JANDA TAPI PERAWAN (JANDA RAS...

By RhaKartika

5.5M 54K 2.2K

Highestrank 1 (3 Februari 2018) #rank 14 (6 des 2017)#rank 11 (8 des 2017)#rank 9 (9 des 2017)#rank 7 ( 13 de... More

Status Baru
Gibran Arshaka Keenandra
Satu hari bersama Dafi
Bos punya mau
Perkelahian

Masih banyak yang lajang, masa aku suka suami orang?

85.3K 8.3K 208
By RhaKartika


Banyak orang bilang, mencintai wanita itu menyiksa. Tapi buat Arshaka yang paling menyiksa itu, menatap punggung wanita yang dia cintai di saat wanita itu menatap punggung laki-laki lain.

******

Aku mengambil cuti satu hari. Padahal aku tidak apa-apa. Tapi kata Benyamin, sebaiknya aku istirahat di rumah sambil menjernikan pikiran.

Benyamin bilang, hari ini Lala juga mengambil cuti. Kantor juga masih berisik dengan kejadian kemarin. Kata dia, hebohnya ngalah-ngalahin berita perselingkuhan artis di TV.

Benyamin memang senang melebih-lebihkan. Tapi kata dia juga, Arshaka sudah tau alasan aku menampar Lala. Akhirnya, ujung-ujungnya Arshaka tau status aku yang menjanda.

Pak Nata yang terbawa-bawa malah bersikap acuh. Dia tidak menyangkal atau membenarkan fitnahan semua orang di kantor. Aku tidak mengerti jalan pikiran laki-laki itu.

Aku bisa mengerti kalau Pak Nata mungkin menaruh rasa ke aku. Bagi Pak Nata, dia mungkin hanya ingin coba-coba mendekati wanita tidak bersuami.

Entah apa yang di lihat Pak Nata dari aku. Apa benar karena status aku, dan stigma masyarakat yang menyudutkan status aku, dia jadi ingin mencoba?

Pak Nata, karyawan senior yang menjabat sebagai kepala HRD. Usianya baru 43 tahun. Katanya, istri dan anaknya berada di kota lain.

Perawakan pak Nata, cukup lumayan untuk lelaki seusianya. Wajahnya, tidak terlalu tampan, tapi tidak jelek juga. Kalau kata anak muda jaman sekarang, istilahnya ugly medium.

Tapi seberapun menariknya Pak Nata, aku tidak mungkin menaruh hati pada laki-laki beristri.

Pantang bagiku, membuat wanita lain mengalami apa yang aku alami. Apa hebatnya, demi menanggalkan status janda, aku membuat wanita lain menjadi janda?

Besoknya ketika masuk kantor, aku berpura-pura baik-baik saja. Untungnya Lala masih cuti. Katanya dia ijin sakit. Ternyata Lala memang ratu drama.

Saat melihatku, Ben langsung mendekat. Wajahnya terlihat berseri-seri. Aku tau, dia ingin menggoda aku.

"Anjir. Lo beneran masokis," katanya menunjuk aku.

"Ini efek menjanda apa gimana Nad?" katanya mengodai aku. Aku mendelik ke arahnya, tapi Benyamin tidak terusik.

"Lo kekurangan hormon kali Nad," katanya lagi.

"Mau, gue bantu?"

"Hahahaha. Ga lucu." Aku enggan menanggapi.

"Pagi-pagi rusuh banget," kata Wina yang baru datang.

"Tau nih si Ben."

"Mbak, Lo baik - baik saja?"

Aku mengangguk. Wina terlihat lega.

"Tapi Lo hebat sih. Lala harusnya sih trauma ya," kata Wina, dia menahan tawa.

"Kan kata gue juga apa." Ben ikut-ikutan menyutujui.

"Lo ngegym ada gunanya juga." Seloroh Ben sambil lalu.

Baru saja duduk, tiba-tiba langkah kaki mendekat ke arah meja kubikelku. Aku menatap pak Nata yang sedang memperhatikan aku. Beruntung kantor masih sepi. Cuma ada aku, Ben dan Wina.

"Kamu, gak apa-apa?"
Semua orang hari ini bertanya seolah aku seorang pesakitan.

"Tidak pak. Terimakasih." Aku berusaha bersikap sopan. Bagaimanapun, beliau atasan aku. Dan aku tidak bisa apa-apa karena selama ini pak Nata tidak pernah bersikap tidak senonoh.

Dia cuma sama seperti beberapa laki-laki di kantor ini, yang menatap aku dengan cara yang entahlah, aku tidak mengerti. Atau beberapa kali, dia hanya diam diam membayarkan makanan aku di kantin bawah.

"Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke saya."

"Iya pak. Terimakasih." Wina pura-pura tidak memperhatikan. Benyamin menatap aku sambil memainkan alis.

"Morning guys." Arshaka menyapa sambil menatap aku.

"Pagi pak." Kami menjawab serempak.

"Yasudah. Selamat bekerja ya Nada," katanya lagi lalu pergi. Sebelum pergi, di mengangguk sopan ke arah Arshaka yang hanya memberi tatapan datar.

"Data yang kemarin, tolong di bagi ke Nada ya." Kata dia memberi perintah.

"Terus, kamu tolong nanti masuk ke ruangan saya." Aku menganggukan kepala. Lalu dia masuk ke ruangannya.

Ruangan Arshaka tepat di depan meja kubikel aku. Roller blinds yang sejajar dengan meja kubikel, selalu dia tutup rapat.

"Udah gue kirim ke email ya," kata Ben sedikit meninggikan suara. Lalu dia berjalan ke arah aku.

"Nad," katanya.

Wina di samping aku ikut-ikutan mendekat.

"Gila, pak Nata pantang menyerah ya?"

"Najis." Aku merinding sambil menyalakan komputer.

Lalu dia terbahak.

"Sebagai cowok, gua tau apa yang dia pikirkan."

"Pikiran kotor maksud Lo?"

"Pinter." Ben memuji aku sambil tersenyum centil.

"Terus pikiran Lo ga kotor gitu?"

"Ya sama saja sih," kata dia sambil tertawa-tawa.

"Idih si najis," kataku lagi membuat Wina tertawa.

***

Hari-hariku mulai berjalan penuh dengan drama. Apa itu hidup stagnan? Selamat datang maraton lembur. Padahal beberapa hari yang lalu hidupku masih damai. Bos baru terlalu banyak mau. Aku sampai pusing. Hidup seperti ini, membuat kehidupan asmara aku membusuk. Dafi sempat mengeluh, kalau aku susah banget di hubungi.

Arshaka pernah berkata, kalau kerjaan kamu jam segini belum beres, ya dari siang kamu ngapain saja?

Wah. Dia memang berniat menindas aku. Masalahnya, dia bersikap judes dan galak cuma sama aku. Mas Agus yang dulu malas menjadi bawahan anak bau kencur, ternyata malah yang paling di hormati Arshaka. Jarang sekali, proposal mas Agus di tolak. Wajah Mas Agus jadi sering berseri-seri, pekerjaannya di kantor jadi agak santai, dan dia jadi selalu pulang tepat. Pun begitu pada Lala, Wina dan Ben. Arshaka tidak rewel dan banyak mau.

Satu-satunya korban dia disini, cuma aku. Tiga hari ini, kepalaku menjadi berat, karena aku maraton lembur setiap hari.

FYI. Setelah hari itu, Lala dan aku tidak pernah berkomunikasi. Aku juga tidak sudi menyapa duluan. Aura bilik divisi kami jadi dingin. Mungkin Arshaka membaca situasi, dia tidak pernah menyuruh aku menjadi back up Lala.

Ini kesekian kalinya aku mengetuk pintu ruangan Arshaka. Dia menengok, tumpukan kertas di depan dia begitu sangat banyak.

"Sudah?" katanya.

"Ini pak," aku memberikan laporan yang entah keberapa kali dia suruh aku revisi.

"Kamu periksa lagi deh. Masa ada typo," katanya mengeluh.

"Di halaman berapa pak typonya?"

"Ya kamu cari sendiri, masa gitu saja harus saya yang kasih tau." Dia berubah jengkel.

Aku mengangguk-anggukan kepala.

"Nad," katanya memanggil aku tepat sebelum aku menutup pintu

"Itu angkanya coba di cek lagi," katanya lagi.

"Datanya kayanya salah. Kamu pakai data tahun berapa?"

"Data terbaru pak." Aku agak kesal. Arshaka ini apa dia meremehkan hasil pekerjaan aku atau gimana sih? Aku bukan anak kemarin sore, pekerjaan menyusun data seperti ini sudah menjadi makanan sehari - hari.

"Coba kamu minta data hari ini," katanya lagi. Aku melirik jam, mungkin Arshaka pikir seluruh karyawan di dunia akan bekerja sampai tengah malam.Tapi yang namanya kacung, harus ikut maunya bos. Aku hanya menganggukan kepala.

Aku membuka email, lalu mengetik meminta data terbaru dari salah satu klien yang proyeknya sedang Arshaka pegang.

Mas Agus tiba-tiba datang mendekat.

"Nad," katanya. Aku menoleh.

"Data yang gue minta, sudah?"

"Haduh mas." Aku memijat kening.

"Pekerjaan gue lagi banyak banget. Data yang lo minta belum gue susun."

"Lo kerja gimana sih?" Mas Agus jadi agak senewen.

"Ya, Lo kasihani gue lah." kataku sambil menunjuk tumpukan kertas dengan telapak tangan. Mas Agus melihat ke arah yang aku tunjuk. Akhirnya dia mengalah, "Yasudah. Gue susun sendiri saja," katanya sambil lalu.

"Gue balik duluan ya Mbak," kata Wina.

Arshaka ternyata bos yang pengertian, kecuali untuk aku. Arshaka bilang kalau pekerjaan kami sudah selesai, tidak usah menunggu Arshaka pulang duluan. Kami bisa pulang lebih dulu.

Masalahnya, selama beberapa hari ini aku yang terjebak bersama dengan dia sampai lewat dari jam pulang kantor. Aku ingin menangis.

Benyamin mendekat ke arah aku, dia menggeleng - gelengkan kepala.

"Gila, kayanya Lo bakal jadi orang paling gede nih gajinya," kata dia sambil melihat meja aku yang berantakan.

Aku mendelik, dan Benyamin tertawa. Padahal siapapun tau, di divisi kami, gajiku yang paling kecil.

"Gue balik ya," kata Ben.

"Semangat," katanya lagi, sambil mengepalkan tangan di udara. Lalu dia benar - benar pergi.

Tepat jam sembilan, aku baru menerima balasan email. Aku memeriksa kembali data yang Arshaka minta.

"Kamu sudah makan?," kata Arshaka sambil bersandar di kubikelku.

Aku menganggukan kepala. Tadi aku sempat makan dua potong shusi yang Ben beli secara online.

"Saya lapar," katanya lagi.

Ya Tuhan. Terus aku harus apa?

"Saya enggak," kataku sambil menggelengkan kepala.

"'Makanan yang dekat-dekat sini apa ya?" katanya, lalu duduk di kursi Wina.

Maunya aku tidak menanggapi, tapi Arshaka memang minta di tanggapi. Aku hanya menarik nafas panjang.

Arshaka tiap malam berubah kepribadian. Kalau jam - jam segini, dia jadi agak lebih ramah terhadap aku.

"Bapak mau makan apa? Saya pesankan online ya."

"Sekalian sama kamu ya." Aku melirik tidak menyetujui.

"Saya gak suka makan sendirian," kata dia lagi.

"Yasudah, bapak mau makan apa?"

"Terserah," katanya lagi.

"Gak ada makanan namanya terserah pak," Aku berusaha menahan sabar sambil membuka aplikasi di ponsel.

"Yang enak apa ya?"
Arshaka tiba-tiba mendekatkan kursinya, dia memajukan kepala melirik - lirik isi ponsel aku. Aku menatapnya sekilas, anehnya aku tidak merasa risih. Seolah ini hal yang biasa kami lakukan.

Aku langsung menundukan pandangan, menscroll pilihan makanan di aplikasi.

"Soto mau gak?"

" Duh ribet makan kuah-kuah jam segini."
Aku menghela nafas.

"Nasi goreng gimana?"

"Karbo semua dong," katanya lagi-lagi mengeluh. Sabar. Sabar.

"Junk food mau gak pak?"

"Bisa gendut saya makan begituan jam segini."

Aku langsung mendelik ke arahnya. Dia menatap aku.

"Oke, junk food," katanya tiba-tiba. Lalu dia seperti menahan senyuman.

"Mau bagian apa Pak?"

"Kamu sukanya apa?"

"Dada yang krispi."

"Oh. Kalau saya sih suka paha."

Aku mengerutkan kening. Ini perasaanku saja, atau cara bicara Arshaka barusan terdengar ke arah yang tidak-tidak ya?

Setelah aku selesai memesan, aku kembali berusaha fokus ke depan layar. Tapi,aku mulai merasa terganggu. Arshaka tidak kembali ke ruangannya. Dia masih betah bertengger di kursi Wina sambil memainkan ponsel.

"Nanti kalau makanannya datang, saya kasih tau bapak," aku berinisiatif.

"Oke," katanya. Tapi tidak juga beranjak pergi. Dia mau jadi CCTV apa gimana ya? Aku jadi tidak bisa bekerja agak santai.

Drive thrue junk food yang kami pesan, tidak jauh dari kantor. Kurang dari 10 menit, ponsel aku sudah menyala. Arshaka melirik ke arahku, aku mengacungkan ponsel ke arahnya.

"Ojek online," kataku.

"Saya ke bawah ya Pak."

"Ga usah, biar saya saja." Kata dia, lalu dia pergi. Aku langsung bernafas lega sambil mendorong punggung ke sanadaran kursi, setelah dari tadi pura-pura menjadi pegawai yang rajin dan cekatan.

Aneh banget, aku merasa degdegan setiap dia dekat-dekat. Wanginya dia jadi sering kecium, sampai - samlai di kosan pun aku jadi sering kebayang-bayang.

Gila sih. Sama Dafi saja aku tidak segitunya.

"Makan dulu," kata Arshaka lalu duduk kembali ke kursi Wina. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening.

"Kan saya sudah bilang, saya gak suka makan sendirian."

Terus aku jadi tumbal gitu? Ini apa-apaan sih, bisa - bisanya kejebak makan malam di kantor bersama bos. Aku jadi ingat judul novel yang waktu itu aku beli, night with my bos.  Bedanya malamku penuh gemerisik lembaran kertas, dan komputer yang panas.

Dia menyerahkan makanan milik aku. Lalu membuka segel botol minuman, dan mendorongnya ke arahku. Lalu saat aku akan membuka sambal, Arshaka lebih dulu menuang sambal ke box ayam milik ku yang sudah terbuka. Aku jadi agak salah tingkah.

Dia mulai makan, dan aku pura-pura tidak memperhatikan. Aku sampai harus menggigit bibir saat melihat Arshaka yang ogah-ogahan mencuil ayam. Lalu menyingkirkan bagian kulitnya. Dia ternyata tidak berubah, picky eater.

"Saya tidak lihat kamu solat," kata dia. Beberapa hari ini, memang jadwalku mendapat tamu bulanan.

"Saya gak solat," kataku sambil mencolek ayam. Gerakan Arshaka terhenti, dia menatap aku dengan tatapan horor.

"Kamu pindah agama?"

"Astagfirullah. Enggak Pak. Saya lagi dapat." Entah kenapa aku harus menjelaskan pada Arshaka.

"Oh. Alhamdulillah," kata dia, wajahnya berubah lega.

"Kamu," katanya lagi.

"Kalau malam gini pulang sama siapa?"

"Bapak mau tau banget," kataku, sambil menahan lidah. Gila pedas banget, aku mencolek sambal terlalu banyak. Arshaka sepertinya memperhatikan, dia membuka botol minum lalu menyerahkannya ke aku.

Aku minum dengan perasaan yang berdebar-debar.

"Kamu so misterius gitu," katanya mengomentari.

"Pacarnya kerja dimana?" Kata dia lagi.

Ini dia apaan sih? Aku ikutin cara mainnya saja kali ya?

"Dirjen Pajak."

"Oh. Banyak dong uangnya," kata dia. Arshaka mencuil - cuil ayamnya, memisahkan lemak dan daging.

"Gak tau."

"Ko gak tau? Pacarannya baru sebentar ya?"

"Ih Bapak kepo banget," aku pura-pura sebal. Dia bersikap apatis.

"Bapak sendiri, punya pacar?" Aku balik bertanya. Entah kenapa aku jadi ikut penasaran.

Arshaka tidak langsung menjawab. Satu detik, dua detik, 15 detik, aku jadi berubah tidak sabar. Arshaka masih sibuk mengunyah makanan.

"Belum."

"Kenapa, mau jadi pacar saya?"

Aku terperangah. Dia menatap ke dalam mata aku.

"Tapi saya gak mau di duakan."

Ini aku di tembak?

******

Continue Reading

You'll Also Like

455K 6.5K 35
Narumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh...
1.3M 126K 38
Dipaksa mendaki Gunung bersama beberapa anggota pecinta alam membuat Khanaraya Raisa komat-kamit melontarkan kekesalan. Belum lagi harus tersesat ber...
1M 43.3K 41
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
209K 14.1K 46
Seperti lautan malam, aura gelap dan perasaan dingin dari sosok Joshua Maximus membuat Sadriana enggan berhadapan dengan pria itu. Sudah cukup masa...