musik kesukaannya, rock. Aku ingin menyuruhnya berhenti mendengarkan lagu menghentak dari radio, tapi tak enak. Cowok ini sudah bela-belain mengantarku pulang. Padahal rumahnya terlampau jauh dari rumahku.

"Ren," panggilku, memecah keheningan di antara kami. Faren mengecilkan volume suara radio sebelum menjawab. "Kenapa? Mau beli obat dulu?"

"Enggak," aku menggeleng, sekarang bingung sendiri harus mencari topik pembicaraan apa. Aku tidak dekat dengan Faren, bahkan hanya mengobrol seperlunya. Tapi aku tidak bisa tenang jika suasana terlalu hening.

Suatu pertanyaan melintas di otakku.

"Ren, waktu itu kenapa lo jebak gue sama Mika?" tanyaku. Emosi yang tersimpan rapat di wajah Faren seketika terbuka, ada rasa risau di dalamnya. Saat aku mengerjapkan mata, ekspresinya kembali normal. "Lo tau, Na. Kadang gue gak mau kita ikut campur di hidup Miles-Fortles-Jules. Biarin mereka nyelesaiin masalahnya sendiri. Bukan apa-apa, gue takut orang yang gue sayang terluka."

Faren melihatku sekilas, seolah mempertegas perkataannya. Aku tidak tahu pikiran Faren sejauh itu. Aku hanya mengangguk dan bungkam. Faren kembali melihat jalanan. Sebelum sempat aku mengedip, Faren mengerem mendadak dan menyurukku ke kolong bangku. Dia pun melakukan hal yang sama. Aku baru ingin bersuara begitu Faren menyuruhku diam dengan jari telunjuk tertempel di bibir.

Mungkin hanya perasaanku, tapi, beberapa detik tadi ada rasa dingin yang mencekam dari luar mobil. Aku bisa merasakannya. Semua energiku rasanya terserap, membuat demam di tubuh semakin meninggi. Faren berdecak kecil kala melihat pandanganku mengabur. Tepat setelah rasa dingin itu hilang, Faren kembali duduk tegak, begitupun aku, meski susah payah sih.

"Yang tadi ..." jeda, aku mengambil napas. "Yang tadi apa?"

"Lo tau. Yang tadi siang diceritain Mika," mata Faren berkilat. "Reeveles."

Reeveles. Kembaran Revon dari Eddenick. Orang yang menerobos portal. Nyaris membunuh Revon. Aku tidak tahu siapa dia, yang jelas dia kuat. Berbahaya.

"Gue duh," aku menyentuh dahi. "Pusing ...."

"Lo tidur aja," ucap Faren, sekarang terdengar cemas.

Menuruti sarannya, aku pun memejamkan mata. Meski sulit, akhirnya aku tertidur. Masih bisa kurasakan saat Faren membawaku keluar mobil dan memberiku pada Julian. Dengan susah payah, Julian menggendongku sampai kamar. Aku bahkan tidak menyangka Julian sebaik itu.

Sore berganti malam. Mataku membuka perlahan. Lampu kamarku padam. Dengan badan yang mulai membaik, aku pun beranjak dari tempat tidur dan menyalakan saklar.

Aku harus bersiap-siap.

Aku membawa mantel, tas gendongan yang kecil, dan sebuah pisau. Kali-kali saja pisau diperlukan. Semua barang bawaanku telah kusurukkan pada tas saat city car Mika terparkir di garasi. Julian yang juga lagi siap-siap melotot mendengar deru mesin di luar.

"Dijemput Mika? Wah, canggih kamu," ucap Julian dengan rasa tak percaya. Aku mengernyit. "Salah siapa ya, nyetir kok ugal-ugalan."

Julian cemberut. "Baru belajar nyetir, tau. Dadah, ati-ati di jalan ye. Ketemu di rumah Mika, jangan nge-date dulu."

"Siapa yang nge-date sih," mataku berputar jengkel sebelum membuka pintu teras.

Begitu masuk ke dalam mobil Mika, cowok itu tersenyum.

"Udah siap buat berontak?" tanya Mika.

Aku tersenyum penuh semangat, meski pusing di kepala tidak juga hilang.

"Siap!"

===M i K a===

Juna, Alvaro, Seth, Julian, dan Mika berjalan hilir mudik. Entah itu menyiapkan aki. Membawa kain besar berwarna putih. Mencari paku payung. Atau mengambil tisu untuk membersihkan alat yang berdebu. Hanya Revon dan Faren yang duduk diam di atap rumah Mika. Mereka diusir oleh Juna dan yang lain, Juna bilang "udah, lo diem aja. Kita-kita yang bantuin. Kasian pala lo, dari tadi siang udah capek mikir".

Faren setuju karena kepalanya serasa mau pecah.

"Ren," panggil Revon. Faren menengok. "Apa?"

Revon menarik napas panjang sebelum bersuara. "Sejak kita musuhan, gue ngerasa bersalah sama lo. Lo keluar dari basket karena gue ngambil posisi lo. Padahal, gue gak mau. Gue dipaksa. Gue gak bisa nolak. Tapi waktu itu lo ngebuat gue kesel karena reaksi lo seolah-olah gue sengaja makan temen. Padahal enggak. Gue kalap. Gue ngambil posisi lo beneran. Ngebuat lo marah dan akhirnya kita gak bareng lagi," Revon menengok ke arah Faren. "Sampe saat ini."

Faren terdiam.

Revon memberi gelang yang dulu sama-sama dipakai mereka. Namun waktu itu Faren melepasnya dan melempar tepat di depan Revon.

"Kalo lo mau make," ucap Revon sambil menaruh gelang milik Faren di sebelah cowok itu duduk. Revon berdiri menuruni tangga menuju lantai dua.

Begitu Revon pergi dari hadapannya, Faren mengambil gelang itu seraya tersenyum. Dia memakainya seiring ingatan tentang pertemanan mereka muncul. Seolah tak ada hal baru yang terjadi, Faren menyembunyikan gelang itu dibalik kaus lengan panjangnya.

Setidaknya, sesuatu yang berharga bagi Faren kembali.

===M i K a===

16-05-14

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 78 8
≡;- ꒰ ° , 🦄 P U N G U T P R O J E C T 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ 𝘚𝘦𝘮𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶... 𝘈𝘬𝘢𝘯𝘬𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘬 �...
83K 2.2K 30
(COMPLITE) SELAMAT MEMBACA Cahya Putri Melodi. Seorang Mahasiswi dengan sipat yang Pendiam, Cuek, dan pintar. Mahasiswi pindahan dari makassar yang...
255K 6.3K 8
MISI PENYELAMATAN: Pacarin Saga. Buat dia tutup mulut. Jangan sampai terbongkar. Orion, sang Pemburu, memiliki tiga bintang berjajar yang paling mud...
1.3M 97.7K 19
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [2] : MIkayla Cher Plea...