Monolog Kopi

By PrajnaVita

984 18 0

SINOPSIS "Kopi itu Candu yang Bikin Rindu" Permasalahan hidup perlu diimbangi dengan kontrol yang baik, jika... More

Prolog
Kalibrasi
Aroma 1: Aku Terlalu Jauh Darimu
Aroma 2: Bersama Kopi, Aku Baik-baik Saja
Aroma 3: Ibaratnya Kopi Dengan Kehidupan
Aroma 4 Seperti Labirin
Aroma 6 : PERASAAN
Aroma 7 : Terima Kasih, Ve
Aroma 8: Penolakan Coffee Tasting
Aroma 9 : Perlakukan Kopi secara Manusiawi
Aroma 10 : Monolog
Aroma 11 : Semoga Kopi Mempertemukan Kembali
Terima Kasih

Aroma 5 Aku!

36 1 0
By PrajnaVita

SUARA sirine keberangkatan kereta api progo jurusan Pasar Senen – Lempuyangan membuatku menggeser posisi duduk. Aku sudah menunggu selama lima belas menit. Deru suara mesin kereta terdengar dibarengi dengan pergerakan posisi tubuh yang aku rasakan. Sinar matahari senja tak lagi menembus kaca jendela. Sudah mulai petang dan inilah yang aku nantikan. Aku menyukai perjalanan malam karena mampu membuat imajinasiku meliar.

Vendra tidak pernah membantah jika aku memilih jam malam ketika kami akan pergi ke luar kota. Kami sama-sama menyukainya. Kami akan diam mengamati setiap perjalanan tanpa mengobrol panjang. Sama-sama terjaga dan sama-sama sibuk dengan imajinasi masing-masing.

Menunggu aroma-aroma yang lewat dibawa oleh angin. Menganalisis atau bahkan menebak-nebak aroma seperti apa. Hal itulah yang membuatku bisa menghafal setiap aroma yang aku terima. Membayangkan rasa apa yang akan muncul selanjutnya. Sungguh kesibukan yang menurutku sendiri sangatlah aneh.

Sial! aku tidak pandai bersyair ataupun menulis prosa singkat, apalagi untuk berpuisi. Beruntung sekali mereka yang pandai mengabadikan semua perasaan ke dalam tulisan indah. Meskipun meliuk-liuk tetapi aku akui itu sangat indah. Terkadang aku ingin seperti mereka, tetapi aku tidak sanggup merangkai kata-kata yang ada dalam otak dan imajinasiku. Apa penulis itu sudah mempunyai bakat menulis sejak lahir? Katanya, menulis bukan bakat tetapi kemampuan, jadi semua orang bisa melakukannya. Eh, bukan katanya, tapi aku pernah membaca di salah satu buku. Entah buku apa, aku lupa. Kalau menulis itu kemampuan berarti sama dengan pisau ya? Harus diasah terus menerus. Tapi membutuhkan waktu lama. Aku selalu tidak sabar menunggu waktu. Waktu itu sebuah proses! Aku tahu! Tapi kalau prosesnya masih itu-itu saja? Usaha agar berkembang! Niatan usaha itu yang kadang-kadang terasa malas.

Bagaimana aku bisa dikenang orang jika mengabadikan sesuatu saja aku sama sekali tak pernah bisa. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku ungkapkan, terkadang aku bingung dan marah kepada diri sendiri bagaimana cara menyampaikannya.

Terkadang aku ingin mengubah pengalaman perjalanan menjadi paragraf narasi. Setidaknya aku bisa menghasilkan satu baris kalimat indah. Hanya beberapa kata juga tak apalah. Namun, ketika pena dan kertas sudah berada di depanku, tetap saja untuk menulis satu kata pun aku tidak mampu.

Tanpa aku sadari kereta telah tiba di Stasiun Lempuyangan. Aku tidak terlelap sama sekali. Pemandangan lampu tengah malam seperti membawaku entah pergi ke mana. Perjalanan selama sembilan jam yang menyusuri malam tanah Jawa Tengah, serasa satu jam aku bersama kopi.

Jogja serasa dingin. Udaranya sedikit lebih segar dari Jakarta. Aku memilih menunggu pagi di stasiun. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke Desa Petung pada pukul tiga pagi dini hari seperti ini. Apalagi harus melewati Kabupaten Sleman hingga Cangkringan. Menyusuri jalanan Kaliurang yang sepi karena masih banyak perkebunan dan hutan. Merasakan dinginnya suhu lereng Merapi. Paling tidak, setelah azan subuh aku baru bisa keluar stasiun.

Setelah azan subuh berkumandang aku keluar stasiun dan memilih ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Tidak berubah, Jogja masih saja banyak lalu lalang traveler dari berbagai negara. Mereka pasti baru saja keluar bar untuk kembali ke penginapan dan akan mengelilingi objek wisata Jogja pada jam dua siang nanti.

"Loh. Muleh toh koe, Ndung? Sekolah duwur-duwur arep tetap dadi petani? Arep melu bapakmu to? Rak ono seng sugeh petani kopi ki," ujar budhe dengan bahasa jawa kentalnya yang maksudnya, Loh, pulang ya kamu, Nak? Sekolah tinggi-tinggi mau jadi petani? Mau sepertibapakmu? Petani itu tidak ada yang kaya.

Tanpa jawaban. Hanya senyum sapaan yang aku lontarkan. Aku memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka. Aku melihat ayah berjalan dari dapur. Aku segera menyodorkan tangan untuk menyalaminya. Sangat terasa kerutan di kulit tangan dan beberapa ototnya terlihat. Sudah berapa puluh tahun umurmu?

"Mau minum teh hangat?" katanya setelah salamanku terlepas.

"Tidak usah. Aku mau tidur dulu," kataku dan segera memasuki kamar.

Tidak bisa tertidur. Mataku terpejam tetapi tidak mampu terlelap. Matahari semakin memanas dan aku tidak sabar ingin melihat kebun kopi yang sekarang tidak lagi menjadi milik ayahku.

Menjadi seorang petani kopi memang jalan terakhir pilihannya agar tetap berada di dunia yang sama. Semua kebun habis dijualnya hanya untuk membiayaiku agar bisa menyelesaikan perkuliahan sebagai ahli pertanian. Maafkan aku karena aku belum bisa mengembalikan semua itu. Namun, kesejahteraan orang-orang sepertimu akan selalu menjadi tujuanku.

***

Rasanya berbeda ketika memasuki kebun yang tidak lagi milik keluargaku. Aku tak lagi bebas melakukan percobaan penanaman untuk menghasilkan kopi yang sempurna.

Dulu pengetahuanku mengenai penanaman masih sangat kurang tetapi aku bisa melakukan percobaan sendiri secara otodidak. Sekarang, pengetahuanku jauh lebih banyak, tetapi tidak lagi bisa melakukan penanaman sendiri.

Lalu sebenarnya untuk apa ini semua? Apa mungkin ini yang dikatakan sebagai pengorbanan? Harus ada satu hal yang dikorbankan? Menyakitkan memang.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan kemunculan Pak Ari, pemilik kebun kopi yang sekarang. Ia tersenyum melihatku. Dalam waktu satu setengah tahun ini aku memang belum menginjak kampung halaman, namun aku tetap berkelana ke kota-kota lain untuk menyelesaikan pekerjaan sekaligus mengunjungi kebun kopi di daerah-daerah itu.

"Sudah lama kau di rumah, Har?" Tanyanya kemudian.

"Datang tadi pagi, Pak," kataku, "Bagaimana perkebunannya Pak? Saya ingin mengambil kopi dari sini lagi, tapi ayah menyuruh saya datang langsung dan melihat keadaannya. Jadi, saya pulang sekaligus menengok keadaan ayah. Banyak pelanggan yang menanyakan singel origin Petung. Bulan ini kedai akan mengubah menu kopi dan saya rencananya akan mengambil kopi arabika petung lagi," kataku tanpa tedeng aling-aling.

Ia berjalan menyusuri pohon-pohon kopi lain, aku mengikutinya, "Dampak meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan hancurnya kebun sudah selesai. Namun, Har, satu tahun lalu tanah ini bermasalah. Akibat musim kemarau panjang. Meski ketinggiannya lebih dari 900 Mdpl, tetap saja masih kekurangan kadar air. Ditambah lagi serangan hama nematoda yang terus menerus. Pemetikan buah kopi hijau tentu saja hasilnya kurang memuaskan dibanding pemetikan buah merah, Har. Masa-masa paceklik ini membuat hasil kopi tidak pernah berkualitas baik lagi. Aku juga bingung bagaimana membuat kopi ini masih tetap sama seperti dulu. Aku dan ayahmu sudah melakukan beberapa kali percobaan. Memperbaiki bibitnya, mencoba penanaman klonil dengan setek dari pengambilan contoh dari beberapa varietes, mengganti jenis pupuk, hingga mengotak-atik proses roasting-nya, tapi tetap saja tidak pernah berhasil," ia berhenti sejenak, membalikkan badan untuk melihatku yang berdiri di belakangnya.

"Aku tidak bisa memberikan kepastian kopi ini dapat kembali dengan rasa yang sama. Itu sulit. Kualitas tanah di sini berubah, hama juga tidak kunjung bisa diatasi. Komoditas produksi kopi menjadi berkurang karena permintaan konsumen menurun," ia menatap kosong, "Meskipun penikmat kopi akan mengatakan kopi Petung di sini tetap enak, tetapi ketika disandingkan dengan singel origin dari tempat lainnya pasti akan jauh di bawah perbandingannya. Para peminum kopi mungkin tidak begitu bermasalah, tetapi tetap saja itu bukan tujuan kami, tujuan aku dan ayahmu," ia diam dan menatap tajam satu objek. Aku tahu ia sedikit pusing dengan kualitas kopi yang menurun drastis.

Bukan masalah profitnya menjadi menurun, tetapi tujuan mereka untuk menghasilkan singel origin terbaik tidak tercapai. Hal itu menjadi salah satu perkara untuk ayahku. Menjadi seorang petani kopi berbeda dengan pemiliknya. Seorang petani kopi harus benar-benar selektif untuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas. Hal itu agar para pemilik kedai tertarik membeli biji kopinya. Untungnya, ayah dan Pak Ari masuk dalam kelompok petani kopi binaan. Jadi, mereka tahu apa yang perlu dilakukan.

"Pak. Apa boleh saya mencoba ikut menelitinya? Semoga aku bisa membuat kopi ini kembali seperti semula."

Ia mengangguk sambil memancarkan senyum penuh harap.

***

Aku mencoba untuk meminum arabika Petung yang baru saja aku ambil dari Pak Ari. Ia masih menggunakan penyangraian manual, dimasak dengan alat seadanya. Meskipun demikian, kemampuan sangrainya itu sudah diakui betul hebatnya. Jadi, jarang ada masalah besar dari rasa kopinya. Kecuali, benar-benar bermasalah dari penanamannya, seperti sekarang ini. Ada rasa aneh yang di dalam kopi yang aku nikmati sekarang. Bagiku, maaf, ini tidak enak. Aku masih memikirkan kandungan zat apa yang memasuki buah-buah kopinya.

Ketika aku masih menikmati kopi di dapur dan mulai menyeruputnya, ponselku berbunyi. Seketika aku teringat pada Vendra. Aku langsung menelan kopi yang sudah menggenang di mulut, momen pencecapan itu lewat begitu saja setelah aku mengangkat telepon.

"Apa kau sudah menemukan kopi yang paling enak?" Suaranya lantang di ujung sana. Perasaanku tak pernah salah pada saat kapan ia akan menghubungiku. Pasti pada saat aku sedang menikmati kopi yang belum aku rasakan awalnya.

"Berbeda. Sepertinya tidak cocok menjadi menu pergantian bulan ini. Aku masih mencari tahu bagaimana mengatasi hama yang membuat arabika Petung ini tidak enak seperti dulu lagi. Aku akan mencoba dengan sistem penanaman baru. Entah itu melalui bibit ataupun klonil. Masih membutuhkan waktu lama untuk membuktikan kopi tersebut dapat kembali pada rasa awal atau justru lebih tinggi. Sabarlah dulu. Apa ada masalah di kedai? Pak Surya tidak memintaku untuk cepat-cepat menemukan kopi yang enak, kan?"

"Tidak ada. Dia masih mengurus kopi-kopi baru yang datang dan menganalisis jenis kopi yang ia temui. Hanya saja aku tidak bisa berdiskusi mengenai kopi-kopi baru itu. Ada beberapa kopi jenis baru. Aku membutuhkan diskusi denganmu untuk menentukan kopi mana yang tepat."

"Pasti kau bisa melakukannya tanpaku."

Obrolan kami berhenti ketika pintu rumah terdengar ketokan dari seseorang. Aku segera menutup obrolan dan melangkah menuju pintu, sebelumnya aku menyeruput kembali kopi yang temperaturnya sudah mulai menurun. Masih berkumur di mulutku, aku mencoba mendeteksi rasanya sambil berjalan mendekati pintu. Aku menelannya ketika pintu mulai aku buka.

Aku kehilangan deteksi rasa yang baru saja akan terekam dalam otak ketika melihat Grey yang datang. Penampilannya tetap sama, setelan kemeja lengan panjang yang selalu ia lipat dengan satu lipatan menjadi ciri khas gayanya. Sialan, kebiasaan itu hampir sama dengan Vendra yang selalu mengelin lengan ketika memakai kemeja lengan panjang. Apabila memakai kaos, pasti akan memilih lengan yang sedikit mendekati siku dan mengelinnya dua lipatan. Persis seperti kebiasaan Grey.

"Kau pulang tidak bilang-bilang," katanya kemudian.

"Kau datang tidak bilang-bilang," kataku. Ah, kenapa aku mengucapkan pernyataan yang sama persis. Kasus seperti ini kerap kali terjadi antara aku dengannya tanpa disadari.

"Kata Ve kau menjenguk ayahmu. Sepupuku meminta aku datang di hari pernikahannya besok lusa. Kebetulan aku ada waktu empat hari kosong. Aku iyakan untuk hadir di acara pernikahannya,"

"Kau biasa bertemu denganku di Jakarta. Kenapa kau ke sini? Jarak rumahmu ke sini jauh bukan?"

"Aku ingin melihat kau mengamati kopi-kopi di sini," katanya dengan menaikkan alis seperti biasanya.

"Bukannya kau juga bisa melihatku mengamati kopi di Jakarta?"

"Berbeda, Har. Di sini aku bisa melihat ke kebunnya langsung."

"Aku melakukan penanaman dari awal Grey. Semuanya berbeda. Sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin juga aku akan sedikit lebih lama di sini agar menemukan rasa yang tepat untuk aku bawa lagi ke Jakarta," kataku datar. Ia melihatku tak berkedip, mungkin memerhatikan perasaanku. Obrolan kami berlanjut di teras dengan dua cangkir kopi arabika Petung dari Pak Ari yang memang masih aku nikmati sebelum ia datang.

Aku menceritakan detail kecacatan rasa itu. Sepertinya ia mengerti apa yang aku bicarakan meskipun tidak begitu menanggapi dengan pemahaman yang tinggi. Aku memang merasakan adanya rasa yang berbeda. Catatan rasa pada saat cupping sebelum melalui roasting dengan sesudah di-roasting dan diseduh ada banyak perbedaannya. Menurutku, itu semua memang salah pada penanamannya. Faktor utamanya ialah hama nematoda yang sekarang masih belum bisa dihentikan.

Obrolan kami tak kunjung berhenti satu jam dua jam. Mungkin sudah tiga jam lebih dengan dua cangir bekas kopi hasil diskusi yang tergeletak di meja. Bukan sebatas kopi, tetapi ia juga menceritakan alasannya menyukai kopi.

"Tadinya aku selalu lemas setelah meminum kopi, tetapi perlahan hilang setelah menjadi rutinitas. Rutinitas itu juga menjadi teman tengah malam untuk menggali banyak inspirasi yang membuatku kesetanan sepanjang malam. Kalau bukan kopi siapa lagi yang bisa menemani untuk menggerakkan jarijariku membentuk beragam desain," ia berhenti sejenak, "Tapi, sekarang aku merasakan. Ternyata salah kalau aku berpersepsi kopi bisa menahan kantuk. Itu hanya sugesti saja. Aku sudah merasakan kebenarannya. Jujur, aku mencandunya bukan untuk menahan kantuk saja, tetapi aku mencandunya karena rindu, Har."

Aku terdiam sejenak. Mencerna setiap perkataannya. Aku mengangguk setelah itu. Satu kalimat sederhana mampu membenarkan segalanya.

***

Aku merindukan saat-saat seperti ini. Memilah-milah kopi dengan teliti. Menentukan bibit-bibit kopi yang pas untuk ditanam. Menghitung hari yang tepat untuk melakukan setek. Menentukan waktu panen berdasarkan perkiraan musim, dan beragam cara-cara lain untuk menciptakan hasil perkebunan berkualitas tinggi serta mempunyai nilai jual yang mahal.

Grey sudah datang satu jam lebih awal sebelum aku mulai tiba di kebun. Duduk di bawah pohon untuk menghindari terpaan sinar matahari. Jam delapan matahari sudah mulai menyengat, tidak heran untuk seorang gadis Jakarta pasti membutuhkan tempat agar matahari tidak menerpanya secara langsung. Namun, suhu dingin di sini tentu tak akan jadi masalah besar meski terik matahari tetap ada.

Tangannya berkutik tak henti mengerakkan pena pada buku yang berada di pangkuannya. Rambutnya sesekali bergerak helai demi helai karena angin pagi yang masih ringan. Ketika tangannya menghentikan gerak penanya, ia beberapa detik melihat ke depan, terpaku dan kembali lagi terfokus pada pergerakan pena hitamnya. Kali ini ia tampak sederhana, hanya mengenakan kaos oblong dengan perpaduan celana jeans hitam dan sepatu kets converse-nya yang semakin dekil.

Ia segera menutup buku itu ketika melihatku berada di depannya. Ia membiarkan penanya terselip di dalam buku kemudian berdiri. "Kenapa datang sepagi ini? Tidak ke rumah saja tadi,"

"Takut mengganggu momen ngopimu di pagi hari," katanya sembari tersenyum. Matanya ikut menyipit. Aku melihat banyak cerita di sana dan aku yakin ia selalu merekamnya.

"Tidaklah. Justru aku akan memberimu secangkir kopi yang tidak kalah spesial dari buatan Vendra," kataku membuat kami tertawa karena sama-sama teringat pada Vendra yang sepertinya masih dipusingkan dengan kopi-kopi untuk perubahan menu kedai.

"Aku ingin tahu dunia kopi lebih dalam, Har. Mengetahui apa yang membuat kopi sangat spesial. Mengetahui apa alasan minuman ini bisa menentukan karakter seseorang. Aku merasa kopi mempunyai kesempurnaan sendiri untuk hidupku. Kopi bukan hanya menemaniku saat otak harus bekerja lebih keras, tetapi juga bisa membawaku menyusuri masa lalu. Membuat kalimat yang manakjubkan dan banyak lagi aku mengagumi tentang kopi," kata Grey kemudian setelah tawa kami berhenti. Aku tersenyum mendengarkan apa yang ia ceritakan mengenai ketertarikannya terhadap kopi.

Ia tidak akan pernah salah datang ke sini dan melihat bagaimana keadaan kebun kopi yang sebenarnya. Kebun kopi desa Petung, Kaliurang ini bukan sekadar dijadikan desa wisata, tetapi inilah komoditas kekayaan dari tanah Indonesia. Bisa tahu rasa ajaibnya kopi dari daerah-daerah terpencil di Indonesia seperti ini. Tak heran jika para singel origin triper harus rela melakukan perjalanan yang lebih melelahkan untuk mendapatkan kopi yang mereka inginkan.

Menyusuri jalanan dengan trayek ekstrim kadang perlu dilaluinya. Namun, mereka dapat menemukan kepuasan tersendiri ketika sudah berhadapan dengan hamparan kebun kopi. Melakukan pendekatan dengan petani kopi salah satu cara mereka untuk bisa melihat proses demi prosesnya.

***

"Sebelum ibu meninggal ayah main belakang dengan Sawa, pacarku dulu, pacarku, Har. Kau tahu kan? Apa kau melihat hal-hal tidak beres waktu itu? Pasti tidak. Sangat rapih. Mereka melakukannya dengan sangat rapih. Perselingkuhan itu sudah berjalan selama satu tahun lebih. Aku dan ibu baru mengetahui tiga bulan sebelum ibu meninggal." ujar Mas Rio ketika aku pulang dari kebun. Saat itu jantungku seakan berhenti dan tak ada nafas yang keluar untuk beberapa detik.

"Maafkan ayah," suara ayah parau. Aku melihat wajahnya semakin menunduk.

"Mengapa kalian baru mengatakannya padaku sekarang?" Kataku. Tatapanku kosong dan aku mencoba untuk diam. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang. Aku ingin memeluk kembali orang yang sekarang sudah bersatu dengan tanah.

Aku kalut dan aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan. Pikiranku menembus ke mana-mana dan aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Aku langsung beranjak menuju kamar. Aku ingin sendiri dan aku tidak ingin berbicara pada orang-orang di sekitarku. Aku ingin menangis tetapi aku harus menangis karena apa? Kesal? Menyesal? Atau kecewa? Aku tidak bisa mengeluarkan air mata begitu saja. Aku tidak bisa melepaskan perasaanku begitu saja. Aku bingung apa yang perlu aku lakukan.

Obrolan fakta masa lalu yang kudengar mendadak itu membuat semua tujuan pulang ke kampung ini menjadi berantakan. Lembar hasil penelitian penanaman kopi tiga hariku tergeletak aku pandangi. Melihatnya begitu membuatku sangat marah. Aku ingin mengacak-acak, mencoret-coret, dan membakarnya tanpa aku sobek terlebih dahulu karena api akan membantu mengubah hingga menjadi abu. Bagaimana tidak. Aku di sini mendengar kabar yang sungguh tidak mengenakkan setelah penelitianku berjalan tiga hari.

Aku merindukanmu, Ibu. Aku ingin memelukmu, tetapi sebelumnya aku ingin memukul laki-laki yang sudah membuatmu menahan sakit hatimu. Perselingkuhannya dengan pacar kakakku sendiri. Mengapa dunia ini begitu sempit. Mengapa cobaan manusia begitu sederhana tetapi rumit.

Mengapa kau tidak pernah mengeluh sedikit pun mengenai perselingkuhan ayah. Padahal, ia sudah menyakitimu cukup lama dan kau tidak memutuskan untuk meninggalkannya. Mengapa aku tak pernah tahu? Dan aku baru tahu kali ini. Setelah kau sudah meninggalkanku selama satu tahun lalu.

Aku melihat kulit pria yang semakin tua itu duduk sendiri. Aku tak mau menyapanya. Kuangkat slempang ranselku sekali lagi, aku yakin akan kembali ke Jakarta tanpa mengatakan satu kata pun padanya.

Aku melihatnya sekali lagi. Terlihat kulitnya semakin mengerut dan tampak jelas urat-urat berwarna biru tua hampir melebihi kulit. Namun, semakin aku memerhatikannya semakin aku memiliki perasaan ia juga akan meninggalkanku.

Beberapa jam lalu ia berusaha mengajakku bicara dengan basa-basinya menanyakan mengapa aku bongkar semua barangbarang ibu. Tak pernah ada jawaban dariku. Kini, aku membawa kotak milik ibu yang berisi beberapa buku-buku catatannya dan serta beberapa barang-barang kecil. Aku merasa ia mengikutiku hingga aku hilang ditelan pintu. Ia tidak mencegah kepergianku.

Aku membencimu, Ayah. Saat ini aku masih membencimu. Rasanya aku ingin membunuhmu tetapi aku masih sadar bahwa kau masih ayahku. Rasanya aku ingin membentakmu ketika kau tidak bisa mengatakan apapun saat Mas Rio menjelaskan apa yang dulu sudah terjadi. Kau menyesal bukan? Sudah terlalu lama menyimpannya dariku.

Aku segera membeli tiket kereta ke Jakarta. Penjelasan itu sulit sekali hilang dari pikiranku. Mereka menyembunyikannya karena mereka tahu aku sangat menyayangi ibu. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi? Aku!

***


- Nematoda: Serangan hama pada bagian akar di tanaman kopi. Nematoda menyerang tanaman secara perlahan-lahan dan tanaman hanya bisa hidup dalam waktu 2 tahun.

- Varietes: Jenis biji kopi atau merujuk pada subspesies kopi. Varietes ada tiga macam, yaitu robusta, arabika, dan campuran. Dari tiga jenis tersebut nantinya terdiri dari varietes lainnya, tergantung karakteristik kopi yang dihasilkan dari suatu daerah.

Continue Reading

You'll Also Like

SARLA By Ini Al

General Fiction

864K 35K 91
[ Follow sebelum membaca!] [Happy reading ] (Lengkap) ⚠️CERITA HASIL PEMIKIRAN SENDIRI⚠️ ⚠️PLAGIAT HARAP MENJAUH!!, MASIH PUNYA OTAK KAN?! MIKIR LAH...
75K 276 36
Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21+
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

91.9K 14.6K 41
hanya fiksi! baca aja kalo mau
Gus Fahry By yaa_rhm

General Fiction

3.5M 267K 59
"Diantara semua nikmat yang ada, Una adalah nikmat termanis yang pernah Aa' terima," -ungkap Fahry tulus pada una *** "Una harus nikah sama Gus Fahry...