Lukisan Tentang Langit

By dizappear

1.6M 74.7K 12.8K

[BOOK 2] Seperti kanvasku, kamu dingin dan datar. Seperti kanvasku, kamu kosong, tak ada noda, tak ada warna... More

Pesan Singkat Dari Penulis
PROLOG
Sapuan Satu; Kucing Lusuh
Sapuan Dua; Si Tuan Kucing
Sapuan Tiga; An Eye For An Eye

Sapuan Empat; Dia Langit

118K 11.1K 2.5K
By dizappear

Di matamu kutemu angkasa yang penuh rahasia, di genggammu kutemu harap yang tak kauucap, dan di rengkuhmu kutemu aku yang mulai tersesat

*

Mega tidak percaya pada keajaiban. Kata itu hanya omong kosong, juga harap berisi doa-doa yang enggan didengar Tuhan. Sebab, tidak ada keajaiban yang bisa memutar waktu ke pagi di mana suara siulan panjang teko Bunda menggema ke seisi rumah, juga langkah tergesanya yang akan disambut omelan gemas Ayah.

"Keasikan ngelukis, kan, kamu sampai lupa kalau lagi rebus air." Ayah akan menghela napas panjang, lalu menatap Bunda yang justru memasang senyum termanisnya. "Kalau saya tidak ada, terus tekonya meledak dan seisi rumah kebakar gimana?"

"Yaudah kita nanti tidur di sisa reruntuhannya. Romantis, bisa sambil lihat bintang."

Tidak akan ada keajaiban yang bisa membawa Mega duduk di sana, melihat Ayah yang tersenyum lepas seraya meraih jemari Bunda dengan tatap yang tak lepas.

"Saya nggak mau tidur di atas arang dan sisa reruntuhan gitu, Anna."

"Walau itu sama aku?"

"Bukan gitu ...."

"Jawab dulu, Ivan."

Keras dan tegas Ayah yang akan selalu kalah oleh genggam lembut tangan Bunda. Untuk Bunda, Ayah akan selalu mengatakan iya, untuk Bunda ... Ayah akan memberi dunianya.

Kadang, Mega heran bagaimana mereka bisa bersama. Kadang, Mega juga bertanya, apa kelak ia akan menemukan cinta sebesar itu di dunia?

"Saya nggak akan tega biarin kamu kesusahan begitu, tapi karena kamu jadi raguin saya begitu, ayo kita bakar sekarang aja rumahnya, biar kamu tau, asal sama kamu, saya nggak apa-apa."

"Aku juga! Asal sama kamu, aku baik-baik aja," ucap Bunda dengan senyum berseri, yang ternyata hanya dusta ... karena dia memilih tiada.

Rengekan manja Bunda, tawa hangat Ayah, dan perdebatan kecil keduanya akan selalu menjadi sepiring sarapan kesukaan Mega. Menu yang tidak akan pernah bisa kembali ia rasa, bahkan jika Mega menukar seluruh jiwanya.

Andai ada keajaiban untuk memutar waktu..

Sayangnya, tidak akan ada keajaiban untuk memutar waktu.

Setelah Bunda tiada, suara teko menjadi pengantar kenangan sedih. Raungannya yang dulu hangat berubah menjadi siksa yang bahkan tidak bisa digambarkan kata. Dan setelah Bunda tiada, banyak yang hilang dari hidup Mega.

Ayah tak lagi ramah, senyumnya tak lagi rekah. Dan kini Mega mengerti, Ayah tidak pernah kalah ... pada Bunda ia hanya mengalah, karena setelah kepergian Bunda, tidak ada lagi Ayah yang sebelumnya.

"Ayah, airnya udah mendidih."

Seolah tak peduli pada uap yang mengepul, juga tutup teko yang meronta, Ayah bergeming. Mega tahu Ayah tidak benar-benar di sana, saat beliau terkesiap dengan sentuhan Mega.

"Airnya udah mendidih," jelas Mega, seraya mematikan kompor. "Ayah mau buat kopi?"

Ayah mundur dengan desah napas yang terdengar menyakitkan. Jemarinya meraih mug putih bergambar awan yang pernah Bunda lukis, dan bukannya menjawab, Ayah justru bertanya, "Kamu mau ke mana?"

Ayah memindai Mega dari kepala sampai kaki, sampai Mega salah tingkah sendiri.

"Charity Concert itu lagi?"

"Enggak."

"Tas kamu?"

Satu alis Ayah terangkat, seolah curiga kalau Mega membawa uang untuk minggat satu bulan, atau malah seisi lemarinya.

"Ah, ini ... aku mau ke kafe, Yah. Ada tugas tambahan," imbuh Mega tergesa, "ternyata harus dikumpulin besok dan aku nggak tau."

"Sibuk apa kamu sampai nggak tau ada tugas?"

Mega meremas jemarinya sendiri.

"Nggak gitu ...." Semakin banyak Mega bicara, semakin banyak pula pertanyaan Ayah. Maka, ia memilih menarik senyum dan memeluk totebagnya. "Kalau nggak kepepet enggak kok. Boleh, kan, Yah?"

Ayah punya kemampuan magis untuk membuat lawan bicaranya kehilangan kata. Tatapan menyelidik juga embus napas beratnya mampu membuat aura di sekitar menjadi dingin, dan Mega tidak menyukainya.

"Pulang sebelum jam sembilan."

Bahu Mega merosot begitu saja saat Ayah berlalu, meninggalkan teko yang uapnya masih mengudara.

Namun, di ujung pintu dapur Ayah berhenti. Sekali lagi dia menatap Mega dan berkata, "Ayah harap kamu nggak bohong."

***

Melihat bagaimana mata Ayah memicing saat menyebut Charity Concert saja sudah membuat Mega merinding bukan main, jadi ... tentu saja Mega harus berbohong.

Totebag buluk yang ia kenakan memang tidak berisi uang untuk minggat satu bulan, apalagi baju untuk kabur sebulan, melainkan proposal SolitudeFest yang Doris minta.

Iya, Doris!

Siang tadi, Doris tiba-tiba saja menghubungi Mega. Mega sampai curiga kalau Doris habis jatuh dari tempat tidur sampai kepalanya terbentur.

"Halo, Mega, hari ini luangin waktu jam tujuh, ya? Kita ketemu," ujarnya saat itu, singkat, padat, dan tanpa intro.

Untung saja Mega sudah mendengarkan semua lagu 30seconds, jadi jangankan suara, Mega bahkan kayaknya udah hafal tarikan napas Doris.

"Oh, iya ... bawa proposal lagi, soalnya yang dari lo kemarin ketinggalan di studio, dan gue sama anak-anak udah di venue," lanjutnya, padahal Mega bahkan masih mencoba meyakinkan diri kalau Doris serius, bukan karena terbentur, apalagi kesurupan.

"Jadi ... kita ketemu di mana, Kak?"

"Oh, gue belum bilang, ya?"

Kalau udah, ngapain Mega nanya, kan?

"Sorry." Kekehan Doris menggema di ponsel Mega, disambut tawa samar lainnya. "Pasar Kangen, lo tau kan?"

Tentu saja, warga Jogja mana yang nggak tau event kuliner dan pentas para seniman yang diadakan tiap tahun itu?

"Kita ketemu di sana. Kalau lo udah sampai kabari aja, nanti temen gue jemput lo di depan."

Doris sepertinya belum pernah dilatih basic manner di mana kata tolong dan terima kasih itu sangat penting, dan mematikan telepon tanpa permisi juga tidak sopan.

Namun, berhubung Mega tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia memutuskan untuk datang.

Pasar Kangen ... tempat itu bukan hanya tentang kuliner tradisional dan pameran seni, tempat itu berisi banyak rindu yang Mega simpan di sana.

Terakhir yang Mega ingat, ia ke sana bersama Ayah. Dengan satu buket bunga krisan putih yang mereka beli di Kota Baru untuk Bunda, yang lukisannya selalu berkesempatan dipajang di pameran seninya.

Lalu, di tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi bunga krisan, tidak ada lagi lukisan Bunda, dan Mega tak pernah lagi ke sana.

Sekian lama, ternyata banyak hal telah berubah dari Pasar Kangen. Tempat ini serupa lautan manusia, dan Mega tenggelam di dalamnya.

Tempat ini serupa lautan manusia. Stand-stand makanan seolah tenggelam oleh mereka yang berbaris di depannya. Beberapa kali Mega menabrak bahu orang tanpa sengaja, atau menginjak alas kaki orang di depannya.

Sambil memeluk erat totebag meski isinya nggak ada yang berharga, Mega mencoba menghubungi Doris. Sayangnya, sinyal selalu bermusuhan dengan keramaian. Jangankan menelepon Doris, kirim pesan aja kayaknya gagal.

Mega berdecak kesal.

Pasar Kangen seharusnya punya dua panggung. Satu di dekat pintu masuk, yang tadi diisi dalang, sinden, lengkap dengan pemain gamelannya. Jadi, nggak mungkin 30seconds manggung di sana.

Maka, mengikuti instingnya, Mega terus berjalan sampai ia menemukan satu area terbuka di depan teras bangunan tua. Tidak ada barikade, hanya pelukis-pelukis jalanan yang sedang menunjukkan aksinya. Mereka melingkar, menyisakan satu ruang untuk seseorang yang kini tengah membacakan puisi dari Sapardi.

Sejenak Mega lupa akan tujuannya. Ia sibuk tenggelam di dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Petik gitar yang mengalun, puisi yang lantang, juga raut bahagia yang membuat sesuatu dalam diri Mega menghangat.

Di antara semua itu, diam-diam Mega bertanya, apa mereka benar-benar bahagia, atau sedang berpura-pura?

Lalu, lamunan Mega buyar oleh seseorang yang menepuk pundaknya.

"Lo nunggu lama?"

Suara itu akhir-akhir ini sering Mega dengar, belum lagi parfum yang tanpa sadar sudah ia hafal. Meski Mega tidak percaya pada kebetulan, tapi saat ia mendongak, kebetulan itu seolah nyata, menjelma lelaki yang diam-diam sudah Mega beri nama si Tuan Kucing.

Wajahnya yang berhias senyum  membuat Mega harus meyakinkan diri beberapa kali kalau dia adalah orang yang sama, yang kemarin marah gara-gara Mega mengomentari skripsinya.

"Hai," sapanya seolah nggak punya dosa, yang membuat Mega menaikkan alis.

"Kepala kamu habis kepentok?"

Jelas saja Mega bingung. Di tiga pertemuan mereka, jangankan menyapa, lelaki ini tidak pernah tersenyum. Mungkin di mata lelaki ini, manusia punya kasta jauh di bawah kucing.

Belum selesai di sana, dua gadis yang tiba-tiba muncul dari balik punggung lelaki ini dengan senyum malu pun berhasil membuat Mega membelalakkan mata.

"Kak ... boleh minta foto."

"Foto?" tanya Mega pada lelaki itu, yang kini justru membuang napas dengan wajah lelah.

Sekilas mata mereka bertemu, dan nggak tau kenapa Mega jadi tersipu, sampai Mega lupa mau ngomong apa, sampai Mega lupa tujuannya ada di sana.

Detik berikutnya jantung Mega nyaris meloncat karena lelaki itu tiba-tiba memangkas jarak, hingga Mega bisa merasakan embus napasnya di telinga.

"Bantu gue."

Suaranya yang rendah terdengar lembut, terlalu lembut sampai tengkuk Mega merinding, dan tambah merinding saat si Tuan Kucing bicara dengan dua gadis tadi dengan topeng sempurna.

"Sorry, gue nggak mau bikin temen gue nunggu lama."

Ini siapa yang dia maksud teman?

Mega?

Jangan bercanda, mereka bahkan belum berkenalan.

"Yah ... sekali aja, Kak."

Gadis itu memohon dengan kedua tangan mengatup di depan dada dan wajah tersipu yang gagal disembunyikan.

"Sorry." Penolakan si Tuan Kucing sepertinya sudah final karena dia kini justru menatap Mega.  "Ayo makan, gue laper."

Hidup di atas skenario Ayah sudah cukup susah, lelaki ini malah seenaknya datang dengan drama tanpa naskah.

"Tapi ... aku–"

"Bawel." Lagi-lagi kalimat dan napas Mega terhenti karena lelaki itu tiba-tiba saja mengacak rambut Mega pelan, dengan wajah yang cuma berjarak sejengkal. "Gue bilang, ayo kita makan."

Suara rendah si Tuan Kucing penuh penekanan dan Mega tau itu perintah. Namun, yang membuatnya bungkam adalah mata cokelat lelaki itu, juga kata kita yang baru saja dia lontarkan.

Rasanya aneh, lebih aneh karena Mega nggak bisa melawan waktu lelaki ini meletakkan kedua tangan di pundak Mega, dan mendorongnya menjauh dari dua gadis tadi. Sesekali tangan lelaki itu akan terlepas, hanya untuk membuka jalan, atau menghalau bahu-bahu yang hampir menyentuh Mega.

Masalahnya, ini Mega mau dibawa ke mana?

"Mas, kalau kamu masih marah masalah skripsi kamu kemarin, aku minta maaf. Jangan culik aku, deh, soalnya Ayahku nggak sekaya itu—"

"Jangan panggil Mas."

"Loh, kenapa? Kamu kan kating aku, terus Mas itu panggilan paling sopan–aduh!"

Si Tuan Kucing tiba-tiba menahan bahu Mega hingga ia tersentak. Dan bukannya minta maaf, dia malah menarik jaket Mega, memaksanya mendekat.

"Lo mau?" tanya lelaki itu sambil menaikkan dagu.

Mega berdecak, mengamati gumpalan lemak sapi yang sedang dibakar di atas arang. Sate kere ... kalau di keadaan biasa Mega nggak akan bisa menolak. Namun, ia di sana bukan untuk bersenang-senang, apalagi wisata kuliner.

"Enggak." Mega mengembuskan napas gelisah dan meboleh ke sekitar. "Cewek tadi udah pergi, aku holeh pergi, kan? Soalnya kalau aku gagal..." Mega menggantung kalimatnya. "Gitulah! Intinya, aku harus pergi sekarang. Oke?"

Kalau dia tidak mendapat approval, Baskara akan marah dan seluruh panitia pasti jadi susah. Belum lagi Ayah ... Mega tidak akan punya kesempatan lagi untuk bernapas.

Namun, lelaki itu kayaknya nggak peduli. Dia justru sibuk merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan uang lima belas ribu yang ditukar dengan seporsi sate kere.

"Lo yakin nggak mau?"

Lelaki ini ... menyebalkan sekali!

Mega mendengkus, tapi perutnya berkhianat dengan mengeluarkan suara nyaring. Meski sudah dilebur oleh bising sekitar, tapi si Tuan Kucing sepertinya sudah mendengar. Lihat saja, dia tertawa tanpa suara dan tiba-tiba menggenggam tangan Mega.

Lelaki itu menuntun Mega keluar dari lorong penuh stand makanan, menuju taman yang lenggang. Dia duduk di atas rumput dan menepuk sisi kosong sebelahnya.

"Buat lo," ucapnya sambil menyodorkan satu tusuk sate miliknya.

Mega mengerjap, tidak yakin apa yang lelaki itu pikirkan, tidak yakin juga pada apa yang sedang ia lakukan di sana. Namun, akhirnya ia menyerah juga. Dengan satu embus napas kasar, Mega meraih sate itu dan duduk di sisi si Tuan Kucing.

Ini pertama kalinya Mega duduk dan makan sepiring berdua dengan orang asing. Hening yang tercipta di antara keduanya terasa aneh di antara Pasar Kangen yang begitu bising.

Mega melempar pandangan ke sekitar. Beberapa meter darinya ada penjual rambut nenek. Mega tidak pernah meminta, tapi Ayah akan selalu membelikannya. Lalu dengan wajah datar beliau akan berkata, "Dilihat aja nggak akan bikin kamu kenyang."

Kenangan yang menyenangkan, yang tidak akan bisa terulang. Seperti halnya lorong-lorong ramai yang pernah Mega lewati dengan tawa, kini justru menyadarkan bahwa ada yang kosong di dada Mega ... ada yang hilang dari sana.

Mega ... ingin kembali ke tahun di mana semua baik-baik saja.

"Lo lihat apa?"

Lelaki itu tiba-tiba bertanya tepat di samping telinga Mega.

"Kaget tau!"

Mega lagi nggak melucu, tapi lelaki di depannya malah tersenyum tanpa suara. Dia kemudian mundur, dan mendorong sate kerenya.

"Dimakan. Dilihat aja nggak akan bikin lo kenyang."

Mega mengerjap dan menatap lelaki itu. Kalimat dan nada bicara itu mengingatkannya pada sesuatu.

"Kamu ... mirip Ayahku." Mega menusukkan ujung satenya ke lontong dan mengunyahnya. "Sama banget ngeselinnya."

"Langit." Mega menoleh, mendapati lelaki itu yang masih menatapnya. "Panggil gue Langit."

Langit. Kalau mereka berkenalan kemarin, mungkin Mega akan berpikir kalau dialah Langit yang dicari.

"Oke ... Mas Langit."

"Nggak pakai Mas."

Entah bagaimana, wajah datar lelaki itu justru membuat Mega tertawa. Di samping lelaki ini rasanya tidak terlalu buruk. Dia tidak banyak bicara, apalagi bertanya.

"Kita satu fakultas tapi nggak pernah ketemu, aneh. Kamu ikut organisasi apa?"

"Nggak ada." Lelaki itu menopang tubuhnya dengan kedua tangan dan matanya menyipit menatap angkasa. "Gue jarang ngampus juga."

Mega mengangguk. Ia menyuapkan lagi sate lemak itu ke mulutnya, lalu mengunyahnya perlahan. Enak ... semua makanan gratis kayaknya memang enak.

"Nama kamu mirip orang yang aku cari-cari kemarin ... Langit, gitaris 30seconds. Sayangnya sampai sekarang nggak ketemu. Padahal aku berharap banyak sama orang ini, biar dapet approval buat SolitudeFest. Kamu tau kan, the power of orang dalam!"

Meski tidak yakin lelaki itu mengerti, Mega tetap saja lega, karena lelaki itu masih menatapnya, seolah apa pun yang keluar dari bibir Mega benar-benar dia dengarkan.

"Nah itu. Soalnya kalau aku gagal ..." Mega mengembuskan napas lelah. "Aku bakal bikin semua orang susah."

"Sekarang udah nggak nyari emang?"

Mega menggeleng. "Sekarang Langit yang aku cari pasti lagi di backstage, soalnya 30seconds mau manggung."

Tunggu dulu. Mega barusan bilang apa?

Buru-buru Mega bangkit.

"Lang, harusnya aku ketemu 30seconds." Mega nggak punya waktu buat marah, apalagi mencari siapa yang salah. Sekarang Mega cuma butuh tau di mana backstage-nya. "Backstage-nya di mana, sih?"

Ia mengeluarkan ponsel, mengecek jam dan mendesah pasrah. Sinyal masih nihil dan rasanya Mega mau hilang. Mega benci hal-hal yang terjadi di luar rencananya, sayangnya, ia juga yang membuat segalanya berjalan di luar rencana.

"Gue anter."

Mega tidak tau sejak kapan Langit berdiri dan menggenggam tangannya, yang Mega tau, detik berikutnya Langit berlari, dengan langkah yang masih bisa ia kejar, dengan punggung yang terlihat begitu lebar.

"Kamu tau di mana backstage-nya?" tanya Mega lagi.

Tidak ada jawaban. Lelaki itu sibuk mencari jalan, mendorong beberapa orang, dan tetap diam saat mendapat makian.

Napas Mega sudah terengah saat mereka akhirnya berhenti di depan pintu kelabu. Namun, waktu yang terus berjalan membuat Mega tidak punya pilihan.

Lima menit, Mega cuma punya lima menit.

"Kenapa nggak masuk?"

Mega memegang kenop pintu sambil menatap Langit.

"Kalau aku berhasil, aku bakal kasih kamu apa aja yang kamu mau, Lang."

Sekali lagi, Mega menarik napas panjang ... tapi tunggu dulu. Ia kembali menatap langit.

"Kecuali tanah satu hektare, ya tapi."

Ujung bibir Langit terangkat. Lelaki itu memegang pundak Mega dan membuka pintu di waktu yang sama.

"Good luck."

Suara rendah Langit terdengar tepat saat Mega didorong masuk dan dentum pintu tertutup membuat seisi ruangan menoleh.

Sial.

Doris kini menatap Mega garang, bahkan sebelum Mega sempat membaca doa.

"Ngapain lo?" Dia mendekati Mega dengan tangan di atas pinggang. "Lihat jam lo coba. Lima menit lagi kami main dan lo baru dateng? Kayak gini lo minta approval?"

Kali ini Mega benar-benar akan habis. Ia tidak memiliki pembelaan, ada pun tidak akan mampu menyelamatkannya dari amarah Doris.

"Maaf, Kak. Saya bisa nunggu sampai Kakak selesai."

"Keluar."

Mata Mega membulat, sedang Doris membuang muka, seolah tidak sudi melihat Mega. Harus apa Mega sekarang?

Jantung perempuan itu seperti diremas saat Doris kembali berucap sambil membuang muka.

"Gue bilang keluar, kami mau siap-siap."

Jadi ... semua selesai?

Mega menelan ludahnya kasar. Sekali lagi ia menatap Doris, Haidar dan Giandra bergantian. Jemari perempuan itu tiba-tiba saja gemetar. Dan tanpa suara, ia memilih untuk menyerag ... melangkah keluar, dan menutup pintu sepelan yang ia bisa.

Sekarang siapa yang harus ia salahkan?

"Udah?"

Mega menatap Langit dengan tangan mengepal di samping badan. Apa ia harus menyalahkan Langit yang membawanya pergi? Apa ini memang salah Mega yang dengan bodoh justru meladeninya?

Bibir Mega terkatup rapat, dan ia hanya bisa mengangguk.

"Udah approve?" tanya lelaki itu lagi, seolah wajah kusut Mega tidak cukup menjelaskan semuanya.

Sekarang Mega harus bagaimana?

"Proposal lo mana?"

Perempuan itu mendongak dan meski matanya mengabur karena air mata yang hampir jatuh, ia masih bisa melihat ekspresi Langit yang tidak terbaca. Lelaki itu meraih totebag yang Mega kenakan tanpa permisi dan mengambil proposal, seolah ia sudah tau kalau Mega membawanya.

"Mau ngapain?"

Terlambat.

Dengan kasar Langit membuka pintu ruang itu, hingga seluruh mata menatapnya. Tanpa ragu dia mendekati Doris dan melempar proposal itu ke meja.

"Baca. Dia bikin ini juga pakai otak sama tenaga."

Kaki Mega membeku, ia bahkan tidak berani maju untuk menyeret Langit keluar dari sana.

"Lo pikir kita punya waktu buat baca?"

Apa katanya? Kita?

"Lo nggak lihat ini jam berapa? Dia telat--"

"Dia telat karena gue," potong Langit. Lelaki itu terlihat begitu santai. "Gue yang ajak dia makan."

Dari tempatnya berdiri, Mega bisa melihat bibir Doris mengatup saat Langit membuka jaket jins dan melemparnya ke sofa hitam di dekat mereka.

Doris meletakkan tangan di pinggang dan decihan kasarnya menggema nyaring sekali. Tatapnya kini tertuju pada proposal yang tergeletak di meja, lalu ketegangan di sana pecah oleh panitia yang tiba-tiba masuk dan berkata, "30seconds standby! Satu menit lagi, ya!"

"Oke," Doris menarik napas panjang, menatap Langit dan Mega bergantian. Dan saat panitia itu keluar, Doris berjalan diikuti anggota lainnya.

Namun, tepat di sisi Mega dia berhenti dan berkata, "Tunggu di sini sampai kami selesai tampil."

Mega masih membeku saat Doris berjalan keluar dengan tawa geli Giandra di belakangnya. Lalu saat Haidar berjalan di sisi Mega sambil memainkan stick drum-nya, dia berkata, "Lo utang sama gitaris kami ... kalau nggak ada dia, Doris nggak akan sudi lihat muka lo lagi."

Gitaris?

Dan dari tempatnya berdiri, Mega bisa melihat Langit meraih gitar hitam di sudut ruang dan menentengnya dengan satu tangan. Lalu begitu saja dia melewati Mega sambil berkata, "Jadi ... gue punya satu permintaan, kan?"

[]

Author's Note;

Terima kasih sudah menjadi kuat hari ini ... besok kita berjuang lagi, ya 🫶🏻

Love,

Anindya Frista

Continue Reading

You'll Also Like

619K 27K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.5M 137K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
554K 21.3K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
799K 51.7K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...