My Beautiful Mate [TELAH TERB...

By Racelivv

6.1M 349K 16.3K

TERBIT Oleh Glorious Publisher Dingin, datar dan kejam. Itulah sifat yang menggambarkan sosok Luke, pangeran... More

Mate part 1; Elena widley
Mate part 2 ; Istana Darwisen
Mate part 3 ; Para Pangeran
Mate part 4 ; Mate Albert
Mate part 5 ; Tertangkap
Mate part 6 ; ruangan penjara
Mate part 7 ; Kepergian Luke
Mate part 8 ; penyerangan
Mate part 9 ; Keputusan mutlak
Mate part 10 ; hukuman mati
Mate part 11 : dia mateku
Mate part 12 ; Menemukan mu
Mate part 13 ; kesadaran Elena
Mate part 14 ; Sifat beda Luke
Mate part 15 : kekurangan Luke
Mate part 16 ; Luke possesive
Mate part 17 ; Black Forest
Mate part 18 ; Permohonan Exel.
Mate part 19 ; Bencana
Mate part 20 ; Berkumpul
Mate part 22 ; perhatian
Mate part 23 ; penolakan
Mate part 24 ; dua pilihan sulit
Mate part 25 ; keputusan Elena
Mate part 26 ; Menyadari
Mate part 27 ; Keberhasilan
Mate part 28 ; Kecewa
Mate part 29 ; Menyerah
Mate part 30 ; Perpisahan
Mate part 31 ; Kembali
Mate part 32 ; Kebahagian Luke.
Mate part 33 ; Demam
Mate part 34 ; perbedaan
Mate part 35 ; Sebuah fakta
Mate part 36 ; penggalan sebuah mimpi
Mate part 37 ; Melamun
Mate part 38 ; First kiss Elena.
Mate part 39 ; Kembali ketus
Mate part 40 ; Menara istana
Tokoh MBM
Mate part 41 ; Tempat Spesial Luke
Mate part 42 ; Hilangnya Exel.
Mate part 43 ; Jason, Jovin dan Aland.
Mate 44 ; Tanda tanya
Mate 45 ; Kesedihan Aland.
Mate part 46 ; Kerja sama
Mate part 47 ; penggalan kisah Hanes
Mate part 48 ; Ancaman
Mate part 49 ; Kebenaran
Mate part 50 : Keluarga baru.
Mate part 51 ; Kegelapan.
Mate part 52 : Ketidak setujuan
Mate Part 53 : Janji
Mate part 54 : Kehancuran
Mate Part 54 ; Akhir dari sebuah cerita
Mate Part 55 : Ending
Mate Part 56 : Indah (Extra Part)
Berita Penting
Pertanyaan <> Jawaban
VOTE COVER!!
OPEN PRE-ORDER
Novel MBM tersedia di Shopee
PRE-ORDER KE-2
SPOILER TANGGAL
SPOILER SPESIAL PART!
PRE ORDER MBM NOW!!

Mate part 21 ; Usaha Luke

123K 6.7K 236
By Racelivv

"Aku tidak yakin tempat ini adalah rumah." Elena menatap Luke.

Luke tertawa pelan. "Istana, kau harus tau bahwa ibu adalah seorang Queen dan ayah adalah Lord."

Elena menoleh menatap Luke bingung "Semacam pemimpin kah?" Tanya Elena

"Iya."

Saat ini, Elena sedang berjalan mengelilingi istana yang baru di ketahui nya, Elena ingin mengenal betul setiap letak istana ini. Luke, pria itu memaksa agar menemani Elena berkeliling seraya menjelaskan beberapa tempat.

"Kau mempunyai posisi Luke?" Elena kembali bertanya.

Luke mengangguk
"Pangeran mahkota." Jawab Luke.

Elena tersenyum, pantas saja semua orang memanggil Luke dengan sebutan pangeran.

Elena melirik Luke yang tepat berjalan di sampingnya, Elena ingin bertanya mengenai sesuatu hal, tetapi Elena tidak cukup berani untuk bertanya.

"Tanyakan saja padaku?" Elena spontan menoleh ke arah Luke yang baru saja berbicara, apa yang pria itu ucapakan?

Luke terkekeh
"Aku fikir ucapanku cukup jelas, Elena." Ungkap Luke.

Elena bingung, bagaimana Luke dapat mengetahui isi fikiran nya.

"Aku dapat membaca fikiran." Ucap Luke tanpa menatap Elena.

Elena menatap Luke ragu, tawa Elena terdengar. "Kau bercanda Luke?"

Luke tersenyum tipis, Elena melupakan siapa dirinya. Luke berdiri di depan Elena dan memegang bahu Elena agar menghadapnya. Luke menatap Elena tepat pada manik mata indah milik gadis itu.

Elena menghentikan tawanya, seluruh tubuhnya terasa lemas ketika berhadapan dengan Luke seperti sekarang. Elena mendongak dan menatap manik mata Luke.

Manik mata Luke berkilat merah, Elena mengigit bibir bawahnya. Luke menyeringai hingga menampakan dua buah taring yang mencuat.

Elena memukul lengan Luke.
"Luke, tidak usah menakutiku." Peringat Elena.

Luke menjauhkan tangan nya dari bahu Elena, ia tertawa pelan melihat ekspresi takut bercampur gugup di wajah Elena, beruntung matenya itu berani memukul dirinya.

"Tentang sebelumnya, aku tidak berbohong. Aku mempunyai kekuatan membaca fikiran." Ujar Luke seraya meneruskan langkah nya.
Elena mengangguk, ia baru ingat bahwa Luke adalah makhluk immortal. "Aku percaya."

Luke mengajak Elena untuk duduk sejenak di kursi yang terletak di ruang tengah, Luke menarik kursi dan duduk tepat di depan Elena dengan posisi berdekatan.
"Tanya kan padaku apa yang ingin kau tanyakan, aku akan menjawab."
Ujar Luke seraya menumpuhkan kedua tangan nya di sisi kanan dan kiri kursi Elena, Luke mengurung tubuh Elena.

Elena memejamkan matanya sekilas, jantung nya berdetak kembali, kali ini debaran nya lebih terasa. Luke selalu membuat Elena salah tingkah di hadapan nya.

"Em, Perihal kamarmu?" Ujar Elena, jari jemari nya bertaut.

Luke mengangguk "Ada apa dengan kamarku?" Tanya Luke.

Elena berdehem sesaat sebelum bertanya kembali "Tidak ada yang aneh dengan kamarmu, hanya saja..."
Elena menghentikan ucapan nya, apakah ia harus bertanya sekarang.

"Hanya?" Luke menaikan sebelah alisnya, Luke menunggu Elena melanjutkan ucapan nya.

"Hanya saja mengapa di kamar mu banyak perlengkapan wanita?" Elena menunduk dalam.

"Apa ada masalah?" Luke bertanya.

Elena menggeleng, masih menunduk.
"Tidak ada, tetapi aneh menurutku."

"Aneh?" Luke semakin membuat Elena terpojok, sebelum Elena bertanya. Luke sudah mengetahui terlebih dahulu apa yang ingin di tanyakan gadis itu.

Elena menatap Luke ragu "Iya, aneh. Luke apakah kau sudah menikah?" Tanya Elena, Luke menahan tawanya.

Astaga, pertanyaan macam apa itu. Sudah jelas bahwa Elena adalah pendamping Luke dan akan di pastikan mereka berada di altar pernikahan nantinya, mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan rakya dan petinggi istana Darwisen.

"Aku hanya akan menikah denganmu, mine." Ucap Luke setelah meredam tawanya, Luke tertawa, bukan seperti sifat dirinya.

"Mine? Aku tidak mengerti maksudmu." Tanya Elena polos, Luke menghela nafas.

Luke mengusap pipi Elena, halus. Gumam Luke dalam hati.
"Kau akan tau nanti." Balas Luke kemudian berdiri. Elena mengangguk, mungkin Luke masih mempunyai rahasia yang tidak ingin di ungkapkan padanya.

Luke mengulurkan tangan nya pada Elena, gadis itu tersenyum dan menerima uluran tangan Luke.
Luke menggenggam tangan Elena.

"Selanjutnya kita akan kemana?" Tanya Elena seraya berjalan dengan Luke yang menggenggam tangan nya, walaupun tangan Luke terasa dingin. Namun, rasa hangat terasa ketika Luke menggenggan tangan nya

Luke diam, ia berjalan menarik tangan Elena menuju suatu ruangan yang sering di singgahi oleh Luke.
Luke menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah ruangan berpintu coklat dengan tulisan kuno, Luke membuka lebar-lebar pintu itu lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Begitu Elena masuk ke dalam, Elena melihat Luke sudah menduduki sebuah kursi yang bisa menampung untuk dua orang, dan di hadapan Luke ada sebuah piano besar berwarna hitam, dari tampilan nya piano itu kuno. Namun, tak menutupi kesan indah.

"Tutup kembali pintunya."

Elena menutup pintu besar itu dan menatap sekeliling ruangan yang baru pertama kali ia singgahi, ruangan berwarna coklat dengan sebuah lampu gantung berada di bagian tengah di atap.

"Kemarilah." Elena menoleh dan menatap Luke yang baru saja memberi isyarat dengan menepuk sisi lain di sebelah Luke duduk. Walaupun ragu, Elena tetap mengikuti perintah Luke.

Dari jarak sedekat ini Elena dapat mencium aroma maskulin yang berasal dari Luke, ditatapnya Luke dari samping, wajah Luke pucat. Namun, terlihat tampan meskipun dengan wajah datarnya sekalipun, rambutnya terlihat berantakan dan sedikit berjambul, tampilan nya yang seperti itu menambah kesan tampan dalam diri Luke.

"Puas memandangiku?" Pertanyaan dari Luke langsung saja membuat Elena tersadar dari lamunan nya, Elena tertangkap basah sedang mengagumi Luke.

"Kau bisa memainkan piano ini?" Tanya Elena seraya menunjuk piano di hadapan nya dan Luke.

Luke menoleh sesaat dan tersenyum tipis "Tentu, kau mau melihat?" Tanya Luke, Elena mengangguk.

Sebelum memainkan piano di hadapan nya, Luke terlebih dahulu menggulung lengan kemeja panjang khas kerajaan Darwisen hingga sebatas siku. Luke melirik Elena yang menunggunya memainkan piano dengan serius.

jari jemari Luke mulai menekan Tuts-Tuts piano dengan lihai, lantunan lagu yang di mainkan oleh Luke mulai mengalun indah. Elena menatap jari jemari Luke yang sedang menekan Tuts piano, terlihat lihai dan penuh keharmonisan. Lagu yang di mainkan Luke sukses membuat suasana terasa nyaman dan indra pendengaran di manjakan oleh lantunan indah dari piano itu.

Elena memejamkan matanya dan merasakan dalam-dalam musik yang tengah mengalun indah itu, musik itu sangat harmonis dengan tempo yang tak terlalu cepat ataupun lambat.

"Kau suka Elena?" Tanya Luke seraya menatap Elena yang tengah memejamkan matanya, bahkan Elena tak menyadari bahwa lagu yang di mainkan Luke sudah habis, dirinya terlalu menikmati lantunan lagu yang berasal dari piano itu.

Elena mengangguk cepat dan tersenyum manis, senyuman itu membuat Luke tak bisa memalingkan tatapan nya dari wajah Elena.
"Aku suka, kau bermain piano dengan lihai. Dan kenapa kau tidak bernyanyi? Pasti akan sangat indah jika kau bernyanyi."

Kelemahan Luke yaitu bernyanyi, Luke suka bermain alat musik, tetapi tidak dengan bernyanyi.
"Aku tidak suka bernyanyi."

Elena mengangguk mengerti.
"Luke, mainkan sekali lagi." Pinta Elena. 

Luke tersenyum tipis, lalu Luke menepuk puncak kepala Elena sebelum beranjak dari kursi yang tengah ia duduki.  "Sayangnya aku hanya bisa memainkan nya satu kali saja."

Elena memanyunkan bibirnya
"Kenapa?" Elena ikut beranjak dari duduk nya, Elena mengikuti Luke yang sedang berdiri di sebuah benda berbentuk kotak yang Elena ketahui bernama radio. Namun, radio itu terlihat kuno.

Luke tak menjawab pertanyaan yang di ajukan Elena, pria itu sedang berkutat dengan radio kuno di hadapan nya. Entah apa yang sedang Luke lakukan? Elena hanya diam seraya memperhatikan Luke.

Lama berkutat dengan radio, akhirnya terdengar lantunan lagu romantic yang berasal dari radio itu, Luke membalikan tubuhnya sehingga kini ia berhadapan dengan Elena.

Merasa bingung, Elena pun bertanya
"Untuk apa kau memutar lagu yang biasa di gunakan untuk berdansa?"

Luke tersenyum dan menjawab
"Pertanyaan mu adalah jawaban dari apa yang akan aku lakukan."

Elena mengangkat wajahnya untuk memandang wajah Luke. Luke sangatlah tinggi. "Aku tidak mengerti" Jawab Elena bingung.

Luke tersenyum tipis, tidak berniat sekali ia menjawab pertanyaan dari mate nya yang polos. Tangan Luke menarik kedua tangan Elena dan meletakan kedua tangan Elena di bahunya. Tubuh Elena ikut tertarik mendekat ke arah Luke saat tangan nya di tarik Luke.

Luke mempertipis jarak di antara nya dan Elena, kedua tangan nya ia lingkarkan di pinggang Elena. Secara perlahan Luke menggerakan tubuhnya dan Elena ke arah kanan dan kiri seraya menikmati lantunan lagu yang menemani mereka kali ini,

Luke dan Elena sedang berdansa dengan di iringi musik klasik dan romantis.

Jantung Elena berdetak sangat cepat saat dirinya dan Luke semakin mendekat, Elena baru mengerti arti sebuah dansa, rasanya tidak dapat Elena jelaskan. Entah kenapa Elena merasa gugup saat Luke menatapnya dengan jarak yang sangat dekat.

"Jadi, maksudmu berdansa?" Tanya Elena untuk memecah keheningan yang semakin membuatnya gugup.

Luke mengangguk singkat. Dan terus menggerakan tubuhnya secara perlahan ke kanan dan kiri secara terus menerus. Sebelumnya Elena sama sekali tidak bisa berdansa, ia hanya mengikuti gerakan Luke yang dengan lihai berdansa. Beberapa kali Elena tidak sengaja menginjak kaki Luke ketika ia salah melangkah.

Luke terkekeh, kakinya beberapa kali terinjak oleh Elena.
"Sudah aku duga bahwa kau tidak bisa berdansa." Elena mendengus.

Luke memutar tubuh Elena hingga kini posisi Elena membelakangi Luke.
Tangan mereka masih saling bertaut, Luke menumpuhkan dagunya pada bahu Elena dan memeluk tubuh Elena dari belakang.

"Tentu saja aku tidak bisa berdansa, aku adalah gadis desa dan kau adalah pangeran, dan seorang pangeran pastinya dapat berdansa, terlebih lagi kau seorang pria?" Protes Elena yang masih berusaha menahan detak jantung nya agar Luke tak dapat mendengar ritma Jantungnya.

Luke menggerakan tubuhnya ke kanan dan kiri, dan otomatis tubuh Elena yang berada di pelukan Luke ikut bergerak "Pertama kali aku berdansa adalah saat ini, bersama mu."

"Benarkah? Kau sebelumnya belum pernah berdansa dengan wanita?"
Tanya Elena kembali.

Luke menggeleng pelan
"Pernah aku ingin berdansa dengan ibu, dan ayah tidak mengijinkan aku meminjam ibu untuk berdansa bersamaku."

Elena terkekeh pelan, cerita Luke mengenai dirinya yang mengajak dansa ibu nya terkesan lucu, wajah Luke rupawan. Elena yakin banyak sekali wanita di luaran sana yang menyukai Luke.

"Wanita lain hanya memandang fisik, dan apa yang aku punya. Tidak lebih Elena." Luke bersuara.

Elena menggeleng.
"Tetapi aku tidak seperti wanita seperti itu."

"Kau berbeda, sayang."
Sekujur tubuh Elena meremang saat Luke mengecup lehernya, Elena mengigit bibir bawah nya agar tidak berteriak atas perlakukan Luke tadi.

Tidak Luke, belum saatnya. Batin Luke kembali menyadarkan Luke akan dunia nyata. Dengan jarak sedekat ini
dengan Elena membuat indra penciuman Luke yang tajam merasakan aroma darah Elena, darah Elena sangat berbeda, darah nya sangat harum di penciuman Luke sehingga dirinya hampir hilang kendali.

"Luke, suhu tubuhmu dingin." Ucap Elena.

"Bangsa vampire dan demon memang memiliki suhu tubuh yang dingin, berbeda dari werewolf yang mempunyai suhu tubuh hangat."
Jawab Luke santai.

Luke memutar tubuh Elena agar menghadapnya kembali, kedua lengan nya ia lingkarkan di seputaran pinggang Elena, Luke menundukan wajahnya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Elena, Luke menyatukan dahinya dengan dahi Elena.

Nafas Luke yang memburu menerpa wajah Elena, dan hal itu semakin membuat jantung Elena berdetak secara tak beraturan, Elena memejamkan matanya saat dahinya bersentuhan dengan dahi Luke.

Berada dalam jarak sedekat ini membuat Elena diam tak berkutik, kakinya terasa lemas. Mungkin, ia akan terjatuh jika saja tangan Luke tidak menahan tubuhnya.

Bagaimana pun Luke adalah laki-laki normal, batin nya tengah bergejolak saat berada dengan jarak sedekat ini dengan Elena. Fokus Luke hanya pada bibir tipis Elena yang berwarna merah alami, Luke menginginkan nya.

Tidak. Luke menggeleng, ia tidak boleh melakukan hal itu pada Elena.
Luke mengusap pelan bibir tipis milik Elena dengan ibu jarinya. Elena menahan nafasnya saat merasakan ibu jari Luke mengusap bibirnya.

Luke memiringkan kepalanya dan mengecup pelan hidung Elena, kemudian Luke kembali menjauhkan wajahnya dengan wajah Elena, lalu Luke menghentikan dansa nya.

Elena Bernafas lega, Elena sempat menahan nafasnya beberapa kali, Elena menatap Luke yang berjalan menghampiri letak radio kuno kemudian mematikan radio itu. Elena mengusap pelipisnya yang berkeringat dingin, ia merasakan detak jantung nya sendiri, berdetak dengan sangat cepat. Apa yang terjadi pada dirinya, mengapa setiap berada di dekat Luke jantungnya berdebar, dan saat ia berada di dekat pria lain jantungnya tak berdetak sehebat ini.

"Kau mau menyinggahi ruangan lain nya?" Tanya Luke seraya berjalan ke arah Elena.

Elena mengangguk tanda bahwa ia ingin mengunjungi ruangan lain yang berada di istana ini.

Selama berjalan tangan Elena di genggam kembali oleh Luke yang terus saja memasang wajah datar, saat berada di dalam ruangan itu Luke tersenyum pada Elena, berbeda saat berada di luar ruangan.

Elena mengedarkan pandangan nya ke sekeliling bangunan yang bernama istana ini, pandangan nya tertuju begitu saja pada sebuah ruangan dengan gambar besar berbentuk kunci di tengah pintu itu, tampak indah, mungkin saja dalam ruangan itu sama indahnya dengan pintu itu.

Elena menarik tangan nya dan langsung membuat Luke menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Tanya Luke seraya membalikan tubuhnya.

Elena menunjuk sebuah pintu yang berada tak jauh darinya
"Aku ingin kesana."

Luke mengikuti arah yang Elena tunjuk, Luke menggeleng begitu mengetahui bahwa ruangan itu sangat penting dan tak bisa di singgahi oleh siapa pun.

"Kita cari tempat lain." Ujar Luke.

Elena mengubah raut wajahnya menjadi kecewa, Luke menolak untuk mengantarkan nya melihat ruangan itu. "Baiklah." Ujar Elena lirih.

Luke belum berjalan, entah mengapa raut wajah kecewa Elena membuatnya tidak tega. Apa harus Luke memasuki ruangan itu bersama Elena. Mungkin tidak akan masalah, Elena adalah matenya yang polos dan tidak mungkin membahayakan sesuatu benda yang sangat penting di dalam ruangan itu.

"Sebentar saja." Ujar Luke.

Elena mengerutkan kening nya bingung. Namun, sedetik kemudian Elena langsung tersenyum
"Tidak akan lama Luke."

Luke tersenyum tipis, Luke menarik tangan Elena dengan lembut menuju ruangan yang di maksud oleh Elena. Di bukanya pintu besar bergambar sebuah kunci di tengah pintu itu, Luke meletakan ibu jarinya di ujung gambar kunci di pintu itu, seketika pintu itu terbuka dengan sendiri nya.

Setelah keduanya masuk ke dalam ruangan itu, pintu tertutup dengan sendirinya, Luke mengajak Elena mendekati sebuah benda berbentuk persegi panjang yang berada dalam etalase kaca yang tertutup rapat.

Tidak ada yang istimewah dari dalam ruangan ini, Elena menyesal memasuki ruangan yang tak terisi benda unik seperti pemikiran nya, hanya ada sebuah kotak transparan di tengah ruangan sebesar ini.

Setelah mendekati kotak transparan berukuran sedang itu, Elena dapat melihat ada sebuah buku bersampul coklat yang sudah usang, di sampul buku itu terdapat sebuah tulisan.

Elena menunjuk buku yang berada di dalam kotak transparan itu
"Buku apa itu Luke?" Elena mengulurkan tangan nya untuk menyentuh kotak kaca transparan itu.
Luke menggeleng, buku itu bukan buku sembarangan. Buku itu adalah buku sejarah bangsa Half  vampire, demon. Dan sangat berharga di bandingkan dengan lain nya.

Namun, terlambat Elena sudah menyentuh kotak transparan kaca itu, Luke mengerutkan keningnya bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Bila seseorang akan melepuh ketika menyentuh kotak kaca itu, berbanding balik dengan Elena yang tidak mengalami apa pun saat menyentuh itu.

"Bagaimana bisa kau dapat menyentuh kotak transparan itu?" Tanya Luke antara percaya dan tidak percaya.

Elena menatap Luke dengan pandangan aneh. "Aku hanya menyentuh seperti biasa, Luke."

Elena menatap buku unik itu, penutup kotak transparan itu telah terbuka dengan sendirinya. Elena mengambil buku itu secara hati-hati, buku itu memiliki beban yang bisa di katakan berat, dipandanginya buku itu secara lekat.

Entah dorongan darimana Elena melakukan suatu hal dengan berani.

Luke hanya diam saja saat Elena mengambil buku itu dari tempatnya, suatu keberuntungan saat buku itu dapat keluar dari kotak kaca bersegel itu, buku itu sudah terkurung selama beratus-ratus tahun lamanya, berbagai upaya sudah di lakukan untuk membuka kotak bersegel itu, tetapi hasilnya tetap sama, hanya kegagalan.

Dan Elena. Matenya, dapat membuka segel kotak kaca itu hanya dengan menyentuh kotak itu.

Satu pertanyaan yang menghantui fikiran Luke, mengapa Elena dapat membuka segel itu hanya dengan sekali sentuhan?

Elena memperhatikan buku berukiran unik dengan pandangan kagum pada buku berusia tua itu, Elena mengusap permukaan luar buku itu.

Elena tersentak saat buku yang berada di tangan nya mengeluarkan cahaya berwarna putih, angin kencang pun menerobos masuk dengan melewati jendela yang sudah terbuka secara paksa karena dorongan angin kencang itu.

"Luke." Elena menoleh ke arah Luke, buku di tangan nya semakin terasa berat dan bergerak mengikuti arah angin berhembus.

Luke mendekati Elena dan berusaha mengambil alih buku itu. Namun, tangan nya tersengat sebuah aliran listrik yang berasal dari buku itu saat Luke menyentuhnya. Luke melangkah mundur beberapa langkah.

"Kau genggam buku itu, jangan sampai terjatuh." Ujar Luke.

Elena menatap Luke takut, buku ini sangat aneh. "Luke aku takut."

"Tidak akan terjadi apapun Elena, percayalah."

Elena memandang buku di tangan nya, tak lama terdengar suara seperti pecahan kaca yang berasal dari buku itu. Sampul coklat tua buku itu secara tiba-tiba menghilang dan berganti menjadi sebuah sampul buku dengan gambar sebuah istana yang tampak berkilau. Tampak indah,

Istana Darwisen.

Luke yakin sekali, gambar pada sampul buku penting itu menampilkan istana Darwisen pada masa pimpinan Lord Victor dahulu.

Angin berhembus semakin kencang, perlahan lembaran demi lembaran buku tua itu terbuka secara acak dan tak beraturan karena hembusan kuat angin itu.

Elena tersentak saat buku itu jatuh begitu saja dari tangan nya, buku itu masih berputar di atas lantai dengan
tak beraturan. Buku itu baru berhenti berputar saat pintu di belakang Elena dan Luke terbuka, disana terdapat Lord Edmans berserta anggota kerajaan lain nya.

"Segel buku itu terbuka?" Tanya Lord Edmans seraya mengambil buku itu dan menatapi buku penting bangsanya yang telah berubah menjadi terlihat lebih baru.

"Siapa yang membuka segelnya? Apakah kau Luke?" Tanya Lord Edmand kembali.

Luke menggeleng
"Bukan aku, tetapi Elena."

Semua pun terdiam, tidak ada satupun orang yang membuka suara. Namun, pandangan mereka mengarah ke arah Elena yang tengah menunduk, posisi Elena sudah berada di belakang Luke.

Luke yang menyadari bahwa semua mata mengarah ke arah Elena pun membuka suara
"Jangan menatapi nya, kalian membuat nya takut." ujar Luke dengan tatapan tajam yang ia arahkan pada semua anggota kerajaan. Seluruh pengikut Lord Edmans menunduk.

"Aku tidak mengerti, bagaimana bisa Elena membuka segel itu? Bahkan Luke tidak bisa membuka segel itu." Ujar Lord Edmans bingung sendiri, Luke adalah pangeran mahkota yang seharusnya bisa membuka segala bentuk segel yang di buat oleh Lord Victor, kakek Luke.

"Ayah, sebaiknya bicarakan di ruang rapat, tidak disini." Ujar Luke menengahi. Lord Edmans mengangguk dan memberikan perintah kepada seluruh bawahan nya mengikutinya menuju ruang rapat untuk membahas sesuatu yang penting.

Luke menatap Elena, ia menggenggam tangan Elena. "Ikut denganku."

🏰🏰🏰


Elena merapatkan dirinya di belakang Luke, Ruangan ini terasa asing baginya. Saat ini dan Elena berada du tengah ruangan berukuran besar ini dengan setiap sisi nya terdapat petinggi istana.

"Kau bisa menceritakan Luke?" Lord Edmans membuka suara.

Luke mengangguk "Elena hanya menyentuh kotak kaca itu dan terbuka, lalu buku itu berubah menjadi baru."

Singkat sekali.

Lord Edmans mengusap wajahnya, bagaimana ia ingin mengetahui secara detail jika Luke hanya berkata singkat seperti itu.

"Elena kau bisa menjelaskan?" Tanya Lord Edmans.

"Sudah kujelaskan tadi ayah." Sergah Luke, Lord Edmans mendelik kesal. Ia tidak berbicara pada Luke.

"Em, Aku tidak tau, buku itu aneh. Ada daya tarik saat aku memasuki ruangan itu, tanganku bergerak tanpa aku perintah dan buku itu berputar dengan sendirinya." Elena menjelaskan.

Lord Edmans mengangguk, tetapi bagaimana bisa, Lord Edmans melirik buku yang berada di atas meja.

Suatu keberuntungan jika segel buku itu telah terbuka.

"Sudah?" Luke memecah keheningan.

Salah satu petinggi berbicara "Apakah sebelumnya putri Elena pernah mempunyai kekuatan?"

Elena menggeleng, kekuatan apa? Elena tidak mengerti.

"Apa putri Elena bisa memastikan bahwa darah anda bukan hanya darah manusia, melainkan percampuran darah bangsa immortal?" salah satu petinggi istana lain nya bertanya.

"Aku tidak tau." Balas Elena.

"Apakah boleh saya melihat masa lalu anda?" Ujar salah satu petinggi seraya berjalan ke arah Luke dan Elena.

Luke menatap petinggi itu
"Kau jangan menyentuh mateku!" Desis Luke.

Petinggi itu menggeleng "Aku tidak akan menyakiti. Aku hanya akan menelusuri masa lalu putri Elena."

Ia mendekati Elena dan meletakan kedua tangan nya di atas kepala Elena, kelopak mata lelaki itu menutup.

Setelah beberapa menit, lelaki itu membuka mata dengan kerutan di dahinya.

Luke menjauhkan tangan lelaki itu dari atas kepala Elena. "Sudah kubilang paman, jangan menyentuh nya."

"Maaf, pangeran."

"Bagaimana Hilmand? Apa yang kau lihat?" Tanya Lord Edmans.

"Lord, saya tidak bisa melihat apapun, ada sebuah benteng yang menghalangi kekuatan saya." Jelas lelaki itu.

"Itu urusan kalian, dan jangan libatkan Elena lagi." Luke menarik tangan Elena keluar dari ruangan itu, ia sudah muak dengan semua tatapan yang tertuju pada Elena.

🏰🏰🏰

Pagi hari setelah Luke kembali dari kegiatan berburu malam nya. Luke bersama dengan Liam sedang berada di dapur juga terdapat Exel dan juga Elena, mereka lebih tepatnya Liam sedang membuat makanan untuk Elena.

"Bagaimana caranya?" Tanya Luke.

"Ikuti arahanku saja pangeran."

"Arahanmu tidak jelas." Sarkas Luke,

Liam mendengus, kau saja yang tidak mengerti ingin sekali Liam meneriaki kalimat itu tepat di hadapan pangeran seperti Luke

Liam mulai memberikan arahan pada pangeran nya itu, di meja panjang yang terbuat dari marmer berwarna gelap, terdapat banyak bahan masakan yang biasa di olah oleh manusia menjadi makanan.

Luke meminta Liam memberikan nya arahan dalam proses pembuatan makanan manusia, para pelayan di sini tidak ada yang bisa membuat makanan manusia. Maka dari itu, Luke berinisiatif membuat makanan Elena sendiri.

Luke tak akan mungkin membiarkan Elena kelaparan.

Di dapur Luke, Liam dan Exel tengah berdiri di depan meja yang terbuat dari marmer. Sedangkan Elena hanya duduk diam di kursi yang menghadap meja makan, Elena memperhatikan ketiga pria itu.

Berbeda dengan Liam, pria itu sedikit mengetahui apa saja keperluan seorang manusia, dan makanan manusia. Karena Liam memiliki pemikiran yang sangat luas di bandingkan dengan bangsa lain nya, semua bahan makanan manusia di dapatkan nya melalui Davero, Putra mahkota dari kerajaan sahabat kerajaan Darwisen. Davero memiliki kekuatan langkah dan hanya ia yang memilikinya, yaitu dapat keluar masuk dunia manusia.

"Apa nama benda ini?" Tanya Luke seraya menunjuk sebuah benda yang terbuat dari logam, berbentuk persegi.

Liam menoleh, lihat pangeran tidak tau diri itu kembali bertanya padanya setelah mengatai diri nya payah.

"Menurutku itu adalah sebuah benda yang dapat di gunakan untuk mematangkan makanan manusia, itu biasa di gunakan oleh manusia pada masa modern ini. Nama nya kompor."
Jawab Liam logis. Luke hanya mengangguk, jawaban Liam sangat luas.

Liam membuka lembar buku yang tengah berada di tangan Exel, Liam membaca buku itu terlebih dahulu.
"Makanan yang aku mengerti adalah sup." Gumam Liam.

"Menurut buku ini, kita harus memotong beberapa sayuran menjadi potongan kecil." Exel membaca buku itu atas perintah Liam.

Liam mengambil beberapa sayuran yang menjadi bahan utama dalam pembuatan sup, menurut buku itu.
Liam memberikan beberapa bahan sayuran itu pada Luke, lalu memberi arahan Luke untuk memotong.

Potongan Liam dan Luke sama-sama berantakan, tidak ada yang rapih sama sekali. Elena terkekeh dari tempatnya duduk.

"Ah, sepertinya aku harus mempelajari cara memotong lagi."
Liam menghela nafas dan terkekeh sendiri, jika di bandingkan. Potongan Luke lah yang lebih berantakan.

"Jangan mengejek Liam, potonganmu sama berantakan denganku."

Exel kembali membaca buku yang berada di tangan nya, berbagai bahan dan cara pembuatan ia beritahu pada Liam secara detail. Waktu berjalan sangat cepat hingga kegiatan mereka terhenti sesaat setelah Exel membacakan apa yang tidak di mengerti oleh mereka.

"Apa kau salah membaca?" Tanya Luke dengan nada datar.

Exel menggeleng kuat
"Disini di katakan, terakhir setelah semua bahan matang dan siap, campurkan penyedap rasa?" Exel membaca buku itu ulang.

"Penyedap rasa? Aku tidak tau apa itu?" Ujar Liam.

Liam mengedarkan pandangan nya ke arah meja di depan nya, banyak sekali bahan masakan. Akan tetapi Liam tidak tau benda yang di namakan penyedap rasa seperti di dunia manusia, Liam tidak menemukan kata penyedap rasa saat mempelajari buku yang berhubungan dengan manusia.

"Kau tidak tau Liam?" Tanya Luke,Liam menggeleng.

"Elena, bisakah kau membantuku?"
Luke berbalik dan berbicara dengan suara sedikit keras agar Elena mendengar suaranya.

Elena mengangguk dan menghampiri Luke. "Apa yang bisa ku bantu, Luke?"

"Apakah kau tau apa itu penyedap rasa?" Tanya Luke.

Elena mengangguk dan menatap berbagai bahan makanan manusia di meja yang berada di depan nya, banyak sekali. Darimana Luke mendapatkan semua bahan ini? Elena meneliti setiap bahan yang berada di atas meja, Elena menarik sebuah penyedap rasa yang biasa di gunakan.

"Ini dia." Elena memberikan penyedap rasa itu pada Luke.

"Tetapi, jangan terlalu banyak menaburkan itu. Nanti asin" Peringat Elena.

Luke mengangguk dan tersenyum tipis pada Elena.  "Kau bisa duduk kembali" Perintah Luke.

Elena tersenyum dan berjalan kembali ke tempat duduknya semula.
Liam mengambil bungkus penyedap rasa dan membuka bungkusnya, ia menaburkan sedikit demi sedikit penyedap rasa itu di atas kuah sup yang masih panas di atas kompor yang menyala.

Liam tidak mencicipi sup itu, ia hanya menaburkan berbagai penyedap rasa itu sesuai takaran yang tercantum di dalam buku yang berisikan tentang manusia.

Setelah beberapa menit, akhirnya sup yang sudah di buat oleh Liam selesai juga. Liam mengambil mangkok dan menuangkan sup itu secukupnya untuk memenuhi mangkok itu.
Tak lupa, Liam juga meletakan mangkok berisi sup beserta segelas air putih di atas nampan kayu.

"Sudah selesai pangeran." Ujar Liam seraya menyerahkan nampan itu ke tangan Luke.

"Baiklah." Luke membawa nampan itu dan berjalan ke arah meja makan berukuran lebar yang berada tak jauh dari tempatnya tadi, senyum Luke terukir kala melihat kedua mata Elena terpejam dengan kedua tangan yang ia tumpukan di atas meja, kepala Elena berada di atas tumpukan tangan Elena di atas meja.

Luke meletakan nampan itu ke atas meja, ia menarik kursi agar mendekati kursi Elena. Luke duduk di kursi itu.

Luke tersenyum, ia mengusap pipi Elena pelan. "Elena, bangun." Bisik Luke tepat di samping telinga Elena.

Elena terbangun dari tidurnya saat merasakan gangguan kecil, sempat terkesiap saat membuka matanya karena wajah Luke berjarak dekat dengan wajahnya. Elena menegakan tubuhnya dengan perasaan gugup.

"Lama menungguku?" Tanya Luke.

Elena mengangguk seraya melirik nampan yang berada di atas meja. Perutnya sudah berbunyi meminta asupan makanan, Luke dan Liam terlalu lama memasak, hingga menyebabkan dirinya tertidur secara tak sadar.

"Dimakan." Ujar Luke lembut, Luke menarik nampan itu agar mendekati Elena.

Elena mengambil sendok dan mulai mencicipi sup yang mengundang seleranya,

"Bagaimana rasanya?" Tanya Luke masih terus memandang Elena yang sedang memakan masakan buatan nya dan Liam tentunya.

Elena menghentikan kegiatan makan nya dan menatap Luke sekilas
"Menurutku enak, aku suka." Elena melanjutkan kegiatan makan nya kembali.

"Pangeran Luke." Luke menoleh dan menatap sosok lelaki bertubuh tinggi tegap, baru saja nemasuki dapur dan dengan se-enaknya duduk di kursi yang berada di seberang Luke.

"Oh, lihatlah. Sepertinya ada yang sedang menemani seorang gadis ternyata." Ucap seseorang yang menurut Luke suka bertingkah laku dengan se-enaknya, dia adalah pangeran dari kerajaan yang sudah menjalin persahabatan dengan kerajaan Darwisen. Davero orlando, si pangeran bar-bar yang kebetulan mempunyai kekuatan khusus untuk keluar masuk dunia manusia.

"Ada apa pangeran Davero?" Exel menghampiri pangeran Davero.

Davero menoleh, ia menepuk bahu Exel. "Aku tidak bertanya padamu" Ujar Davero, Exel mendengus.

Davero menatap Elena dengan tatapan memuja "Aku tidak menyangka bahwa pangeran berwajah tembok ini mempunyai pasangan hidup seperti perempuan ini."

Luke menoleh dan menghujani pangeran Davero dengan tatapan tajam nya. Namun, sepertinya Davero kebal dengan tatapan tajam itu.
"Ada apa kau menghampiriku? Apakah pengawal yang melarangmu masuk memberimu izin." Tanya Luke ketus.

Davero tersenyun tipis "Hanya menbutuhkan sebuah trik"

Davero menopang dagunya dengan tangan "Aku ingin mengganggu waktumu."

"Pangeran Davero, sayangnya aku tidak punya waktu." Balas Luke cuek.

"Pangeran, sebaiknya kita temui Lord Edmans." Ucap Exel berusaha menghentikan ucapan menyebalkan dari sang pangeran bar-bar.

Davero menatap Exel dan tersenyum miring, tanpa aba-aba ia menarik tangan Exel untuk duduk di kursi sebelahnya. "Aku masih normal dan pastinya aku tidak tertarik dengan Lord Edmans." Davero terkekeh, "Aku jadi teringat pasangan hidupku yang sudah berhianat."

Exel turut merasakan apa yang Davero rasakan, meskipun pangeran itu dapat di kategorikan sosok menyebalkan. Namun, sisi dalam Davero sangat rapuh akibat penghianatan matenya.

Davero kembali terkekeh, ia mendekati Luke.
"Kau jaga baik-baik matemu Luke, aku melihat matemu sangat baik. Jadi kau sangat beruntung tidak akan mengalami apa yang aku alami." Ujar Davero dengan suara kecil, hanya Luke yang dapat mendengar ucapan nya

"Pasti" Jawab Luke singkat.

"Dan jika kau tidak ingin menikahi matemu, maka aku yang akan menikahinya." Ucapan Davero mendapat tatapan tajam dari Luke.

Davero berdiri dan menatap Exel, kemudian ia melihat Liam, Lelaki yang berumuran lebih muda darinya itu rumornya memiliki pemikiran yang sangat logis.
"Aku ingin berlatih bersama kalian, dan kau Liam. Harus ikut bersama kami untuk latihan."

Liam mengangguk
"Baiklah, pangeran."

Exel dan Liam berjalan terlebih dahulu di depan Davero
"Luke, cepatlah." Ujar Davero sebelum keluar dari dapur.

Luke menatap Davero
"Aku akan mengantarkan Elena ke kamarnya dahulu." Ujar Luke membuat Davero mengerti dan langsung keluar dari ruangan dapur, mengikuti Exel dan Liam yang sudah berada jauh.

Luke menatap Elena yang baru saja menyelesaikan makanan nya, ia tidak merasa Elena tidak terganggu dengan ucapan Davero. Elena hanya fokus pada makanan nya.

Luke mengusap kepala Elena lembut
"Aku akan mengantarkanmu beristirahat." Ujar Luke diangguki langsung oleh Elena.

_________________TBC_________________

Ini belum ending kok masih lanjut.tenang aja kalian masih bisa membaca part lain nya saya bikin ini dengan perasaan tak menentu😀😁

Makasih yang udah menyempatkan waktu membaca ceritaku yang tak sebera ini di bandingkan dengan author lain nya.

Aku mau tanya, Bagaimana perasaan kalian saat membaca part ini?......... Boleh comen yah

See you next part 😘

Continue Reading

You'll Also Like

423K 6.1K 32
⫷𝖏𝖆𝖓𝖌𝖆𝖓 𝖑𝖚𝖕𝖆 𝖋𝖔𝖑𝖑𝖔𝖜 𝖘𝖊𝖇𝖊𝖑𝖚𝖒 𝖒𝖊𝖒𝖇𝖆𝖈𝖆⫸ ━─━─━─━─◈─━─━─━─━≪ seorang gadis cantik tengah mencari pekerjaan untuk memenuhi ke...
16.1K 3.3K 28
Kelanjutan dari kisah Christy bersama teman temannya didalam lingkup aliansi. setelah berhasil mendamaikan bangsa serigala dan juga bangsa vampir. Ch...
24K 2.1K 69
cerita ini menceritakan tentang beberapa keluarga mafia dengan latar belakang yg berbeda beda. apakah mereka memiliki hubungan yg baik? dan bagaimana...
340K 35.2K 30
Aku tak pernah percaya akan apa itu 'keajaiban'. Hingga keajaiban itu benar-benar datang dan membuktikan padaku bahwa ia memang benar adanya. Aku me...