[END] Timun Mas - Twisted Ind...

By PhiliaFate

32.1K 4.9K 1.1K

WINNER OF THE WATTYS 2018 - [Fantasy 15+ | Contain Harsh Language] Seorang remaja harus bertanggung jawab ata... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
EPILOG

Chapter 3

3K 637 58
By PhiliaFate

Timun berlari sekuat tenaga. Tidak dia pedulikan cabikan dahan dan goresan yang melukai tangan dan kaki. Pikirannya hanya satu, keselamatan wanita yang selama ini membesarkan dirinya dengan penuh kasih tidak peduli dia lahir dari mana. Timun tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya bila terjadi sesuatu pada sang ibu.

Napas memburu dan kaki mulai keram, seperti berlari di lumpur. Rasanya makin sulit bernapas, tenggorokannya tercekik, namun gadis itu memaksa setiap otot bergerak, tidak peduli seluruh tubuhnya berteriak kelelahan.

Terdengar raungan lagi, lebih dekat, lebih ganas, dan Timun dapat merasakan kesakitan dari suaranya. Gadis itu menambah kecepatan dan saat menyibakkan dedaunan terakhir yang menghalangi pandangan, dia melihat sesuatu yang membuatnya terhenyak.

Seorang raksasa berdiri di hadapannya, benar-benar raksasa! Ini pertama kalinya dia bertemu dengan musuhnya dan hatinya langsung mengerut kecil. Makhluk itu menjulang tinggi melebihi pohon kelapa dan Timun harus mendongak hingga lehernya pegal untuk melihat sepasang iris hitam yang berada di tengah sklerosa berwarna merah, membuat gadis itu mundur selangkah karena takut. Gigi taring panjang mencuat dari rahang bawah ke atas hingga menyentuh ujung hidung bulat pesek terpasang di tengah wajah datar. Jelas tidak bisa dibilang tampan. Tubuhnya gempal berwarna coklat kusam dan hanya menggunakan kain penutup sewarna jelaga, memperlihatkan perutnya yang sedikit membuncit. Timun akhirnya mengerti kenapa sang ibu menyuruhnya sembunyi selama ini.

"Pergi!"

Timun dapat mendengar suara orang tua berbicara dengan nada memerintah. Getaran yang membuat kakinya lemas, berkurang. Dia melihat sang pertapa menghardik raksasa, berdiri terbungkuk membelakangi seorang wanita paruh baya, sambil memegang tongkat sementara tangan satunya berada di punggung. Walau dia hanya kakek-kakek, entah kenapa Timun tahu, pertapa itu dapat mengalahkan raksasa semudah membalikkan telapak tangan.

Raksasa itu menggeram kasar.

"Aku hanya menagih janji, Kakek tua." Suara itu seperti keluar langsung dari kerongkongan, mulutnya hanya terbuka sedikit sambil memperlihatkan sederet gigi runcing. Matanya berkilat marah. "Jika Anda benar-benar seorang yang bijak, Anda tahu siapa yang bersalah di sini."

Sang kakek tidak menjawab, hanya balas memandang sengit lalu mengetuk-ngetukkan tongkatnya di tanah.

"Kamu ndak bisa mengganggu mereka selama aku di sini."

Raksasa mendengus sebelum mundur perlahan.

"Hari ini aku mengalah. Besok, tepat saat gadis itu berusia enam belas tahun, dia akan ikut denganku," ancamnya sebelum berbalik dan melangkah pergi. "Perempuan itu sudah berjanji."

Langkahnya berdebum diselingi dengan suara kepakan sayap burung yang terbang karena terganggu. Timun menunggu beberapa saat hingga suara itu menjauh, sebelum mendekati wanita yang tampak lemas.

"Ibu!" Timun membantu menopang tubuh lunglai wanita ubanan itu. "Ibu ndak apa-apa?"

"Nduk," desah wanita itu sambil menahan tangis. "Piye iki, Nduk?"

Timun memeluk ibunya sambil menoleh ke arah sang pertapa yang menggeleng-gelengkan kepala. Rasa putus asa menelan semua harapannya. Mereka tidak punya kesempatan menang menghadapi makhluk semengerikan itu.

"Mbah tolong kami," pintanya memelas pada satu-satunya orang yang bisa menghadapi raksasa.

"Mbah ndak bisa ngelakuin banyak, Nduk," ucapnya menyesal. "Ibumu sudah kadung buat janji sama Raksasa dan janji harus ditepati."

Bahu Timun turun sementara sang ibu mulai terisak.

"Maafin Ibu, Nduk. Seandainya waktu itu Ibu ndak kesusu nerima tawaran dari raksasa." Suara tangis mengaburkan intonasinya.

"Ibu ndak salah. Kalau Ibu ndak nuruti raksasa, Timun ndak akan ada di sini, Bu. Timun bersyukur bisa ketemu Ibu," ucap gadis itu tegar sambil mengusap bahu wanita yang ditutupi kebaya coklat. Dia terdiam sejenak, berpikir. "Gimana kalau kita lari saja?"

Sang pertapa menggelengkan kepala. "Ndak bisa. Raksasa itu pasti ngejar kalian .... Lari ndak menyelesaikan masalah."

"Jadi, gimana, Mbah?" tanya Timun putus asa. Dia tidak harus berbuat apa menghadapi makhluk yang konon bisa mengangkat gunung dengan kekuatannya. Dia juga bingung ke mana mereka dapat bersembunyi. Ibunya sudah tidak memiliki sanak saudara yang bisa membantu mereka.

Orang tua itu terdiam sejenak, berpikir.

"Mbah ndak bisa membantu kalian karena itu berarti Mbah membantu kalian ngelanggar janji, tapi, Raksasa sudah nyuri sesuatu dari Mbah dan kalian bisa bantu Mbah menghukum makhluk itu." Dia tersenyum, membuat garis-garis kerutan makin jelas, sebelum mengeluarkan tiga kantong kecil berwarna coklat terikat oleh benang. Timun menerimanya sambil melemparkan tatapan bingung.

"Simpan baik-baik, kalau Raksasa itu datang besok, buka kantong dengan benang warna hijau lebih dulu dan lempar isinya ke arah Raksasa, lalu warna putih dan kalau dia masih mengejar, buka yang warna coklat." Penatua itu memberikan wejangan.

Timun menatap ketiga kantong di hadapannya dengan bingung, hanya saja dia ingat-ingat setiap saran dari sang pertapa. "Hijau, putih, dan coklat."

Orang tua itu mengangguk-angguk.

"Ndak boleh sampai salah, Nduk." Dia menekankan sekali lagi.

Timun mengangguk dan tiba-tiba saja, pertapa itu hilang. Gadis itu mengerjapkan mata tidak percaya, tapi sepertinya sang pertapa memakai cara yang sama untuk datang lebih dulu ke rumah Timun dan menyelamatkan ibunya. Gadis itu menghela napas, beruntung sekali dia bertemu dengan orang sakti tepat sebelum dirinya dimangsa.

"Ayo, Bu. Kita masuk ke dalam," ucap Timun sambil membantu ibunya berdiri. Wanita itu masih terguncang dan sesekali terdengar isakan. Sebagai anak, dia tidak tega melihatnya seperti itu dan membuatnya bertekad untuk mengalahkan raksasa.

Malamnya Timun tidak bisa tidur, dia berulang kali membalikkan badan di atas dipan hingga akhirnya dia menyerah dan hanya terdiam menatap gédek dari kayu. Dalam kepalanya terputar berbagai macam skenario agar dirinya bisa selamat menghadapi raksasa. Waktu berjalan lambat, fajar yang dinanti tak kunjung tiba.

Terdengar suara ayam berkokok dari kejauhan. Gadis itu langsung melonjak bangun dan duduk di atas papan kayu tempatnya beristirahat. Dia segera meraih ketiga kantong yang diberikan oleh pertapa tua, menggenggamnya erat. Menunggu dalam tegang. Matanya terbuka dan seluruh tubuhnya siaga. Dia masih mendengar isakan dari kamar sebelah, tanda bahwa ibunya juga tidak tidur semalaman.

Timun bangkit dan mondar-mandir di dalam kamar hingga dia merasakan tanah bergetar. Gadis itu menelan ludah ketika langkah-langkah raksasa mulai terdengar. Semakin dekat, semakin kuat.

"TIMUN!" Suara menggelegar itu kembali terdengar membuat Timun berjengit. Jantungnya berdetak kencang dan tangannya dipenuhi keringat. Dia melihat sang ibu berlari ke arahnya dan memeluk erat.

"Jangan keluar, Nduk. Biar Ibu aja yang ketemu dia."

Timun tersenyum dan mengelus pundak rapuh itu untuk menenangkan. "Aku ndak bisa biarin Ibu dimakan rak--"

"KELUAR! AKU MENJEMPUTMU!" Terdengar suara tawa mengerikan menggema di tengah cahaya fajar yang mulai tampak.

Sang ibu menggelengkan kepala. "Jangan, Nduk. Gimana kalau kamu yang dimakan? Ibu sudah tua, sedangkan kamu masih muda."

Timun kembali menyunggingkan senyum sambil perlahan melepaskan pelukan nyaman dan berjalan ke arah pintu, menyongsong bahaya.

__________________________________

Ada yang mau ditanyakan soal bahasa jawanya? Wakakakkaak

Yap ini sudah masuk ke klimaks cerita :3 kurleb 3 chapter lagi tamat

Oh ya, bebarengan dengan ini aku juga up cerita Night with CEO hahaha enjoy!

Continue Reading

You'll Also Like

Tawa [END] By anis

Short Story

22.7K 4.1K 9
Sayup-sayup, telingaku dapat mendengar tawa-tawa kosong; janji-janji kepalsuan; juga angan-angan kebohongan. Dunia ini benar-benar memuakkan. © Anis...
7.3K 2K 25
Telepon hantu? HAH! Aku memutar bola mata. Dari sekian banyak urban legend yang pernah kudengar, telepon hantu adalah salah satu yang paling menggeli...
92.6K 8.5K 113
Ketika cinta antara dua jiwa dapat menyebabkan perang dua negara. Permusuhan yang mendalam antara anak cucu, diawali oleh sebuah cinta yang tak perna...
485K 56.5K 47
Jenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek buyutnya yang mengidap Dementia. Suatu ha...