TRS (3) - Mika on Fire

By wulanfadi

2.5M 190K 26K

Mika, cowok aneh, suka berbicara sendiri, bertingkah konyol dan berturut-turut menjadi badut kelas ternyata m... More

TRS [3] - Mika on Fire
M-J :: (1) Jam 12
M-J :: (2) Sarapan
M-J :: (3) Kenapa?
M-J :: (4) Jatuh
M-J :: (5) Bertukar
M-J :: (6) Dekat
M-J :: (7) Rasa
M-J :: (8) Tertangkap
M-J :: (9) Pesta
M-J :: (11) Berita
M-J :: (12) Ngobrol
M-J :: (13) Tau
M-J :: (14) Nyaris
M-J :: (15) Rencana
M-J :: (16) Sistem
M-J :: (17) Kejar
M-J :: (18) Kenapa?
M-J :: (19) Lagi
M-J :: (20) Makan
M-J :: (21) Pertunjukkan
M-J :: (22) After
M-J :: (23) Akhir
TRS (3) - Epilog
One-Shot

M-J :: (10) Pukulan

74.7K 6.7K 219
By wulanfadi

a.n

haii! sekarang ga semalem kemaren yeay

2.8k votes, aaaa ganyangka. makasih semuaa:D

btw gue sebenernya ga bermaksud ngegantungin eh tapi jatohnya gantung HAHA yasudahlah...

happy readinggg!

klimaks di chapter belasan kayaknya wkwwkw (muka licik)

================

M-J :: (10) Pukulan

================

Gue gak pernah nyangka.

Dasar sialan.

Dengan langkah berderap, gue menuju rumah Faren. Cowok brengsek itu pasti ada di rumahnya. Gak butuh waktu lama bagi gue untuk sampai ke sana. Berusaha tenang, gue menghembuskan napas berkali-kali.

Gue mengetuk pintu rumah Faren.

Kenapa Faren ngejebak gue dan Ana? Kenapa dia bohongin kami? Dia bilang, dia cuma mau ngambil buku di tempat persembunyian? Kenapa gue dan Ana malah dibawa ke tempat portal dan dipaksa turun? Kenapa dia bawa gue dan Ana ke dunia nyata lagi?

"Eh, Nak Mika," Ibu Faren membuka pintu utama rumahnya. Gue tersenyum simpul. "Farennya ada, Tan?"

"Oh, iya. Dia lagi di kamarnya. Kamu masuk aja ke dalem," jawab Ibu Faren ramah. Sebelum gue masuk lebih dalam ke rumahnya, seseorang menggamit lengan gue. "Tante, Farennya ada?" tanya suara itu dengan terengah.

Gue menengok ke sumber suara. Udah gue duga, Ana.

Ibu Faren tampak bingung, tapi dia menjawab juga. "Oh, ada. Dia lagi di atas. Kalian berdua masuk aja."

Kami berdua masuk ke dalam rumah. Ibu Faren mengantar kami sampai ke kamar Faren, lalu wanita setengah baya itu pergi ke dapur. Gue menatap Ana sekilas sebelum membuka pintu kamar Faren.

Pemandangan pertama yang gue lihat, Faren tengah terduduk di tepi kasur sambil memegang kepalanya.

Amarah gue mencapai ubun-ubun kala Faren mendongak, menatap kami, lalu membuang muka.

Gue berderap ke arah Faren dan memukul rahang bawahnya. Cowok itu gak menghentikan gue, Ana juga hanya terdiam. Gue memukul Faren sampai puas. Tapi seolah Faren tau hal ini, dia pasrah nerimanya.

Apa sih, ini cowok bikin enek.

"Kenapa lo malah ngejebak kita?" tanya gue dengan suara tinggi.

Faren mengelap darah yang keluar dari ujung bibirnya. "Kita gak seharusnya bantuin mereka."

"Lo yang pertama kali mau ikut bantuin mereka, Ren!" gue mencengkram kerah kemeja Faren sambil menatapnya dalam. "Kenapa lo malah bawa kita ke sini lagi?"

"Gue cuman mau kita aman," jawab Faren, lagi-lagi jawabannya gak bisa gue terima. Gue meninju Faren berkali-kali, sementara Ana menutup pintu dan duduk di kursi belajar. Cewek itu menatap gue yang menghabisi Faren.

"Udah, Mik," sela Ana begitu Faren tampak tepar. Kobam 'kan lo, sialan. "Udah, Mik. Udah!"

Tangan gue berhenti di udara, hanya berjarak sekian senti dari hidung Faren.

Faren tidur telentang membentuk bintang besar. Sementara gue di sebelahnya. Kami berdua melihat langit-langit sambil mengatur deru napas yang tidak teratur. Berbagai perasaan bercampur aduk di diri gue. Sedih, marah, kesal, gak terima, muak, capek. Mungkin ini puncaknya, di saat gue gak bisa nerima semua hal yang terjadi. Gue melampiaskannya pada Faren.

"Sorry," ucap gue pelan, tangan gue menutup wajah. "Gue kelepasan."

"Pukulan lo mantep banget, ya. Gak nyangka weirdo kayak lo bisa mukul semantep itu," kata Faren.

Sepersekian detik setelahnya, kami tertawa geli. Gue melirik Faren. "Waduh, itu muka apa muka? Ancur amat."

Faren tertawa. "Duh, bibir gue robek. Gara-gara lo, Nying."

"Tinggal dijait, ilah. Siapa suruh boongin kita. Ya gak, Na?" gue meminta pembelaan dari Ana.

Ana menatap gue sebentar sebelum mengangguk. "Lo gila sih, Ren. Harusnya kita ngambil buku itu. Trus balik lagi ke Eddenick. Lo malah bawa kita ke portal. Dan maksa kita buat ke dunia nyata lagi. Mana tadi algojo ngejer-ngejer kita."

Gue tersenyum mendengar omelan Ana.

"Buku itu ... gue cuman ngada-ngada. Buku itu gak ada. Gue ..." Faren mengusap wajahnya yang babak belur. "Gue ... kita ... kita gak bisa ngalahin mereka, Mik, Na."

Atmosfer berubah hening dan mencekam. Gue dan Ana menatap Faren dengan pandangan bertanya. Cowok itu menatap ke segala arah dengan liar, kecuali mata gue dan Ana. Gue terduduk, bersila di kasur Faren. Faren mengikuti gerakan gue.

Gue dan Faren bersitatap.

"Kita gak berhak ada di sana, Mik," ucap Faren pelan. "Kita bukan siapa-siapa."

Kita bukan siapa-siapa.

"Trus lo nyerah gitu aja?" gue menjambak rambut sendiri dengan gemas, lalu menatap Faren balik. "Padahal gue pikir lo player jenius yang nyasar di hidup gue ..." gue memelankan suara. "Di, di, di hidup Ana juga."

Dari ekor mata gue, Ana membuang muka.

"Maaf. Tapi gue--"

Terdengar riuh pintu dibanting.

Gue, Faren dan Ana otomatis menengok ke arah pintu. Tampak Juna, Alvaro, Seth dan Julian. Muka mereka kacau semua. Kemudian, Miles muncul dari balik bahu Juna.

Kami semua terdiam, hanya saling menatap. Ekspresi yang menjelaskan semuanya.

"Kalian ... kenapa pulang?" tanya Miles dengan pandangan yang ... gak bisa gue artikan. Gue berdiri dan mencoba menjelaskan pada Miles. Tapi, Faren menyela.

Ini cowok brengsek amat.

"Kita berhenti, Miles," jawab Faren tegas. "Lo yang harus nyelesain masalah lo sendiri. Bilang ke Jules dan Fortles."

Juna, Alvaro, Seth dan Julian tergagap. Ana hanya membuang muka. Faren berwajah datar. Sementara gue dan Miles terkejut.

Setelah keheningan yang lama, Miles memecahnya. "Oke. Kau benar, Ren." Setelahnya, Miles berbalik dan keluar dari kamar Faren.

Ini bukan akhir yang gue inginkan.

"Tapi, Miles," gue mengejar Miles. Cowok itu benar-benar berlari. Sangat cepat bahkan untuk ukuran manusia normal. Gue mengatur deru napas yang tidak teratur.

Gak, gue gak mau kayak gini. Harus ada yang bantuin Miles, harus--

"Udahlah, Mik," suara Ana terdengar di samping gue. Gue menoleh. Ana menggigit bibirnya yang bergetar. "Udahlah. Gak usah kayak gitu. Gak usah ngejar Miles. Gak usah--"

"Tapi, lo kenapa ngejar gue, Na?" tanya gue tepat sasaran.

Ana terdiam.

"Lo setuju sama Faren lagi? Setelah dia boongin kita? Setelah dia bilang kayak gitu ke Miles? Terus, kenapa lo malah ngejar gue?" gue membentak Ana yang hanya membeku.

"Kalo lo belom tau jawabannya," gue memberi jeda untuk mengatur napas. "Jangan temuin gue."

Mungkin ini akhirnya.

Gue.

Ana.

Dan Faren.

Berjauhan lagi. Tujuan kami kembali berbeda. Kisah kami di Eddenick mungkin hanya ...

salah satu kisah yang terlupakan.

===M i K a===

A N A

Kalo lo belum tau jawabannya, jangan temuin gue.

Mataku menatap kosong pada alat-alat musik di depanku. Biasanya, aku akan langsung memainkan mereka dan bersenandung hingga sore. Namun, hari ini beda. Aku tidak semangat berbuat apa-apa. Tidak tahu harus ngelakuin apa.

Setelah menjadi mentor di les musik, aku terdiam di Ruang Alat Musik. Berpikir.

Apa aku salah karena diam saja? Karena membiarkan Mika mengejar Miles sendiri? Karena tidak membela Mika yang masih ingin membantu kembaran kami?

Terlalu banyak pertanyaan bercokol di kepalaku.

"Kak Ana," panggil sebuah suara. Aku menengok, ternyata Mello. Adik Mika ini memang mengikuti les musik. Jadi, bukan aneh lagi jika melihatnya hilir-mudik di tempat ini.

Tapi, kenapa Mello mendatangiku sekarang?

"Mello nunggu Kak Mika jemput. Mello temenin Kak Ana aja, gimana?" tanya Mello, perempuan berumur 15 itu duduk di sampingku. Kami melihat pemandangan di luar jendela. Karena jendelanya begitu lebar, semua aktivitas di bawah tampak jelas.

"Kak Ana udah putus sama Kak Mika, ya?" Mello bertanya tiba-tiba.

Aku menatap Mello bingung. Setahuku, Mika tidak pernah memberitahu hubungan kami pada siapapun. Mika bahkan hanya memberitahu pada Juna dan yang lain, itu pun sewaktu kami putus.

"Kok kamu tau?" tanyaku balik.

"Ketauan jelas, kok," tukas Mello, dia menekuk kakinya, menjadikannya bantalan dagunya. "Dulu, Kak Mika seneng banget kalo mau jemput aku di sini. Sampe-sampe nanya ke aku dia wangi atau enggak, ganteng apa enggak, pokoknya rempong! Terus tiba-tiba, dia gak mau. Kemarin, pas Mello minta jemput, dia mau. Eh, taunya itu kembaran Kak Mika 'kan? Pantes dia mau."

"Kamu tau soal itu?" tanya Ana ragu.

Mello mengangguk. "Aku gak sengaja nemu buku di perpus milik Mama. Tentang Eddenick. Tentang portal yang ditaruh di kamar anak yang paling dipercaya. Melihat keanehan dari kemarin, aku yakin Kak Mika sama kembarannya tukeran posisi."

Mello jenius.

"Tunggu, anak yang paling dipercaya?" alisku tertaut samar.

Mello mengangguk lagi. "Ya. Kak Ana, Kak Mika dan Kak Faren dipercaya sama orangtua masing-masing. Sayang deh, kenapa Mello gak dipilih, ya?"

"Jadi ... Ayah percaya sama gue?" aku bergumam. Mello menengok. "Kenapa, Kak?"

"Oh, gak-gak. Gak apa-apa," sergahku cepat sambil tertawa garing. "Ngomong-ngomong, aku boleh minjem bukunya gak?"

Mello tersenyum. "Boleh, besok Mello bawa."

"Thanks, Mell," aku membalas senyum Mello, berusaha sebisa mungkin tidak tampak girang.

"Kak?" panggil Mello.

Aku menengok ke arahnya. "Ya?"

"Kakak masih suka Kak Mika?" tanya Mello polos dengan mata bulatnya. Yang bisa kulakukan hanya terkekeh kecil sambil mengusap puncak kepala Mello.

"Mello-Mello. Kita gak usah bahas itu, gimana?"

"Tapi, aku kepo."

Melihat rasa penasaran tercetak jelas di wajah Mello, aku terdiam. Dia seperti Mika, sama persis. Keingintahuannya besar tanpa tahu konsekuensinya.

"Mello, denger ya. Mau gimanapun perasaan aku dan Kak Mika, kita gak ditakdirin bareng," ucapku pelan-pelan seolah berbicara dengan anak kecil. "Karena Kak Ana dan Kak Mika beda."

"Bukannya beda ngebuat semuanya makin indah?" tanya Mello lagi.

Sebelum aku sempat menjawab, pintu Ruang Alat Musik terbuka. Seseorang di balik pintu menghapus senyumku. Mika. Cowok itu menatapku sesaat. Sedetik kemudian, dia membuang muka. Dia berdiri di situ dengan canggung. Aku mau mengatakan sesuatu, namun ada sesuatu yang menahan di tenggorokanku.

Seolah menyadari situasi, Mello langsung melompat dari duduknya dan mendekati Mika. Cewek itu menengok ke arahku sebentar. "Kak, dadah! Besok aku kasih, ya."

Aku mengangguk. "Iya."

Mereka berdua berjalan keluar. Menyisakanku sendirian di sini. Aku menghembuskan napas berat.

Bahkan, Mika gak mau repot-repot menyapaku.

===M i K a===

(note: inget! ini alur maju-mundur. sashi sama mika ngobrol setelah mika melalui semua hal di bulan mei sampai juni. bukan mika cerita ke sashi sepotong-sepotong. contohnya, lo nyeritain liburan lo di bali sama temen lo, gak mungkin lo bolak-balik jakarta-bali buat cerita 'kan?)

"Gak. Gue gak nangis," ucap Sashi dengan wajah menahan tangis. Dia menggigit bibirnya, menjambak rambut, dan melakukan apapun supaya air matanya tidak menitik.

"Semoga aja lo kuat gak nangis," Mika tertawa sengau. "Kejadiannya udah lama berlalu. Tapi masih nyesek."

"Trus lo gimana, Mik?" Sashi menjadikan kepalan tangannya sebagai tumpuan dagunya. "Gimana tentang Eddenick? Tentang MFJ? 3K? Gue kepo sumpah."

"Gue bakal nyeritain satu-satu tentang mereka. Tapi lo jangan histeris mulu, ye?" Mika mengerlingkan matanya pada Sashi. Yang dikerlingkan hanya nyengir polos. "Gue histeris di bagian lo ngigo, jait baju, sama sweet moments Mikana. Gue Mikana shipper, loh!"

"Anzlay," ucap Mika, dia meminum caramello-nya sebelum bersuara lagi. "Baru tau gue, lo suka nge-ship orang."

"Bukan baru, ini yang pertama kalinya gue nge-ship," tawa Sashi berderai.

"Oala, gue tersunjang jadinya," Mika ikut tertawa.

"Tersanjung, Gobs," Sashi mengkoreksi.

Mata Mika melotot. "Gak usah pake Gobs, Talal."

"Nah, lo lebih parah. Lo bilang gue tolol?!"

"Kan pake bahasa yang lebih halusnya; Talal!"

"Tetep aja artinya tolol!" Sashi mencak-mencak. "Udahlah, cepet cerita lagi. Udah mau malem!"

"Iya-iya."

"CEPET!!"

"Astagfir, iyaaa!"

"Yoi, ayo lanjut."

Mika menghela napas sebentar sebelum lanjut bercerita. "Dari tempat les musik, tiba-tiba Karin dateng ke kamar gue. Dia bilang ...."

===M i K a===

11-05-14

Continue Reading

You'll Also Like

195K 23.7K 45
"Kalau rasa sakit terbesarmu adalah aku, maka biarkan aku memberikan rasa sakit itu.." ⚠️ WARNING -Murni fiksi -BxB -Tw // Suicide, violence, harsh w...
Lovakarta By Ayii

Teen Fiction

891K 95.2K 71
[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan pa...
68.2K 9.4K 33
Arina tidak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat. Keresahan pada sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota metropolitan hampir membuatnya putus a...
5.9M 649K 45
Kalau anak olimpiade berantem sama anak hits gara gara masalah vlog doang.... bakal baper nggak sih? - Yena awalnya termasuk para cewek yang sering m...