Sekitar 72 Tahun yang Lalu

De euismalau

86 11 21

Semua itu terjadi sekitar 72 tahun yang lalu .... Sekitar 72 tahun yang lalu, aku diberi nama Dwipantara Ray... Mai multe

Sekitar 72 Tahun yang Lalu

86 11 21
De euismalau

Langkah kaki seseorang yang tengah berlari, terdengar dari kejauhan. Temponya cepat, mungkin Andante, mungkin pula Allegro. Aku membentuk posisi mawas diri. Akhir-akhir ini, ibu sering ketakutan. Entah dia tahu atau tidak, tapi itu membuatku menjadi siaga juga.

Suara langkah tadi kian memelan. Bukan karena jaraknya yang semakin jauh, oh bukan, tentu saja bukan. Tapi, karena posisi orangnya semakin dekat dengan tempat kami berada. Ibu memelukku erat, membuat rasa hangat melingkupiku sesaat.

Pintu berderit. Pertanda ada seseorang yang masuk. Kutunggu tanda peringatan dari ibu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tidak ada pergerakan yang dilakukannya. Dari sana, samar-samar kudengar suara dari orang yang kukenal. Kucoba untuk mempertajam telinga, tapi tidak berhasil jua. Atas nama rasa penasaran, kudekatkan telingaku ke dinding rahim ibu. Karena terlalu bersemangat, pergerakanku di dalam sini akhirnya ketahuan oleh ibu. Ibu mengelus-elusku. Ada aura bahagia yang disalurkan setiap gesekan itu. Aku menjadi tenang. Ikut bahagia. Terlebih ketika kurasakan orang itu mendekat padaku, berbicara padaku langsung. Masih kuingat jelas kata-katanya yang membuatku ingin sekali melonjak girang (kalau saja itu tidak menyakiti ibu).

“Bersabarlah, Sayang. Ayah sedang menyusun rencana untuk merayakan kedatanganmu.”
Setelah mengucapkan kalimat penenang itu padaku, sekarang sepertinya giliran kepada ibu.

“Pertiwi, Adindaku, Kanda tahu kau kuat. Kau seharusnya pantas mendapatkan yang terbaik. Pinjamkan aku seutas senyum simpul untuk memperjuangkanmu. Jaga harapan untuk bertemu anak kita. Kanda akan segera pulang.”

Kalimat terakhir, oh, aku sungguh tidak menyukai itu. Baru saja ayah pulang, kenapa dia harus pergi lagi? Jangan bilang ayah pulang hanya untuk memberi janji?! Aku gelisah. Takut. Cemas. Bimbang. Hingga kudengar ibu bersua, “Ayah meminta kita bersabar, jadi kita harus percaya pada Ayah. Ibu tahu kau anak yang pintar, pasti kau akan paham.”

Aku menerima saluran kehangatan ibu. Dari tali pusar ini, kutarik napas dalam-dalam, kukeluarkan sembari mengucap doa untuk Ayah: semoga dia cepat pulang membawa kabar gembira.

Sudah hampir tiga halaman kalender terlewati, Ayah belum juga pulang. Ibu tidak bosan-bosannya melantunkan doa setiap satu tanggal lewat. Hingga siang itu, suara khalayak ramai sayup-sayup terdengar dari luar sana. Ibu bangkit dari kursi goyang ayah, diletakkannya pigura ayah di nakas sebelahnya. Ibu memegangiku sembari dia melangkah.

Langkahnya kian hari kian berat. Aku sungguh kasihan. Seharusnya aku yang semakin besar ini segera keluar. Agar beban ibu tak lagi berat. Ibu sepertinya hanya mengintip dari jendela. Pasalnya suara orang semakin jelas, tapi pintu tidak menimbulkan deritan. Orang-orang berteriak kegirangan. Seolah-olah menandakan tempat ini mendapat berita membahagiakan setelah berabad-abad lamanya. Ibu tidak melakukan pergerakan. Dia lama terdiam, sampai pintu disambar seseorang, dan memperdengarkan suara seseorang yang kurindukan .... Ayah!

“Per-Pertiwi,”

“Tenang, Kanda. Minum dulu tehnya.”

Kami sedari tadi sudah berada di ruang tamu. Ayah kedengaran begitu bersemangat. Walau napasnya masih tersengal-sengal, beberapa kali dia ingin langsung bercerita saja.

“Tahukah kau, Pertiwi? Saudara Tua telah kembali ke asalnya. Tidak akan lama lagi, tidak akan lama lagi, kehidupan baru menunggu kita!”

Suara Ayah menggebu-gebu. Aku begitu bahagia membayangkan seperti apa kehidupan baru  itu. Ingin segera aku keluar dari sini, ingin kutanyakan langsung pada Ayah, benarkah semua itu?

Kursi kayu yang diduduki ibu bergerak, sepertinya ayah telah bangkit dari sana. Aku menunggu suara itu kembali. Beberapa kali, aku membuat gerakan pada ibu. Maafkan aku ibu, aku hanya tak ingin ayah pergi sebelum berbicara padaku.

Kurasakan sepasang tangan menghangatkanku. Dua tangan kekar dan besar menutupi seluruh bagian dariku. Kurasakan sesuatu yang kenyal menyentuh permukaan dinding itu. Itu ayah! Ayah memelukku! Ayah menciumku!

“Ayah tahu kau sudah tidak sabar, bukan?”

Aku bergerak, membuat keduanya terkejut, namun kemudian tertawa bersamaan.

“Ayah tahu, Ayah tahu. Ayah sudah menduga itu. Tapi, kau harus tetap bersabar. Sedikit lagi, Sayang. Beri Ayah waktu sedikit lagi. Ayah tidak mau mengecewakanmu ketika tiba saatnya kau datang nanti. Ayah sedang merealisasikan perayaan kedatanganmu. Sudah hampir rampung, Sayang. Kau jaga Ibu di sini. Jangan nakal. Tunggu Ayah! Dua hari lagi Ayah akan pulang!”

Kepalaku refleks mengangguk. Membuat posisiku semakin membungkuk. Aku semakin dekat dengan cahaya itu. Cahaya di mana aku akan segera keluar. Menyambut ibu dan ayah. Menyambut dunia.

Ayah dan ibu sepertinya sedang berpelukan. Kudengar ayah berucap selamat tinggal. Ibu berjalan mengantar ayah. Kemudian derit pintu terdengar, artinya pintu telah tertutup rapat dan ayah telah pergi keluar.

Mulai saat itu, aku selalu menanti derit pintu berbunyi. Harap-harap cemas nanti kedatangan ayah, pasti sudah mempertemukanku langsung dengannya. Ibu juga tidak kalah bahagia. Hari dilewatinya dengan bersenandung ria. Ketahuilah, satu hari begitu cepat berlalu jika setiap jamnya terlewati dengan harapan akan hari esok. Harapan akan kedatangan ayahku.

Seperti hari ini, ayam jantan belum berkokok, tetapi ibu sudah bangun. Sangkaku dia ingin memanjatkan syukur, karena satu hari telah berlalu dan artinya--sesuai janji--ayah akan datang. Dia ternyata memilih duduk di kursi goyang. Menyenandungkan lagu pujian, sambil mengelus-elus pigura ayah. Dia bercerita padaku tentang bagaimana sosok ayah zaman dahulu. Sudah berulang kali kudengar, tapi tetap saja begitu menarik perhatian. Ibu harap-harap cemas, siapa tahu nanti siang ayah akan datang. Siapa tahu realisasi janjinya bisa dipercepat. Ibu yang bilang begitu barusan.

Derit pintu terdengar. Bukan ayah yang datang, bukan, ibu yang keluar rumah, melihat ke luar. Sepertinya dia merasakan kehadiran seseorang. Tidak kudengar pigura diletakkannya. Sepertinya pigura itu masih didekap erat.

Suara kaki orang itu mendekat ke pintu, tergesa-gesa, sampai-sampai dia tidak dapat berbicara dengan jelas. Mungkin bahasa yang dipakainya juga tak kumengerti. Dia memakai bahasa daerah, ya, mungkin begitu, makanya aku sampai tidak paham artinya.

Sampai kurasakan ada yang tidak beres. Ibu terdiam. Terdengar seperti ada sesuatu yang baru saja pecah. Sedari tadi ibu selalu berkata, “tidak” dan “tidak mungkin”. Aku kebingungan. Butuh pegangan, tapi tangan Ibu tak menyambut niatku. Baru aku tahu satu hal. Sebelum limbung, ibu sempat mengatakan dua kata yang berbeda. Kata yang kutahu artinya, namun tak bisa kubayangkan bagaimana. Yang pasti satu hal telah terjadi ....

Ayah diculik.

-------

“Kalian tak seharusnya menculikku! Lihat apa yang sudah terjadi, Pertiwi sampai begini! Untung saja dia baik-baik saja. Kalian sebagai adiknya, mengapa susah sekali untuk bersabar?!”

Itu suara ayah. Aku tahu pasti itu. Tapi nada suaranya berbeda. Yang selalu kuingat suara ayah selalu tenang dan menenangkan yang mendengar, termasuk aku dan ibu, tetapi kenapa kali ini berbeda? Tidurku berhasil terusik karena suara gaduh itu. Sepertinya ibu juga demikian, namun belum mencapai klimaks kesadarannya.

“Kau selalu menyuruh kami bersabar. Kami tahu, kau juga pasti melakukannya terus-terusan pada Kakak. Tapi, tak kau beritahu sampai kapan. Kau menyiksanya perlahan. Kau pikir berapa lama lagi beban yang tak tertangguhkan ini dirasakannya?”

“Kanda .... ”

Ah, syukurlah. Ibu ternyata sudah sepenuhnya sadar. Kabar yang tadi tentu saja mengejutkannya. Hingga membuat dia limbung dan pingsan. Ya, aku juga merasakan yang dirasakannya. Dia ibuku, ingat itu. Di dalam dia, ada aku.

Tentang kehadiran ayah dan--yang katanya--adik ibu, aku tak tahu-menahu. Mungkin mereka segera datang karena mendengar kabar ibu pingsan. Ish. Mereka tidak tahu, secara tidak langsung telah membahayakan nyawaku.

“Tidak apa-apa, Pertiwi. Syukur pada Sang Khalik, kau dan anak kita baik-baik saja.”

Ini dia suara ayahku!

“Kanda, bagaimana keadaan Kanda? Tadi, tadi aku mendengar bahwa Kanda diculik?” tanya ibu khawatir.

Kalau dalam drama, mungkin ayah sudah melirik adik ibu di belakangnya. Karena lucunya, yang menculik ayah ada di sana.

“Bagaimana bisa terjadi Kanda? Siapa yang sudah menculik Kanda?”

Suara ibu semakin parah saja. Napasnya juga memburu. Luapan rasa khawatirnya.

“Sudah, sudah ... tenanglah. Kanda membawakanmu kabar gembira!”

Dapat kupastikan semua yang ada di sana menyergit penasaran. Aku juga! Sungguh, aku ingin tahu betul apa kabar gembira yang hendak diberitahu ayah itu.

“Besok ... kau dan aku ... akan menyambut anak kita!”

-------

Euforia di mana-mana. Hari esok itu sepertinya benar-benar dinantikan. Tidak hanya oleh ayah dan ibu, tetapi juga oleh semua orang. Aku tidak menyangka kebahagiaan meluap di segala penjuru tanah ini. Senyum ibu merekah melihatku yang keluar dengan lumuran darah. Wajah ayah tampak panik, tapi haru biru tak tergantikan datang setelahnya. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Lega. Begitu melegakan.

Dari balik jendela, anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua berlarian memenuhi jalanan. Menyerukan kata “MERDEKA!” di sepanjang jalan yang dilaluinya. Aku juga ingin mengikuti mereka dari belakang. Meneriakkan kata yang sama sekuat tenaga.

Sampai dekapan ayah menghentikan imajinasiku. Mata cerahnya memancarkan kebahagiaan tak terkatakan. Berkilauan, karena sepertinya tadi sempat berlinang haru. Ayah berjalan mendekat ke arah ibu yang basah karena peluh dan air mata. Ayah mengecup kening ibu bangga. Bangga dengan hebat dan kuatnya ibuku hingga mampu bertahan sampai hari ini tiba.

“Namanya Dwipantara. Dwipantara Raya.” kata ayah kemudian.

Hari itu adalah hari paling bahagia. Hari di mana aku akhirnya bebas, merdeka. Terlepas dari hal gelap yang telah lama sekali ada di sekelilingku. Ayah membantu membuat hari ini menjadi semakin indah. Dia berhasil! Rencananya benar-benar sukses terlaksana.

Semua itu terjadi sekitar 72 tahun yang lalu ....

Sekitar 72 tahun yang lalu, aku diberi nama Dwipantara Raya. Terlahir dari Ibu Pertiwi tercinta, karena jasa Ayah.

Continuă lectura

O să-ți placă și

6.1M 706K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
GRESHAN De shnindr12

Proză scurtă

830K 23.8K 63
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
Making Dirty Scandal De Andhyrama

Polițiste / Thriller

9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
30.4M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...