Damn!!! you!!!

By REDkays

174K 4.2K 102

Aku tidak pernah mengira bahwa hidup bisa sesakit ini. Tidak pernah mengira kalau Tuhan bisa dengan mudah me... More

That shit happen
Hell day
Ugly duck
Sweet mistake
She's gone and It's come
Unexpected Angel
Something
Kill me now
Chlea Oliveire
Finding you
Finding you II
Amanda
Author's Noted
Dia pria itu
Wanitaku
Seize
Goodbye My Love
Seize II
Counting you
I choose my way
Walk in needles field
The Truth
Take me home

Aku tak mencintainya?

4.2K 143 20
By REDkays

Aku berdiri didepan pintu sebuah apartment. Setelah hampir lima jam perjalan dengan pesawat, akhirnya aku sampai di kota Lima. Apartment nomor 211 dihadapanku adalah destinasi yang sempat terlupakan olehku. Aku menekan tombol bel rumah.

"Who are you looking for?" Suara wanita terdengar dari mesin penjawab.

"Kyle." Jawabku singkat

"Who is this?"

"Clarise." Sunyi. Tidak ada jawaban setelahnya.

Terdengar bunyi klik saat pintu terbuka. Seorang wanita cantik memelukku begitu melihatku. Sharon, istri Kyle. Aku pernah bertemu dengannya satu kali.

"Clarise, aku tak menyangka kau akan datang kesini. Masuklah."

Pelukan hangat Sharon sedikit menenangkan perasaanku. Aku mencium aroma kue panggang begitu masuk dalam apartmentnya.

"Masuklah Clarise, Kyle pasti akan sangat senang melihatmu datang. Sebentar lagi dia pulang kerja. Duduklah di sofa, buat dirimu nyaman." Clarise meninggalkanku sendiri di ruang tamu besarnya kembali ke dapur.

Aku berkeliling menatap isi rumahnya, sangat bersih dan tersusun rapih. Aku tidak heran, mengingat Kyle adalah seseorang yang perfectionist.

Sharon kembali setelah beberapa saat sambil membawa nampan berisi minuman dan sepiring kue.

"Aaron ada acara rekreasi di sekolahnya besok pagi, dan minta dibuatkan kue panggang kesukaannya. Jadi aku membuatkan untuknya. Cobalah beberapa."

Aku mengangguk sungkan, aku tidak pernah berbicara dengannya. Yang aku baru tahu, Sharon adalah sosok istri dan ibu yang sempurna. Perilaku dan kata-katanya sangat lembut, bertolak belakang denganku. Dia sangat sempurna untuk Kyle.

Aku menengguk air dari gelas yang Sharon sediakan.

"Maafkan aku menggangu kalian malam-malam begini."

"Tidak Clarise, kau adik dari suamiku berarti kau adikku juga, kau keluargaku. Tidak perlu sungkan dalam keluarga."

"Terima kasih Sharon."

Aku terdiam, entah harus memulai percakapan apa dengannya.

"Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh kesini. Aku akan mempersiapkan kamar untukmu."

"Tak perlu repot Sharon, biar aku saja yang melakukannya."

"Tidak Clarise, kau beristirahatlah. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa menemani Aaron menonton kartun kesukaannya disana." Sharon menunjuk Aaron yang sibuk menonton kartun sendirian di ruang keluarga.

"Baiklah. Terima kasih Sharon." Aku mengangguk dan menghampiri Aaron.

Sharon tersenyum sebelum naik ke lantai atas.

Aku menghampiri Aaron yang sibuk berceloteh kecil sendirian. Aaron secara fisik mirip sekali dengan Kyle. Tapi dia memiliki mata Sharon. Aku suka mata biru Sharon yang di turunkan pada Aaron. Aaron aibuk berceloteh selayaknya seorang balita.

Tak lama aku mendengar suara pintu terbuka. Suara Kyle memanggil Aaron terdengar jelas, Aaron berlari mendengar suara ayahnya memanggil. Tak lama Sharon turun dari lantai atas ikut menghampiri Kyle. Aku mengekor di belakang Sharon, menatap Kyle yang sedang sibuk berbicara dengan Aaron. Sejenak aku merasakan rasa iri, aku juga ingin merasakan berada di posisi Kyle bersama putri kecilku.

"Kyle." Panggil Sharon.

Kyle tidak menjawabnya karna sedikit terkejut dengan kedatanganku.

"Hai, Big brother." Aku menyapa seadanya.

Kyle memelukku erat. Lebih tepatnya, aku yang memeluknya lebih erat. Aku merindukan Kyle sangat, merindukan kehangatan yang biasa ia berikan untukku. Tak terasa, aku menangis sekali lagi. Kyle melepaskan pelukannya dan menatap tajam mataku. Dengan lembut Kyle menghapus air mataku.

"Kau tidak diizinkan untuk menangis disini. Aku sudah tidak ingin melihatmu menangis lagi. Lebih baik kita makan malam. Aku lapar."

Aku tertawa kecil mendengar gurauannya.

"Kau harus mencoba masakan Sharon. Istriku berbakat menjadi Chef terkenal sebenarnya. Tapi dia lebih memilih menikah denganku."

"Lebih tepatnya, aku terpaksa untuk menikah denganmu Tuan." Balas Sharon.

Kyle membimbingku menuju meja makan, disana sudah Sharon dan Aaron sudah menunggu. Kami berbincang ringan selama makan malam. Membicarakan seputar selebritis atau politik yang tidak aku mengerti. Sesekali Aaron menceritakan tentang sekolahnya, tentang ia berkelahi karena mainannya direbut. Kami tertawa bersama, tanpa sedikitpun menyinggung rasa penasaran tentang kedatanganku kesini.

Selesai makan malam, aku mandi untuk membersihkan diriku. Sharon meminjamkam pakaiannya untukku, untunglah ukuran pakaian kami tidak berbeda jauh, hanya saja aku sedikit lebih kurus. Selesai membersihkan diri, aku kembali keruang keluarga dan berbincang dengan Kyle, atau sekedar menemani Aaron menyusun mainan legonya.

"Sharon, menurutku Clari bisa menemani kita di acara rekreasi Aaron besok."

"What? Tidak Kyle, aku baik-baik saja."

"Kuras itu ide yang bagus. Kenapa kau harus berdiam di rumah saja. Lebih baik kau ikut kami."

"Auntie Clari, come with. Mama?" Aaron meloncat-loncat kegirangan begitu melihat ibunya mengangguk. Lalu dia berlari kearahku dan memelukku.

Aku tak bisa menolak lagi sekarang. Kurasa tak ada salahnya menyegarkan pikiranku sejenak.

***

Udara Peru dipagi hari ini sangat menyegarkan. Udara panas tapi tidak terik seakan mengerti bahwa cuaca cerah ini yang kami butuhkan saat ini.

Aku dan Kyle pergi menggunakan mobil pribadi, sedangkan Sharon harus berangkat lebih dulu karena harus berangkat bersama teman-teman dari sekolah Aaron.

Aku tak banyak berbincang dengan Kyle sepanjang perjalanan. Obrolan kami hanya sebatas mengomentari percakapan siaran radio lokal.

"Nikmatilah hari ini, Clarise."

Aku tersenyum mendengar ucapan Kyle, dan memutuskan mengikuti perintahmya untuk menikmati hari ini.

Kami sampai di kebun binatang, tak terlalu ramai mungkin karena bukan hari libur. Aku melihat Aaron dan teman-temannya berlarian saling mengejar. Ada perasaan bahagia saat melihat mereka bermain seperti itu, perasaan bahagia namun hangat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Kami berkeliling kebun binatang, seorang gadis muda sebagai guru dari sekolah bermain Aaron menjelaskan tentang hewan-hewan yang mereka lihat di balik kandang. Aku, Kyle dan Sharon mengekor di belakang kumpulan anak-anak itu. Begitu juga dengan para ibu teman Aaron. Tak terasa hari sudah semakin siang, matahari persis berada di atas kepala.

Para guru memutuskan bahwa kami akan beristirahat sejenak untuk makan siang. Kami memutuskan untuk makan di taman rekreasi yang sudah di sediakan. Dengan beralaskan kain, aku, Kyle dan Sharon menikmati makan siang kami, sedangkan Aaron masih sibuk bermain dengan teman-temannya.

Aaron berlari-lari kecil menendang bola dan saling mengejar dengan teman-temannya. Seorang teman Aaron menendang bola itu terlalu kencang dan mengenai Kyle. Aaron berlari menghampiri Kyle dan meminta maaf.

"I'm sorry Papa." Aaron memangsang wajah sedih sedikit takut.

"No. Papa tidak akan memaafkanmu, kecuali Papa ikut bermain bersama."

Wajah takut Aaron seketika berubah dan menarik tangan Kyle senang. Sekarang member pemain sepak bola bertambah satu orang lagi, yaitu Kyle. Aku tertawa senang saat melihat Kyle berpura-pura terjatuh atau saat Aaron berhasil membuat salah satu temannya menangis karna Aaron berhasil mencetak gol.

Mungkin karena merasa terlalu senang, aku tak sadar bahwa sedari tadi Sharon menatapku. Aku tersenyum saat sadar tatapan mata itu.

Sharon menghela nafas panjang sebelum memulai berbicara padaku.

"Clarise, apa kau tidak ingin merasakan seperti apa yang aku rasakan saat ini?"

"Apa maksudmu?"

"Iya, merasakan ini semua. Merasakan kebahagiaan melihat suami dan anakku tertawa saat bermain bersama. Atau merasakan perasaan bangga karena masakanku dipuji oleh mereka sangat lezat, walau sebenarnya tidak." Sharon tersenyum lembut saat memperhatikan Kyle dan Aaron terus bermain.

"Tapi masakanmu memang sangat lezat, Sharon. Mereka tidak bohong." Jawabku jujur.

Sharon tersenyum menatapku. "Terima kasih. Tapi yang aku rasakan justru lebih dari itu. Perasaan bangga bisa terus hidup bersama mereka, menjaga mereka, menjadi sandaran bagi mereka. Memang berat menjadi seorang ibu, tapi ini sangat menyenangkan."

"Rasa menyenangkan itu, aku tidak akan lagi dapat merasakannya. Aku tak bisa lagi hidup bersama dengan Chlea."

"Mungkin. Tapi darah itu lebih kental dari pada air. Bagaimanapun juga kau adalah ibunya. Kau dan Chlea tidak akan bisa dipisahkan."

"Aku harap juga seperti itu. Tapi kenyataannya adalah aku sendiri yang memisahkan diriku dengannya."

"Apakah kau yakin keputusanmu sudah benar?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan Sharon. Bukan aku tak mau menjawabnya, tapi aku sendiri tak yakin harus menjawab apa.

"Entahlah, Sharon. Aku memang menyerahkan Chlea sepenuhnya pada ayahnya. Tapi setelahnya aku merasa separuh dari kehidupanku juga ikut menghilangkan bersama kepergiannya."

Sharon terdiam sesaat mencerna perkataanku. "Lalu apa yang ingin kau lakukan sekarang?"

"Aku juga tak tahu. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan."

"Ku dengar kau akan menikah sebentar lagi?"

Aku tersenyum kecut mengingat rencana pernikahanku itu.

"Ya, seharusnya."

Sharon memasang wajah bingung dengan jawabnku.

"Sebenarnya aku melihat Jacob berciuman dengan wanita lain kemarin. Itulah mengapa aku bisa sampai disini. Aku tak punya tujuan, dan tak punya tempat lagi."

"Apa kau yakin tak salah lihat?"

"Sangat yakin, bahkan dia sendiri mengakuinya. Maksudku, dia mengakui bahwa dia berciuman dengan wanita itu tapi dia juga mengatakan bahwa dia tidak menciumnya. Entahlah, aku sendiri tak mengerti."

"Lalu apa yang kau rasakan saat melihatnya berciuman dengan wanita itu?"

"Apa yang aku rasakan?" Aku bertanya pada diriku sendiri tentang apa yang aku rasakan. Kecewa? Tentu saja. Tapi kecewa bukan kata yang tepat untuk mengutarakannya.

"Kau tak bisa menjawabnya?" Sharon tersenyum padaku. "Bagi wanita lain, itu pertanyaan mudah untuk di jawab. Aku pasti terbakar cemburu jika melihat Kyle berciuman dengan wanita lain."

"Cemburu? Kau bercanda? Aku sama sekali tidak merasakan hal itu. Sudah pasti cemburu bukanlah jawaban yang aku miliki."

"Benarkah? Kata orang, cemburu merupakan tanda cinta kita terhadap seseorang. Cemburu merupakan ungkapan rasa posesif kita untuk melindungi hal yang kita cintai. Kalau kau tidak merasakan kecemburuan itu, apakah kau mencintainya saat dia memintamu untuk menikah dengannya?"

Lagi-lagi aku tidak menjawab pertanyaan itu. Aku menjadi semakin bingung dengan perasaanku sendiri.

"Clarise, cinta memang akan tumbuh seiring berjalannya waktu bila kita bersama dengan seseorang. Tapi kapan cinta itu akan datang? Hidup yang kita jalani akan semakin terasa hampa tanpa adany rasa cinta."

"Aku hanya berpikir, bahwa aku akan merasa bahagia jika hidup bersama orang yang mencintaiku dengan tulus."

"Lalu dengan apa kau akan membayar perasaan cinta itu? Bukankah akan lebih menyakitkan jika kita harus menjadi lilin yang terus menerus memberikan penerangan untuk orang lain, tetapi orang itu justru membiarkan nyawanya habis tanpa berusaha untuk menjaganya untuk bersinar lebih lama. Lalu saat batang lilin itu habis, lama kelamaan cahayanya akan semakin redup lalu mati, dan hanya menyisakan kegelapan yang abadi."

Aku mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Sharon. Sharon benar. Aku tak bisa mengorbankan diri Jacob untuk kebahagiaanku sendiri, apalagi selama ini Jacob sudah terlalu banyak berkorban untukku dan Chlea.

"Kau benar Sharon. Aku tak bisa melakukan itu pada Jacob. Apalagi dengan kenyataan aku tidak mencintainya bahkan setelah bertahun-tahun hidup bersamanya." Aku terkejut dengan perkataanku sendiri. Aku bahkan baru menyadari bahwa aku tidak mencintainya.

"Tapi semuanya sudah terlambat. Pernikahanku dengannya tinggal menghitung hari."

"Belum terlambat untuk menyelamatkan dirimu dan dirinya, Clari. Bukan maksudku untuk merusak rencana pernikahan kalian. Tapi aku mau kau memikirkannya matang-matang. Karna aku terlahir dari orang tua yang tidak saling mencintai, aku tidak mau hal seperti ini dialami oleh orang lain. Apalagi keluargaku sendiri."

"Terima kasih Sharon. Sekarang aku tahu kenapa Kyle memilih untuk menikahimu."

Sharon tersenyum lembut lalu memelukku sebentar. Aku melihat Kyle memandangi kami dari kejauhan. Raut wajahnya seperti berbicara, bukan padaku tapi pada Sharon. Sharon hanya tersenyum menjawab tatapannya yang membuat Kyle mengernyitkan dahi.

***

Sebelumnya Author mau berterima kasih buat readers yang masih setia nungguin kelanjutan cerita ini..

Maafkan aku yang sudah kurang ajar ini, karena sesuatu dan beberapa hal sampai akhirnya author harus vacum dulu nulis kelanjutan ceritanya. Tapi Insya ALLAH, mulai sekarang author bakal rajin nerusinnya.

Singkat cerita, Clarise akan menemui akhir dari kisah perjuangannya. Yang akan author update beberapa waktu kedepan. Untuk menghilangkan rasa penasaran readers, akan segera ku selesaikan cerita tak berujung ini.

Tapi, author juga punya kabar gembira loh.. Author mem-publish cerita lain yang sedang dalam pengerjaan. Kalau penasaran, bisa di cek di kolom profile author ya..

Untuk chapter pertama sudah di publish kok, jadi bisa di baca dan di kira-kira tentang apa sih ceritanya.

Eits, tapi jangan lupa vommennya ya..

Xoxo,
Love ya..

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 291K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
513K 37K 37
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
274K 1.7K 11
Naziela atau akrab di panggil ziel atau iel adalah seorang gadis yang baru saja lulus dari sekolah SMA dan sekarang dia sedang Kuliah di kejurusan ke...
593K 63K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...