Kumpulan Cerita Pendek Dewasa

By karenina18

5M 34.2K 986

Warning 21 +++ Short Story berisi kisah-kisah pendek dewasa....merupakan imajinasi liar dan nakal dari gw...k... More

The Accent
Possessive Husband
First
Come Fly With Me (I)
The Proposal
The Price of a Virginity (I)
Dear my reader
The Price of Virginity (II)
The Price of Virginity (III)
Sekedar Pengumuman
The Price of Virginity (IV)
The Price of Virginity (V)
I Want You, And You Want Me (I)

Come Fly With Me (II)

156K 1.8K 23
By karenina18

Dengan wajah serius, Rodney menyerahkan salah satu rompi anti peluru kepada Miranda.
"Ini kenakanlah, akan aku ceritakan nanti...dan ini pistolmu."

Miranda menerima rompi dan pistol itu, segera di kenakannya, seperti yang juga Rodney lakukan. Pistol mereka sarungkan di  kantong kulit yang terpasang di dada sebelah kiri masing-masing.

Miranda meminta pada Rodney agar dirinya yang membawa pesawat pagi ini, dan Rodney mengijinkan. Saat pesawat sudah mengudara di atas langit, Miranda menoleh pada Rodney yang tampak tegang. Ia menyentuh bahu pria itu untuk menenangkan. "Kau tampak tegang, Rod...lebih baik makanlah dulu..." tuturnya lembut. Miranda tak ingin memaksa Rodney untuk segera menceritakan apa yang terjadi sehingga mereka harus mengenakan rompi anti peluru dan membawa pistol. Sebagai seorang militer ia bisa memastikan bahwa keadaan di Distrik Sembilan saat ini benar-benar sangat genting.

Rodney sebenarnya malas makan. Tadi setelah mendengar penjelasan Kolonel Arthur di ruangannya, mendadak napsu makannya lenyap, namun melihat tatapan menenangkan dan suara lembut Miranda, dirinya merasa agak tenang dan ia menuruti apa kata Miranda. Sejenak mereka saling memandang penuh arti. Hanya mereka yang tahu apa arti tatapan mereka itu.

Sejak ciuman-ciuman panas pagi ini yang mengesankan dan melemahkan jiwanya, Miranda tak bisa mencegah kebahagiaan yang melambung dalam hatinya. Ia menoleh kembali ke arah Rodney yang telah menghabiskan makannya dan wajahnya kini tampak tenang.

Pria itu balas menatapnya dan tersenyum pada Miranda. "Terima kasih..." ucapnya lembut.

"Memangnya apa yang telah aku lakukan?" tanya Miranda heran. Kehangatan dalam suara Rodney mengirimkan gairah dan membuat hatinya berbunga-bunga, sekaligus bergetar.

"Banyak yang telah kau lakukan untukku....aku tidak yakin... seandainya kau tak ada disisiku, apa aku bisa setenang ini.." ucap Rodney tulus.

"Ada apa Rodney? Kau melankolis sekali pagi ini.." goda Miranda.

Ucapan Miranda membuat pria itu tersenyum. "Aku cabut kembali kata-kata bahwa aku tak suka ada perempuan di kokpit bersamaku. Nyatanya aku suka dengan adanya kau di sini..."

Ia lanjutkan lagi ucapnya, "kau tahu, tadi saat aku keluar dari ruang Kolonel Wayne, aku sangat marah sekali..." wajah Rodney mengeras.

Oh tidak! Jangan kau tampakkan wajah seperti itu lagi. Batin Miranda yang tak ingin rasa nyaman dan intimnya mereka saat terbang bersama kali ini kembali seperti awal-awal mereka bertemu.

Melihat ekspresi Miranda yang tampak muram, Rodney menyadarinya dan ia coba tersenyum kembali. "Oh, maaf Miranda...kau jangan salah duga.."
Rodney tidak ingin membuat perempuan di sebelahnya sedih, dan ia mencoba menjaga agar ia tidak menyakitinya. Rodney senang melihat kelegaan di wajah Miranda yang membuat kehangatan dalam matanya terpancar keluar.

Fajar mulai menyingsing, hari tampak cerah. Langit berwarna biru jernih dan tidak berawan. Miranda memasang kacamata hitamnya untuk melindungi  matanya dari sinar terik matahari yang terbit di sebelah timur.

"Sayang sekali mata indahmu kau tutupi dengan kacamata hitam itu..." kata Rodney sambil menulis laporan di clipboard di atas lututnya.

Miranda menoleh ke arah Rodney dan hanya tertawa kecil. Sekarang ia bisa leluasa menatap wajah pria di sebelahnya. Selalu tampan dan ia takkan pernah bosan untuk menatapnya terus menerus. Raut wajahnya  terasa kuat dan bulu-bulu halus di wajahnya mulai tumbuh kembali, setelah ia cukur beberapa hari lalu. Dan bibirnya... Miranda mendesah dalam hati. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah keinginan mencium bibir Rodney lagi. Dengan gelisah Miranda berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran seperti itu. Ia harus konsentrasi pada pesawatnya, ia tidak boleh melamun.

"Kau tidak apa-apa, Miranda?" tanya Rodney heran, melihat gerakan kegelisahan pada perempuan ini.

"Aku tidak apa-apa, Rod..." ucapnya malu. Aku hanya ingin menciummu. Batinnya resah.

Rodney mengangguk mengerti, ia telah selesai menulis laporan. Ia letakkan clipboard di bagian belakang kursinya.

"Kau pasti sedang menunggu penjelasan dariku, bukan? Soal aku di panggil Kolonel Wayne...?"

Miranda menganggukkan kepalanya.

"Baiklah,..." Rodney mulai menceritakannya.

Sebagai Pilot yang sudah beberapa kali mengunjungi Distrik Sembilan, dia dianggap dapat memahami kondisi daerah itu oleh Komandannya. Sebelum Badai Harvey melanda, daerah itu adalah sebuah kawasan kecil yang tenang. Nyaris tak ada masalah kriminal di sana. Semuanya berlangsung aman dan damai. Namun semenjak badai itu melanda yang memporak-porandakan semuanya, mendadak muncul peristiwa kriminal di sana. Pelakunya adalah orang-orang luar, bukan penduduk asli distrik itu.

Kejadian ini bermula dari kaburnya beberapa napi dari Lapas terdekat sebelah Utara perbatasan Distrik Sembilan, kira-kira berjarak sekitar lima kilometer. Lapas itu terkena dampak Badai Harvey. Ratusan Napi terjebak di sana. Beruntung aparat sigap mengevakuasi mereka, untuk di pindahkan sementara ke Lapas yang tidak terkena badai. Di luar perkiraan petugas, ada sekitar enam orang yang berhasil lolos dan coba memasuki Distrik Sembilan.

"Astaga, bagaimana dengan orang-orang di sana? Semoga mereka tidak apa-apa. Para penjahat itu adalah orang-orang yang sangat kejam..." tutur Miranda kuatir. Miranda mengetahui Lapas itu merupakan penjara khusus yang menampung penjahat-penjahat kelas kakap yang berbahaya.

"Kau benar mereka memang sangat kejam. Di perbatasan mereka telah menembak tiga orang, dua tewas di tempat, sedang satu orang dalam keadaan terluka cukup parah berhasil melarikan diri bersama istrinya yang sedang hamil tua."

"Ya Tuhan...kejam sekali mereka...maaf Rod, aku memotong pembicaraanmu..." suara Miranda terdengar sedih.

"Tidak apa-apa...." balas Rod lembut.
Ia melanjutkan, "mereka di temukan oleh warga dan sekarang kedua orang itu sementara di tampung di gedung olahraga bersama para pengungsi lainnya, dengan fasilitas seadanya. Rumah Sakit di sana kurang memadai, akibat badai,  bangunannya rusak parah. Walikota Wilman bertindak cepat ia langsung  menelepon markas meminta bantuan. Semalam pasukan elite kita Phoenix Raven yang berjumlah sepuluh orang telah tiba di sana. Nah tugas kita adalah mengevakuasi pasangan suami istri itu ke markas. Kau tak perlu kuatir, kita akan di lindungi oleh mereka. Mereka adalah pasukan yang sangat handal.  
Bahkan Delta Force dan Navy SEALs sangat segan pada mereka..."

"Syukurlah, aku lega mendengarnya...aku sungguh tak habis pikir, ada orang-orang yang sedemikian tega memanfaatkan bencana untuk kepentingan mereka.." tutur Miranda berempati.

"Itulah Miranda, yang membuatku marah tadi, aku benci sekali orang-orang seperti mereka..." geram Rodney.

"Tapi kita harus tetap waspada bukan? Walau kita telah di lindungi oleh pasukan elite itu..." ucap Miranda muram, ikut merasakan penderitaan orang-orang itu.

"Itu pasti, dan aku tak ingin kau terluka..." seru Rodney tiba-tiba. Melihat rona di pipi Miranda, ia memendam desakan kuat untuk mengulurkan tangan dan membelai kulitnya dengan lembut. Miranda seorang Pilot militer yang handal, tapi selalu memunculkan sisi kelembutan dan feminim dalam dirinya. Yang membuat sisi maskulinnya juga keluar untuk selalu ingin melindungi perempuan di sebelahnya ini.

"Tentu saja, sebagai Pilot kau punya kewajiban untuk selalu melindungi Kopilotmu, agar tak terjadi apa-apa dengannya," dalih Miranda untuk mengatasi rasa gemuruh di hatinya.

"Kau benar Miranda, tapi itu tak penting bagiku. Yang terpenting bagiku adalah menjagamu agar kau selamat..." ucap Rodney serius.

"Kau memang seorang Pilot yang berdedikasi, Rodney..." ucap Miranda jengah, mencoba tetap berkonsentrasi pada pesawatnya.

"Tidak, aku hanya seorang pria yang tak ingin gadisnya terluka..." balas Rodney dengan suara yang dalam.

Miranda tak bisa berkata-kata, ia hanya menoleh ke arah Rodney, yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan menggoda.

"Well, aku rasa harus berkonsentrasi dulu pada burung besi ini...sesaat lagi kita akan mendarat..." Miranda mencoba tidak terpengaruh ucapan-ucapan Rodney.

Rodney memandang  ke arah bawah, dan ia membenarkan apa kata Miranda, namun sepertinya ia masih ingin menggoda gadis itu.

"Sudah seharusnya kau berkonsentrasi penuh. Aku hanya tinggal mengawasi segala gerakanmu. Jadi Letnan, kau tak bisa lepas dari segala pantauanku...aku akan pastikan itu..." Suaranya kali ini lebih terdengar menggoda, nyaris sensual.

Aku lebih suka melihatmu bersikap dingin dan keras kepala ketimbang melihatmu bertingkah menggoda seperti ini, keluh Miranda dalam hati. Lalu Miranda bertekad sementara ini ia harus mengabaikan pilot penggoda di sebelahnya, sekarang ia harus fokus mendaratkan pesawatnya yang telah mendekati Distrik Sembilan. Miranda merendahkan pesawatnya untuk menyentuh lapangan olahraga dengan perlahan, dan nampak orang-orang di bawahnya begitu patuh tak beranjak dari tempatnya, menunggu pesawat benar-benar mendarat. Miranda sukses mendaratkan pesawatnya dengan sentuhannya yang lembut yang selalu membuat Rodney terkagum-kagum.  Seperti inilah Miranda yang telah menyentuh hatinya dengan penuh kelembutan.

Begitu mesin pesawat benar-benar mati, orang-orang seperti biasa baru mendekat ke burung besi ini. Miranda turun dari pesawat lebih dulu dan di sambut Walikota Wilman yang langsung mengajaknya ke tempat pasangan suami istri itu berbaring. Jaraknya sekitar dua ratus meter dari pendaratan pesawat. Saat di temui keduanya tampak lemah, terutama sang suami. Menurut Walikota Wilman, sang suami punya tekad kuat untuk bertahan, ia ingin melihat kelahiran anak pertama mereka, yang telah lama ia nanti-nantikan.

Saat Miranda akan meminta para pemuda di sekitarnya untuk membawa kedua pasangan suami istri itu ke pesawat, tiba-tiba ia mendengar ada bunyi tembakan beberapa kali di udara di dekat pesawat. Miranda beserta orang-orang di dekatnya terkejut dan ia mengkuatirkan keadaan Rodney.

"Ya Tuhan... penjahat-penjahat itu......" jerit ketakutan perempuan itu, yang merupakan istri dari korban penembakan.

"Tenanglah...Ma'am...tidak akan terjadi apa-apa..." bisik Miranda berusaha menenangkan. Ia meminta salah seorang perempuan dewasa yang berdiri di dekatnya untuk membantu menjaga perempuan hamil itu.

Miranda sebenarnya saat ini juga merasa ketakutan, tapi ia berusaha menunjukkan sikap tenang di hadapan orang-orang yang juga ketakutan seperti dirinya.

Sambil mengerjapkan mata, ia melepaskan kaca mata hitamnya. Ia menyipitkan matanya untuk melihat ke arah pesawat di kejauhan, ia mengawasinya sejenak. Ia melihat para pemuda yang tadinya akan mengeluarkan muatan dari pesawat, sekarang diam tak bergerak dan membeku.

"Sepertinya ada masalah di pesawat, Mr Wilman..aku akan kesana..." Miranda berusaha tersenyum pada pria tua ini.

"Ada yang bisa kami bantu, Letnan Freeman?" suara pria itu terdengar kuatir.

Miranda sekali lagi menyunggingkan seulas senyum dan memberi tatapan meyakinkan pada Walikota Wilman.
"Anda di sini saja, Sir... mereka sangat membutuhkan anda. Kita tak boleh gegabah, penjahat-penjahat itu sangat berbahaya dan aku yakin mereka tak mengetahui keberadaan diriku. Lagipula ada pasukan elite yang akan melindungi kita... Semalam sudah tiba di sini bukan, Mr Wilman?"

Pria itu menganggukkan kepala dan berucap dengan was-was, "tapi mereka tidak ada di sini, saya dapat info dari markas mereka mendarat di perbatasan..."

"Tidak apa-apa, mereka sedang menyusuri daerah ini dan pasti akan segera datang di sini saat mendengar suara tembakan tadi..." ucap Miranda berusaha tenang. "Aku juga berharap, agar kalian tetap waspada...biar aku yang akan memeriksanya.." kata Miranda ditujukan kepada para pemuda, lalu di kenakannya kembali kacamata hitamnya.

Degup jantungnya bertambah cepat. Ia tidak bisa memperkirakan berapa jumlah penjahat itu. Ia belum bisa melihat posisi Rodney. Ia berharap pasukan Phoenix Raven mendengar suara tembakan tadi. Saat ini yang jadi pikirannya adalah keselamatan orang-orang dan juga Rodney.

Sambil mempercepat langkahnya, secara otomatis ia memperhatikan posisi setiap orang. Insting militernya mengambil alih. Ia takut, tapi adrenalinnya bergejolak. Ia ingin secepatnya membekuk penjahat-penjahat itu.

Miranda semakin merangsek ke pesawat. Dan ia bersyukur, para pemuda yang saat ini diam membeku dan berdiri di sisi kiri badan pesawat, tubuhnya jangkung-jangkung melebihi tinggi  tubuhnya yang 175 cm. Sehingga kedatangannya tidak terlihat oleh para penjahat itu. Di tambah lagi ada sebuah truk berukuran besar berdiam di sisi para pemuda. Keberadaannya makin tertutupi. Ia mengambil pistol dari sarung kulit di dada kirinya, berusaha tetap waspada dan berhati-hati.

Jantungnya makin berdegup liar tak beraturan karena takut. Sambil mengacungkan pistol di dekat tubuhnya, Miranda  menjaga langkahnya ringan dan tanpa suara. Ia tidak ingin keberadaan dirinya di ketahui penjahat-penjahat itu yang entah berapa jumlahnya. Karena Rodney dan para pemuda itu sedang dalam bahaya. Dengan tetap waspada dan berhati-hati, Miranda berjalan menuju ke arah truk. Melangkah ke depan truk, ia bergerak ke roda kanan. Menajamkan telinga, ia mencoba mendengar hal lain selain degup jantungnya.

Sebuah suara, suara seorang pria, bukan suara Rodney, terdengar mengancam. Miranda menunduk, berjingkat-jingkat maju ke ujung truk untuk melihat siapa yang bicara. Ia berjongkok, mengokang pistol, dan sekarang posisi senjata itu dalam siap tembak.

Kemudian ia mendengar suara yang menimbulkan keringat dingin yang langsung diikuti debaran jantungnya yang berdetak keras.

"Sekarang, panggil Kopilotmu, Kapten Pilot! Atau peluru ini akan membuat lubang yang akan menembus otakmu. Paham!!!..."

Rodney merasa pelipisnya memar karena pukulan laras pistol Beretta 9 mm yang di hunjamkan ke kepalanya bertubi-tubi. Pria itu lebih pendek darinya, Rodney memperkirakan tingginya 180 cm, tapi tangannya seperti cakar elang, mencengkram bahu kirinya dan mengacungkan pistol ke kepalanya. Rodney menghadap ke pesawat, jantungnya kacau. Bruno, demikian pria itu menyebut dirinya adalah salah satu dari Napi yang kabur itu. Tak ada yang tahu, dari mana orang ini datang, ia muncul begitu saja dari balik kerumunan para pemuda yang akan memuat barang ke truk. Rodney yang saat itu baru turun dari badan pesawat langsung di sergap oleh Bruno, tanpa sempat melakukan perlawanan. Dengan cepat Bruno mengambil pistol dari depan dada Rodney, sebelum ia lempar ke tanah, pistol itu ia tembakan  berkali-kali di udara, untuk mengosongkan peluru dari laras pistol Rodney. Sebagai tanda ia tak main-main. Dan penjahat ini langsung mengancam ke semua orang untuk diam kalau tidak ia akan meledakkan kepala Rodney.  Para pemuda itu ketakutan, dan tak ada yang berani bergerak.

Rodney kesal sekali ia merasa tak berdaya. Ia terpaksa tak melakukan perlawanan. Ia sedang berpikir keras bagaimana cara menaklukkan penjahat ini. Ia tak boleh bertindak gegabah dan bodoh, keselamatan orang-orang di sini dan Miranda jadi prioritasnya. Mengingat Miranda, Rodney berharap perempuan itu tidak bertindak nekat. Rodney yakin bunyi tembakan di udara di dengar oleh pasukan Phoenix Raven. Yang saat ini sedang menyisir kawasan ini mencari para Napi yang kabur. Rodney coba mengulur waktu, menanti pasukan itu tiba di sini.

"Sudah kukatakan padamu, aku tidak tahu dia ada di mana..." jawab Rodney serak, suaranya rendah dan tegang.

Mata biru penjahat itu menatap Rodney berbahaya seperti serigala yang kelaparan. "Dasar pembohong brengsek..!" umpatnya kasar. Sekali lagi ia menghantamkan pistol itu di pelipis Rodney. "Panggil dia sekarang, brengsek, atau kau akan mati seperti dua orang itu kemarin yang kami bungkam di perbatasan.."

Amarah menjalari diri Rodney. "Kalian... membunuh mereka, kalian manusia biadab yang tahu diri...!"

Sambil tertawa kasar dan mengejek, Bruno berkata, "Yeah, brengsek..mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka pikir kami orang-orang baik, seperti idiot-idiot ini, sayang sekali satunya lagi berhasil kabur dengan membawa perempuan hamil. Nah sekarang, panggil Kopilotmu! Aku sudah tidak sabar! Jariku sudah gatal ingin menarik pelatuk ini...!"

Tangan Rodney pelan-pelan mengepal. Pikirannya berputar-putar, bagaimana ia bisa melucuti senjata bajingan ini. Ia tidak akan memanggil Miranda. Tidak! Bajingan ini tak bisa di percaya, ia sudah membunuh dua orang. Ia tak bisa memaafkan dirinya, jika Miranda yang menjadi target selanjutnya. Bagaimanapun, dengan cara apapun ia harus menaklukkan orang gila ini.

Rodney merasa mual dengan bau busuk mulut Bruno yang begitu dekat ke wajahnya, sementara cengkraman tangannya mengencang di kerah seragamnya. Ia melihat jari pria itu menyentuh pelatuk. Bruno membuka mulut dan menunjukkan giginya yang kuning. "Sialan kau brengsek, cepat panggil dia atau aku akan membunuhmu dan mencarinya sendiri..."

Para pemuda itu makin ngeri dan merasa ketakutan, tapi mereka tak punya nyali menolong Rodney.

Rodney tidak menyalahkan para pemuda itu, mereka masih sangat muda dan saat ini mereka juga sedang kesusahan. Ia mengambil napas sejenak dan coba menguatkan diri. Sampai kapanpun ia takkan pernah menyerahkan Miranda kepada bajingan gila bermata liar itu.

"Pergilah kau ke neraka, bangsat...!!!" umpat Rodney marah.

Penjahat itu melotot marah pada Rodney. Detik itu juga Rodney melihat jari pria itu menyentuh pelatuk lagi. Rodney sudah siap menempuh resiko demi orang-orang ini dan demi Miranda. Perempuan yang ia cintai. Ia mencintai Miranda. Cinta yang nyata dan tulus. Bahkan melebihi cintanya terhadap mantan istrinya. Rodney memejamkan mata dan menunggu. Ia menahan napas, inilah akhirnya. Ia akan mati, dan detik-detik terakhir ini ia menyadari. Ia belum mengungkapkan perasaannya kepada Miranda. Rodney membuka matanya, seulas seringai kejam menyambutnya.

"Kau berubah pikiran, brengsek!" ejek Bruno.

"Tidak..!" balas Rodney tenang. "Sebelum kau menembakku, aku ingin menyampaikan pesan kepada orang-orang di sini. Sampaikan pesanku pada Kopilotku, Miranda Jessica Freeman, katakan padanya..aku mencintainya..." Rodney tersenyum, ia sudah sangat siap. Ia pejamkan matanya kembali.

"Dasar pria bodoh..." gerutu Bruno, ia siap menarik pelatuk senjatanya.

Baru saja Rodney menghirup oksigen yang di yakini merupakan oksigen terakhirnya, ia mendengar suara ribut-ribut. Ia buka matanya sekali lagi dan matanya melebar tak percaya! Miranda berdiri di sana, tepat di tengah-tengah di antara para pemuda itu. Entah bagaimana ia berhasil menyelinap mendekat di sini tanpa suara. Rodney merutuki kenekatan Miranda. Walau ia paham, Miranda adalah seorang pemberani dan pejuang sejati. Tapi ia tak rela perempuan yang di cintai ini mati sia-sia.

Miranda berdiri dengan gagah berani, tatapan matanya yang menyipit adalah tatapan kemarahan. Bibirnya mengerucut. Tangannya teracung ke depan, menggenggam pistol FN 45, yang di acungkan kepada Bruno.

"Lepaskan bangsat, Pilot itu! Ini aku Kopilot yang kau cari!" teriak Miranda dengan berani.

Sumpah serapah keluar dari mulut Bruno, pria itu menyentakkan pistolnya dari pelipis Rodney dan dengan satu gerakan cepat, mengarahkan tepat kepada Miranda dan di tembakkan langsung ke arah Miranda. Rodney tersentak kaget.

Sementara peluru dari laras pistol Bruno  mengenai bagian atas tubuh Miranda, dekat tulang selangka sebelah kiri. Miranda memekik, belum sempat melakukan perlawanan, ia terlempar ke belakang karena kekuatan tembakan itu. Pistolnya terlempar ke tanah.

Rodney bereaksi cepat, berputar ke arah Bruno dengan tangan terkepal, ia layangkan dua pukulan keras ke dada residivis itu. Pada saat bersamaan, Bruno melepaskan dua tembakan lagi.

Tembakan kedua mengenai bagian perut Miranda, yang membuat gadis itu terpelanting jatuh. Tembakan ketiga melesat ke udara.

Rodney begitu marah melihat Miranda jatuh terkapar. Ia berteriak kepada orang-orang agar menolong Miranda. Ia kembali menyarangkan pukulan yang bertubi-tubi, ke dada dan perut Bruno. Rodney mencoba merebut senjata Bruno. Keduanya bergumul keras saling memukul dan memperebutkan senjata.

Saat orang-orang sedang mencoba melihat kondisi Miranda, tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol dari arah perkelahian Rodney dan Bruno. Orang-orang panik, mereka takut yang tertembak adalah Rodney. Namun mereka lega saat mendengar jeritan Bruno, dan pria itu roboh kebelakang dengan tembusan peluru yang menghujam tepat di tengah-tengah dahinya, pria itu tewas seketika.

Kemudian suasana dipenuhi teriakan dan kengerian yang merajalela. Setelah memastikan kematian Bruno, Rodney segera berlari ke arah Miranda.

"Tidak! Demi Tuhan! Kau jangan tinggalkan aku Miranda, aku mencintaimu..." teriak Rodney panik.

Walikota Wilman dan orang-orang mundur, mereka bingung, takut, sekaligus ikut prihatin dengan kondisi Miranda. Mereka juga iba melihat Mayor Rodney berlutut dan berteriak-teriak di samping Miranda, yang terlentang tidak sadarkan diri. Tampak mata Rodney berkaca-kaca, merasakan kepedihan. Para perempuan ikut terisak-isak, melihat kesedihan di wajah Mayor yang gagah dan tampan ini.

Rodney mengulurkan tangannya yang gemetar untuk menyentuh kepala Miranda. Mata Miranda terpejam dan masih terbaring tak sadarkan diri. Rodney mencondongkan tubuhnya, terus menerus bersuara memanggil nama Miranda.

"Miranda! Miranda! Kau bisa mendengarku? Bangunlah, sayang!" teriak Rodney menatap kaget saat melihat dua  lubang peluru menembus rompi anti peluru yang di kenakan gadis itu. Ia memegang bahu Miranda dengan lembut dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat.

"Kau bisa mendengarku? Demi Tuhan, katakan kau bisa mendengarku, Miranda!" Suara Rodney pecah karena panik dan sedih.

Ia memegang tubuh lemah Miranda. Dengan tangan gemetar, Rodney mencoba mencari luka sehingga ia bisa menghentikan pendarahan yang bisa terjadi pada tubuh Miranda.

Dengan air mata yang menggenang ia berusaha membuka rompi anti peluru yang di kenakan Miranda. Ia tak ingin mengeluarkan air matanya, namun ia tak tega melihat perempuan yang di cintainya tampak tak berdaya dan menderita. Ia tak ingin kehilangan Miranda, yang saat ini mendapat dua tembakan dari jarak dekat.

Ia coba menenangkan diri, dengan perlahan di lepaskan rompi itu dari tubuh Miranda. Rompi itu telah terlepas dari tubuh Miranda, dan di serahkan pada salah satu penuda. Dengan berdebar ia membuka kancing seragam militer perempuan itu. Tampak ada dua memar biru kehitaman dan membengkak menjadi bilur besar di dekat lengan kirinya dan di bawah pusarnya. Rodney menghembuskan napas dengan lega. Tidak ada peluru yang menembus tubuh perempuan itu. Peluru itu hanya mengoyakkan rompinya. Rompi itu telah menyelamatkan nyawa Miranda. Walikota Wilman dan para warga lain juga ikut merasa lega, sekarang wajah-wajah tegang terganti dengan raut muka senang.

Rodney menangis bahagia, perempuan yang di cintainya hanya terluka memar, tubuhnya tidak terkena peluru. Ingin rasanya ia memeluk gadis ini, tapi ia tak mau menyakiti tubuh Miranda yang memar.

Tiba-tiba Miranda mengerang pelan. Rodney mengancingkan kembali seragam pilot militer Miranda. Di angkatnya kepala Miranda ke atas pangkuannya. Seorang pemuda menyerahkan tiga  pistol kepada Rodney. Satu pistol, bekas milik Bruno ia serahkan pada Walikota Wilman. "Ini ambillah Mr Wilman kita harus waspada, lima temannya atau lebih masih berkeliaran di sekitar sini. Mudah-mudahan, pasukan elite itu bisa mengatasi mereka. Tapi tetap waspada!"

Miranda telah membuka matanya, bulu mata lebatnya mengerjap. Tatapannya kelihatan bingung dan kelopak matanya bengkak. Rodney tersenyum kepada Miranda dan menggenggam tangannya erat.

"Kau baik-baik saja, Miranda...kau baik-baik saja..." bisik Rodney. Sambil menunduk, Rodney membelai kepala Miranda yang dipenuhi debu dan batang rumput dengan tangannya yang gemetar.

Kesadarannya perlahan mulai pulih, karena mendengar suara Rodney yang berbisik. Ia menajamkan matanya, mendapati raut muka Rodney yang panik, kengerian terlihat di mata hijaunya. Miranda bertanya-tanya apakah ia masih hidup? Peristiwa tadi berkelebat di benaknya. Ketika Rodney menggenggam tangannya , ia bisa merasakan kehangatan menjalar ke tubuhnya. Jadi aku memang masih hidup, pikirnya lega.

Ingatannya tentang tatapan bengis dari Bruno membuatnya merasa ngeri. "R..Rodney...kau baik-baik saja?" suaranya bergetar.

Rodney tersenyum lembut. "Aku baik-baik saja, sayang...sangat baik. Kau yang aku cemaskan, Miranda..." ucapnya merendahkan tubuhnya dan di ciumnya kening Miranda perlahan. "Kau memang mendapat dua tembakan, tapi peluru tidak menembus tubuhmu. Rompi anti peluru menyelamatkanmu. Kau akan baik-baik saja, sayang...kau adalah perempuan pemberani, kau telah menyelamatkanku.." mata Rodney kembali berkaca-kaca.

"Kau menangis Rod..?" tanya Miranda sambil meringis merasakan rasa sakit pada tubuhnya.

Rodney tertawa pelan, tangannya terus membelai kepala Miranda. Ia menangkup dagu Miranda, tubuhnya ia condongkan supaya dekat dengan perempuan itu, agar ia bisa mendengar setiap ucapan Rodney dengan jelas.
"Tenangkan dirimu. Tetaplah berbaring, sayang...aku mencintaimu, Miranda. Sangat mencintaimu. Aku di sini bersamamu dan akan selalu melindungimu..."

Kata-kata Rodney membuainya, seolah-olah sebagai obat penyembuh rasa sakit baik jiwa maupun raganya. Saat ini ia merasakan sakit yang teramat sangat, akibat dua bombardir peluru di tubuhnya, yang untungnya hanya mengoyakkan rompinya, dan ia bersyukur ia masih hidup dan yang terpenting Rodney juga masih hidup. Yang saat ini ada di sisinya, ada di dekatnya. Yang menatap dirinya kuatir dan ada genangan air di mata hijaunya.

"Penjahat itu?" tanya Miranda serak.

"Telah tewas..."

"Oh... semoga teman-temannya tak datang untuk balas dendam, kasihan orang-orang di sini...mereka sedang kesusahan.." kata Miranda kuatir.

"Tenanglah, sayang...takkan terjadi apa-apa...aku rasa, pasukan itu telah membunuh teman-temannya, sekarang kau tak usah memikirkan apa-apa, pikirkan kondisi dirimu, oke...?" Ia menarik tubuh Miranda dan di peluknya dengan hati-hati. Miranda mendesah dan menyandarkan kepala di dada bidang pria itu. "Kau tadi begitu nekat, sayang...aku takut kehilanganmu..." bisik Rodney serak, di dekapnya erat Miranda. Miranda mengerang kesakitan, tapi hatinya bahagia, ia merasa aman bersama pria yang di cintainya. "Oh maafkan aku, Miranda..kau pasti merasa kesakitan..." Miranda mendongak tersenyum dan ia gelengkan kepalanya.

Saat Rodney akan mengajak Miranda berdiri, datang dua orang dari pasukan Phoenix Raven mendekat ke arah mereka. Setelah Rodney berdiri, keduanya lalu memberi sikap hormat pada Rodney. Salah seorang berkata, "Mayor Douglas, saya Letnan Kevin James, komandan pasukan...saya mohon maaf bila terlambat mengantisipasi situasi di sini, ternyata para penjahat itu lebih cepat dari kami..."

"Tidak apa-apa, Letnan James, anda bersama pasukan sudah bekerja maksimal...dan berkat keberanian Kopilotku, situasi terkendali di sini..." ucap Rodney simpatik sambil menatap sayang Miranda.

"Terimakasih Mayor, atas pengertiannya... tadi saat kami mendengar bunyi tembakan beberapa kali, kami sedang baku tembak dengan para penjahat itu...dua orang sudah kami tembak dan tewas di tempat. Sekarang kami sedang mencari yang lainnya. " ucap Letnan James serius.

Rodney mengangguk mengerti. "Saya rasa kawasan ini tak boleh kosong tak ada yang mengawasi...harus ada yang berjaga di sini, Letnan..."

"Anda benar...oleh karena itu kami berdua berada di sini... sekarang ada yang bisa kami bantu, Mayor?" kata Letnan James.

"Terima kasih, Letnan...tapi lebih baik anda berjaga-jaga di sekitar sini, biar pemuda-pemuda ini yang akan membantuku..." Kedua orang itu mengerti kemudian pergi bergerak untuk berjaga-jaga dan mengamati situasi. Karena situasi belum benar-benar aman.

Rodney berlutut lagi dan menatap Miranda serius, dan berbisik, "ayo, cobalah berdiri. Aku harus membawamu keluar dari sini, bersama pasangan suami istri itu. Kau bisa berdiri, Miranda..?"

Miranda mengangguk lemah. Sambil menggenggam tangan Rodney, ia memaksakan dirinya untuk bangkit berdiri. Rodney membantunya untuk berdiri. Ketika berdiri ia langsung mengerang kesakitan, dan di tambah ada rasa mual. "Aku rasa, akan muntah...' bisiknya.

Rodney mengangguk mengerti, "tidak apa-apa.." bisiknya serak. "Tidak apa-apa, sayang...Lakukan apa yang ingin kau lakukan.."

Lutut Miranda menekuk, ia menunduk dan ia langsung mengeluarkan seluruh isi perutnya. Rodney dengan penuh kasih memegang bahunya, dan memijit-mijit tengkuknya tanpa terpengaruh oleh muntahan Miranda. Miranda begitu terharu atas perhatian yang tulus dari pria yang dulunya, ia kira bebal ini. Tanpa sadar ia menangis dan langsung menubruk tubuh Rodney.

Rodney terkejut dan hatinya tersentuh. "Hei, sekarang kau yang menangis, dan malah mengotori bajuku. Tenanglah, sayang, semuanya telah berlalu..." bisiknya lembut sambil berusaha mengajaknya bercanda.

Miranda semakin mendekap erat tubuh Rodney, diiringi  isakan tangisannya. Rodney membelai punggung Miranda untuk menenangkan. "Aku telah salah kira, padamu, sayang...ternyata kau orang baik..." bisik Miranda masih terisak.

"Iya, sayang...tapi kita harus secepatnya keluar dari sini karena situasi belum aman.." bisik Rodney. Miranda segera melepaskan pelukannya dan dengan berpegang pada lengan Rodney ia mencoba berjalan dengan tertatih, Rodney dengan sabar menuntunnya. Sambil berjalan Rodney membersihkan mulut dan muka Miranda yang kotor, dengan saputangannya. 

Rodney menuntunnya ke kursi Kopilot dan memasangkan sabuk pengamannya. Sedangkan pasangan suami istri itu di tempatkan di kursi penumpang, setelah ia bersama para pemuda mengosongkan muatan untuk di pindah ke truk.

"Terimakasih, Mayor Douglas," ucap suami itu sambil meringis kesakitan memegang lengannya yang terluka yang di balut kain seadanya. Istrinya hanya tersenyum lemah.

Rodney tersenyum tulus, "itu karena anda hebat, Sir...anda bisa bertahan bukan, untuk satu jam lagi?" Pria itu mengangguk lemah dan tersenyum.

Setelah menutup pintu badan pesawat, ia masuk ke kokpit, duduk di kursi pilot, memasang sabuk pengaman, dan menyalakan mesin. Sebelum terbang ia melambai pada orang-orang, dan ia menepuk lembut bahu Miranda yang merosot.
"Kita akan pulang, sayang..bertahanlah, oke?" Miranda hanya mengangguk lemah pada Rodney.

Bunyi dengungan mesin yang menyala, serta pemandangan tangan Rodney yang kokoh bergerak lincah di panel kokpit untuk mengoperasikan burung besi ini anehnya membuat perasaannya tenang. Ia hidup. Rodney hidup. Mereka selamat. Saat ia kembali menatap Rodney, Miranda baru menyadari, akan ada luka bekas pukulan laras pistol di pelipisnya.

"Sayang, pelipsmu..." katanya berbisik.

Rodney meraba pelipisnya, dan menoleh pada Miranda tersenyum. "Tak apa-apa...Tak usah terlalu di pikirkan, sayang...tenangkan dirimu."

Miranda menurut, ia pejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya, di sandaran kursi. Jantungnya tiba-tiba berdegup bukan karena takut, tapi oleh perasaan bahagia. Rodney telah mengungkapkan perasaannya. Dan ia sendiri juga mencintai pria di sebelahnya dengan kedahsyatan yang tidak bisa ia paparkan.

****
"Bagaimana keadaanmu..?" bisik Rodney saat duduk di samping tempat tidur Miranda di bangsal rumah sakit. Saat ini Miranda tengah berbaring bersama tiga pasien lain, di rumah sakit skuadron.

"Sudah lebih baik...bagaimana keadaan pasangan suami istri itu..."

Rodney tersenyum geli, dalam keadaan seperti ini Miranda masih lebih memikirkan keadaan orang lain.
"Mereka sudah berada di tangan terbaik, dan proyektil peluru sudah di keluarkan dari lengan kanannya. Luar biasa kemauan hidup pria itu, sudah banyak darah keluar dari tubuhnya, tapi ia sanggup bertahan...dan istrinya sudah lebih tenang sekarang, tinggal menunggu kelahiran anak mereka..."

"Oh syukurlah..." kata Miranda lega.

Rodney mengulurkan tangan dan meraih salah satu tangan Miranda, dan di kecupnya lembut.

"Kau sudah boleh terbang?" tanya Miranda melihat seragam pilot yang di kenakan Rodney.

"Aku hanya istirahat sehari...dan aku terbang dengan Kopilot baru...Letnan RF Marshal...Markas mengirimnya kemarin.." seringai Rodney.

"Apakah dia cantik?" ucapnya was-was.

"Cantik? Kau cemburu, sayang?" goda Rodney terkekeh pelan. Miranda kesal ia mencubit pinggang Rodney gemas.

Untung Rodney bisa mengendalikan diri, ia hanya meringis. Ia menyadari mereka tidak sendirian, ada tiga pasien lain bersama keluarga mereka.

Saat Rodney berjalan ke arahnya, beberapa perempuan yang merupakan keluarga pasien-pasien di bangsal ini, menatap pria itu penuh minat yang membuatnya cemburu. Bukankah dalam situasi seperti sekarang, sosok Rodney adalah sesuatu yang menyegarkan. Kopilot baru yang mendampingi Rodney, juga  membuat Miranda penasaran, ia menduga orang itu perempuan.

Rodney tak ingin berlama-lama menggoda Miranda, dan ia senang perempuan itu mencemburuinya.  Miranda belum mengungkapkan perasaannya, rasa cemburunya membuat Rodney yakin Miranda juga mencintainya.

"Roger Fraud Marshal tidak cantik, dan menurutku juga tak lebih tampan dariku.." ungkap Rodney terkekeh.

"Huh...dasar suka pamer.." ucap Miranda sebal, namun senang setelah mengetahui jenis kelamin Kopilot itu. Ia dan Rodney tertawa perlahan bersama.

"Aku sebenarnya bosan di sini...tapi dokter melarangku terbang, aku harus istirahat sepuluh hari... benar-benar membosankan..." keluh Miranda.

"Kau sudah menjalani dua hari, sayang, bersabarlah..." hibur Rodney. "Aku baru berbicara dengan doktermu, katanya untuk pemulihanmu, kau butuh istirahat.."  Rodney meraih kembali tangan Miranda, dan meletakkan bibirnya berlama-lama di punggung tangan perempuan itu.

Miranda mendesah dan menatap Rodney haru. "Kau tahu saat itu, aku benar-benar merasa ketakutan, melihat penjahat itu mau meledakkan senjatanya di pelipismu. Aku belum pernah merasa setakut ini, Rod...jujur waktu itu jantungku berdegup kencang, aku tak ingin banyak korban...apalagi wajah ketakutan para pemuda itu. Lalu tiba-tiba saat kau mau korbankan dirimu untuk kami, dan saat kau katakan kau mencintaiku...aku benar-benar takut kehilangan dirimu..dan aku nekad menerobos untuk membebaskanmu..." Miranda tiba-tiba terisak.

"Dengar, sayang...kau melakukan pekerjaan luar biasa...kau telah menyelamatkanku dan juga orang-orang...kau bertindak cepat dan tepat. Oh iya, tiga orang lagi dari mereka telah tertangkap hidup-hidup, pasukan elite itu masih di tempatkan di sana mengantisipasi kejadian seperti ini tak terulang lagi. Ada informasi, Napi yang kabur lebih dari enam orang.. " Rodney coba menenangkan Miranda.

"Ya Tuhan..." ucap Miranda ngeri. Ia tak mau penderitaan orang-orang itu makin bertambah berat.

Rodney membelai pipi Miranda hanya ini yang bisa ia lakukan. Dokter sudah memperingatkan Rodney, emosi Miranda akan labil selama beberapa hari karena ia baru saja mengalami peristiwa yang membuatnya shock. Jadi dokter menyarankan dia agar setiap hari menemani perempuan itu agar kondisinya bisa pulih seperti sedia kala, terutama emosinya. Tentu saja Rodney dengan senang hati menerima saran itu. Ia mencintai Miranda.

"Kau perempuan pemberani, Miranda...aku bangga padamu...aku bersyukur pada Tuhan yang telah mengirimkan dirimu untukku..." bisik Rodney mencoba menguatkan Miranda.

"Benarkah? Tapi sepertinya tidak, melihat reaksi pertamamu saat melihatku berada di kokpit..." cibir Miranda.

Rodney terkekeh senang, sekarang air mata gadis itu perlahan mulai surut.

"Siapa bilang...kalau kau tahu yang sebenarnya... sebenarnya saat pertama kali melihatmu di meja penerima tamu itu, aku sudah tertarik padamu..."

Miranda menatap Rodney tak percaya. Dia juga ingat saat  pertama kali melihat Rodney, hatinya berdesir tapi ia menepis rasa itu. Mungkin karena saat itu penampilan Rodney  berbeda tak berseragam, jadi kelihatan menonjol, walau ia mengakui
sosoknya juga menggiurkan.

"Sekarang kau malah bengong, sayang..." goda Rodney.

Miranda mendengus, "maukah, kau bantu aku duduk, sayang?"

Rodney membantu Miranda duduk dengan meletakkan lengan di belakang bahu Miranda, ia mengatur posisi perempuan itu. Ia menumpuk bantal di bahu Miranda, mengaturnya agar ia merasa nyaman.

Saat itulah beberapa orang terlihat masuk ke bangsal. Wajah-wajah yang cemas. Beberapa keluarga pasien lain menatap mereka heran.
Miranda jelas merasa terkejut namun ia merasa bahagia, melihat wajah-wajah orang yang di sayanginya.

"Ayah...Ibu...Paman Philip...Bibi Lizzy...Adam...Noah...Sarah...Daniel..." ucap Miranda lirih, tapi nadanya gembira.

Satu persatu orang-orang itu memeluk Miranda dengan haru campur senang. Miranda menatap Rodney, ia ucapkan rasa terima kasih melalui sorot matanya. Kemudian mereka berkenalan dengan Rodney.

Rodney ikut merasa bahagia melihat kedatangan keluarga Miranda. Dua hari lalu setelah insiden itu, sebagai Pilot ia yang harus memberikan kabar pertama kalinya tentang kondisi Kopilot kepada keluarganya. Saat itu ia berbicara lewat telepon, dengan Ayah Miranda, Robert Freeman.

Robert Freeman memperhatikan gestur tubuh Rodney dan Miranda, ia meyakini ada hubungan istimewa antara dia dan putrinya. Lalu ia mendekati Rodney. "Mayor Rodney Douglas, sekali lagi saya ucapkan terima kasih, kau telah menjaga puteriku."

"Sudah kewajiban saya, Sir...lagipula justru Puteri anda yang sangat berjasa, karena keberaniannya...kami semua bisa terselamatkan..."

"Oh iya...?" Robert Freeman sangat tertarik ingin mengetahui lebih lanjut. Namun kembali ia ingat pesan dokter yang merawat Miranda. Sebelum menengok Miranda, mereka menemui dokter itu lebih dulu.

"Oh.. sayang,  begitu mendengar kabar dari Ayahmu, ibu sangat kuatir dan langsung memaksa harus kesini..tapi setelah melihat keadaan dirimu dan dengan adanya Pilot tampan di sisimu ini, ibu tak perlu lagi merasaa kuatir..." goda ibunya. Rodney hanya tersenyum simpul dan Miranda yakin, mukanya merah seperti udang rebus.

"Dan Bibi memaksa untuk ikut, oya Eva titip salam dia tak bisa ikut menengokmu.." timpal Mrs Larson. Lalu ia berbisik ke Miranda. "Ngomong-ngomong, Pilotmu sangat tampan, jangan katakan kalau tak ada apa-apa di antara kalian.."

"Ah...Bibi..." bisik Miranda tersipu-sipu.

"Apakah, kau kekasih kakakku?" celetuk Daniel, adik Miranda tiba-tiba. Miranda melotot ke arah adiknya. Semuanya tertawa.

"Well, bisa di bilang begitu..." kata Rodney tanpa keraguan dan tersenyum.
Miranda berbunga-bunga mendengarnya, ia semakin tersipu malu saat semua orang menggodanya.

"Apakah kau punya coklat?" celetuk Noah anak bungsu keluarga Larson tak mau kalah.

"Aku bisa memberikan padamu, tapi tidak sekarang..." balas Rodney tersenyum. Ia sangat menyukai keakraban dua keluarga ini.

"Noah, jangan bikin malu..." tegur Adam.

"Apa yang di katakan, kakakmu benar, Noah..." Ayahnya ikut menegur.

"Aku hanya ingin tahu, apakah kekasih kak Miranda ini orangnya pelit?" kilah Noah acuh.

"Tidak apa-apa, aku suka adikmu... dan juga kau..." Katanya pada Daniel sambil tertawa.

"Kak Adam itu sedang cemburu dengan kak Sarah, asal kau tahu saja Mayor Douglas..." kata Daniel pada Rodney.

"Kenapa bisa begitu? Oya kau panggil saja aku, Rod.." Rodney tertawa geli.

"Betul, makanya dia melampiaskan kekesalannya ke aku..." timpal Noah.

"Kalian seperti anak kembar, begitu kompak.." Rodney benar-benar menyukai dua bocah usil ini.

"Lebih baik kau jauhi, duo partner in crime ini...Mayor Douglas...mereka berdua sangat berbahaya.." gerutu Adam.

Rodney tertawa lebar. "Kenapa kau mencemburui Sarah, apa yang dia lakukan?" goda Rodney pada Adam.

"Dia begitu posesif, hanya karena aku ngobrol dengan salah seorang Pilot, dia begitu cemburu..." gerutu Sarah.

"Tatapan Pilot itu menjijikan, dan kau menikmatinya, Sarah..." protes Adam.

Rodney lalu mendamaikan mereka dan mengatakan adalah biasa sepasang kekasih saling cemburu. "Aku yakin Sarah tak bermaksud menanggapi, dia hanya bersikap sopan, Adam.." Rodney meyakinkan Adam. Dia berpaling menatap Sarah, "dia mencemburuimu karena dia mencintaimu, Sarah...Sekarang lebih baik kalian berbaikkan, bicarakan masalah kalian dengan tenang dan pikiran terbuka..."

Kata-kata Rodney membuat Adam dan Sarah melunak, mereka memutuskan berbaikan. Dan saling minta maaf.

Cara Rodney membuat Adam dan Sarah berbaikan membuat semua orang terkesan termasuk Ayah Miranda, dan ia berencana berbicara banyak dengan Rodney seusai menengok Miranda.

Begitu juga Miranda, ia tahu Rodney orang yang menyenangkan setiap melihatnya berinteraksi dengan para korban Badai Harvey. Namun melihat pria itu begitu dekat dan bisa berbincang akrab dengan keluarganya dan keluarga Larson, juga begitu sabar menghadapi sikap usil adik-adiknya, membuat Miranda terpesona. Banyak sisi menarik dari Rodney yang belum aku ketahui, batin Miranda takjub. Sekarang ia lihat sendiri Daniel, Noah, Adam, dan Sarah seperti menemukan seorang kakak laki-laki. Mereka tengah terlibat perbincangan seru. Rodney sesekali menatap Miranda, untuk menunjukkan bahwa ia tak mengabaikan dirinya. Miranda senang melihat kedekatan mereka, membuatnya merasa lebih baik dan ingin cepat-cepat pulih kembali seperti semula.

Kemudian keluarga Freeman dan keluarga Larson mengakhiri kunjungan mereka. Rodney mengantar mereka keluar. Sementara yang lain masuk ke pesawat, Mr Freeman mengatakan ingin berbicara dengan Rodney, dan Rodney membawa Mr Freeman ke tenda ruang makan diikuti oleh Mr Larson yang memaksa untuk ikut. "Aku sudah menganggap Miranda seperti puteriku sendiri.." begitu alasan Mr Larson.

Ketika di ruang makan Mr Freeman meminta Rodney menceritakan kejadian tertembaknya Miranda di Distrik Sembilan.

"Puteri anda hebat, Sir..." kata Rodney sebelum mengawali ceritanya. Selanjutnya Rodney menceritakan secara lengkap peristiwa itu.

"Puteri kita memang hebat, bukan?" suara Mr Larson terdengar sangat bangga.

"Juga pemberani..." balas Rodney.

"Tentu saja aku Ayahnya..." suara Mr Freeman tak kalah bangganya. Dan ketiga pria itu semuanya tertawa.

"Kau mencintai puteriku, Rodney...?" ucap Mr Freeman.

"Tentu, Sir... saya sangat mencintai Puteri anda..." katanya mantap tanpa keraguan.

Mr Freeman senang mendengar sikap gentleman pria ini.

"Aku takkan turut campur terhadap kalian, mau di bawa kemana hubungan ini...itu urusan kalian..." kata Mr Freeman.

"Saya sangat serius, Sir...tidak ada waktu buat main-main..." Rodney berkata dengan sungguh-sungguh.

"Bagus, asal kau tahu, nak...aku tidak bermaksud menghakimimu...walau aku seorang Hakim..."

"Saya bisa memahami semua yang anda katakan, Mr Freeman.." tutur Rodney percaya diri.

"Aku suka anak muda yang percaya diri, ngomong-ngomong, kau ada hubungan dengan Jenderal Henry Douglas?" ucap Mr Larson tiba-tiba.

"Dia Ayah saya, Mr Larson.." kata Rodney dengan raut muka muram. "Dia tak pernah menyetujui saya jadi Pilot Militer, dia ingin saya mengikuti jejaknya di angkatan darat seperti kakak saya.."

Mr Freeman dan Mr Larson tidak pernah menyangka Rodney adalah putera dari salah satu pejabat di Pentagon. Tidak mengherankan wajah Rodney begitu muram saat menceritakan sosok Ayahnya. Ternyata hubungan mereka tidak harmonis. Pantas saja Jenderal Douglas lebih sering membanggakan Putera pertamanya.

"Anda berdua mengenal Ayah saya?" tanya Rodney ingin tahu.

"Kami berdua sering bertemu di Gedung Putih, terutama saat Gala Dinner yang di selenggarakan oleh Presiden...jadi kau adik dari Letnan Kolonel Henry Douglas Jr?" kata Mr Larson.

"Benar, Sir...saya bangga pada kakak saya, dia yang mengkomandani pasukan elite Delta Force saat di Afghanistan..." ucap Rodney tanpa bermaksud pamer.

"Kau juga hebat, diam-diam aku membuka file soal dirimu sebelum kemari, entah kenapa waktu kita berbicara di telepon tempo hari, sebagai Ayah aku merasakan kau punya kedekatan khusus dengan puteriku..."

"Kau menyelidiki dia tapi kau tak mengetahui dia putera dari Jenderal Douglas," ucap Mr Larson terkekeh. Mr Freeman ikut tersenyum.

Akhirnya setelah terlibat pembicaraan ringan dan sangat berkesan, ketiga orang itu mengakhiri pembicaraan mereka dan Rodney mengantar Mr Freeman dan Mr Larson ke dalam pesawat carter kedua keluarga ini yang akan langsung membawa mereka terbang menuju Washington.

Mr Freeman mengatakan pada Mr Larson bahwa ia menyukai Rodney, Mr Larson juga sependapat.

"Aku tak menyangka dia anak dari Jenderal arogan itu.." kata Mr Larson.

"Anak itu mungkin mewarisi watak dari ibunya..." timpal Mr Freeman.

"Tapi aku tak pernah melihat istrinya, apakah mereka sudah bercerai?"

"Sudahlah Phill, kita tak perlu bergosip, bukan  urusan kita.." kata Mr Freeman.

"Kau benar Bob..." seringai Mr Larson.

Setelah mengantar kedua keluarga ini ke landasan pacu, Rodney kembali ke bangsal untuk memastikan keadaan Miranda. Di lihatnya Miranda sudah terlelap. Ini membuat Rodney bisa tenang masuk ke tenda tidurnya, untuk beristirahat.

Keesokan malam harinya, seusai Rodney bertugas, Rodney berjalan tergesa memasuki bangsal. Saat ia menuju ranjang Miranda yang terletak di ujung, tampak gadis itu sedang berkemas dengan di bantu oleh seorang perawat. "Hei, kau mau kemana Miranda? Bukankah kau harus beristirahat sepuluh hari?" tanya Rodney heran.

"Suster Green, kau boleh pergi...biar Rodney yang akan membantuku...terima kasih atas bantuannya.." Suster Green menggangguk tersenyum kepada keduanya sebelum berlalu.

"Aku tidak suka rumah sakit. Di samping itu aku tidak terluka parah. Biar tempat tidur ini untuk pasien yang benar-benar membutuhkan..juga bau antiseptik membuat perutku mual..."

"Oke, aku mengerti, sayang...lantas kau akan di tempatkan di mana? Tidak mungkin di tenda bukan?" tanya Rodney semakin heran.

"Jangan kuatir, sayang... mereka menempatkan aku di kamar khusus Perwira selama tujuh hari sisa aku cuti terbang..." Miranda tersenyum.

Mata hijau Rodney berkilat-kilat, mulutnya melengkung samar. Dalam benaknya terlintas suatu ide. "Apakah mereka mengijinkan kau berbagi kamar...aku tidak ada keluhan soal tidur di tenda dengan seorang Kopilot pria, hanya dengkurannya yang membuat masalah pada kualitas tidurku.." bisik Rodney dengan nada menggoda.

Miranda menatap Rodney sebal. "Kau nakal sekali, Douglas..."

"Kau belum tahu siapa aku, Freeman...Aku hanya ingin menghabiskan malam yang menyenangkan dan penuh kelembutan bersama perempuan yang membuatku jatuh cinta. Aku punya banyak hal yang ingin aku bagi bersamanya...lagipula aku sudah berjanji pada dua ayahnya bahwa aku serius dan tak main-main dengan Puteri cantiknya, nah bagaimana, sayang?"

"Ya ampun, apakah kau mendapat tekanan dari Ayah dan Paman Philip?" desis Miranda.

"Akan aku ceritakan, asal kau ijinkan aku bermalam bersamamu.." Rodney tersenyum nakal. Yang membuat Miranda merasa perutnya berputar bukan karena mual, melainkan sebuah desakan kuat untuk segera menerjang pria itu.

"Baiklah, Mayor..kau menang..tapi maukah kau membawakan barang-barangku?"

"Dengan senang hati, sayang..." Rodney merasa jantungnya akan melompat saking senangnya.

Selama enam malam Miranda dan Rodney berbagi tempat tidur. Karena luka-luka Miranda, mereka berdua sudah setuju untuk tidak bercinta lebih dulu. Miranda terlalu sakit dan memar untuk melakukan apapun. Namun pagi hari Miranda mencoba menawarkan bantuan apa saja yang membuatnya tidak bosan dan hanya berdiam diri di kamar, sementara Rodney terbang di pagi hari hingga malam hari. Bagian logistik mengijinkan Miranda untuk ikut membantu mereka.

Bagi Rodney malam-malam bersama Miranda adalah malam-malam paling indah dalam hidupnya, sekaligus menyiksa. Namun ia mencoba menjalaninya dengan penuh kegembiraan. Walaupun tidak bisa berbagi kepuasan seksual dengan Miranda, ia selalu menanti-nantikan waktu berharga bersama perempuan itu dalam pelukannya. Mereka bisa membicarakan kejadian-kejadian hari itu atau masalah pribadi mereka. Dari perceraian Rodney, perceraian orang tua Rodney, mantan kekasih Miranda, atau tentang hubungan pria itu yang tak harmonis dengan Ayahnya, yang tak pernah menyetujuinya masuk angkatan udara. Juga betapa irinya Rodney melihat Miranda mempunyai dua keluarga yang sangat menyayanginya. Yang terpenting keduanya saling mendengarkan saat yang lain berbicara.

Rodney tetap mensyukuri kebersamaan bersama Miranda. Ada perasaan bahagia saat mereka berbincang sampai tengah malam dengan tubuh saling memeluk. Rodney bisa menumpahkan perasaannya dengan memberikan ciuman-ciuman hangat dan menjelajah. Sentuhan-sentuhan itu Rodney lakukan sebagai bentuk ungkapan bahwa ia mencintai Miranda sepenuh hati. Malam-malam itu adalah anugerah bagi mereka untuk bisa saling mengenal dan saling memahami.

Malam ini adalah malam terakhir mereka tidur di kamar khusus Perwira ini. Besok pagi adalah saat Miranda menjadi Kopilotnya lagi. Ia tak sabar untuk terbang besok bersama kekasih sekaligus Kopilotnya.

"Besok malam, kita akan tidur kembali di dalam tenda, sayang..." Bisik Rodney kepada Miranda yang mendengkur perlahan di dadanya. Seperti biasa tubuhnya sudah mengeras karena kebutuhannya akan Miranda. Ia takkan memaksa sampai perempuan itu benar-benar merasa siap. Ia mau percintaan mereka adalah karena keinginan kedua belah pihak, bukan karena sepihak. Walau ia akui secara fisik malam-malam kebersamaan mereka adalah terasa bagai di neraka bumi baginya. "Aku akan sabar menunggu.." gumamnya kemudian tertidur. Keesokkan paginya seperti biasa sudah tujuh hari ini ia akan mandi air dingin untuk memadamkan sesuatu yang panas pada dirinya.

"Jadi, kita kemana hari ini?" tanya Miranda yang akan menerbangkan pesawat atas permintaan Rodney setelah ia istirahat selama sepuluh hari. Rodney sudah memahami tangannya sudah gatal ingin mengawaki pesawat.

"Well, kita akan ke kembali Distrik Sembilan untuk memastikan keadaan mereka di sana. Setelah peristiwa itu..." Rodney berdehem.

"Aku tidak apa-apa, Mayor Douglas...ingat aku seorang militer, dan aku memang mencintaimu, tapi jangan perlakukan aku seperti kristal, oke?" gerutu Miranda.

"Siap Letnan Freeman...! Sebenarnya tidak ada lagi kejadian yang membahayakan di sana, kau tenang saja seperti aku bilang, Phoenix Raven masih di tempatkan di sana...dan syukurlah kau telah benar-benar pulih..." ucap Rodney tersenyum. "Eh tadi kau bilang apa?" goda Rodney untuk memastikan. Ia merasa senang Miranda telah mengungkapkan perasaannya.

"Tidak ada lagi pernyataan ulangan, Douglas!" ucap  Miranda sebal.

"Baiklah, sayang...namun jangan salahkan aku, jika kali ini aku akan susah sekali menjaga tanganku di kokpit..." ucap Rodney sensual.

Miranda merinding sekaligus senang, dan ia membayangkan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan akan terbang bersama kekasih sekaligus Pilotnya yang pastinya akan menjadikan suasana kokpit berbeda.

"Oke Mayor, saatnya terbang..aku harap kau tak melakukan hal-hal yang membahayakan, Kopilotmu..biarlah Kopilotmu melakukan tugasnya..." kata Miranda tegas. Berusaha mengabaikan tatapan menggoda Pilotnya yang sialnya benar-benar membuatnya kelaparan, bukan oleh makanan.

Kemudian Rodney mulai serius, ia menghubungi menara pengawas untuk meminta ijin tinggal landas dengan suaranya yang dalam dan mantap. Suara Rodney nyaris mempengaruhinya, namun ia tetap berkonsentrasi penuh dengan berhasil membawa pesawatnya tinggal landas dengan sangat halus,  yang selalu membuat Rodney terkagum-kagum.

Ternyata mereka benar-benar profesional di udara. Rodney dan Miranda tahu mana batas-batas yang harus mereka tempatkan. Tugas mereka sebagai Pilot tetap menjadi prioritas. Ada kalanya mereka saling menggoda baik lewat tatapan maupun ucapan, hal-hal seperti itu tidak sampai mengganggu profesionalitas mereka sebagai Pilot.

Hingga sebulan mereka terbang bersama-sama. Sebulan terakhir mereka bertugas membuat mereka lebih sibuk dari pada saat awal mereka terbang. Setiap hari mereka harus pulang pergi memulangkan para pengungsi ke tempat asal karena badai telah  benar-benar reda dan  pasukan militer lainnya ke berbagai penjuru. Tugas-tugas seperti itu membuat mereka terlampau lelah untuk memikirkan diri mereka sendiri. Tak ada waktu bagi Rodney dan Miranda untuk berbagi keintiman dan kesenangan. Mereka juga merasa egois bila mereka memprioritaskan hal-hal yang sifatnya intim dan pribadi. Dalam tenda sempit yang mereka tempati bersama tindakan intim yang sering mereka lakukan sebatas tidur berpelukan dan berciuman.

Selesai dengan tugas kemanusiaannya, Miranda kembali ke California. Rodney di tempatkan di Pangkalan Udara Andersen Air Force Base, Guam. Mereka menjalani hubungan jarak jauh.

Tiga bulan kemudian.....

"Akhirnya... setelah sekian lama..." gumam Miranda naik ke ranjang Rodney yang besar sambil menarik selimut di samping Rodney.

Saat ini Miranda tengah berada di apartemen Rodney di Guam. Miranda baru tiba kemarin dari California setelah mendapat cuti selama tujuh hari. Masa cutinya ia habiskan untuk mengunjungi kekasihnya sekaligus melepas kerinduan.

Tubuh telanjang Miranda meringkuk dan menyentuh tubuh pria itu. Rodney menyelipkan lengan di bahu Miranda, lalu merangkulnya.

"Kesabaran kita akan berbalas manis, sayang..." bisik Rodney sensual sambil mendaratkan kecupan-kecupan ringan di rambut Miranda yang baru di keramas.

"Saat aku mendapat cuti tujuh hari, yang aku pikirkan adalah mendatangi kau, sayang..." kata Miranda tersengal karena mendapat serangan bibir Rodney yang bertubi-tubi di wajahnya. Tubuhnya menempel ketat pada tubuh Rodney yang keras dan panas.

Saat itu tengah malam, Rodney baru pulang dari patroli dengan pesawat tempurnya.  -Ketegangan AS dan Korea Utara memanas akibat negara tetangga Korea Selatan itu secara gegabah melakukan uji coba peluncuran peluru kendali nuklir jarak jauh yang berhasil menembus melewati Pulau Hokaido Jepang. Tindakan Korea Utara membuat Amerika gerah, hingga perlu menambahkan personel-personel tentara terbaiknya di Guam yang menjadi basis militer AS di laut Pasifik yang dekat dengan wilayah Asia Timur. Apalagi Guam juga mendapat ancaman akan menjadi target uji nuklir Korea Utara.-

Tertawa menggoda, Rodney membelai dengan ahli  punggung Miranda yang kuat dan ramping, Serta meremas dengan erotis bokongnya yang indah. Miranda mengerang senang. "Sentuhanmu itu yang membuatku merindukan dirimu, sayang...oh Rod, aku sudah tak tahan lagi..." gumam Miranda, bibirnya menciumi rahang Rodney yang baru dicukur. Mereka baru saja mandi bersama, yang  merupakan pengalaman luar biasa panas. Miranda sangat mencintai Rodney dan ia sudah sangat menanti-nantikan malam seperti ini. Di mana mereka bisa berbagi kesenangan, keintiman, dan kepuasan seksual tanpa perlu memikirkan hal-hal lain.

"Lidahmu tak hanya berbisa, ternyata juga nikmat..." Bisik Miranda nakal, merasakan kenikmatan lidah Rodney yang sedang sibuk membelai lehernya secara erotis.

"Memang kau tidak?" Rodney menghentikan aksinya dan balas berbisik dengan nada yang lebih sensual dan menggoda. Ia membaringkan tubuh Miranda hingga terlentang, dan ia berbaring miring. Tangannya dengan nakal membelai seluruh tubuh Miranda.

"Ya...ya..kita sama-sama nakal dan kelaparan...ahh.." desah Miranda saat jemari nakal Rodney sudah menyentuh area bawahnya yang lembab dan sensitif.

Tawa Rodney semakin menggoda, mata hijaunya berkilauan menatap tubuh Miranda yang seperti dirinya tak mengenakan apapun. Namun tampaknya Rodney tak ingin tergesa untuk menikmati Miranda, ia ingin lebih dulu menggodanya. Tangannya memilih berlama-lama menjelajahi tubuhnya.

Miranda merasa frustasi dengan perlakuan Pilot seksi ini. "Aku sudah kelaparan, sayang..." desah Miranda tak sabar, sementara jemari  Rodney malah sedang asyik memilin-milin puncak payudaranya yang mulai mengeras.

"Tak usah tergesa-gesa, sayang, kita masih punya waktu tujuh hari, bukan..?" gumam Rodney, menempelkan bibirnya di salah satu kelopak mata Miranda, turun ke pipinya, dan berakhir di bibirnya.

Miranda bersuka cita dalam hatinya saat bibir Rodney menghisap dengan kuat bibirnya. Bibir Rodney yang panas begitu betah dan berlama-lama melumat bibirnya penuh nikmat. Mereka saling melumat dan melepaskan gairah yang bergelora.

"Aku membutuhkanmu..." kata Rodney terengah mengatur jeda cumbuan panas mereka. "Dan aku mencintaimu, Miranda... dengan segenap hati dan jiwaku..."

"Ya..aku tahu, Rod.." desah Miranda, membelai dan menelusuri paha Rodney yang kuat. Kata-kata Rodney menembus seluruh relung hatinya. Napasnya tersentak saat jari Rodney menyusuri lekuk payudaranya, ia melengkungkan tubuh ke arah pria itu.

"Kau adalah pria chauvinist paling seksi.." bisik Miranda, menggerakkan tangannya secara intim, menjelajah menuruni perut Rodney yang kencang dan panas. "Yang membuatku selalu merasa kelaparan akan dirimu..." gumamnya di bibir Rodney. "Kau hadir secara tiba-tiba dalam hidupku, Rod...dan aku mencintaimu sampai sakit rasanya.." Miranda menyentuh, membelai secara erotis bukti gairah Rodney yang sudah sangat kokoh dan panas.

Rodney yang sudah berada di atas Miranda, tersenyum dan membelai pipi kekasihnya lembut. "Kau adalah perempuan pemberani dan pejuang sejati, sayang.." Ia tahu Miranda sudah sangat siap untuk menerima dirinya.

Tawa kecil keluar dari bibir Miranda. "Aku berani karena terpaksa, sayang, karena aku takut kehilanganmu...biasanya aku tidak seperti itu..."

Rodney menggelengkan kepalanya. "Itulah kenapa aku jatuh cinta padamu...aku seorang pria chauvinist , seperti kau bilang, bertekuk lutut dengan perempuan pemberani yang rendah hati tapi tak takut beradu argumen dengan perwira atasannya yang arogan..." nada suaranya terdengar geli. Lidah Rodney membelai bibir gadis itu yang saat ini terbuka, lembab, dan memohon padanya. "Kelembutanmu telah melunturkan kekerasan hatiku. Kalau kau tahu.. itu sudah jadi gen di keluargaku.. saat aku bertemu dengan kedua keluargamu, aku bertekad untuk bergabung...tentu saja karena rasa cintaku yang besar padamu..."

Ia menunduk dan menghisap dengan gemas secara bergantian kedua puncak payudara kekasihnya yang telah mengeras. Lalu lidahnya turun menyusuri perut menghisap pusar Miranda, terus turun membelai area bawah pusar, mengecupnya berlama-lama, membuat gadis itu terkesiap dan langsung menekan bagian bawah tubuhnya ke Rodney, menuntut perhatian lebih.
Lalu Rodney sampai pada pusat segala kenikmatan seksual. Lidahnya menelusuri celah yang
di antara kedua pangkal pahanya. Lidah Rodney merasakan
kehangatan dan kelembaban. Dengan perlahan, berulang-ulang lidahnya membelai erotis pusat kenikmatan gadisnya yang lembab itu, hingga terasa basah dan licin. Rupanya Miranda sudah begitu terangsang dengan belaian lidah kekasihnya yang nakal itu. Hingga membuat Rodney semakin menggila, lidahnya semakin mempercepat belaiannya bahkan ia julurkan dan ia tusukkan berkali-kali pada pusat kewanitaan Miranda, dan di hisapnya berulang-ulang secara erotis.
Di tambah lagi jemari Rodney juga menyentuh dan memberi tekanan kuat pada klitorisnya.

Membuat Gadis itu mendesis-desis penuh nikmat dan seperti akan meledak. "Rod...Rod...sshh  sshhh...aku sudah tak tahan... penuhi aku... penuhi aku...!" desis Miranda penuh gairah. Pinggangnya mulai
bergerak, Rodney bisa merasakan kontraksi otot pada selangkangan kekasihnya. Kemudian terdengar desahan kenikmatan, "ahh...Rod..."
Rodney puas melihat Miranda mengalami
pelepasan pertamanya. Rodney juga tak menyia-nyiakannya untuk menampung semua cairan perempuan yang di cintainya itu, ke dalam mulutnya, di telannya, hingga tak tersisa.
Setelah pelepasannya reda, Miranda mulai bersuara.
"Lidahmu memang luar biasa, sayang...tapi aku mau lebih, sekarang penuhi aku, dan ini perintah..!!!" rajuk Miranda tersengal.

"Iya, sayang, aku akan penuhi dirimu...sehingga kau akan terus memohon...memohon padaku..." ia tatap Miranda di hiasi  seringai nakal di wajahnya.

Ia bangkit berlutut sambil menyobek kertas tipis untuk mengeluarkan karet pelindung yang langsung ia pasangkan ke miliknya. Miranda terkesima melihat bukti gairah Rodney yang begitu kokoh bersiap memasukinya.
Ketika lutut Rodney bergerak di antara kakinya, Miranda dengan berdebar membuka diri menyambutnya, mengundang Rodney memasuki dirinya. Mata hijau Rodney menggelap, gairahnya sudah sangat meluap. Begitu juga dengan perempuan panas di bawahnya. Mulanya Rodney hanya  menggerakkan miliknya di sekitar area lembab miliknya, itu saja sudah membuat Miranda bergetar hebat, namun itu belum cukup baginya, ia menuntut perlakuan lebih. Miranda yang sudah merasa sangat lapar akan Rodney, semakin frustasi melihat kekasihnya terus-terusan menggoda dirinya. "Rod...apa yang kau lakukan..!! Cepat lakukan sekarang!!!" racaunya bergetar karena gairahnya benar-benar sudah membakar dirinya.

Rodney yang juga gairahnya sudah tak terbendung lagi memutuskan untuk menyudahi godaannya, ia arahkan miliknya dengan mantap, hingga miliknya benar-benar terbenam sepenuhnya di pusat kenikmatan Miranda yang benar-benar telah siap di masukinya. Ia diamkan sejenak sebelum akhirnya ia mulai bergerak. Awalnya perlahan namun akhirnya mereka mulai menyamakan irama dan mulai bergerak cepat.

Miranda menyambut Rodney sepenuhnya, ia desahkan nama Rodney berkali-kali. Kebahagiaan membanjirinya. Ia tak bisa mempercayai ini, lima bulan lalu ia tak menyangka pria yang saat ini sedang bergerak di atasnya akan jadi miliknya dan memberikan kenikmatan padanya.

Di sela-sela pergerakan erotis mereka, Rodney dengan gemas meremas-remas payudara kencang Miranda yang makin membuat gadis itu bergerak-gerak penuh sensual dan melenguh nikmat. Rodney semakin bergairah melihat kulit hitam kecoklatan gadisnya berkilat karena basah oleh peluh yang semakin menambah  kecantikannya yang eksotis. Rodney berani bersumpah selama  beberapa hari kedepan mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang, di antara melaksanakan pengabdiannya sebagai Pilot Militer.

Secara keseluruhan Miranda begitu nikmat, Rodney begitu bernapsu menciumi payudara dan bibir kekasihnya. Mereka bergerak semakin liar. Miranda merasa semakin dekat dengan pelepasannya,  kewanitaannya menjepit erat kejantanan Rodney, "ohh Rod... Aku sudah..tak tahan lagiiii.." desah Miranda.

"Sebentar ya, sayang... tahan sedikit lagi.. kita keluar bersama.." erang Rodney yang juga merasakan desakan yang sama kuat.
Tapi Rodney menginginkan menggapai pelepasan bersama-sama.

Beberapa saat kemudian.

"ohh...Rodddd..." jerit Miranda kencang.

"Argh.....Mirandaaaa......." lenguh Rodney penuh nikmat.

Mereka  mencapai
puncak pelepasan bersama-sama. Pinggul Miranda terangkat ke atas
dan pinggul Rodney menekan ke bawah dengan sepenuh tenaga, sehingga
kejantanannya terbenam seluruhnya di liang kenikmatan gadisnya. Sebuah gelombang pelepasan yang panjang mengawali puncak kenikmatan mereka. Mereka saling berteriak seiring
dengan gelombang pasang naik pelepasannya yang dahsyat.

Akhirnya Miranda roboh kehabisan tenaga dan jatuh di dalam pelukan kekasihnya. Nafas keduanya masih memburu dan keringat membasahi sekujur tubuh mereka. Sepasang kekasih ini saling berpelukan tanpa memisahkan diri.

Rodney membelai-belai punggung, memeluk Miranda erat, menciumi mata, pipi, dan bibirnya berulang-ulang. Ketika Rodney membelai rambutnya, Miranda mendesah, melepaskan ledakan-ledakan kecil gairah dan kenikmatan yang masih menggelora dalam dirinya.

Rodney merasakan lengan Miranda kuat, bergerak di sekeliling lehernya. Sapuan lembut bibir Miranda di pipi, bibir, dan lehernya membuat hatinya melambung tinggi. Keganasan cara Miranda mencintainya membuatnya tercengang dan terkaget-kaget, sekaligus merasa tersanjung.

"Kau begitu hebat dan juga nikmat...dan aku mencintaimu.." ucap Rodney serak, tangannya membelai pipi Miranda yang merona. "Mungkin bagimu ini terlalu cepat...aku tak tahu kapan persisnya perasaan ini muncul, mungkin sejak pertama melihatmu...atau saat aku terkaget-kaget melihatmu muncul secara tiba-tiba di pesawatku..eh pesawat kita..." katanya geli.

Miranda terkikik, sejurus kemudian dia mendongak dan menatap Rodney serius. "Aku juga mencintaimu, sayang...dan aku juga tak tahu sejak kapan perasaan ini muncul. Mungkin saat pertama kali kau membentakku?" goda Miranda, matanya menatap Rodney geli.

"Ya ampun...awal perkenalan kita memang tidak mulus, tapi aku bersyukur kau datang kepadaku. Aku menemukan perempuan yang aku cintai...yang aku kira  takkan pernah aku temukan. Dia juga telah menyelamatkan hidupku. Maafkan aku sayang...atas sikapku waktu itu..." ucap Rodney tulus.

Miranda melihat kesungguhan dari sikap Rodney yang tulus itu. Ia ulurkan tangan, ia mengelus alis Rodney yang lembab dan disingkirkan beberapa helai rambut hitamnya yang jatuh di dahi pria itu. "Sayang, aku senang kau mulai menyadari kesalahanmu. Aku sudah lama memaafkanmu...aku tahu di lubuk hatimu yang paling dalam kau adalah seorang pria yang baik.." Miranda tersenyum lembut.

Rodney tersenyum senang, tiba-tiba ia ingat sesuatu. "Untung saja malam itu kau berguling kearahku.." tuturnya tersenyum nakal.

"Oh...aku tak sengaja waktu itu..." Miranda merasa malu dan wajahnya ia benamkan pada dada Rodney.

Rodney terkekeh, "aku senang kau melakukannya. Tak perlu malu, malam itu sangat dingin, dan kau mencari kehangatan. Tentu saja kau datang padaku, siapa lagi?"

"Ya...ya..kau benar...lalu kenapa, kau tiba-tiba ingatkan hal itu? Kau tidak sedang membuatku malu bukan?" tuduh Miranda dengan wajah cemberut.

Rodney tersenyum lebar. "Tentu saja tidak...dan jangan cemberut begitu. Kau pasti tahu, aku adalah pria yang keras dan kaku. Lalu kau datang di kehidupanku, walau awalnya perkenalan kita berjalan buruk, namun semakin lama mengenalmu, aku semakin menyukaimu. Lalu kau memberiku peluang untuk mendekatimu dengan kejadian malam itu, walau kau tak sengaja melakukannya..."

"Oh, sayang, maafkan aku...aku terlalu berprasangka padamu. Sekarang sikapmu malah lebih buruk.." tutur Miranda malu.

"Jangan berkata seperti itu, sayang...kau adalah gadisku yang paling baik, gadisku paling cantik, dan..." bisik Rodney sensual.

"Dan apa...?" Miranda sangat penasaran.

Sambil memeluk Miranda erat, Rodney menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka melawan rasa dingin. "Kau bagitu hebat di ranjang...dan aku tak menyangka kau begitu liar dan primitif...aku pria yang paling beruntung.." tutur Rodney parau.

"Juga paling nakal..." balas Miranda cepat. Menghalau desiran halus di hatinya mendengar kata-kata kekasihnya barusan.

Rodney makin terkekeh senang. "Aku nakal hanya terhadapmu, sayang...aku rasa kita sama-sama nakal... sekarang lebih baik kita tidur, bukan aku tak ingin berbagi kenakalan denganmu lagi, namun besok pagi aku akan berpatroli bersama Pilot-pilot angkatan laut.. setelah itu aku akan tunjukkan kenanalanku yang lain padamu...selamat tidur Miranda, aku mencintaimu...dan aku berencana berada bersamamu, di sisimu, selamanya..." Rodney mengakhiri ucapannya dengan mengecup bibir dan kening Miranda sekilas.

Miranda bahagia mendengarnya. "Aku juga mencintaimu, pria chauvinist ku...dan akupun mau melewati segala hal bersamamu, sayang..." bisik Miranda. Kemudian keduanya terlelap dengan saling memeluk erat.

--------------------------------

Selesai

Continue Reading

You'll Also Like

85.1K 7.8K 39
No Deskripsi. Langsung baca aja Taekook Vkook Bxb 🔞🔞 *** Start : 15 Januari 2024 End : -
25.1K 659 11
[One Shoot] [Two Shoot] 1821+ area❗ Adegan berbahaya ‼️ tidak pantas untuk di tiru Cast : Taehyung (Top) Jungkook (bot) # 1 oneshoot (23/05/2024) #...
48 By kevvvvveee

Short Story

289K 28.4K 109
48 oneshoot (Lebih ke Ch²)
164K 619 3
Warning! 21+ Fantasi belaka Bocil minggir! Ga suka? Skip!