(TGS 3) Oh! Liana!

Af NengNurFitry

1.1K 84 8

Arum Liana Erlangga memutuskan meninggalkan kesenangannya sebagai seorang anggota Kopasus, perempuan berusia... Mere

Prolog
Bab 1
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9

Bab 2

131 9 0
Af NengNurFitry

Evan, Alvin, dan Devon tengah berada di restoran bintang lima yang mejanya bukan VIP, bukan tanpa alasan tapi karena mereka ingin jadi pusat perhatian, terutama untuk Evan yang memang suka mengincar perempuan cantik yang kebetulan lewat.

"Mana Elga?" Devon menyeruput jus alpukatnya, sedikit meringis mengetahui jika jus ini bukan miliknya, itu milik Evan. Playboy sukanya alpukat, tentara cintanya kopi, sutradara cintanya milkshake, dan si dokter sukanya air mineral. Mirip dirinya masing-masing, Elga itu hambar hidupnya.

"Dokter sibuk terjebak macet, lima menit lagi pasti lonceng pintu berbunyi." Sahut Alvin tak peduli.

"Oke, tunggu lima menit lagi." Putus Devon.

Evan menghela napas. "Selama menunggu tolong carikan aku perempuan cantik, setidaknya untuk cuci mata."

Devon dan Alvin sama-sama menatap datar sebelum menunjuk ke arah yang sama, dan Evan mengikutinya.

"Dia tipemu 'kan? Cantik." Kata Devon santai.

Evan di kursinya menelan ludah sakit, melihat ekspresi dua sahabatnya yang terbilang biasa saja.

"Itu mah kembarannya Omas, Dev."

Alvin yang pertama menyemburkan tawanya, pria berkaos hitam dengan gambar burung gagak di punggungnya itu tertawa melihat ekspresi Evan yang memprihatinkan. Malam ini adalah malamnya kaum pria bagi mereka, makanya tampilan santai menjadi pilihan, terlihat seperti anak muda bahkan tak akan ada yang menyangka kalau dua di antaranya sudah memiliki istri dan anak.

"Nah. Mister Cool sudah datang." Alvin berseru ketika Elga datang dengan kaos putih dan jaketnya, terlalu necis hingga membuat semua perempuan di area restoran menoleh sejenak. Elga diberi kelebihan dalam rupa tapi kekurangan dalam berekspresi, itu kata ketiga sahabatnya.

"Ada rapat?"

Devon mengangkat alis sebelum tersenyum lebar. "Santai sedikitlah. Ini bukan jamuan Tuan Danuarta, kamu bisa rileks di sini."

Elga tersenyum terlalu tipis, bahkan mungkin tidak akan ada yang menyadarinya.

"Evan butuh sekretaris baru." Ucap Devon memulai perbincangan mereka malam ini dengan tema 'Search A New Secretary For Evan SW'.

"Lagi?" Alvin menyahut heran. "Habis berapa perempuan di kantormu untuk dijadikan sekretaris? mereka 'kan bekerja bukan engkang-engkang saja di depanmu."

Sejujurnya Evan ingin tertawa mendengar kata engkang-engkang milik Alvin, tapi karena suasana hatinya buruk jadilah dia hanya mendengus.

"Otak mereka jongkok. Alv. Otak mereka itu hanya ada di melon dan semangkanya."

Bahasa Evan yang sedikit aneh terkadang membuat ketiganya mengangkat alis heran, Evan memang sedikit miring.

"Jadi kamu ingin otak mereka ada di mana?" Tanya Devon sok bodoh.

Evan mendengus. "Di kepala. Sebenarnya kamu itu sutradara film atau bukan?"

Devon mengernyit. "Tidak ada hubungannya."

"Memang." Kata Evan malas dan menoleh menatap Elga yang santai dengan tabnya, tampak serius dan itu sungguh bosan. "Aku butuh sekretaris baru, kata Devon ada siasat baru untuk dapatkan sekretaris untukku." Katanya setelah memfokuskan pandangan pada Devon dan Alvin lagi.

Semua mulai serius, termasuk Elga yang kini meletakan tab di atas meja dan menyilang tangan di depan dada serta kakinya, terlalu keren hingga membuat Evan, Devon, dan Alvin menatapnya aneh.

"Ada apa?"

Alvin menelan ludah sakit. "Terkadang aku iri berteman denganmu, kawan. Wajahmu secerah rembulan dan wajah kami semuram langit malam berhujan."

Evan mau muntah hingga dengan sengaja dia mengeluarkan suara menjijikan itu dan membungkuk di depan Alvin, membuat pria itu menoyor kepalanya kesal.

"Menjijikan sekali."

Elga hanya diam, tak merespon apapun, dan itu membuat ketiganya enggan lagi bercanda dengan Elga, takut dikira melawak di depan tembok, 'kan gila.

"Oke, kembali ke topik."

Alvin mengangguk. "Jadi?"

"Kita butuh Arum."

"Kenapa Liana?" Evan menyahut seketika.

"Karena dia penyemangatmu." Jawaban itu membuat tiga orang di meja itu menatap takjub pada sosok Elga yang masih fokus dengan posisi duduknya, tapi tampak serius dan mendengarkan.

"Kamu menakjubkan." Alvin bersuara mirip Sule dan membuat Devon menggeplak kepalanya, membuat Alvin kesal karena mantan tentara diperlakukan semena-mena oleh orang tak berpangkat.

"Jadi? Kenapa Liana dilibatkan di sini?"

"Karena dia berada di kantormu."

Evan melotot. "Bagaimana bisa?"

Devon menghela napas. "Tentu bisa, Ev." Sebenarnya Evan benci dengan panggilan aneh Devon yang itu. "Tapi berpura-puralah kamu tidak tahu kalau dia bekerja di perusahaanmu. Dan perintahkan Tony untuk menunjuk Arum jadi sekretarismu."

Mata Evan berbinar. "Wah, ini berarti..."

"Tapi jangan berharap kamu bisa balikan lagi dengannya." Potong Alvin cepat yang membuat mata Evan meredup seketika.

"Kenapa?"

Alvin menatap serius. "Memang kamu tidak takut senjata masa depanmu ditembak. Dor!" Kata Alvin dengan mempraktekan cara menembak jitu ke arah alat vital Evan yang membuat pria itu langsung menganga terkejut dengan tangan memegang benda keramatnya.

"Jendral Erlangga." Bisiknya lemah.

"Ya, si bengis menggelikan." Sahut Alvin setuju.

Devon di antara mereka hanya menatap aneh. "SI Jendral yang baik."

Alvin dan Evan sama-sama menoleh kaget pada Devon yang hanya di jawab dengan wajah santai.

"Dan Elga? Kapan kamu akan mencari incaran?"

"Elga anak baik, Van. Jangan katakan incaran untuk menggambarkan seorang perempuan, bisa di sunat dua kali kamu."

"Tak tersisa dong."

"Dan tak punya keturunan."

"Tinggal adopsi saja."

"Bicaramu enak tenan. Alv. Mana perjanjian masa kecil kita."

"Memang kalian berjanji apa?"

"Menjodohkan anak-anak kami."

"Selain sama-sama sinting kalian juga sama-sama keturunan wajah seribu."

"Devon sialan!"

"Sutradara idiot!"

"Dia memiliki indra keenam dan kalian tidak akan menemukan wajah terkejutnya walau kalian mencacinya."

"Sejak kapan kamu pandai berkata, Bungsu?"

"....."

"Hei. Elga, jawablah. Kamu 'kan tidak bisu?"

"....."

"Dia pakai hedsheet idiot."

"Oh, aku kira itu lalat yang menempel di telinganya."

"SI tolol Evan."

"SI rabun mantannya Arum."

"KASIHAN!"

"DIAM KALIAN!"

***

Arum baru saja melangkahkan kakinya keluar apartement untuk segera bekerja ketika sosok tinggi tegap dengan raut datar berdiri di depannya, Indra.

Arum menghela napas sejenak. "Kenapa?"

"Anda diperintahkan untuk pulang nanti malam, Nona."

Arum mengernyit. "Dengan alasan?"

"Rahasia."

"Heh?" Arum menghembuskan napasnya. "Katakan saja aku pasti datang, dan tidak perlu menyuruhmu sampai kemari. Apa ayah sudah lupa cara menggunakan ponsel."

"Mungkin karena terlalu sering memakai Handy Talkie tentara, Nona."

Arum terkekeh. "Kamu benar. Sekarang pulanglah, katakan aku akan datang."

"Anda harus cantik."

Arum mengernyit lagi. "Kenapa begitu?"

"Saya tidak tahu."

"Oke, pergilah."

Indra melangkah pergi begitu pun dengan Arum, mereka memasuki lift yang sama dan Arum menatap pantulan wajah Indra di cermin. Pria berkepala tiga itu tampak datar dan serius.

"Mas Indra?"

"Ya?"

Arum berpikir sejenak. "Usiamu sudah beranjak tiga puluh tiga, tidak kepikiran untuk menikah?"

Ada senyum di wajah itu, dan Arum tahu, tapi sayangnya pikiran pria itu sulit ditembus.

"Sebentar lagi."

"Ah, selamat kalau begitu."

Suasana kembali hening sampai lift terbuka dan Indra yang berpamitan pada Arum, perempuan itu hanya mengangguk dan segera melangkah menuju Jazz biru tua milik Raina yang dipinjamnya karena mobilnya masih di tahan ayah tegasnya dengan alasan Arum tidak bisa move on dari Evan. Tsk! Dasar pria tua menggelikan.

***

Kasak-kusuk di Kantor terjadi, dan itu membuat Arum yang baru memasuki lobi perusahaan menjadi bingung sendiri. Beberapa karyawan berbisik-bisik di depan meja resepsionis, entah untuk apa.

"Ada apa?" Tanya Arum ketika sudah sampai dekat Afira, perempuan yang kini juga sedang berdiri menyender di meja resepsionis.

"Katanya CEO bakal datang dengan tunangannya."

"Lalu?" Arum heran kenapa setiap hal yang berhubungan dengan atasan di perusahaan ini seolah menjadi trending topic tersendiri.

"Tunangannya sudah lama disembunyikan. Katanya dua tahun. Dan kamu pasti tidak tahu 'kan sebab kenapa CEO di sini sering jadi trending topic?"

Arum tersenyum. "Karena dia tampan." Jawabnya setelah sekilas membaca pikiran Afira.

Afira tersenyum semangat. "Ya, dia sangat tampan. Sama seperti tiga sahabatnya yang lain. dulu dia dikenal playboy katanya, tapi setelah kita tahu bahwa CEO sudah tunangan, pupuslah harapan kita." Jelas Afira menggebu.

Arum mengernyit mulai mempertanyakan seberapa tampan CEOnya itu sampai-sampai karyawannya berebutan cari perhatian.

"Tapi tenang saja," kata Afira lagi. "Ada satu teman CEO yang tampannya berlebihan, terlalu tampan. Tapi sayang tidak pernah tersenyum, semua orang menganggapnya angkuh karena dia cucu Tuan Danuarta."

Arum mengernyit mendengar nama yang tak asing di telinganya, seperti nama seseorang yang dikenalnya. Tapi....

"Arum Liana?" Seseorang menepuk bahunya, membuatnya menoleh dan menemukan sosok pria jangkung berwajah cukup tampan yang kini menatapnya.

"Ya?"

"Ah. Pantas saja." Arum mengernyit mendengar itu, pikiran pria di depannya kusut hingga sulit untuk Arum baca. "Bisa ikut saya ke ruangan Pak Budi?"

"Pak Budi?" Arum mengernyit mendengar nama ketua HRD disebut, sedikit was-was kalau saja dirinya dipecat padahal seingatnya dia tidak mencuri ide perusahaan.

"Iya. Ayo."

***

Dosa apa yang diperbuatnya hingga mendapatkan promosi jabatan hingga ke sekretaris CEO. Oke, bagi sebagian orang menjadi sekretaris adalah pekerjaan yang menggiurkan, apalagi sekretaris CEO. Tapi bagi Arum itu petaka, mimpinya bukan loncat jabatan tapi beruntun, bukan main asal dari ketua divisi jadi sekretaris. Dan sialnya dia bahkan tak tahu siapa CEOnya, menurut kabar namanya Pak Vano. Entah siapa si Vano itu.

"Jadi kamu dapat promosi jabatan?" Afira menopang dagunya, tampak tak suka dengan topik perbincangan kali ini, Afira sudah berdiam diri di dalam ruangannya selama tiga menit terakhir karena harus mengantarkan rancangan perencanaan, dan berakhir dengan bercerita mengenai naiknya jabatan Arum.

"Begitulah," kata Arum malas. "Apa perusahaan ini memang begini? Main pindah tugaskan seseorang seenak jidat mereka?"

"Ini pertama kalinya."

"Aku tahu."

Arum segera membereskan semua perlengkapannya dan memasukannya ke dalam kardus.

"Akan ada leader kalian yang baru. Namanya Ghita, katakan saja pada semua temanmu." Kata Arum sembari berjalan keluar ruangannya. "Maaf tidak bisa berpamitan secara langsung, mereka sudah raib ke kantin lagi."

"Aku sampaikan nanti."

"Terimakasih, Afira."

"Sama-sama, Arum. Semoga kamu betah bekerja dengan CEO tampan kita." Kata Afira dengan senyum lebarnya.

"Dan ku pastikan aku tidak akan sampai jatuh cinta padanya." Katanya menyambung ucapan Afira yang hendak terlontar, membuat perempuan itu menggaruk tengkuknya dan nyengir aneh.

"Baiklah kalau begitu. See ya."

"Heum."

***

Arum memasuki rumahnya dengan pakaian berantakan. Bukan tanpa sebab, mobil Raina mogok di tengah jalan dengan cuaca mendung dan berakhir dengan hujan ala India, beruntung Arum tak melakukan tari Chaiya Chaiya di bawah guyuran hujan sebesar biji semangka itu, kalau dilakukan bisa dianggap kembarannya Norman Kamaru nanti.

Masuk rumah yang pertama dilihatnya ruang tamu, tapi lebih condong pada penghuninya.

Arum mengernyit melihat banyak manusia berpakaian super rapi mirip mau ke hajatan orang ternama, entah berapa lama jas mereka di licin, Arum tak ingin menebaknya.

"Ya Tuhan. Lili, ada apa denganmu?"

Dari arah dapur Erlangga berlari penuh wibawa layaknya hendak menodongkan senapan ke depan muka musuh di medan pertempuran, suaranya begitu manis dan penuh kasih sayang tapi ekspresinya seakan mengajak perang. Arum tahu dia salah, kesalahannya terletak pada dia yang tidak cantik di malam ini.

"Ada hujan badai tornado yang mengguncang wilayah selatan Jakarta, dan aku baru tahu kalau namanya angin tampan."

"Angin topan, Nak." Erlangga menekan ucapannya, menarik erat lengan putrinya.

"Maaf, saya akan mengurus anak saya sebentar." Katanya pada tiga orang yang berada di ruang tamu.

"Siapa mereka?" Arum bersuara saat mereka sudah sampai di kamar.

Erlangga menatapnya sebal. "Mereka besanku, dan pria berpakaian jas mahal itu calon suamimu."

Arum mendelik. "Calon suami dari Hongkong. Ayah 'kan tahu aku tidak mau menikah."

"Sampai kapan? Erlangga membutuhkan keturunan, dan itu hanya akan berasal dari rahimmu." Kata Erlangga berapi-api. "Memang kamu mau ayah sewakan beberapa pria untuk menanam benih di rahimmu tapi tidak menikahimu."

Arum mengernyit jijik. "Kamu ayahku atau musuhku."

"Yang pasti aku bukan temanmu." Erlangga berkata tegas. "Dengar! Usiamu sudah seperempat abad. SEPEREMPAT ABAD. Apa kata dunia anakku satu-satunya yang cantik jelita mirip Angelina Jolie KW 15 masih belum menikah."

Arum mendengus kesal. "Apa kata dunia? Dunia tidak akan berkata apapun ayah, mereka hanya akan mengamati, berbisik, kemudian melupakan. Sesederhana itu. Apa yang salah dengan tidak menikah?"

"Aduh. Lili. Agama kita menegaskan untuk sesegera mungkin menikahkan anak perempuannya apabila sudah siap."

"Sudah siap, kan? Dan aku belum." Katanya yang membuat Erlangga mati kutu. Pria tua itu kini memijat keningnya dan menatap tampilan Arum dengan ngeri.

"Sudahlah, sekarang kamu pakai baju terbaikmu dan segera turun." Kata Erlangga sebal dan melesat menuju lantai bawah tepat daratan para tamu berada.

Arum tersenyum miring.

"Baju terbaik ya?" Katanya dengan tampang berpikir sebelum beranjak menuju lemarinya, Erlangga akan tahu betapa manis dan menawannya dia malam ini. jangan berani meremehkan Arum Liana Erlangga kalau urusan membuat mati kutu ayahnya saja tidak bisa.

***

Evan memasuki apartemennya dengan wajah tak enak di pandang, di belakangnya sosok cantik Puri tersenyum anggun, membuat Evan gatal dibuatnya, karena senyum Puri bukan membuatnya tertarik malah membuatnya eneg.

"Kamu mau sampai kapan berdiri di situ?" Tanya Evan dingin dengan segera melemparkan jasnya. Tsk! Kalau bukan otorisasi dari pihak Wijaya yang entah kenapa begitu mencintai Puri hingga menyuruhnya membawa perempuan itu kemari, mimpi apa dia sampai punya tunangan segini cantiknya tapi tak membuatnya tertarik sama sekali. Katakan Evan katarak karena tidak bisa melihat kecantikan Puri yang kadang membuat pria yang melihatnya meneteskan air liur. Evan 'kan suka perempuan cantik, dan Puri itu cantik kenapa Evan tidak suka? Alasannya sepele, karena Puri tunangannya. Evan benci status gila itu.

Puri duduk di samping Evan, membuat Evan bengong sejenak karena melihat cara Puri berjalan mirip engkong-engkong dengan tongkat di tangannya, lambat tenan.

"Aku mau ke toilet. Bisa tunjukkan jalannya?" Sebenarnya Evan kurang suka apabila wilayah kesenangannya ini di injak kaki mulus Puri, tapi lagi-lagi demi kesopanan dia hanya mangut-mangut saja.

"DI sebelah sana, dekat dapur." Kata Evan dengan menunjuk malas sebuah pintu bercat putih, dan Puri segera ke sana, namun sialnya kata segera mendadak lambat karena jalan perempuan itu mirip siput yang tengah melahirkan.

Evan mendumal dalam hati, entah apa yang dipikirkan keluarganya sampai tega menjodohkannya dengan perempuan cantik asli Jawa dan Kanada itu. Evan sendiri bingung tak mau berpikir, hingga akhirnya dia membuka ponselnya dan chat bersama si sinting Alvin, bukan masalah untuknya membuka sosmed yang memuat segala bentuk abad masa kini, berbeda dengan Elga yang hidupnya mirip zaman megalitikum, ponsel punya tapi media secetek facebook pun tidak ada, grup chat pun Devon yang buat, dan Elga? Dia hanya numpang nama sekedar lewat saja, katanya dokter itu sibuk. Tsk! Alasan saja si es itu.

Evan : Alv. Are you boring now?

Alvin : Moring is makanan indonesia yang pedas dan gurih

Evan mengernyit jijik membaca balasan aneh Alvin

Evan : Boring. Bro, bukan Moring.

Alvin : Maaf, saya baru saja ke dokter mata dan kata dokter mata saya sehat sentosa mungkin karena tidak punya dosa

Evan keselek batu sesaat

Evan : Gayanya. Alv. Ada Puri di aparte.

Alvin : Woaaa. Si cantik ada di situ. Mau apa? Kamu apakan?

Evan mengernyit kesal

Evan : Untuk dijadikan alas tempat tidur

Alvin : Astagfirullohal adzim. Ingat Allah, Van. Jangan pernah kamu sentuh perempuan yang bukan muhrimmu

"Cih! Tentara sinting."

Evan : Alas tidur. Oi. Bukan teman tidur.

Alvin : Alas ditempatkan di bawah, perempuan biasa digerakan di bawah. Aku berpikir itu ketika melihat Raina.

Evan menganga sejenak sebelum mengatupkan kembali mulutnya saat sadar ada seekor lalat berterbangan di depan mukanya.

Evan : Selain mendadak tulalit, kamu juga jadi idiot ya?

Alvin : Terimakasih. Kamu juga

Evan : Dasar Tentara sinting!

Alvin : Dan Evan miring. Aku tidak tahu kenapa Devon memanggilmu Evan miring padahal jalanmu gagah mirip Ade Ray yang ototnya belum menyembul seperti sekarang.

Evan : Kamu gila.

Alvin : Kamu lebih gila karena mau berteman dengan orang gila

Evan : Terimakasih

Alvin : Sama-sama. Besok kita main barbie yuk? Keponakanku punya dua lho.

Evan bengong dan mendesis kesal

Evan : Aku lurus

Alvin : Kita 'kan dua orang gila yang lurus, Van. Memangnya kamu merasa tidak disunat waktu TK?

Evan : Maksudnya?

Alvin : Kamu 'kan bukan bakpao

Evan menatap langit-langit apartemen mencoba berpikir keras apa maksud bakpao Alvin.

"Bakpao? Apa maksudnya?" Kata Evan berpikir sebelum matanya menyipit. "Apa yang dimaksud.....Sialan!"

"Apanya yang sial, Van?" Suara Puri menyadarkan lamunannya dari fantasi gilanya, ini karena si bedebah Alvin tak tahu malu yang ngaku mantan tentara tapi ternyata mantan pecandu film dewasa.

"Tidak. Aku akan mengantarmu pulang, ayo." Evan bergegas keluar, dia teringat dengan mantra ajaib Elga yang bilang jika ada dua orang berbeda kelamin bukan muhrim satu ruangan yang ketiganya berarti setan, dan Evan tidak suka setan, jadi Evan memilih menendang Puri sampai ke rumahnya daripada membawa setan peliharaan Puri ke apartemennya.

Itu 'kan serem!!!

***

Erlangga menjambak rambutnya dengan membenturkan kepalanya ke sandaran sofa, bagaimana tidak? Putri semata wayangnya dia perintahkan agar memakai baju terbaiknya ternyata malah memakai pakaian loreng lengkap dengan shot gun andalannya, entah apa yang dipikirkan Arum sampai memutuskan memakai baju loreng dan menodongkan senjata api itu kepada calon besannya dengan berkata

"Dor, dor, dor. Bibi mati. Jsssshh." Teriak Arum dari arah tangga dengan rautnya yang bocah, sejak saat itulah Erlangga menyadari betapa miripnya Arum dengan almarhumah istrinya. Arum yang biasanya berwajah cuek dan datar ternyata adalah seorang yang polos tersembunyi, bahkan Indra saja sampai menganga, orang datar seperti Indra saja sampai lepas kontrol menyadari betapa Arum otaknya memang agak sedikit condong.

"Ayah kenapa?" Arum berjalan dengan setoples keripik kentang di dalam pelukannya, pakaiannya sudah bukan loreng lagi, tapi piyama kedodoran.

Erlangga melirik sebal pada putrinya. "Kamu? bagaimana bisa bertingkah menyebalkan begitu di depan calon mertuamu, Lili."

Arum mengernyit. "Siapa calon mertuaku? Barack Obama?"

Erlangga menggeram di tempatnya. "Punya dosa apa aku sampai punya anak sepertimu."

"Dosa ayah banyak, mungkin."

"Arum Liana Erlangga!"

"Absen, Pak. Sedang mengalami penyakit kekeringan kantong karena gajinya belum keluar-keluar." Kata Arum cuek dengan duduk di depan ayahnya, membuat Erlangga sampai mencak-mencak sendiri.

"Tahu begini aku menyekolahkanmu di wilayah kedisiplinan saja, bukan bisnis."

"Itu ayah tahu."

"Anak kurang ajar."

"Ayah memang kurang mengajari Lili, jadi Lili kurang ajar karena kurang di ajari." Katanya berbelit-belit.

Di ambang pintu Indra berusaha menahan tawa melihat jendral besarnya tampak kewalahan sendiri menanggapi putrinya.

"Aku tendang kakimu."

"Aku sepak bokongmu."

"Arum Liana Erlangga. Enyah kamu!"

Arum berlari terbirit-birit menuju kamarnya, tapi sejenak berhenti di ujung tangga. "Ayah. Kalau ada KFC datang dan antar seember ayam tolong bawa ke kamarku tapi bayar terlebih dahulu. Oke."

Erlangga semakin kesal hingga melemparkan kaos kaki entah milik siapa itu yang sama sekali tidak bisa menjangkau Arum karena perempuan itu sudah masuk ke dalam kamar.

"INDRA!"

Indra datang dengan wajah datarnya.

"Siap. Ndan!"

"Bawakan aku bekal bento, aku perlu menuntaskan emosiku."

Indra mengernyit ragu. "Berapa buah, Ndan?"

"Delapan."

"Siap. Ndan!"

Indra berjalan pelan menuju gerbang utama, memikirkan kemungkinan bento itu untuk di apakan, karena kalau untuk di makan itu tidak mungkin. Ah lebih baik belikan saja daripada dia kena batunya.

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

4.9M 180K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
399K 7.3K 18
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.4M 20.4K 39
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.4M 67.9K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...