Never Let You Go

By qaqakazu

106K 8.5K 1K

Saat Marcelino Akshara menemani adik kembarnya di rumah sakit, bertemulah dia dengan Adinata Andreas, seorang... More

01. Nano dan Dunianya
02. Nano dan Si Cowok Asing
03. Nano dan Kesan Pertamanya
05. Adi dan Ke-kepo-annya
06. Adi dan Sifat Buruk Setengah Gilanya
07. San
08. Olahraga Malam
09. Alasan Untuk Hidup
10. Hujan dan Rasa
11. Tawaran Yang (Tak) Menyenangkan
12. Simpati dan Empati
13. What Is Love?
14. Kuat Namun Rapuh
15. Bukan Homo
16. Saatnya Jalan-jalan!
17. Matamu Berbicara
18. Obsesi
19. Layaknya Seorang Suami
20. Explanation

04. Nano dan Lagu 'All I Ask'

7.6K 617 37
By qaqakazu

Wajah Nano terlihat segar seusai mandi sore ini. Bukan mandi di rumah sakit, melainkan di rumahnya sendiri. Karena ia belum ganti baju sejak kedatangannya di rumah sakit waktu itu. Nano tidak ingin jadi cowok yang jorok dan membuat orang lain menghindarinya hanya karena ia bau keringat yang menempel di bajunya.

Yah, meskipun Nano bisa dibilang cuek dan kadang tak peduli dengan pendapat orang, namun ia masih punya rasa malu. Bau badan kan pasti mengganggu indera penciuman orang yang berpapasan dengannya. Selain itu, Nano juga masih memiliki rasa menghargai hidung orang lain.

Eh? Kenapa jadi mempermasalahkan bau badan? Nano harus cepat-cepat mengenakan pakaian lalu mengisi perutnya yang terasa kosong.

Dan ngomong-ngomong, hari ini ia masih cuti kerja, jadi ia punya banyak waktu untuk menjaga adiknya di rumah sakit. Dan masalah kuliah, Nano masih ijin untuk tidak masuk.

Ia meneliti pakaian yang ia kenakan dari pantulan cermin lemari di kamarnya, celana panjang jeans hitam, kaos PSD warna jingga, ditambah jaket kulit cokelat milik mendiang ayahnya yang masih terlihat bagus. Sejujurnya ia ingin pakai celana jeans selutut. Namun karena ia akan menginap di rumah sakit, ia memutuskan untuk membungkus bagian pinggang hingga mata kakinya dengan celana panjang supaya hangat.

Oke. Nano sudah siap untuk pergi sekarang.

Ia pun mengambil kunci motor lalu mengunci pintu rumahnya dari luar.

Setelah menikmati makan sebentar di sebuah warung tenda di samping rumahnya, juga membeli beberapa makanan ringan, buah dan air mineral dari minimarket dekat situ, Nano langsung tancap gas ke rumah sakit.

Sesampainya disana, Nano langsung masuk dan menghampiri Mira yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam. Mungkin beberapa jam mendatang, Mira akan siuman.

Diletakkannya beberapa kantong kresek yang ia jinjing ke atas meja kecil sambil menghela napas panjang. Jam dinding masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam, jadi Nano masih punya banyak waktu untuk sekedar bersantai sambil menjaga adiknya.

"Nano," panggil seseorang saat Nano mendaratkan tubuhnya di atas sofa kecil di sudut ruangan.

Dari asal suara, Nano melihat cowok yang dirawat satu kamar bersama Mira, juga cowok yang hampir bunuh diri tadi pagi, sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil menatapnya datar.

Siapa namanya? Nano lupa dan mencoba mengingat-ingat hingga menemukan nama Adinata Andreas di papan kecil yang tertera di ujung tempat tidur cowok itu.

Nano hampir saja mengulum senyum untuk Adi kalau saja ia tidak ingat dengan kejadian pas cowok itu menertawakan namanya. Sejujurnya ia sudah tidak kesal. Hanya malas untuk berbincang dengan cowok itu yang kini sudah mendapatkan penilaian buruk di matanya sejak kesan pertama berkenalan.

"Hm?" balas Nano sekenanya. Yang penting menjawab, kan? Daripada diam.

"Kamu bawa apa?" tanya Adi sambil menatap bungkusan kresek yang tadi ia bawa.

"Aku.... laper," lanjutnya lalu mengusap-usap perutnya sendiri dengan ibu jari. Cowok itu menatap Nano memelas.

Karena tidak tega, akhirnya Nano mengambil dua bungkus roti basah dan satu buah pir dan jeruk dari dalam kantong kresek, lalu diberikan kepada Adi. Cowok itu langsung menyambarnya tanpa berbasa-basi ataupun sekadar berterimakasih.

Nano duduk dipinggiran tempat tidur cowok itu. Ia ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak kemarin.

"Kok keluargamu nggak ada yang nengokin?"

"Hm? Bokap sama nyokap lagi kerja diluar kota. Mereka nggak tau aku abis kecelakaan. Dan aku nggak mau mereka tau," balasnya dengan nada yang tak sedingin kemarin, sambil mengunyah roti sedikit demi sedikit.

"Oh? Emangnya kamu nggak ada adik atau kakak gitu? Sanak saudara atau kerabat buat jagain kamu di sini? Soalnya dari kemarin aku liat kamu gak ada yang ngejagain." Oke, mungkin Nano terdengar ikut campur dengan urusan Adi. Tapi bukan begitu maksud hatinya, melainkan ia ingin tahu saja. Kalau Adi tak memberi jawaban ya itu tidak masalah.

"Aku anak tunggal. Aku kecelakaan motor kemarin dan pamanku nemuin aku di jalanan yang sepi. Untungnya pamanku seorang dokter disini."

Adi menelan rotinya sejenak, lantas melanjutkan ceritanya.

"Awalnya paman pengen ngasih tau bokap nyokap, tapi aku larang. Lagian percuma juga. Palingan mereka baru bisa jenguk pas aku udah keluar dari rumah sakit. Mereka lebih mentingin kerjaan daripada anaknya sendiri."

Kata-kata yang keluar dari bibir Adi seakan mengusik hati Nano yang mulai merasa sedikit iba. Cowok yang diperban pada beberapa bagian tubuhnya itu masih memiliki orang tua yang lengkap, namun tampaknya dia kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya sendiri. Beda dengan Nano dan Mira yang walaupun sudah menyandang status yatim piatu, namun ia masih sempat merasakan bahagiannya memiliki orang tua yang perhatian serta didikan yang cukup.

Saat Nano tengah bergelut dengan pemikirannya, cowok itu tiba-tiba menyeletuk.

"Oh ya. Umur kamu berapa?"

"Hm? Oh? Err..... Aku dua puluh satu tahun. Aku sedang kuliah," jawab Nano.

"Ha? Nggak salah tuh? Kamu udah umur segitu? Aku pikir kamu masih duduk di bangku SMA. Soalnya kamu gak kelihatan dewasa secara fisik. Aku aja yang masih kelas 3 SMP udah segede gini. Umurku juga belum genap lima belas tahun." sentil Adi dengan memamerkan senyumnya.

Jawaban Adi mengusiknya. Entah itu pujian atau hinaan, kedengarannya sangat tidak menyenangkan di gendang telinga Nano. Membuatnya mengerutkan hidung saat Adi terkekeh dengan kenyataan bahwa Adi itu jauh lebih muda daripada dirinya.

Well, sesungguhnya Nano juga sudah menduga kalau Adi memang masih anak sekolah, jadi ia tak terlalu kaget. Walaupun secara fisik memang Adi tampak lebih tinggi.

"Terserah kamu mau mikir kayak gimana. Cepetan abisin tuh roti sama buahnya," gerutunya lalu bangkit dan beralih menuju sofa di ujung ruangan.

Adi tak membalas dan hanya memperhatikan punggung Nano yang dibalut jaket berjalan menjauh.

Sambil berkutat memeriksa timeline di beberapa akun media sosial yang ia miliki, Nano memasang earphone putih untuk mendengarkan alunan musik dari smartphone-nya.

Lagu pertama yang terdengar di kokleanya adalah lagu milik Adele yang bertajuk All I Ask.

Tepat saat ia melihat postingan Facebook mantan kekasihnya, Sophie, yang beberapa hari lalu mengunggah foto tengah menikmati sunset di sebuah pantai, dengan caption:

"Take me by the hand while we do what lovers do ❤❤."

Dan yang membuat hatinya mencelos sedih ialah Sophie tengah ber-candid ria dengan seorang cowok.

Tapi tunggu dulu!

Nano merasa sudah tak asing lagi dengan wajah si cowok di foto itu. Bukankah itu.... Adi?

Diperhatikannya lagi foto itu secara seksama sambil beberapa kali menoleh pada Adi, yang masih belum selesai makan, untuk memastikan apakah dugaannya benar atau matanya saja yang rabun.

Shit!

Cowok di foto itu benar-benar Adi. Dan sialnya Nano mengakui kalau mereka tampak begitu serasi. Sophie yang cantik, dan Adi yang rupawan.

Padahal Sophie dan Nano belum ada seminggu putus. Juga foto itu diungguh sehari setelah mereka putus.

Mendadak perasaannya jadi terasa sedikit tersayat. Sophie sepertinya memutuskan hubungan sepihaknya bukan karena ingin fokus dengan sekolahnya, namun karena ia menyukai cowok lain. Cowok yang bahkan berusia lebih muda daripada cewek itu.

Kalau dibandingkan dengan Nano, ia memang tidak ada apa-apanya dengan Adi yang tampaknya berasal dari golongan orang berada.

Nano ingin menangis rasanya. Tapi mengingat kalau sekarang ia bukan siapa-siapa lagi untuk Sophie, ia mengurungkan niatnya. Menangis pun juga bakal percuma. Tidak akan bisa memutar waktu, tidak bisa membuat Sophie kembali padanya.

Karena hatinya makin kesal, Nano menyentuh icon Home, mengunci layar ponselnya, lalu menyandarkan punggung dan kepalanya pada sandaran sofa sambil memejamkan kedua matanya untuk menenangkan pikirannya yang terasa pening.

Verse kedua dari lagu Adele mengalun lembut di telinganya saat itu juga.

I don't need your honesty...

It's already in your eyes...

And I'm sure my eyes, they speak for me...

No one knows me like you do...

And since you're the only one that matter...

Tell me, who do I run to...?

Look, don't get me wrong, I know....

There is no tomorrow....

Lirik-lirik dari lagu itu benar-benar mewakili perasaannya. Sampai ketika waktu itu memasuki reffrain terakhir, mendadak erangan seseorang membuat Nano melek.

Ia kira itu suara Mira yang siuman, namun ternyata itu suara dari Adi yang tengah kesulitan membuka kancing-kancing atasannya yang sekarang sudah setengah jalan. Bagian dadanya yang bidang sedikit terlihat.

Sophie sekarang berhubungan dengan cowok di rawat sekamar dengan adiknya. Tapi entahlah, Nano tidak membenci Adi. Dia bukan berada di pihak yang perlu disalahkan. Sophie juga tak bisa disalahkan. Ia lebih menyesalkan dan menyalahkan dirinya sendiri juga takdir yang menimpanya.

Ah, sudahlah. Jodoh sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Mati satu tumbuh seribu. Cewek di dunia ini bukan hanya Sophie seorang.

Nano yang bingung dengan apa yang tengah dilakukan Adi itu akhirnya melepas earphone-nya.

"Kamu mau ngapain?" tanya Nano sambil menyimpan earphone di saku jaket.

"Aku dari kemarin belum dilap sama sekali, No. Tubuhku berasa lengket-lengket nggak nyaman, juga udah bau badan," jawabnya sambil berusah membuka kancing terakhir dengan tangan yang tak sakit dengan kepayahan.

"Oh."

"Kok 'oh' doang, sih? Bantuin kek. Mana mungkin aku bisa ngelap tubuh sendiri kalo kondisi aku kayak gini?" balas Adi lagi dengan nada sedikit memancing keributan.

"Bukannya ada perawat yang setiap sore ngelapin pasien?"

"Malu kali, No."

Sungguh, Adi tidak menghormati dirinya yang lebih tua darinya dengan memanggilnya langsung pakai nama, tanpa embel-embel 'mas', atau 'bang', atau 'kak' gitu. Walaupun Nano bukan orang orang yang gila hormat, Nano tahu sedikit-sedikit lah bagaimana cara menghormati orang lain lewat panggilan nama.

Tapi......

Yah, mungkin didikan dari orang tua Adi memang kurang.

"Terus maksudnya kamu nggak malu sama aku, gitu?" Nano bertanya balik saat ia sudah berada di samping tempat tidur Adi dan tangannya sudah bergelut di atasan Adi untuk membantunya buka baju.

Nano sedikit menunduk saat membuka kancing terakhir itu. Kancing itu terlilit benang, jadi memang agak susah dicopot. Dengan posisi sedekat ini, ia bisa mencium aroma tubuh Adi yang katanya bau itu, walaupun menurut Nano tidak bau. Lebih mirip seperti aroma keringat laki-laki yang bercampur dengan wangi cologne.

Tanpa Nano sadari pada saat yang sama, Adi menatap puncak kepala ada yang berada tepat di depan mukanya. Rambut Nano yang wangi membuat kesadarannya hilang beberapa detik. Bahkan ia hampir saja mendekat dan mencium ubun-ubun Nano kalau saja cowok kembaran Mira itu tidak segera menegakkan tubuhnya kembali.

Adi membuang muka. Ia masih bingung dengan apa yang ia rasakan. Sejak Nano menyelamatkan hidupnya tadi pagi, hatinya seperti merasakan sesuatu. Ia ingin mendapatkan perhatian dari Nano sejak saat itu, mungkin lebih.

Entahlah.....

Cowok itu sendiri pun tidak tahu kenapa ia seperti ini. Yang jelas dia hanya ingin Nano melihatnya, memperhatikannya. Karena saat ia putus asa dan hampir mengakhiri hidupnya, Nano membuatnya sadar kalau mungkin ada beberapa orang yang benar-benar peduli padanya.

Mungkin ini seperti inilah rasanya memiliki saudara yang bisa membantu kita saat yang lain sedang tidak bisa.

Bahagianya cewek yang terbaring lemah di sana yang menjadi adik Nano. Adi pernah dengar saat Nano sedang bercakap-cakap dengan seseorang tadi pagi. Kalau tidak salah adiknya itu bernama Mira, dan cowok yang ngobrol dengan Nano itu bernama Guntur, atau siapa lah. Adi tak pandai mengingat nama orang yang bahkan belum berkenalan dengan dirinya secara langsung.

Yang jelas, saat ini ia nyaman dengan perhatian ala kadarnya yang diberikan Nano.

Di sisi lain, Nano agak kesulitan saat membantu Adi melepaskan atasannya. Ia perlu melepas alat yang menggantungkan tangan kiri Adi. Bahkan Adi juga sempat beberapa kali meringis kesakitan, hingga akhirnya Nano berhasil melepaskan baju atasan cowok itu.

Nano menelan ludahnya saat melihat bentuk badan Adi yang terpahat bagus dengan otot-otot lengan dada dan lengan yang sudah mulai terbentuk. Walaupun beberapa luka lebam membiru terlihat di sana karena benturan kecelakaan, tapi tetap tak mengurangi penampilan otot dada dan perut Adi yang membuat Nano seketika merasakan iri.

Tentu saja, badan Adi yang masih daun muda saja sudah begitu keren, berbanding terbalik dengan dirinya yang sedikit lebih kurus.

Oke, oke. Ini mulai tidak sehat. Nano sudah seperti seorang gay yang mengagumi tubuh laki-laki. Padahal ia hanya iri.

I-R-I

Camkan itu!

Karena tugasnya selesai, Nano hendak kembali menuju sofa sebelum ia merasakan sebuah tarikan di pergelangan tangannya. Cowok itu berbalik memandang Adi yang memasang raut memelas.

"Lapin juga lah. Aku nggak bisa ngelapin badan sendiri," pinta Adi.

"Tangan kanan kamu kan masih bisa dipake."

Nano menolak. Ia tidak mau mengelap badan Adi yang sekarang sudah tercium bau badan khas laki-laki.

Aneh.....

Tubuh Nano gugup ketika bau itu menyeruak di hidungnya untuk yang kesekian kalinya.

"Tapi mana bisa bersih kalo cuma pake satu tangan doang? Ayo lah." pintanya lagi.

"Fine!"

Dengan setengah hati, Nano mengambil baskom kosong dan lap dari meja untuk diisi air dari dalam kamar mandi.

Adi seperti seorang anak yang bawel dan menyebalkan baginya. Tapi di sisi lain ia juga kasihan. Ia membayangkan kalau ia berada di posisi Adi, pasti sulit baginya.

Begitu selesai mengambil air, Nano kembali dan mulai mengelap badan atas Adi dengan hati-hati.

Yang dilap hanya tersenyum samar sambil memperhatikan wajah Nano yang mengelap badannya dengan begitu teliti, dadi ujung kepala, hingga bagian pusar.

Nano itu tidak tampan, biasa saja. Tapi entah kenapa Adi suka melihat bola mata Nano yang selalu menampakkan kejujuran dan ketulusan.

Lagian tadi pagi, Nano berkata kalau ia peduli padanya. Jadi ia ingin mencari tahu sejauh mana kepedulian Nano padanya.

"Udah selesai. Mau aku lapin juga bagian anu-mu sampek ke bawah?" tanya Nano membuyarkan Adi dari kegiatan curi-curi pandangnya. Ia sadar kalau Nano berniat bercanda.

"Hah? Eh, nggak perlu. Aku bisa sendiri. Aku nggak mau kamu kaget sama anu-ku kalo tahu ukurannya," balas Adi sambil menaik-naikkan kedua alinya lalu terkekeh begitu Nano melemparkan lap di tangannya tepat ke wajah cowok itu.

"Sinting!" umpat Nano.

Melihat Adi yang terkekeh tak ayal membuat Nano sedikit lega juga. Cowok itu akhirnya terbuka hatinya sedikit demi sedikit. Walaupun ia juga sedikit menyesal sih.

Ia pikir melihat Adi yang dingin padanya adalah hal yang menyebalkan, tapi kini melihat cowok itu yang sudah tidak dingin padanya ternyata malah makin menyebalkan. Namun dalam artian yang positif.

.
.
.
[Bersambung....]

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

288K 3.9K 10
INTINYA JN HAREM BERMEKI/BERMEMEK ONLY ONESHOOT OR TWOSHOOT. BXB AREA‼️ JENO : SUB JAN SALPAK SALPAK? JAUH² SNA MOHON BIJAK DLM MEMBACA. HOMOPHOBIC G...
369K 13K 27
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
400K 43.8K 20
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5M 284K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...