Di sinilah aku berada. Bersama baju-baju yang tergeletak di mana-mana memenuhi seluruh penjuru kamarku. Berantakan. Itulah keadaan kamarku saat ini.
"Duh, pake baju apa, ya? Yang ini? Ah, kesannya norak! Apa yang ini? Ih, apaan! Ini sih baju zaman old! AH! Yang ini? Ah, enggak-enggak! Terlalu rame!"
Lagi-lagi kulempar sembarang baju-bajuku. Sudah dua jam lebih aku memilih-milih baju yang akan kukenakan untuk nge-date dengan Alder nanti malam, namun belum ada yang cocok sejauh ini.
Frustrasi. Padahal, sebelumnya aku sudah pernah jalan berdua dengan Alder, dan aku tak pernah memusingkan pakaian seperti apa yang akan kukenakan. Tapi, malam ini rasanya beda. Entah apa yang membuatnya beda. Aku juga bingung. Apa karena pengucapan Alder yang terkesan ambigu? Nge-date. Satu kata itu yang membuat perasaanku tak karuan seperti ini. Tunggu! Kenapa aku bersikap seperti ini? Ini hanya seorang Alder. Iya. Hanya Alder.
Seakan sadar dari kebodohan ini, aku langsung membereskan seluruh baju-bajuku. Namun, aktivitasku terhenti saat tiba-tiba ada yang membuka pintu dari luar. Aku langsung menuju ke pintu, berusaha menahannya. Bisa malu kalau Ibu atau Ayah yang masuk dan melihat kamarku seperti kapal pecah.
Telat. Selangkah lagi aku menuju gagang pintu, orang itu langsung masuk dengan santainya.
"Astagfirullah. Ini kamar apa kapal pecah? Berantakan banget," cibir Rian, pandangannya menyapu ke seluruh sudut kamar.
"Iya, ini juga mau diberesin." Aku beralih dari pintu menuju lemari, mulai membereskan baju.
Rian menghampiriku. "Kakak lagi ngapain, sih?"
"Ya ampun, kamu nggak bisa liat ini? Kakak lagi beresin baju, lah."
"Maksudnya, Kakak lagi ngapain sampe baju-baju dibikin berantakan kayak gini?" tanya Rian yang sudah duduk di sampingku dan membantu melipat baju.
Bagaimana ini? Tapi percuma juga aku bohong pada Rian, dia pasti bakal curiga dengan gerak-gerikku yang tiba-tiba aneh kalau sedang berbohong.
"Lagi cari baju buat nge-date nanti malem." Kulihat ekspresinya seperti tak percaya, namun sedetik kemudian berubah biasa lagi.
"Menurut kamu, Kakak pake baju apa?" tanyaku.
"Emang Kakak nge-date sama siapa?"
"Alder."
Dia mengangguk. "Dia pacar baru Kakak?"
"Eh?"
Rian menuntut penjelasan padaku, terlihat dari caranya menatapku.
"Iya, dia pacar Kakak, tapi jangan kasih tahu Ayah sama Ibu, ya."
"Kok jangan, sih? Backstreet itu nggak baik, Kak. Apa si Alder itu anaknya berandalan, ya? Jadi Kakak takut ngenalin ke Ayah sama Ibu gitu?"
"Ih, bukan gitu. Maksud Kakak, ngasih tahu Ayah sama Ibu nggak sekarang. Nanti aja kalo waktunya udah pas."
"Waktu yang pas?" Rian terlihat berpikir. "Kapan?"
"Ya nanti, lah. Kenapa, sih, kamu jadi superduper ngeselin kayak gini? Tingkat kepoan kamu juga naik drastis. Nyebelin tahu nggak!"
Aku harus bisa menahan emosi saat sikap super ngeselin Rian keluar seperti sekarang. Tak heran, topik yang kubahas saat ini pun perihal cowok. Telinga Rian memang sangat sensitif jika mendengar kata cowok, apalagi aku sudah mencetuskan bahwa Alder adalah pacarku.
"Oke, oke. Aku nggak bakal ngasih tahu Ayah sama Ibu, kok, soal ini. Tapi dengan satu syarat, beliin aku komik abis nge-date nanti." Dengan senyum miringnya, Rian memanfaatkan keadaan lagi.
Aku memutar bola mata. Tak ada pilihan lagi memang. "Iya, iya."
"Yess! Ya udah, aku mau mandi dulu."
Sebelum Rian sampai di depan pintu kamar, aku bertanya, "Rian, bagusnya Kakak pake baju apa ya nanti?"
Dia menoleh. "Yaelah, Kak, pake baju biasa aja. Gaya Kakak. Lagian dia nggak ngajak Kakak ke tempat formal, 'kan? Paling dia ngajak Kakak ke mall atau enggak ke bioskop," ucapnya sebelum keluar dari kamarku.
Benar juga kata Rian. Setidaknya aku dapat solusi dari masalah yang terbilang "aneh" ini. Aku melanjutkan melipat baju—yang sempat terhenti tadi. Dan kini pergerakanku terhenti saat handphone di saku celana bergetar. Ada satu pesan dari Alder.
Aku tersenyum. Eh? Kenapa aku senyum?
Alder : Dua jam menuju ngedate. Inget, Jam 7!
Me : Iya. Gue nggak lupa.
Alder : Oke. See you, Babe.
Ini dia, Alder si tukang modus. Anehnya, sekarang aku malah senyum-senyum tak jelas gara-gara kalimat "Babe" darinya.
Oh, sadarlah, Tari.
***
Tepat pukul tujuh malam Alder datang menjemputku dan meminta izin pada Ayah. Ayah mengizinkan kami keluar, pastinya dengan satu syarat andalannya, tak lebih dari jam sepuluh. Rian juga keluar dari kamarnya, sengaja, dia mau melihat sosok seperti apa Alder ini. Dan dia terlihat fine-fine saja pada Alder, bahkan mereka sempat mengobrol tadi. Rupanya Alder orangnya gampang akrab dengan orang baru.
"Nih." Alder menyerahkan helm padaku. Aku langsung memakainya.
"Kita mau ke mana?" tanyaku saat sudah duduk di atas motor.
Oh iya. Akhirnya aku memakai sweater berwarna peach, celana jeans putih, dan sepatu senada dengan jeans-ku. Sedangkan Alder memakai kemeja biru tua, dan jeans robek di bagian lututnya. Senada. Pakaianku terbilang senada dengannya. Setidaknya aku tak salah kostum.
Dia menoleh. "Entar juga lo tahu."
Aku mengangguk. Namun Alder tetap menatapku, belum juga menyalakan motornya.
"Kenapa? Ada yang aneh di muka gue?" Aku bertanya, takut ada noda atau apalah di wajahku ini.
"Lo dandan?"
"Hah?"
Benar. Aku memakai liptint warna pink, bedak, dan blush on. Tapi aku hanya memakainya sedikit, itu pun sangat tipis. Kukira tak akan kelihatan, tapi dugaanku salah. Ah! Bagaimana kalau Alder mengira bahwa aku berdandan untuknya dan terlihat antusias dengan acara nge-date malam ini? Bisa-bisa dia mengira aku baper padanya. Ya ampun, bagaimana ini?
"Lo cantik."
Aku tertegun mendengar perkataan Alder barusan, sedangkan Alder hanya tersenyum sekilas lalu menyalakan motornya dan membelah jalanan.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan dua kata yang dilontarkan Alder barusan. Entah mengapa hatiku mendadak menghangat ketika mengingat kata itu lagi.
***
Pasar malam? Alder mengajakku ke pasar malam? Aku kira dia bakal mengajakku ke mall atau ke bioskop seperti yang dikatakan Rian sore tadi, ternyata bukan. Aneh, tapi aku suka. Sangat suka malahan. Banyak wahana permainan di sini, dan aku tak bisa menyebutkannya satu per satu. Kios-kios penjual t-shirt dan sebagainya juga ada. Jangan lupakan penjual cotton candy yang menjadi ciri khas pasar malam. Sudah lama sekali aku tak pergi ke pasar malam. Terakhir pergi, saat aku kelas satu SMP.
Kami berjalan-jalan santai melewati kios-kios.
"Udah lama banget gue nggak ke pasar malem. Lo tahu ada pasar malem di sini dari mana?" Aku membuka percakapan.
"Dari adek gue. Daripada ke mall atau bioskop, mending nge-date di sini, 'kan? Enak. Banyak angin," timpal Alder.
"Tapi angin malem kan nggak baik?"
"Lo nggak suka di sini?"
"Eh? Suka, kok. Suka banget malahan. Udah lama juga gue nggak maen ke pasar malem."
"Ya udah, lo tunggu dulu di sini. Jangan ke mana-mana."
"Lo mau ke ma—"
Alder langsung berlari pergi. Aku masih melihatnya memasuki salah satu kios, entah mau apa. Sembari menunggunya, aku duduk di bangku yang berada tiga langkah dari tempatku berdiri sekarang. Dan sekitar lima menit kemudian, Alder kembali. Dia menyerahkan sebuah jaket warna biru tua padaku.
"Nih, pake."
Aku menerimanya. Mungkin Alder menyadari ekspresi bingung di wajahku, makanya dia berkata, "Katanya udara malem nggak baik, ya udah, pake jaketnya. Entar masuk angin lagi."
Aku pun memakainya. "Makasih."
"Iya, sama-sama."
Setelah aku selesai memakai jaket, Alder langsung melempar pertanyaan. "Siap main nggak?"
"Siap, dong!" ucapku semangat.
Alder menarik tanganku menuju tempat berbagai macam wahana berada. Dia membeli tiket. Dan permainan pun dimulai.
Dari kincir angin, ombak banyu, sampai komedi putar, kami menaiki satu per satu dan tak henti-hentinya tertawa. Rasanya semua bebanku terlepas begitu saja saat menaiki wahana ini. Aku bahkan baru melihat Alder tertawa selepas ini.
"Gila! Seru banget!" seruku saat kami sudah duduk di sebuah bangku dan Alder memberikan minuman padaku. Aku langsung menenggaknya sampai habis.
"Otak harus di-refresh dulu supaya besok bisa fokus belajar," ujar Alder.
"Gue setuju sama lo," timpalku.
"Ya udah, yuk, pulang," ajaknya yang sudah berdiri.
"Yuk!"
Baru saja kami berjalan beberapa langkah, mataku teralihkan oleh boneka panda besar di salah satu kios permainan memanah. Langkahku sampai terhenti saking inginnya memiliki boneka itu.
"Lo mau itu?" tanya Alder.
"Mau banget." Aku menjawab antusias.
Alder mengangguk lalu berjalan ke si penjaga kios dan membeli tiga buah anak panah.
"Semangat!" Aku memberinya semangat saat dia akan memanah.
Dia membidik sasaran dengan serius. Dan... meleset. Terlalu tinggi. Alder mengambil napas. Lalu dia mulai membidik sasaran lagi. Dan meleset lagi. Kali ini terlalu rendah.
Kulihat kios permainan sebelah, sepasang kekasih tengah bermain tembak kaleng. Si pria menang dan mendapatkan sebuah boneka teddy bear besar, lalu memberikannya pada si wanitanya itu. Ah... pasti aku bakal senang sekali kalau Alder bisa mendapatkan boneka panda ini.
Kulihat Alder lagi. Rupanya dia tengah menatapku. Aku tersenyum untuk menyemangatinya. Dia mengambil anak panah ketiga. Lalu menaruhnya di busur, mulai membidik. Dan... bingo! Anak panahnya menancap tepat pada sasaran. Aku langsung bersorak gembira.
Alder menerima hadiah boneka panda besar, lalu dia memberikannya padaku.
Ah... senangnya aku. Aku memeluk boneka panda itu. "Makasih banget ya, Der."
"Enak banget ya jadi boneka itu." Alder menggantungkan kalimatnya.
"Kenapa?" Aku menatapnya bingung.
"Dipeluk lo."
***