Seharusnya ✔

By kaamuffled

123K 9.7K 2K

"Seharusnya lo gak begini. Seharusnya-" "Seharusnya seharusnya seharusnya. Berhenti bilang seharusnya karena... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 28
Epilog
Davka's Side Story

Bab 27

3K 275 81
By kaamuffled

"Gue gak mau kehilangan lagi."

※※※※※

Tak biasanya, pagi ini terlihat kelabu. Gumpalan awan hitam terlihat memenuhi langit, tak memberi kesempatan kepada sang mentari untuk menunjukkan pesonanya. Beberapa orang terlihat sudah mengerumuni sebuah rumah yang telah dipasangi bendera berwarna kuning di beberapa bagian.

Di sinilah saat dimana kita dapat melihat sahabat sejati atau teman yang hanya berusaha terlihat 'bersimpati'. Seorang ibu paruh baya tengah berteriak dan menangis histeris di depan seorang anak lelaki yang tengah terbujur kaku di depannya. Terlihat di sebelahnya terdapat anak lelakinya yang lain tengah berusaha menenangkan sang ibu tanpa menghiraukan air matanya yang juga luruh membasahi kedua pipinya.

Mereka masih tak menyangka bahwa akan kehilangan sosok anak yang manis itu. Tangan yang biasa melakukan hal-hal luar biasa itu, kini terikat dibalik selembar kain kafan putih. Senyum yang selalu menebar kebahagiaan itu kini sudah hilang bersamaan dengan lepasnya jiwa dari raganya.

"Katanya, dia bunuh diri," ujar seorang anak lelaki kepada seseorang yang tengah berjalan bersamanya.

"Hah? Kenapa?"

"Ga tau. Lagi banyak masalah kali," ujar anak cowok yang kini tengah menunduk sembari mengikat tali sepatunya yang tiba-tiba terlepas.

"DAVKAA!" pekik seseorang dengan pakaian hitam-hitam dan kedua mata yang nampak sembab. Cewek itu yag tengah berdiri di depan rumah duka tersebut membuat banyak pelayat menjadi terkejut.

"Kai, lo bisa tenang gak sih?! Malu maluin aja!" bisik seorang cowok yang berlari menghampiri Kailasha setelah selesai mengikat tali sepatunya.

"Tapi gue sedih. Gue belom sempet minta maaf sama dia."

"Justru kalo lo nangis gini terus, dia ga tenang disana," ucap cowok itu menenangkan Kailasha.

"Tapi... Davkaaaa..."

"Sini-sini..cup cup cup. Kai manis ga boleh nangis yah," ucap cowok itu yang segera mendapatkan tepukan keras di punggungnya.

"Ih, apaan sih Go?!" seru cowok itu yang kesal akibat pukulan itu.

"Davka! Udah sana masuk ke dalem!" ujar Diego yang kesal melihat tingkah anak itu.

"Iyeh," sahut Davka yang segera beranjak menuju bagian dalam rumah untuk menemui pihak keluarga dari almarhum.

Hari ini Davka dan yang lain dikejutkan oleh meninggalkan Luis. Teman sekelas dari Diego. Davka mengenalnya juga karena Luis merupakan panitia pensi di bagian Humas. Luis juga tergabung pada club ekstrakurikuler yang sama dengan Davka dan Diego sejak mereka duduk di kelas X. Jadi wajar saja, kepergian yang begitu mendadak dari cowok itu cukup melukai hati Davka.

Terutama bagi Kailasha. Beberapa waktu lalu Luis menyatakan perasaannya kepada Kailasha. Saat itu, Kailasha menolaknya bahkan saat Luis memohon padanya. Meskipun Luis tidak marah padanya, dan Kailasha pun menolaknya dengan cara yang halus, tetap saja ia merasa bersalah padanya. Biar bagaimanapun juga ia telah melukai hati Luis.

*****

Davka melangkah masuk ke dalam rumahnya dan duduk di atas sofa. Tangannya dengan cekatan bergerak mengambil remote yang diletakkan di atas meja dan menyalakan televisi di hadapannya. Kedua matanya memang memandang ke arah layar. Tapi pikirannya tidak di sana.

Sudah sekitar 3 hari ia tak melihat Afreen di sekolahnya. Bahkan rumahnya pun terlihat seperti tak berpenghuni. Mungkin dari luar ia terlihat tak peduli. Tapi hatinya benar-benar merasa khawatir. Apakah orang tuanya kembali bertengkar hebat? Apakah ayahnya memukulnya?

"Argh!" erang Davka sembari mengacak rambutnya kesal. Tanpa berpikir panjang lagi, ia mematikan televisinya lagi dan berjalan keluar dari rumahnya.

Tak disangka, ia harus bertemu dengan Raehan yang berada di halaman rumahnya dan hendak berjalan masuk ke dalam rumah. Davka yang kini sudah tak peduli dengan kakaknya, berjalan melewati kakaknya. Namun dengan cekatan, tangan Raehan mencengkram lengannya dan seketika pergerakan Davka terhenti.

"Dav, tunggu!"

"Apa?" ujar Davka pelan.

"Lo mau kemana? Tongkat lo kemana? Kaki lo udah sembuh?" ujar Raehan yang seketika membuat Davka semakin merasa jengah sendiri. Tak ada waktu untuk meladeni kakaknya. Sekuat tenaga Davka menepis tangan kakaknya dan berjalan menuju motor matic yang terparkir di depan rumah.

"Pergi. Nyelesaiin masalah lo. Tongkat udah gue kasih orang yang butuh. Lo tenang aja. Gue udah sembuh," ujar Davka tanpa sekalipun melirik kakaknya dan lebih memilih untuk terfokus pada motornya.

"Dav, gue min—"

"Lo ga salah ke gue. Ga usah minta maaf terus ke gue," ucap Davka yang kini sudah hendak melajukan motornya namun kembali harus terhenti kala suara Raehan kembali masuk ke dalam gendang telinganya.

"Gue udah putusin Afreen tiga hari yang lalu."

Davka berhenti dan menoleh ke arah kakaknya. "Bagus. Sekarang, jauhi dia."

Dan Davka pun pergi.

*****

Sudah berkali-kali Davka mengelilingi daerah sekitar rumahnya. Namun tak ia temukan keberadaan Afreen. Tadi ia coba menghubunginya namun nomornya tidak aktif. Perasaan tak enak semakin memenuhi benaknya.

Karena pergelangan kakinya masih terasa sedikit ngilu, ia memutuskan untuk beristirahan dulu di sebuah danau dekat taman rumahnya. Danau ini terlihat sepi. Davka terduduk di pinggirnya dan memandangi keadaan danau yang tenang itu.

Ia menghela napasnya. Akhir-akhir ini ia merasa sangat lelah. Masalah seakan datang bertubi-tubi. Menghantam dirinya dari berbagai sisi.

"Lo ngapain di sini?" sebuah suara masuk ke dalam telinganya membuat Davka menoleh ke arah Afreen yang ternyata sedang berdiri di dekatnya.

"Lo daritadi di sini?" tanya Davka.

"Gue nanya duluan," sahut Afreen yang kini duduk di sebelah Davka.

"Gue lagi duduk aja," ujar Davka yang kini mengalihkan perhatiannya ke arah yang sama dengan Afreen, ke arah bebek yang tengah bermain di atas danau.

"Gue udah putus sama abang lo. Sorry."

"It's okay. Itu bukan salah lo. Itu salah abang gue. Sorry."

Dan suasana kembali hening. Hingga akhirnya Afreen kembali bersuara sehingga membuat Davka kembali menoleh ke arahnya.

"Emang awalnya juga udah salah. Gak kaget sih gue kalo akhirnya bakalan begini," sahut Afreen yang kini juga menoleh dan menatap ke arah Davka. "Emang dari awal hati gue ga mengarah ke dia. Sorry, Dav."

"Bukan salah lo, kok."

Afreen mengangguk pelan. Kemudian ia kembali memandangi danau yang masih tenang. "Orang tua gue akhirnya cerai, Dav."

Davka membelalakkan kedua matanya. Ternyata dugaannya benar selama ini. Bahwa Afreen tidak baik-baik saja. Davka tak berniat untuk berbicara. Ia masih diam dan menunggu kelanjutannya.

"Gue ngeliat suratnya tiga hari yang lalu. Gue stress, Dav. Bingung. Ga tau lagi harus gimana."

"Lo ikut siapa?" tanya Davka akhirnya.

"Ikut mama. Gue gak tahan, Dav sama sikap tempramen papa," ujar Afreen lirih.

Davka terdiam dan menunduk. Ini semua salahnya. Ia sudah tahu akan semua masalah cewek disebelahnya. Tapi dengan teganya dia membuat rencana bodoh itu. Sekarang pasti hatinya sedang terpuruk. Disaat ia butuh seseorang untuk berbagi, kakaknya memutuskannya. Bahkan dengan teganya Davka meninggalkannya. Ternyata, betapa jahat dirinya.

"Sorry, Af. Ini salah gue. Dari awal, semua ini salah gue."

"Maksud lo?"

"Gue sebenernya suka sama lo. Lo itu terlihat istimewa di mata gue. Semakin gue ingin diri lo. Semakin gue sadar kalo gue gak pantes buat lo. Gue comblangin lo sama Raehan. Gue yakin, lo pasti bahagia. Gue bahkan ga dengerin apa kata sahabat gue. Gue cuma mau yang terbaik buat lo. Sampe gue lupa kalo lo juga punya hati yang harus gue pikirin," Davka menatap lurus kedua mata Afreen.

"Saat itu gue pura-pura bertingkah seolah Kailasha itu cewek gue jadi lo gak akan ragu-ragu lagi buat nerima Raehan. Sampe gue lupa, kalo lo juga punya perasaan. Lo nerima karena sakit hati 'kan sama gue? Dan gue akhirnya menjauh dari lo disaat gue tau kalo lo lagi terpuruk disini. Maafin gue, Af. Maafin gue. Gue jahat banget 'kan sama lo? Lo pantes benci sama gue sekarang."

"Gue juga," ujar Afreen singkat. "Gue juga sebenernya suka sama lo. Dan gue yakin, lo pasti udah tau akan hal itu."

"Tapi please, lupain gue. Lo gak bisa deket sama gue."

"Kenapa?"

Tak menjawab pertanyaan dari Afreen, Davka berdiri dan membawa beberapa helai rambut yang selalu menutupi setengah daun telinganya itu sehingga memperlihatkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.

"Gue tuna rungu, Af! Gue gak bisa denger. Gue cacat. Dan gue gak pantes buat lo!"

Afreen benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. Davka? Benarkah?

"Lo pantes dapetin cowok yang bisa dengerin segala keluh kesal lo setiap saat. Tapi gue? Enfah sampai kapan alat ini nolong gue. Jadi berhenti buat harapin gue."

Afreen bangkin dan menggelengkan kepalanya keras. "Gak, Dav! Enggak!" Wajah Afreen kini nampak basah oleh air matanya sendiri.

"Lo istimewa. Lo sempurna dengan cara lo sendiri. Gue gak akan ngejauhin lo."

"Tapi—"

"Dav, please. Saat ini gue ga mau kehilangan lagi."

"Maafin gue," ucap Davka lirih.

[TBC]
⚫⚫⚫

Hayoo! Siapa yang pas awal bab ngira Davka mati hayoo? Ahahahha

Oke. Ini part terpanjang haha

Dan part teraneh. Sorry kalo feelnya kurang :")

I've tried my best^^

Dan karena gue udah ga bisa posting pas weekdays sampe awal bulan depan, jadi gue akan update cepet di waktu weekend. Hehe

See you^^

Continue Reading

You'll Also Like

112K 10.8K 42
Buku ini, adalah otak cadangan gue. Tanpa ini gue gak akan ingat apapun. Termasuk siapa diri gue sendiri. [End]
203K 13.9K 44
[COMPLETED] [BELUM DI REVISI] "Sesakit itu ya, Hen? Maaf gua gak bisa lakuin apa-apa saat lo kesakitan. Maafin gua, Hen." "Lo cari cewek sana, biar...
856K 6.3K 11
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
996K 31.2K 43
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...