The Healer [Canceled Series]

By IreneFaye

32.5K 3K 521

Darien Otoniel Plouton adalah seorang tabib. Muak dengan kehidupannya di kota besar, Darien membereskan selu... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
Epilogue

12

950 128 33
By IreneFaye


Muahahaha ... saya apdet, dan walo telat dua bulan, tapi setidaknya tetap di tanggal 26, ya kan? Ehehehehe.

Sebelumnya saya minta maaf dulu, untuk semua yang menantikan cerita ini. Tapi karena satu dan lain hal, saya sama sekali tidak bisa mengambil waktu untuk menulis sampai sebelum tanggal 20 Agustus, karena itu saya mohon pengertiannya.

In any case, dari pada baca ocehan saya yang gaje ini, silahkan meluncur langsung ke ceritanya saja. Selamat menikmati!

===

"Dalam menggunakan sihir, fokus adalah hal terpenting yang harus dikuasai." Darien berkata seraya menangkupkan tangannya ke atas kedua tangan Ji Yan. "Tunjukkan apa yang dapat kau lakukan!"

Ji Yan tampak mengerutkan dahinya dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menghembuskan napasnya ke kedua telapak tangan yang tadi dipegang oleh Darien. Selama beberapa saat kedua tangannya tampak bersinar, namun cahaya yang terpancar dari tangan itu tak terlalu terang, dan cahayanya tidak bertahan lama. Ji Yan kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah dengan gusar. "Aku tak bisa melakukan apa yang kau lakukan!" gerutunya.

Darien tersenyum. "Aku memintamu untuk menunjukkan apa yang dapat kau lakukan. Bukan apa yang kulakukan. Lagipula apa yang ingin kau lakukan tadi?" tanya pria itu geli.

"Aku ingin melakukan hal yang sama dengan apa yang kau lakukan pada Akamai! Tangan penyembuh yang dapat menutup luka!" seru Ji Yan seraya menegakkan tubuhnya. Darien tertawa mendengarnya.

"Apa yang kulakukan pada Akamai, kupelajari saat aku berusia delapan belas tahun. Dan itu kupelajari setelah aku menguasai cara mengontrol sihirku. Kau masih terlalu muda untuk mencobanya," ucap Darien seraya menyerahkan segulung benang dan sekotak jarum pada Ji Yan.

"Belajarlah untuk fokus. Gunakan sihirmu untuk memasukkan sebanyak mungkin benang dalam jarum-jarum ini!" ucap Darien sebelum kemudian mengarahkan pandangannya pada lapangan kosong yang berada di depannya. "Sementara itu, aku akan mencoba menanam beberapa tumbuhan obat di lahan ini."

Darien membuka buku bercocok tangan yang dibawanya, dan mulai membaca ulang instruksi-instruksi yang dibutuhkannya. Tangannya baru saja akan menggali sebuah lubang kecil di tanah, saat seorang anak laki-laki datang menghampirinya. Anak itu adalah Orel Garvi, putra pertama dari Ho'okano. Darien seketika langsung melontarkan pandangannya pada Ji Yan dan dalam sekejap, untaian jarum dan benang yang mulai melayang di hadapan gadis itu seketika jatuh ke tanah.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Orel? Apa ayahmu mencariku?" tanya Darien seraya bangkit dan meraup Ji Yan dalam gendongannya. Gadis kecil itu jelas tidak senang dengan apa yang baru dilakukannya, tapi ia juga tak dapat membiarkan terlalu banyak orang tahu tentang kemampuan Ji Yan. Sihir bagaimanapun juga, masih tak terlalu berterima di desa ini.

"Aku datang untuk belajar. Ayahku berkata kalau sampai perang berakhir, aku tak boleh kembali ke sekolahku di Roselan, dan jika aku ingin mempelajari sesuatu, aku harus datang padamu," ucap anak laki-laki itu dengan nada angkuh yang sangat akrab di telinga Darien. Bagaimanapun juga Darien tumbuh dikelilingi gaya bicara yang sama dengan anak itu.

"Aku tak tahu sejauh apa pelajaranmu di sekolah, tapi kurasa beberapa buku yang kumiliki dapat membantumu mempelajari sejarah dan filosofi—"

"Aku ingin belajar tentang peperangan. Ilmu apa yang dapat kau ajarkan padaku berkenaan perang yang kerajaan kita sedang hadapi?" tanya anak itu tegas.

Darien hanya menatap anak itu selama beberapa saat. Orel berusia delapan tahun. Ia mewarisi kulit gelap ayahnya, tapi seluruh sisa penampilan anak itu lebih menyerupai ibunya yang seorang Roselan. Anak itu berpakaian lebih rapi dari Darien, dengan rambut tercukur pendek, dan tersisir licin. Pembawaan dirinya pun sama seperti anak-anak bangsawan Roselan kebanyakan. Dengan kepala yang diangkat tinggi dan tubuh tegap yang seolah siap menendang dan menginjak siapa saja yang berada di depannya. Mengenal sosok Ho'okano, Darien tak terlalu yakin pria itu memiliki banyak pengaruh terhadap putranya. Tapi aura keras kepala yang dipancarkan anak itu, jelas merupakan aura yang diwarisinya dari sang Ayah.

"Pergi ke dalam dan buatkan teh untuk kami, Ji Yan! Aku akan berbicara sebentar dengan Orel," ucap Darien pelan seraya menurunkan Ji Yan dari gendongannya. Gadis itu tampak melontarkan tatapan sinis ke arah Orel tapi ia tetap menuruti kata-kata Darien.

"Ada banyak hal yang dapat kau pelajari tentang peperangan, Orel. Semua bergantung dari sisi mana kau ingin mempelajarinya, dan itu juga bergantung dengan tujuanmu dalam mempelajarinya. Jadi sebelum aku mengajarimu tentang semua ini, kau harus terlebih dahulu memberi tahuku, kenapa kau ingin mempelajari tentang peperangan." Darien berkata seraya mengambil tempat untuk duduk di lantai terasnya. Pria itu kemudian memberi arahan agar Orel ikut duduk di sampingnya.

Anak itu menurut, tapi Darien dapat melihat ketidak nyamanan di mata anak itu. Darien ingin tertawa. Ia tak punya bangku di teras belakangnya. Orel, seorang anak yang jelas tumbuh dalam kemewahan, jelas kebingungan saat dihadapkan pada kesederhanaan. Darien tahu perasaan itu. Bagaimanapun juga Darien sendiri pernah mengalaminya. Sekalipun begitu, berbeda dengan Orel, pengalaman pertama Darien terhadap kesederhanaan tidak didapatnya di desa setenang Morbos. Kesederhanaan pertamanya ia dapatkan di medan perang. Dengan kehancuran dan kengerian di sekitarnya.

"Kau adalah seorang penyihir," tegas Orel sambil menatap langsung ke arah Darien.

"Aku adalah seorang tabib—"

"Tapi kau adalah seorang penyihir sebelum kau menjadi tabib. Ayahku bilang kau bertarung di perang sepuluh tahun lalu sebagai seorang penyihir."

Darien mengangkat sebelah alisnya. "Ayahmu tak seharusnya memberi tahumu tentang hal itu, tapi—"

"Aku tidak peduli kalau kau adalah seorang penyihir. Aku tahu anak perempuan yang kau gendong tadi juga adalah seorang penyihir. Beberapa anak di kelasku juga adalah seorang penyihir. Mereka dipanggil ke medan perang, karena kemampuan mereka. Mereka melayani kerajaan ini sementara aku terperangkap di desa ini. Bersembunyi dari peperangan yang sedang terjadi." Orel mengalihkan matanya ke hutan Samsara yang memang berada di belakang pondok Darien.

"Kau ingin belajar mengenai peperangan agar kau dapat melayani kerajaan ini?" tanya Darien pelan yang langsung dijawab Orel dengan anggukan.

"Kenapa?" tanya Darien lagi, yang kemudian membuat Orel menatapnya dengan bingung.

"Apa maksudmu, kenapa? Kerajaan ini—"

"Kerajaan ini adalah tanah kelahiranmu, tapi ia tidak memberimu makan." Darien dengan cepat memotong kata-kata Orel. "Orang tuamu yang memberimu makan. Orang tuamu memastikan dirimu berpenampilan dan berpakaian bagus, membiayai biaya sekolahmu, dan karena itu, sampai kau memiliki kemampuan untuk hidup mandiri tanpa orang tuamu, kepada merekalah kau harus berbakti. Mengenal Ho'okano, aku yakin ia tidak mengirimmu ke sini untuk belajar tentang peperangan padaku."

Anak laki-laki di sampingnya itu terdiam. Darien kemudian menarik napas panjang sebelum kemudian berdiri dari tempatnya. "Terlepas dari semua itu, aku cukup terkesan dengan usahamu. Kau datang padaku untuk mempelajari peperangan, dan bukan bertarung di dalamnya. Ini membuktikan padaku kalau kau bukan seorang petarung."

Orel tampak ingin membuka mulut untuk membantah, tapi Darien dengan cepat mengatupkan bibir anak itu dengan jarinya dan kemudian tersenyum. "Kau mewarisi otak ayahmu, tapi tubuhmu adalah warisan ibumu. Kau tak dapat mengangkat barang berat, dan kau tak dapat berlari dengan kencang, kau tak dapat menghindar saat teman-temanmu mempermainkanmu, dan kau tak dapat melawan saat teman-temanmu menghina warna kulitmu," ucap Darien seraya menunjuk jejas lebam yang hampir hilang di bawah mata Orel. "Teman-temanmu mengatakan kalau kau bukanlah seorang Dontae, karena itu kau ingin membuktikan pada mereka kalau kau adalah seorang Dontae dengan membantu dalam peperangan yang terjadi. Beritahu aku kalau aku salah!" perintah Darien cepat yang hanya dijawab Orel dengan gelengan.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya anak itu pelan.

Darien tertawa. "Aku tumbuh dan bersekolah di Roselan, Nak. Aku tahu bagaiman anak-anak di Roselan memperlakukan seseorang yang berbeda di mata mereka. Bagaimanapun juga, sebagai penyihir, aku adalah sosok yang juga berbeda dengan mereka. Mereka tak dapat menindasku sebagaiman mereka menindasmu, tentu saja. Tapi sekalipun aku memiliki sihir, sihirku tak dapat menghentikan mereka dalam mengucilkanku."

"Perang itu bodoh!" ucapan dari Ji Yan seketika membuat baik Darien dan Orel menoleh padanya. Gadis itu meletakkan tiga cangkir teh panas di tangannya ke lantai teras dan menjitak kepala Orel. Darien dengan cepat langsung meraup anak itu dalam gendongannya untuk menghentikan pertengkaran yang jelas akan segera meledak.

"Ia memukulku!" seru Orel seraya memegang bagian kepalanya yang dipukul Ji Yan.

Darien dapat melihat Ji Yan mencibir pada anak laki-laki itu dari gendongannya, tapi satu-satunya hal yang ingin dilakukannya hanyalah tertawa. Sesuatu yang ia tahu akan melukai harga diri Orel, dan Darien sama sekali tak ingin melakukan hal itu.

Dengan susah payah Darien menahan tawanya, dan menyembunyikannya dalam senyuman kecil. "Ya, dia memukulmu, apa yang ingin kau lakukan padanya?" tanya Darien penasaran.

"Aku ingin membalasnya!" seru Orel keras.

"Kenapa?" tanya Darien yang langsung membuat anak laki-laki di depannya menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Karena ia menyakitiku, jadi aku ingin ia merasakan hal yang sama!" seru Orel lagi.

"Jika kau berhasil melakukannya, maka Ji Yan akan merasa sakit, dan ia akan membalas tindakanmu, dan kalian akan terlibat dalam sebuah pertengkaran. Kalian berdua tidak akan berhenti sampai kalian berdua merasa salah satu pihak telah mendapatkan rasa sakit yang setimpal, dan pada akhirnya yang kudapatkan adalah dua anak bodoh dengan luka akibat suatu pertengkaran yang tidak penting," ucap Darien yang langsung membuat baik Orel dan Ji Yan menatapnya dengan tak percaya.

Darien menurunkan Ji Yan dari gendongannya, dan membuat gadis kecil itu berhadapan dengan Orel. "Minta maaf pada Orel, Ji Yan, dan katakan padanya kalau kau menyesali tindakanmu!" perintah Darien yang langsung membuat Ji Yan melontarkan tatapan tajam padanya.

"Kau yang memukulnya terlebih dahulu, dan itu berarti kau menyakiti seseorang. Aku tak menyukai seseorang yang menyakiti orang lain," ucap Darien pelan yang langsung membuat Ji Yan menundukkan kepalanya dengan kesal. Darien sekalipun begitu, dapat melihat ekspresi penyesalan di wajah anak itu.

"Maaf," ucap gadis itu akhirnya setelah beberapa saat. Darien dapat melihat air mata menggenang di matanya dan langsung memilih saat itu untuk kembali meraup Ji Yan dalam gendongannya. Sekejap kemudian tangis Ji Yan pecah dibahunya. Sesuatu yang seolah memberi tahu Darien kalau hari ini pun kehidupannya tidak akan berjalan dengan tenang.

***

Ho'okano tak tahu apa yang diharapkannya dengan mengirim Orel ke tempat Darien, tapi ia juga terlalu sibuk untuk mengurus putranya. Anak itu bersekolah di sekolah berasrama, dan setiap kali ia pulang ke rumah, Ho'okano tak pernah punya cukup banyak waktu untuk menemaninya bermain, atau belajar. Semua tentu saja lebih karena Ho'okano sendiri tak tahu bagaimana cara mengajari anaknya dalam pelajaran, atau lebih dari itu, menjadi seorang ayah.

Ayahnya meninggal saat usianya masih sangat muda, dan ibunya meninggal tak lama setelah Ho'okano menginjak usia tiga belas tahun. Hal itu yang menjadi salah satu alasan kenapa ia meninggalkan Morbos dan kemudian memilih untuk menjadi murid dari salah satu pedagang yang sering bersinggah ke Vitum. Pedagang yang selama sisa hidupnya kemudian menjadi sosok figur ayah tersendiri dalam hidupnya, dan yang juga kemudian mewariskan usaha dagangnya pada Ho'okano.

"Perang itu bodoh! Mama selalu bilang padaku kalau perang mengambil Papa dari kami, dan orang yang pergi berperang itu semuanya bodoh!"

Sayup-sayup Ho'okano dapat mendengar suara Ji Yan dari belakang pondok. Ia yakin Darien dan putranya juga sedang berada di teras belakang bersama gadis itu. Kata-kata Ji Yan menarik perhatiannya, tapi ia tak yakin ia dapat mengorek banyak informasi dari anak berusia lima tahun. Bagaimanapun juga ia sendiri masih kesulitan untuk berbicara dengan putranya. Ia menyangsikan kemungkinan kalau ia dapat berbicara dengan Ji Yan lebih baik daripada ia berbicara dengan putranya.

"Tak semua hal yang kau inginkan dapat kau dapatkan, anak-anak. Dan tidak semua hal yang kau yakini dapat diterima oleh orang lain. Tekankan ini selalu dalam kepala kalian, dan kalian akan baik-baik saja di dunia yang tidak adil ini."

Ho'okano kali ini mendengar suara Darien. Ia menemukan pria itu tengah berkacak pinggang di tengah-tengah halaman belakangnya yang kini penuh dengan lubang-lubang galian kecil. Ho'okano mau tak mau harus mengakui keseriusan Darien dalam usahanya untuk bercocok tanam. Selama ini ia selalu menganggap kalau tabib itu sedang bercanda setiap Darien mengatakan kalau ia ingin menanam tumbuhan obat di belakang pondoknya.

"Hai, Ho'okano! Aku mengira kau tak akan punya waktu untuk mampir di pondok sederhanaku ini!" seru Darien saat mata mereka bertemu, tapi Ho'okano jelas dapat mendengar nada sarkasme dalam suaranya. Darien jelas kesal karena ia menjadikan pondok pria itu sebagai tempat penitipan anak. Alisnya, sekalipun begitu, seketika terangkat saat ia melihat juntaian benang berisikan deretan jarum yang melayang di depan Ji Yan.

"Kau tak memberi tahuku kalau putrimu adalah seorang penyihir sepertimu, Darien," ucap Ho'okano dengan nada sambil lalu. Darien hanya memutar matanya.

"Aku bukan tidak memberi tahu, tapi kau yang tak bertanya," ucap pria itu. "Apa yang membawamu ke sini, Ho'okano? Kukira kau terlalu sibuk mengurus pengiriman logistik ke ibu kota."

Ho'okano tersenyum. "Aku selesai mengurus segala tetek bengek itu tadi pagi. Sekarang aku hanya harus memastikan kalau pulau ini mampu bertahan hidup selama perang berlangsung."

Darien mengelap kedua tangannya ke celana dan berjalan mendekat. "Dari kualitas tanah dan iklim pulau ini, kurasa Vitum akan hidup tanpa memperlukan bantuan apapun dari ibu kota. Yang kutakutkan hanyalah bagaimana pulau ini dapat bertahan jika pasukan Olanti memutuskan untuk menyerangnya," ucap pria itu yang dapat dilihat Ho'okano, jelas menarik perhatian putranya.

"Pergi pada Ibumu, Orel! Ia mencarimu," perintah Ho'okano cepat yang langsung dibalas dengan tatapan tajam dari putranya. Anak itu tampak jelas ingin membantah, tapi Darien dengan cepat mengambil buku yang tampaknya sedang ia baca saat Ho'okano datang, dan memukulkan buku itu ke kepala anaknya.

"Turuti kata-kata Ayahmu, Orel! Kau boleh datang kembali ke tempatku besok. Baca bab satu dan dua buku ini, dan berikan padaku laporanmu berkenaan kekuatan dan kelemahan kedua kerajaan yang kau baca!" perintah tabib itu cepat seraya menyerahkan buku tadi pada Orel, dan mendorong anak itu untuk segera berlalu.

"Ia akan membencimu seumur hidup," ucap Darien kemudian saat Orel telah berada cukup jauh dari mereka.

Ho'okano mendengus. "Ia dapat membenciku, tapi ia tak akan dapat menyangkal kalau aku memberikan segala sesuatu yang dapat ia butuhkan kepadanya. Jujur aku sangat lega saat sekolahnya mewajibkan setiap anak tinggal di dalam asrama selama mereka menyelesaikan pendidikan dasarnya. Aku tak pernah tahu apa yang harus kulakukan padanya setiap ia berada di rumah." Ho'okano menatapi punggung anaknya sampai anak itu tampak menghilang di balik tikungan jalan menuju benteng.

"Aku juga tak banyak menghabiskan waktu dengan Ayahku, tapi kurasa, sekalipun aku tak memiliki hubungan dekat dengan orang tuaku, tak ada salahnya jika aku mencoba membangun hubungan yang lebih baik dengan anakku," ucap Darien seraya meraup Ji Yan kembali ke dalam gendongannya. "Kurasa kau harus sedikit mencoba, Ho'okano. Kita tak pernah tahu berapa lama perang ini akan bertahan. Mungkin kau dapat menggunakan waktumu selama perang berlangsung, untuk membangun hubungan yang lebih baik dengannya."

Ho'okano menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak. "Aku akan mencoba, tapi aku tak dapat menjanjikan apapun," ucapnya sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya pada Darien. "Aku memiliki kabar buruk untukmu, Darien."

Ia dapat melihat ekspresi wajah Darien seketika berubah, mendengar kata-katanya. "Aku baru mendapat kabar dari Farrokh. Ia mengatakan kalau seseorang tiba di Pato pagi ini, dan orang itu mencarimu."

"Orang suruhan Ayahku?" tanya Darien. Ho'okano langsung mengangguk.

"Kau harus bersiap, Darien. Kurasa Ayahmu serius ingin menyeretmu ke ibu kota, apapun caranya," ucap Ho'okano. Darien seketika menarik napas panjang.

"Apa kau tahu siapa yang diutus Ayahku untuk menyeretku?" tanya Darien yang lagi-lagi Ho'okano jawab dengan anggukan.

"Othniel Wigbrand Plouton, adikmu."

To be Continued

Video: Return by Alexander Rybak

*uhuk* Alexander Rybak sebenarnya adalah model yang saya jadikan sebagai inspirasi untuk membangun sosok Darien. Jadi klo ada yang penasaran Darien orangnya gimana, silahkan tatap si penyanyi di video yang saya cantumkan di chapter ini.

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
6.4M 716K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...