[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VER...

By dianafebi_

12.4M 595K 29.7K

Cinta diam-diam Naira tersimpan rapi bertahun-tahun kepada Wildan yang hatinya telah tertambat pada gadis lai... More

Prolog
#1 : Dear Allah, Why Him?
#2 : Retak
#3 : Kenyataan Pahit
#4 : Laa Tahzan
#5 : Suratan Takdir
#6 : Musibah Dan Anugerah
#7 : Hanyalah Pengantin Figuran
#8 : Di Balik Ego
#9 : Luka Yang Sempurna
#10 : Tatapan Penuh Luka
#11 : Sebuah Drama
#12 : Cinta Genta
#14 : Terungkap
#15 : Rahasia Manis Yang Dirahasiakan
#16 : Bukti Cinta
#17 : Antara Obsesi dan Cinta
#18 : Keringanan Dari Langit
#19 : Dua Kata Mengubah Segalanya
#20 : Sajadahku dan Sajadahnya
#21 : Sisi Lain Naira
#22 : Partner
#23 : Yang Berbeda
#24 : Gravitasi Takdir
#25 : Cemburu
#26 : Bisikan Rasa Khawatir
#27 : Embusan Napas
#28 : Jangan Pernah Ragu
Sapa Pembaca
TERIMA KASIH

#13 : Sebuah Pengharapan Indah

258K 19.2K 1.1K
By dianafebi_

Wildan turun dari mobilnya saat melihat perempuan bergamis cokelat muncul dari klinik Bunda Asih. Wildan sudah di sana sejak dua jam yang lalu, memarkir mobilnya di pinggir jalan menunggu seorang perempuan yang mungkin tahu keberadaan Zulfa. Perempuan itu adalah sahabat karib Zulfa semasa kuliah, namanya Anggun, seorang dokter anak.

Meski ragu, Wildan berjalan ke arah Anggun. Saat itu Anggun tengah mencari benda lonjong kecil untuk menbuka pintu mobilnya yang berada di depan klinik.

"Permisi, Assalamualaikum..." salam Wildan.

"Walaikumsalam..." jawab Anggun, memperjelas pandangannya untuk memastikan, "Wildan ya?"

"Iya, Nggun. Aku Wildan."

"Ada apa ya, Wil?"

"Bisa kita bicara? Ada hal penting yang ingin aku tanyakan."

Anggun mengangguk tanda setuju. Perempuan itu mengajak Wildan masuk ke lobi klinik. Ada beberapa kursi kosong di sana.

Anggun mengenal Wildan lima bulan yang lalu. Zulfa yang mengenalkan Wildan kepada Anggun sebagai calon suaminya. Anggun juga sudah mendengar kabar bahwa sahabatnya itu kabur di hari pernikahan dan calon suaminya menikah dengan gadis lain.

"Ada hal penting apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Anggun setelah duduk berhadapan dengan Wildan.

Sebenarnya ada pergulatan di hati Wildan saat ingin menanyakan perihal mantan calon isrtinya. Namun rasa cintanya kepada Zulfa teramat besar hingga mendorong laki-laki itu nekad mempertanyakan hal tentang Zulfa kepada Anggun, sahabat Zulfa.

"Kamu tahu di mana Zulfa sekarang?"

Raut wajah Anggun sedikit berubah, pertanyaan itu aneh jika mengingat Wildan sudah menjadi suami orang.

"Untuk apa kamu menanyakan keberadaan Zulfa?" tanya balik Anggun.

"Aku hanya ingin tahu."

"Bukankah kamu sudah menikah, Wil? Kenapa kamu masih mencari keberadaan mantan calon istrimu yang sudah meninggalkanmu itu?"

Wildan tahu ini salah. Tetapi bayang-bayang Zulfa selalu menghantuinya setiap malam. Menyiksa laki-laki itu. Pertanyaan dalam hatinya masih sama, kenapa Zulfa yang katanya teramat mencintainya itu pergi secara tiba-tiba tanpa satu alasan pun. Wildan hanya penasaran alasan Zulfa meninggalkannya, setidaknya dia tahu kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga Zulfa memilih pergi di hari bahagianya.

"Apa kamu tahu alasan dan ke mana dia pergi?"

Anggun menghela napas berat, "Untuk apa sih Wil menanyakan dia lagi? Jelas-jelas dia sudah meninggalkanmu. Kamu nggak kasihan sama istrimu?"

"Aku mohon, Nggun. Aku hanya ingin tahu alasan dia pergi dan di mana dia sekarang tinggal, itu aja."

"Terus, kalau kamu tahu alasan dan tempat dia tinggal sekarang, kamu mau apa? Menemuinya? Lalu meninggalkan istrimu?"

Pertanyaan itu memang sudah ada jawabannya di hati Wildan. Yakni, menemui Zulfa dan menceraikan Naira. Namun setelah kejadian di rumah sakit tempo hari, sedikit membuka pikiran Wildan bahwa Naira adalah wanita baik-baik yang tak seharusnya mendapat perlakuan kasar darinya. Di sisi lain, Wildan masih berat terhadap Zulfa. Mungkin dengan tahu alasan Zulfa pergi, Wildan tahu harus berbuat apa. Jika alasan Zulfa yang sudah tak menginginkan dirinya, Wildan pasrah dan ikhlas menjalani pernikahan dengan Naira. Namun, jika ada alasan lain, Wildan merasa punya hak untuk memperjuangkan cintanya lagi.

"Aku hanya ingin tanya alasan dia pergi jika aku bertemu dengannya, Nggun," jawab Wildan.

Anggun tahu Wildan begitu mencintai Zulfa dari apa yang Zulfa sering ceritakan. Laki-laki itu sering membuat kagum Zulfa dengan sikap dan kewibawaannya menjadi dokter. Bahkan, Zulfa sempat memuji Wildan di depan Anggun jika Wildan adalah lelaki yang sempurna. 

Saat melihat Wildan kini, Anggun meragukan cerita dan pujian sahabatnya itu tentang Wildan. Pasalnya, jika Wildan tahu posisi dan statusnya sebagai suami orang, dia akan tahu apa saja batasannya mencampuri wanita yang bukan halalnya. Mungkin istilah cinta itu buta bukan hanya isapan jempol, Anggun paham sekarang.

"Maaf, Wildan. Aku tidak tahu menahu soal kepergian Zulfa. Dia tidak pernah cerita apa-apa," kata Anggun.

"Aku mohon, Nggun," pinta Wildan meminta belas kasihan agar Anggun mau memberi tahu keberadaan Zulfa.

"Sungguh, aku tidak tahu, Wildan."

"Nggun, please!"

"Istigfar, Wildan. Kamu sudah punya istri. Allah sudah mentakdirkanmu tidak berjodoh dengan Zulfa. Harusnya kamu bisa menjaga perasaan istri kamu!" jawab Anggun sedikit jengkel.

Meskipun Anggun bersahabat dengan Zulfa tetapi dia lebih kasihan lagi kepada istri Wildan dengan sikap Wildan seperti ini. Karena sesama wanita, Anggun paham perasaan istri Wildan. Pasti sakit jika melihat suaminya kebelingsatan mencari mantan calon istrinya.

Wildan mengacak-acak rambutnya gusar, merasa putus asa. Kepada siapa lagi ia harus bertanya keberadaan Zulfa?

"Ya sudah, makasih, Nggun. Maaf sudah mengganggu waktumu," ucap Wildan berdiri.

Anggun ikut pula berdiri, "Berpasrah pada Yang Maha Kuasa, Wil. Semoga Allah memberkahi pernikahanmu," ucapnya.

Wildan mengangguk kecil, perkataan Anggun terasa angin lalu. Dia merasa kosong sekarang. Gejolak rindu memenuhi ruang hatinya, perjuangannya mencari Zulfa hari ini sia-sia.

Wildan kembali ke mobilnya setelah berpamit ke Anggun. Laki-laki itu menjatuhkan keningnya di kemudi. Seseorang! Tolonglah laki-laki itu! Sadarkan dia bahwa mencari suatu yang tak pasti itu sia-sia, tidak ada gunanya. Kembalikan lagi dia pada jalan-Nya, dia telah jauh tersesat.

Lama dalam posisinya, Wildan disadarkan oleh dering ponsel di saku kemejanya. Dengan malas laki-laki itu meraih benda persegi panjang itu, tertera nama Naira memanggilnya. Wildan menghembuskan napas berat, wanita itu sungguh membuat pikirannya semakin ruwet. Adakalanya dia membenci kehadiran Naira, namun adakala pula dia sangat kasihan kepada wanita yang berstatus istrinya itu. 

Menikahi sahabat memang tidak enak. Apalagi sahabat itu adalah wanita yang dicintai sahabatnya sendiri. Cinta segi apa sih ini? Ruwet sekali, pikir Wildan.

Wildan menggeser panel berwarna merah, dia tidak mood bicara sekarang. Dia ingin asyik tenggelam dalam lamunannya mengenang masa-masa indah yang sempat tercipta bersama Zulfa. Setidaknya itu bisa mengobati rasa rindunya.

Baru saja ponsel itu terlempar ke jok mobil, benda itu kembali berdering. Wildan tak ada niat untuk memungutnya dan membiarkan deringan itu mati sendiri.

"Ck!" Wildan berdecih, untuk ketiga kalinya ponsel itu berdering. Setengah niat, laki-laki itu meraih ponselnya dan melihat siapa lagi yang mengganggunya. Ternyata nama Naira masih tertera di layar panggilan.

Akhirnya, Wildan menggeser panel berwarna hijau lalu menempelkan benda itu di dekat telinga kanannya.

"Halo, Assalamualaikum?"

"Wildan kamu di mana?"

Mata Wildan langsung terbelalak kaget, bukan jawaban salam yang dia dengar. Namun pekikan disertai tangisan Naira yang terdengar. "Di jalan. Kamu kenapa?"

Tak ada jawaban, hanya suara gemeresak dan suara tangisan yang meronta-ronta. Membuat Wildan merasa bingung sekaligus khawatir.

"Halo, Nai! Kamu kenapa? Halo!"

"Tatan... Tatan mau melahirkan. Bayinya letak lintang."

"Kamu sekarang di mana? Tatanmu sekarang sama kamu?"

"Di Rumah Sakit. Tatan harus dioperasi, dia tidak mau dioperasi kalau bukan kamu dokternya. kamu di mana, Wil? Cepatlah ke sini... "

Dari suaranya Naira begitu sangat ketakutan, wanita itu jelas menangis keras.

"Iya, ya, tunggulah! Kamu yang tenang, aku akan segera ke sana!" ujar Wildan kemudian langsung menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi ke Rumah Sakit.

***

Aku merasa gelisah di ruang Perinatologi, tanganku berkeringat dingin. Asya tiba-tiba berlari ke ruanganku dan memberitahu bahwa Tatan akan melahirkan. Aku segera berlari ke IGD dan mendapati Tatan meraung kesakitan sambil memegangi perutnya yang besar, aku terkejut saat ketubannya pecah dan merembes ke brankar. Dokter IGD merujuk Tatan untuk segera dipindah ke ruang VK atau ruang bersalin agar segera diproses jadwal operasi Caesarnya. 

Lima belas menit yang lalu, aku menemaninya di ruang VK menunggu panggilan dari ruang operasi. Aku begitu ketakutan saat Tatan beberapa kali berteriak kesakitan.

Mengetahui dirinya akan segera dioperasi, Tatan langsung memintaku memanggil Wildan agar dia saja yang mengoperasinya. Aku sudah bilang bahwa sudah ada dokter yang akan mengoperasinya. Namun, Tatan bersihkukuh menginginkan Wildan yang mengoperasi. Padahal hari ini Wildan cuti dinas yang pastinya sedang tidak berada di Rumah Sakit.

 Aku berada di puncak kekhawatiranku saat Tatan benar-benar menolak operasi jika bukan Wildan yang mengoperasi.

Keadaannya sudah kritis, bayinya juga dalam keadaan bahaya kalau tidak segera dioperasi, bayi dalam kandungannya itu bisa aspirasi air ketubannya. Saat itu juga, aku menelpon Wildan. Beberapa kali Wildan tidak mengangkatnya, aku begitu merasa ketakutan. Aku takut Tatan dan  bayinya kenapa-napa. 

Bahkan, Abah saja tidak berhasil membujuk Tatan. Aku berusaha terus menelpon Wildan dengan tangisan ketakutan. Setelah mencoba beberapa kali menghubunginya, akhirnya dia mengangkat telepon dariku.

Dan Alhamdulilah, sekarang operasi tengah berlangsung. Meskipun begitu aku tetap merasa khawatir, takut bayinya aspirasi air ketuban. Dalam hati aku terus berdoa, semoga ibu maupun bayinya selamat dan sehat. Aamiin.

Aku menetap lekat benda berkabel di atas meja dengan doa yang selalu kuucapkan dari hati. Saat ini aku memang tidak sedang berdinas, tetapi karena Tatan melahirkan di sini, aku yang ingin menjemput keponakan pertamaku di ruang suction. Aku berharap benda berkabel itu akan segera berdering memberi tahu penjemputan bayi Tatan.

"Eh, ngapain di sini?" suara seseorang mengagetkanku.

Aku sedikit terjingkat karena terlalu fokus menunggu telepon dari ruang operasi.

Mbak Sarah seniorku duduk di sebelahku.

"Nunggu telepon dari ruang operasi, Mbak," jawabku.

"Nggak biasanya kamu sampai segitunya, emang bayi siapa?"

"Tante Intan."

"Tantemu melahirkan? Kok Caesar? Katanya mau normal?"

"Letak lintang, Mbak, terus KPD juga," kataku memberi tahu Mbak Sarah kalau Tatan mengalami Ketuban Pecah Dini.

"KPD? Astagfirullah, semoga operasinya berjalan lancar ya..."

"Aamiin, Mbak. Makasih."

Dia menulis sesuatu di buku besar miliknya, memang Mbak Sarah bertugas di bagian administrasi. Dia lah yang sering memberi tahu penjemputan bayi operasi. Keberadaanku di sini mungkin mengejutkannya, mengingat aku hanya bertugas di bagian perawatan.

"Dokter siapa yang operasi, Nai?" tanyanya.

"Wildan, Mbak."

Tiba-tiba Mbak Sarah melirikku horor, menyorotkan suatu pandangan ketidaksukaan saat aku menyebut nama Wildan.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku.

"Nggak sopan ih,manggil suaminya kayak gitu."

Aku menelan saliva, sedikit mengangkat bibirku untuk tersenyum karena malu.

"Harusnya itu manggil Mas, kan lebih romantis, apalagi kalian pengantin baru. Mbak sama suami Mbak aja masih panggil sayang padahal anak yang pertama udah mau masuk SMA. Yang sopan atuh, Nai," nasehatnya.

Aku nyengir, aku lupa harus manggil Wildan dengan sebutan Mas. Lagian terasa aneh, kita kan sepantaran.

"Hehe, iya, Mbak. Mas Wildan, maksudku."

Sebutan romantis istri kepada suaminya membuatku merasa betul-betul aneh, karena kata romantis sendiri saja sudah terasa aneh, apalagi menyebutnya dengan panggilan 'Mas', terasa canggung karena memang di antara kami tidak ada kisah romantis. Kisah kami seperti FTV, dramatis tetapi endingnya bisa ditebak. Cinta sepihak mana bisa berujung bahagia dengan orang yang dicintainya, sedangkan orang yang dicintainya itu tidak balik mencintainya? Ah, lagi-lagi, aku mendahului takdir Allah karena rasa kecewa cinta sepihak ini.

Di tengah lamunanku, benda berkabel itu akhirnya berdering. Aku segera mengangkatnya dan menaruhnya kembali setelah instruksi itu datang dari ruang operasi. Aku langsung berlari menuju ruang ganti baju steril dan segera menyiapkan segala peralatan suction ditemani satu adek mahasiswa yang membawa selang oksigen.

Aku benar-benar tidak sabar melihat keponakanku, keponakan yang sudah ditunggu keluarga kami selama bertahun-tahun. Tatan memang wanita karir, dia menyelesaikan Magister pendidikannya dan mengajar menjadi dosen selama tiga tahun sebelum akhirnya menikah di usia 30 tahun. Pekerjaan suaminya sebagai abdi negara membuat Tatan harus pindah ikut suaminya selama lima tahun dan melanjutkan pendidikan Doktoral di daerah tersebut, lalu kembali dalam keadaan hamil di usianya ke-35 tahun.

Dia sosok inspirasional bagiku, wanita memang harus memiliki pendidikan tinggi, bukan karena ingin menyaingi suaminya namun untuk menjadi madrasah pertama yang baik bagi anak-anaknya. Sayangnya, sejak Umi sakit aku tidak melanjutkan pendidikan Magister keperawatanku, aku lebih memilih mengurus Umi dan keluarga.

"Mbak, itu bayinya datang," ucap adek mahasiswa yang bersamaku memberitahu jika bayi Tatan sudah keluar dari ruang operasi. Aku semakin tidak sabar ingin melihat keponakanku. Aku melihat dokter membawa bayi yang tangisannya pecah itu dalam gendongannya berbalut kain operasi.

Sepertinya itu bukan Mas Wildan.

"Bayi Nyonya Intan Kumala Sari, letli, ketuban jernih, apgar score 7-8-9," lapornya.

Aku segera melakukan tindakan suction meski dalam hati bertanya kenapa bukan Mas Wildan yang membawa bayi ini keluar dari ruang operasi.

"Keponakanmu ya Ners Nai?" kata Dokter Kholil.

"Iya, Dok. Alhamdulillah laki-laki, sesuai harapan orangtuanya."

Aku melepas alat suction dan langsung menyelimuti bayi Tatan kembali dengan kain bersih yang dibawa oleh adek mahasiswa dari ruang Perinatologi.

"Dokter Wildan ke mana, Dok? Setahu saya dia yang mengoperasi," tanyaku penasaran.

"Oh, masih di ruang operasi. Tadi sebelum operasi dimulai Tantemu berpesan agar Dokter Wildan tidak meninggalkan ruang operasi sampai operasinya selesai. Tantemu bahkan mengancam Dokter Wildan kalau sampai tidak amanah," katanya diiringi tawa di akhir kalimat.

Aku terkekeh, Tatan ini ada-ada saja.

"Ya sudah, terima kasih, Dok," ucapku segera melangkah keluar ruang OK.

"Iya, selamat ya atas kelahiran keponakanmu," kata Dokter Kholil.

Aku tersenyum membalas ucapan selamatnya.

Alhamdulillah, aku bahagia Ya Rabb. Anak Tatan lahir sempurna dan sehat, berkulit putih kemerahan dengan dagu lancip dan bibir mungil. Sepertinya kelak besar dia akan menjadi rebutan banyak akhwat. Semoga kamu besar nanti, Sholeh, Nak, berbakti sama orangtua dan bermanfaat untuk banyak orang. Aamiin.

***

Aku membuka pintu kamar Mawar di ruang Nifas dengan si mungil yang meringkuk dalam dekapanku. Setelah melalui proses pemeriksaan fisik dan penghangatan di Infant Warmer, aku membawa bayi Tatan untuk menemui ibunya. Tatan sendiri sudah keluar dari ruang pemulihan setelah diobservasi ketat selama kurang lebih enam jam di Recovery Room. Aku tidak sabar melihat bagaimana reaksinya ketika melihat bayinya selucu ini.

"Assalamualaikum..." salamku.

Tak disangka teryata sudah ada Tante Fatimah dan Latifa, aku juga melihat Mas Wildan di sana. Aku melangkah menuju tempat tidur Tatan yang saat itu tengah berlinangan air mata karena sudah melewati masa penantiannya menunggu kelahiran buah hatinya.

"Bayiku!" Tatan menyambut bayinya dengan rentangan tangan, Dosen killer itu bisa juga ya menangis seperti itu. Anugerah yang dititipkan Allah ini memang benar-benar ajaib. Dia bisa membuat Tatan seolah tak terlihat sebagai dosen killer di kampusnya.

Aku memberikan bayi itu ke dalam dekapannya. Aku terharu. Perjuangan seorang ibu memang tidak mudah, mengandung selama sembilan bulan, membawanya ke sana ke mari, harus melewati masamasa mual, mood yang berubah-ubah dan lebih sedihnya lagi, semua step itu Tatan lewati sendiri, tidak ada suami yang mendampinginya. Bahkan, Om Surya tak di samping Tatan saat proses kelahiran anak pertama mereka.

Setelah puas menciumi bayinya, Abah meminta bayi itu untuk digendongnya. Anehnya, kenapa Tatan masih saja menangis sesenggukan?

Tante Fatimah sampai berusaha menenangkan Tatan. Masa sih Tatan kena syndrom babyblues?

"Kenapa nangis sih Tan? Dedek bayinya kan udah di sini. Kangen Om Surya ya?"goda Asya.

"Nggak, hiks.... Tatan cuma sedih aja nggak bisa ngelahirin secara normal," jawabnya yang sontak membuat kami di ruangan itu tertawa.

Keinginan Tatan memang bisa melahirkan anaknya secara normal. Dia ingin merasakan seberapa nikmatnya seorang ibu mengeluarkan anaknya dengan tenaganya sendiri. Keputusannya untuk melahirkan secara normal itu didorong oleh fenomena melahirkan akhir-akhir ini. Banyak ibu yang memilih melahirkan secara caesar karena mengikuti tren dan gaya hidupnya. Melahirkan secara caesar dianggap suatu cara yang keren dan dipandang punya derajat yang tinggi di kalangan masyarakat. Apalagi ibu muda yang suaminya berduit, melahirkan secara caesar adalah suatu tindakan wajib untuk melahirkan anaknya meskipun tidak ada masalah kesehatan yang menyertai.

Padahal jika ditelisik lebih dalam tentang keuntungan yang didapat antara melahirkan secara normal dan caesar lebih banyak menguntungkan secara normal. Menurut sisi psikologis, kelahiran secara normal bisa mengeratkan kekuatan batin antara ibu dan anaknya, karena dalam proses normal keduanya sama-sama berjuang untuk selamat dan bertemu. 

Kesembuhan pasca melahirkan juga lebih cepat melahirkan secara normal dan tentunya tidak meninggalkan bekas jahitan di suatu hari yang bisa menjadi keloid. Dari sisi agama pun, keuntungan seorang wanita melahirkan anaknya secara normal sangat besar, memanglah rasa sakit yang dia rasakan tetapi Allah telah menjanjikan setiap kesakitan yang dirasakan dibalas pahala yang setimpal.

Dibandingkan dengan melahirkan secara caesar, kerugiannya bisa lama pemulihan, risiko infeksi pada sayatan operasi, meninggalkan bekas luka insisi dan tentunya wanita yang melahirkan secara Caesar tidak akan pernah merasakan nikmat menjadi wanita sesungguhnya, yakni kesakitan saat melahirkan. 

Operasi Caesar sendiri sebenarnya diperuntukkan ibu yang akan melahirkan disertai masalah kesehatannya, mungkin bayi letak sungsang, terlilit tali pusat atau ibu punya riwayat penyakit yang dapat membahayakan nyawa apabila melahirkan secara normal. Menurutku sih, apabila tidak ada masalah yang menyertai kenapa harus memilih tindakan operasi jika tindakan normal lebih banyak keuntungannya?

"Sudahlah, Tan. Kan anak kedua nanti bisa lahir secara normal," kataku menghiburnya.

"Tetapi rencananya pengen punya anak tunggal," jawabnya dengan isakan tangis penyesalan.

"Ya sudah, rencananya sekarang berubah, jadi dua anak sesuai program pemerintah. Dua anak cukup," goda Tante Fatimah yang mengundang gelak tawa kami.

Aku sempat melirik Mas Wildan, dia juga ikut tertawa meski samar.

"Assalamualaikum..." terdengar suara bariton dari arah pintu.

Kami terkejut dengan kedatangan Om Surya yang tiba-tiba. Abah sempat mengabari, tak disangka Om Surya langsung datang dari Kalimantan masih menggunakan segaram hijau dorengnya.

"Mas Surya?!" panggil Tatan, tangisannya semakin meledak, tangisan kebahagiaan.

Om Surya langsung menjatuhkan ransel tentaranya dan berlari memeluk Tatan. Mengecup kening Tatan beberapa kali sambil mengucapkan permintaan maafnya karena tidak bisa hadir di momen kelahiran buah hati mereka. Suatu pemandangan yang indah. Om Surya begitu mencintai Tatan, bisa dilihat dari bagaimana pria itu menangis memeluk istrinya.

Andai suamiku juga begitu. Tetapi itu mustahil. Mas Wildan tidak akan pernah mencintaiku. Aku terharu saat Om Surya masih menggunakan seragam tentaranya menggendong putranya dan mengumandangkan adzan di telinga kanan putranya itu.

Benakku membentuk suatu pengharapan indah, jika misal suatu hari nanti Mas Wildan yang mengumandangkan adzan untuk anak kami. Dengan masih mengenakan baju operasi, dia melantunkan keagungan Allah di telinga anak kami. Aku tahu itu semua hanya pengharapan, pengharapan yang mungkin tidak akan terjadi.

Tante Fatimah merangkul pundakku dan tersenyum ke arahku. Beliau juga menyentuh pundak Mas Wildan. Mungkin maksud beliau adalah ingin melihat aku dan Mas Wildan bisa seperti Om Surya dan Tatan, keromantisan mereka menyambut hari kelahiran anaknya.

Semula aku tersenyum untuk merespons Tante Fatimah, namun senyuman itu lekas menghilang saat tiba-tiba Mas Wildan memilih keluar dari ruangan seolah tidak suka dengan tindakan ibunya yang mengisyaratkan kami untuk segera mempunyai momongan.

Sudah kubilang kan, itu semua hanya pengharapan indah yang tak mungkin menjadi kenyataan....

Dear Allah...

Tiada sebuah pengharapan indah selain berharap kepada-Mu.

Karena pengharapan indah kepada manusia itu hanyalah sebuah pengharapan kosong, rasa kecewa yang menjadi hasil dari pengharapan selain pengharapan indah kepada-Mu.

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 100K 9
Aisyah, dokter muda yang selalu membuat drama dengan residen killernya itu merasa beruntung bertemu dengan Aryan, pemuda konyol yang gemar memakai je...
39.6K 1.7K 32
Ketika kenyataan tak selara dengan harapan, cukup diam dan mengagumi menjadi langkah selanjutnya. Tidak ada kata menyerah untuk cinta yang tulus, kar...
387K 33.1K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
477K 58K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...