FERINA dan Galang turun dari motor, melepas helm dan menyapukan pandangan ke arah sekeliling. Langit cerah, angin yang berhembus perlahan, menyibak ujung kerudung Ferina dan poni Galang. Ferina tersenyum. Pantai yang tertangkap oleh netranya saat ini tepat seperti apa yang ada dalam ekpektasinya.
Galang menyiku pelan Ferina. "Yuk."
Sementara itu, Ranu dan Nada baru saja memarkir motor. Nada meletakkan helmnya di spion kiri motor, tapi kemudian di pindah Ranu - ia mengaitkan helm Nada pada kait di bawah jok supaya tidak mudah diambil orang. Gadis itu tersenyum berterima kasih, lalu melirik sandalnya. Kait yang ada pada pergelangan kakinya terlepas. Ia pun merundukkan badan empat puluh lima derajat agar tangannya bisa meraih kakinya. Kaus Nada terangkat, ditambah lagi dengan adanya pergerakan ransel di punggungnya, Ranu bisa melihat sekelebat punggung Nada.
Melihat Galang dan Ferina yang berjalan mendekat, Ranu bergegas untuk berdiri memunggungi Nada; menutupi bagian belakang gadis itu. Ferina melontarkan pertanyaan. "Kita mau sarapan dulu atau langsung ke tempat owner penginapannya?"
"Gue nggak laper sih, paling perlu sebat sama ngopi aja. Lo, Nu? Ngerokok?" tanya Galang.
Ranu menggeleng kecil.
Nada meluruskan punggung dan menyahuti seraya menarik strap ransel. Kemudian memutar badan dan memunculkan sebagian kepalanya dari balik punggung Ranu. "Paru-paru Ranu adalah aset penting negara. Harus bersih dari sampah-sampah kimia." Ia melirik Ranu, laki-laki itu tersenyum kecil. "Nggak juga, Nad. Gue udah janji sama nyokap buat nggak ngerokok."
"Jadi, makan apa gimana nih? Nad, lo laper nggak?" Ferina mengulangi pertanyaannya.
"Gue udah sarapan. Masih kenyang."
Ferina manggut-manggut. "Gue juga sih."
"Ya udah, langsung aja yuk. Biar cepet kelar," ajak Galang dan disetujui oleh Ferina yang langsung mengambil langkah maju ke jalanan setapak yang sengaja dibuat dari kayu-kayu.
Nada dan Ranu berjalan sekitar dua meter di belakang Galang dan Ferina - yang memang punya langkah besar-besar akibat kaki jenjang mereka sementara Nada kewalahan mengimbangi sehingga Ranu memutuskan untuk melambatkan langkah supaya Nada tidak perlu tergesa-gesa mengikuti langkah cepat Galang dan Ferina. Apalagi jalanan setapak ini lumayan terjal dan dekat dengan hutan bakau.
Nada menoleh ke arah Ranu. "Nu?"
"Hm?"
"Lo sebelum jemput gue udah sarapan?"
"Belom sih."
"Kenapa nggak bilang? Kan kita tadi punya opsi makan dulu."
"Ya nggak papa, kan biar cepet. Galang ada kelas ntar siang."
Nada mencibir, "Ini kan masih jam delapan."
Ranu tersenyum. Nada menarik napas, mengambil ancang-ancang lalu melangkah lebar, mendahului Ranu. Laki-laki itu menatap punggung Nada, lalu menyeimbangkan langkah. "Nad.."
"Hm?"
"Coba lo berenti bentar."
Nada mengerutkan kening seraya menghadap laki-laki jangkung tersebut. "Kenapa?"
Ranu mengulurkan tangannya, lalu menarik pinggiran bawah kaus Nada dengan lembut hingga melewati batas pinggul jeans gadis itu. Nada terdiam sebentar. Tiba-tiba degup jantungnya berdenyut lebih cepat. Ia menatap Ranu yang sedang memandangnya lurus.
"Kalau gerak pelan-pelan. Biar punggungnya nggak kelihatan."
"Oh.. sorry."
"Kenapa jadi lo yang minta maaf. Harusnya kan gue yang ngomong gitu."
"Kenapa lo?"
"Ya.. karena.. gue lihat."
Nada reflek tergelak mendengar jawaban Ranu. "Kan nggak sengaja. Kalau nggak sengaja, nggak ada hukumnya." Ia mendahului Ranu, mempercepat langkah agar tidak terlalu jauh di belakang Galang dan Ferina yang rupanya sudah sepuluh meter di depan.
Ranu geleng-geleng.
* * *
Pembicaraan dengan pemilik penginapan berjalan lancar. Berkat kemampuan komunikasi verbal luar biasa yang dimiliki Galang dan gesitnya Ferina dalam melobi harga dan fasilitas, keempat mahasiswa tersebut keluar dari halaman penginapan dengan wajah puas dan lega. Galang menyenggol Ferina. "Bakat nawar lo gila banget. Boleh lah next time kalau ada acara UKM olah raga lo gue pinjem buat nawar harga sewa GOR."
"Maklum, kebiasaan nawar dagangan di pasar." Ferina tertawa.
"Gue heran lo sih, Lang. Kenapa lo nggak masuk Hukum sih? Kayaknya lo tuh ada talenta pengacara yang terpendam," komentar Nada, menyahuti dari belakang. Galang langsung tertawa. "Nggak deh, gue nggak pengin jadi pengacara. Takut."
"Takut ngebelain orang jahat?" tebak Ferina. Langsung dibenarkan oleh Galang. "Pengacara kan ngebelain siapa yang ngebayar mereka. Ya, gue tau gue nggak boleh ngehakimi sebuah pekerjaan dari apa yang gue denger doang tapi ya gimana sih, gue mah antisipasi aja dari pada dari pada. Haha."
"Iya sih," Nada setuju.
"Lo, Nu?" tanya Ferina. "Lo kenapa pindah ke kampus kita? Yang gue denger lo harusnya masuk kayak semacam akademi perenang gitu, akademi atlet atau apalah. Eh, itu gosip doang apa beneran sih?"
Ranu hanya nyengir.
"Nu, lo jangan irit-irit ngomong kek," protes Galang.
Nada menyiku Ranu, tapi karena perbedaan tinggi badan, siku Nada justru mencolek perut samping Ranu. Laki-laki itu menoleh reaktif. Nada nyengir, "Iya, Nu. Kenapa sih lo pindah ke kampus kita?"
Ranu sebenarnya tidak mau menjawab, tapi Nada menatapnya lekat-lekat seolah sungguh ingin tahu jawabannya. Ia menarik napas. "Gue sempat ambil pre-training time, semacam ospek gitu tapi di akademi renang. Tapi terus gue ada masalah dan gue bingung. Akhirnya gue keluar dan pindah ke kampus kalian."
"Kok bisa sih?" tanya Galang.
"Apanya?"
"Langsung masuk dan langsung lompat ke semester tiga."
Ranu menjawab seadanya. "Gue juga kuliah kok. Jurusannya juga sama. Tapi ambil kampus online. Gue nggak bisa kalau harus masuk kelas pagi atau siang, karena tabrakan sama jadwal training."
"Oooooh." bibir Galang membulat. "Terus karena lo keluar dari akademi itu, jadi lo memutuskan untuk masuk kampus yang sebenarnya?"
"Iya."
"Oooooooh."
"Eh, iya, Nad," panggil Ferina.
"Apa?" sahut Nada cepat.
"Lo sama Ibraham tuh pacaran ya?"
"HAH? Nggak kok."
"Abisnya foto cewek di instagramnya dia cuma lo dan kalau dia nulis caption gitu suka sendu-sendu, ngomongin cewek insial N."
Nada tertawa sumbang. "N itu inisial kakak gue."
"Oh, Ibraham pacaran sama kakak lo? Tapi kok nggak ada foto kakak lo?" kejar Ferina. Nada membubuhi. "Kakak gue udah meninggal."
Hening.
"Sori, Nad."
"Nggak papa. Banyak yang salah paham kok, bukan cuma lo. Ya gimana lagi, Ibraham sama gue udah temenan deket dari SMP. Rumah kita juga sebelahan. Kita udah kayak sodara."
Galang berseloroh asal. "Jadi lo jomlo, Nad?"
"Nggak," jawab Ranu cepat. Bahkan sebelum Nada sempat menjawab pertanyaan yang ditujukan Galang untuknya tersebut.
"Buset kenapa lo yang jawab, Nu. Tadi aja ditanya diem mulu, giliran ini malah nyamber," Ferina tertawa. Nada melirik Ranu. "Mewakili gue ya, Nu, hehe."
Tak terasa, mereka sudah sampai di titik di mana mereka memarkir motor. Galang melirik arlojinya. "Langsung balik yuk? Ntar mampir makannya pas di jalan aja."
Nada hendak menimpali, tapi Ranu menahan pergelangan tangan gadis itu. "Balik duluan aja, gue sama Nada mau lihat-lihat sekitar."
Ferina menatap keduanya.
"Gue mau cari, um... referensi buat materi. Iya, observasi lapangan," timpal Ranu buru-buru. Galang manggut-manggut. "Iya, bener juga. Lo kan ngasih materi. Ya udah, lo puas-puasin deh. Gue yakin lo bisa bikin materi buat adik-adik angkatan yang bakal ikut oprec."
Ranu mengangguk.
"Lo sekalian deh, Nad. Lihat-lihat. Siapa tahu ada jalur atau lintasan, atau setapak yang bisa kita pake buat acara jurit malam. Kemarin anak-anak yang survey pertama udah bikin peta sih, tapi ya siapa tau ada yang kelewat," kata Ferina. "Gue pengin nemenin lo sih, tapi gue kan nebeng Galang. Kalau dia balik ya gue mesti ikut balik."
"Iya, nggak papa, gue aja," Nada mengiakan.
"Oke, kita balik dulu ya. Jangan malem-malem baliknya, jalanannya jarang lampu trus bahaya kalo lepas magrib." Galang masih sempat mewanti-wanti sebelum ia menyalakan mesin motor dan mempersilahkan Ferina untuk naik.
"Siap, bos."
Lima menit kemudian, Ferina dan Galang sudah tak terlihat. Ranu berdeham, ia baru sadar kalau ia belum melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Nada. Gadis itu menarik napas panjang-panjang.
"Sori ya, gue maksa lo stay. Padahal lo nggak suka laut.."
Nada menggeleng. "Nggak papa. Lo kan emang perlu stay buat liat-liat sekitar."
"Ng.. itu gue bohong."
"Bohong?"
"Iya, bohong. Sebenernya gue cuma pengin sama lo aja. Berdua. Di sini."
"...."
"Sori, Nad. Kalau lo nggak suka, kita bisa langsung balik kok."
Jeda sekitar sepuluh detik.
"Nu?"
"Hm?"
"Masalah yang lo bilang tadi, masalah Kanika?"
"..."
Nada maklum kalau Ranu tidak menyahutinya, laki-laki itu sudah beberapa kali tampak menghindar jika topik pembicaraan menyangkut soal Kanika. Maka Nada melangkah mendekati pantai. Ranu pun mengekornya.
"Kanika kecelakaan."
Nada menoleh, menghentikan langkah.
"Kecelakaannya parah banget. Korbannya nggak cuma Kanika. Yang gue tahu, Kanika tahu-tahu di UGD dan kakinya patah. Beberapa syarafnya susah digerakin, persendiannya juga ada yang geser. Dan dia.."
Nada menunggu.
"...Keguguran."
Netra bulat Nada membesar. Gadis itu membuang mukanya, mengarahkan pandang pada hamparan lautan biru. Ada nyeri yang ia rasakan di dada. Nada tidak tahu pasti, apakah karena ia sedang menatap laut yang sama; laut yang menelan Firgi dan menelantarkan raga laki-laki itu, atau karena hal lain. Nada tidak berharap Ranu mengatakan kata terakhir itu, ia bahkan berusaha untuk menghapus pendengarannya.
"Nad?"
"Hm?"
"Kenapa lo nggak nanya?"
"Nanya apa?"
"Bayi Kanika."
Nada tidak menyahuti. Pantas saja kalau Kanika jadi bringas dan menyerangnya seperti itu di supermarket. Kanika harus dapat pemakluman atas tindakannya; meskipun Nada sendiri tidak yakin dengan pemikirannya tersebut - apakah ia sedang bersimpati pada Kanika karena jumlah rasa sakit yang dirasakan Kanika ternyata lebih besar dari yang ia duga, atau karena ia benci dirinya sendiri karena sampai detik ini pun ia merasa harus memaafkan Kanika atas penyerangan tersebut. Tiba-tiba saja Nada merasa Kanika berhak menyerangnya. Mungkin penyerangan kapan lalu yang hanya menyisakan gores dan luka kecil di sekitar wajahnya bukan apa-apa dibandingkan dengan luka yang dipunyai Kanika. Mungkin Kanika benar, Nada harusnya tidak boleh bersenang-senang sementara Kanika menderita dan Nada adalah salah satu alasan kenapa Kanika semakin menderita.
Nada tahu kalau ia turut andil dalam keputusan Ranu untuk berhenti menemani Kanika. Atau berada di sisi Kanika, apapun itu. Walaupun Nada sampai pada detik ini masih ragu, kenapa Ranu berbuat demikian.
"Nad? Lo marah?"
"...Nggak."
"Kenapa diem aja?"
"Nggak papa. Gue cuma bingung harus ngasih respon apa."
"Nad.."
"Hm?"
"Coba lihat gue bentar."
Nada menurut, ia menoleh dan menatap Ranu lekat-lekat. Manik hitam laki-laki itu terlihat jernih dan gelap. Seolah bisa menarik seluruh jiwa Nada masuk ke dalamnya. Tapi sorot mata Ranu tampak sayu dan lelah.
"Bayi itu bukan punya gue."
Jantung Nada rasanya mencelos.
"Gue tau gue nggak punya alasan buat ngejelasin ini semua ke lo, tapi gue merasa lo harus tau. Gue sama Kanika.. nggak pernah ngapa-ngapain. Even for a kiss."
Kedua ujung alis Nada bertautan. "Bohong.."
"Sumpah."
"Kenapa?"
"Apanya? Kenapa gue nggak pernah nyium dia?"
"Iya."
"Nggak tahu. Gue emang nggak pernah ngerasa gue pengin nyium dia."
"Kok bisa?"
"Apanya?"
"Biasanya kan kalau kita sayang sama seseorang tuh, kita secara biologis, atau apalah itu, pengin gandeng, pengin peluk, pengin cium. Ya gitu, pokoknya showing affection."
Ranu menahan napas. "Gue.."
"Hm?"
"Pengin meluk lo. Sekarang. Boleh?"
"..."
Melihat perubahan ekspresi wajah Nada karena ucapan ngawurnya - yang sebenarnya berasal dari lubuk hati yang paling dalam - Ranu buru-buru melanjutkan, sambil memaksakan tawa yang terdengar sumbang. "Bercanda, Nad. Bercanda. Mukanya santai aja kek."
Nada langsung nyengir kuda. Senyumnya hambar.
.
.
.