Down There Is What You Called...

Oleh Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... Lebih Banyak

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

15th Floor

653 112 30
Oleh Atikribo

"Aku menolak," ucap Raka tegas.

"Kenapa?" tanya pria berhidung mancung itu.

Seluruh mata menatap mereka, mengantisipasi apabila akan ada hal yang lebih dari sekadar silat lidah semata. Menarik napas, Raka melipat kedua tangannya di depan dada dan melanjutkan, "Baiklah ini permasalahannya, kau menyuruhku masuk ke dalam sana untuk menyelamatkan seseorang yang bahkan aku enggak tahu itu siapa. Oke, enggak masalah, aku bisa melakukan itu. Tapi, apa kau tahu apa yang menyebabkan gempa besar itu? Itu enggak natural. Ada pagna di bawah sana dan kalian memanggilnya dengan sebutan King. King, lho, king; raja! Aku harus menghadapi monster sialan itu sendirian? Yang benar saja?! Kalau kau memang ingin menumbalkanku si orang asing untuk mati, bilang saja dari awal."

"Whoa, jangan berpikir terlalu jauh seperti itu," Hertz mengangkat tangannya, mengisyaratkan Raka untuk berhenti berbicara, "Kita kekurangan tenaga, Raka. Kedatangan ekskavator juga masih lama. Petugas patroli takkan bisa turun ke sana karena mereka ditugaskan di tempat yang lain. Mereka kelelahan dan masih memerlukan waktu untuk pemulihan. Mereka tidak akan menjelajahi terowongan itu dalam-dalam, tetapi akan membantumu mencari di reruntuhan. Kupikir kau yang paling sehat dan paling cocok untuk bertugas di bawah sana."

Raka mendengus, "Kalau sehat, aku enggak akan datang ke bawah sini. Kalau sehat, aku bisa menggerakkan tanganku dengan baik. Aku nyaris mati karena dikejar pagna dan aku enggak mau melakukan kebodohan yang sama lagi," meski Raka lebih pendek daripada Hertz, pemuda itu menatapnya dalam-dalam, "Masih ada misi yang harus kuselesaikan dan aku belum boleh mati."

Hertz memijat pangkal hidungnya, menghela napas panjang. Laki-laki yang mengangkat batu berkeringat memang tampak seperti mandi. Tangan mereka yang penuh jahitan tampak mengilap, terlihat kecewa dengan tanggapan Raka. Namun pemuda itu tidak sadar akan dampak ucapannya.

"Aku akan turun," ucap Indhi setelah ia berbicara dengan Shen. Wajahnya yakin, tetapi sarat kecemasan.

Sensasi dingin menjalar di seluruh tubuh Raka sesaat. "Jangan," ucapnya lirih, mendapatkan Indhira yang memiringkan kepalanya.

"Aku akan baik-baik saja, Raka. Aku sudah tinggal di sini selama dua tahun, ingat?"

"Dua tahun enggak berarti kau akan selamat selama dua detik setelah masuk ke dalam sana," cibir Raka, skeptis. Mereka saling tatap namun Indhi memalingkan wajahnya lebih dulu. Berdecak, akhirnya Raka mengiyakan bahwa pemuda itu akan ikut turun.

"Aku akan ikut dengan kalian. Seseorang yang tidak tahu apa-apa dan juga seorang perempuan tidak akan bisa menjalankan tugas mereka dengan baik," Abu berjalan mendekat. Janggut lebatnya membiaskan apa yang sesungguhnya pria itu pikirkan. Ia mengenakan jaket kulit yang warnanya semakin gelap karena usia lalu menyampirkan sebuah senapan mesin di punggungnya, "Dulu aku seorang rider; aku tahu bagaimana berhadapan dengan pagna. Makhluk itu takut dengan cahaya, jadi kita butuh obor. Bisa siapkan itu untuk kami?"

Hertz mengisyaratkan seseorang untuk melakukan apa yang Abu minta. Si hidung mancung pun menjelaskan bahwa ada dua orang yang masih belum ditemukan. Mato —pria yang Raka temui di bar bersama Abu— termasuk salah satunya, juga seorang patcher yang masih belum pulih seutuhnya, Fiz.

Asumsi Raka akan kondisi kedua orang itu akan baik-baik saja, Abu anggap tidak mungkin.

"Mato sudah tua," ucap Abu pada Raka. Ia mengambil senapan mesinnya, memeriksa peluru yang kiranya cukup untuk mempertahankan diri di bawah sana, "kakinya juga tidak dalam kondisi prima. Jika King mengejarnya, tamat sudah dia. Kau bisa menembak?"

Raka menggeleng. Tempat asalnya terlalu aman sehingga jarang ditemukan orang yang membawa pistol maupun senapan. Abu berdecak, kecewa dengan respon Raka yang kurang kompeten. Ia bertanya apa yang bisa Raka lakukan di bawah sana.

"Aku bisa... memegang obor," jawab Raka sedikit ragu. Melihat Indhi yang menggelengkan kepala sementara Abu mengerling, ia mencoba membela dirinya sendiri, "Enggak salah 'kan? Kalau tidak ada yang memegang obor, nanti kalian yang repot. Yah, kecuali aku tidak diikutsertakan sih, enggak apa-apa."

"Kamu beneran mau ikut turun?" tanya Indhi sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam ransel, "Enggak ada yang melarang kalau kamu enggak mau kok, Ka. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Aku khawatir, Dhi. Ngerti enggak sih? Aku yang enggak mau kau kenapa-kenapa."

Mengerutkan alis, perempuan itu hanya tersenyum sebagai tanggapan. Tak lama, seorang pria datang dengan membawa dua buah tongkat dengan buntalan kain yang diikat di ujungnya. Pria itu memberikan kedua obor tersebut pada Raka sekaligus satu jeriken bensin untuk bahan bakar. Memastikan ada sekotak Pommel dan juga korek di saku celananya, Raka merasa beruntung ia tidak perlu kembali lagi ke pendopo untuk mengambil kedua benda krusial itu.

Shen di kejauhan, memasang senyum yang mulai tergoyahkan. Sulitnya jadi seorang pemimpin adalah ketika mempertahankan orang-orang di bawah pengawasannya tetap tenang dalam tekanan apapun. Shen menghela napas dan berjalan mendekati kelompok penyelamat yang memasuki lubang. Hampir seluruh orang mengangguk pada Shen dan pria itu membalas salam mereka dengan singkat. Udara dingin di pagi hari tak lagi terasa dingin dengan kecelakaan yang tak terduga ini. Sedikit sapaan ringan dari Raka ternyata tidak memperlunak sikap dingin Shen yang telah melewati banyak hal di pagi itu.

"Kalian tahu apa yang akan kalian lakukan 'kan?" Raka mengangguk, begitu pula dengan Indhi dan Abu. Ia menambahkan, "Pastikan sebisa mungkin mereka berdua hidup. Yang lain akan ikut turun untuk mencari, tetapi untuk menjelajahi lebih lanjut, aku mempercayakan ini pada kalian. Jangan paksakan kalian melawan King, aku tidak mau ada orang lagi yang meninggal karena hal-hal bodoh. Kuharap kau mengerti, Abu."

Dagu Abu mengeras, berusaha menyembunyikan perasaannya. Perlahan Raka menuruni lubang, melangkah melewati reruntuhan batu yang licin. Beberapa kali ia nyaris tergelincir karena butiran pasir dan juga tanah. Samar, terdengar Hertz berterima kasih karena Indhira mau membuat Raka ikut membantu, tetapi perempuan itu menyanggahnya.

"Aku melakukan ini bukan untukmu. Aku bukan dokter, tetapi aku mempunyai amanat untuk mengobati mereka yang membutuhkan. Kalau tidak, kedua orang itu bisa saja mebunuhku, kalau aku mau."

Hertz mengangguk, "Berhati-hatilah di bawah sana."

Sementara Raka menyalakan obor, Abu membantu Indhi menuruni dan menapaki bebatuan. Udara lembab dan bau tanah, mengingatkan Raka akan pengalamannya di Huva Atma. Cahaya mentari pagi tidak begitu membantu. Pun, Api yang berkobar hanya memberikan sumber cahaya yang terbatas. Reruntuhan batu besar terlihat di sekelilingnya, membuat Raka sedikit khawatir apakah mereka bisa menemukan Mato atau Fiz yang tertimbun.

"Mereka enggak akan terlalu jauh 'kan?" tanya Raka.

"Seharusnya begitu, tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi," jawab Abu mengambil salah satu obor yang masih belum disulut, "Kau tahu sendiri sebesar apa lubang di atas tadi. Mereka bisa saja tertimbun, atau bisa saja berhasil keluar dan lari. Kita tidak tahu."

"Oke, jadi sekarang kita harus membongkar reruntuhan ini 'kan?"

"Kurang lebih."

Mendengus, Raka menggunakan sarung tangan yang diberikan Hertz sebelum turun. Di celah-celah bebatuan ia menyimpan obornya kemudian kembali bekerja. Beberapa orang yang dari atas tak lama masuk ke dalam lubang; dengan susah payah memindahkan reruntuhan rumah. Mereka tidak berbicara satu sama lain dan pekerjaan ini benar-benar menghabiskan sangat banyak waktu. Aliran udara yang bergerak di lorong itu seolah-olah menciptkan suara lolongan kesunyian.

Perdebatan antara dua orang terdengar, mengeluh untuk tidak melanjuti pencarian. Salah satunya berkata bahwa hilangnya dua buah nyawa tidak akan berpengaruh banyak daripada menanggung risiko lebih dari itu. Akan tetapi, rekannya menghantamnya tepat di kepala, membuat yang mengeluh meninggikan suaranya dengan kepalan tangan siap tonjok.

"Kalau kalian punya tenaga untuk bertengkar, lebih baik dipakai untuk menyingkirkan batu-batu sialan itu 'kan?" ucap Raka berjalan mendekat.

Pria yang mengepalkan tangan, menyipitkan mata dan mencibir, "Kau orang asing, tidak usah sok tahu mengenai kami."

"Yep, aku memang orang asing," Raka berkacak pinggang, lengannya berkedut ngilu, "meskipun begitu, aku tahu kenapa kita harus turun tangan. Aku percaya kalian bisa melakukan hal yang lebih baik dibandingkan berdebat mengenai siapa yang perlu ditinggalkan untuk mati terlebih dahulu."

Terdiam, kedua orang itu saling tatap. Pria yang tadi mengepalkan tangan menempeleng temannya dan kemudian kembali bekerja. Tak lama Indhira berseru.

"Abu!" panggil perempuan itu pada rekannya, "Aku menemukan sesuatu."

Mau tak mau, Raka mendekat. Ia meraih obor dari celah batu, mengambil langkah lebar, dan membantu menerangi apa yang Indhi lihat.

Gadis itu berbisik ketika Raka berdiri tak jauh dari dirinya, "Darah."

Merah menggenang di tanah dan tembok; cipratannya tidak sedikit. Batu atau bagian reruntuhan di sekitarnya sudah hancur berkeping-keping, meninggalkan hanya sebuah batu yang tergeletak dengan posisi rancu. Menelan air liurnya, Raka mengangkat batu itu dan membelalakkan mata.

Raka kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke belakang; memaki. Lidah Raka terasa kelu dan seluruh isi lambungnya ingin ia keluarkan. Tangan. Ada potongan tangan yang tergeletak di bawah batu itu; utuh, tak bergerak dan kotor karena tanah dan juga darah.

Indhi menutup mulutnya, menahan untuk tidak merasa jijik sementara Raka sudah terbatuk-batuk mengeluarkan isi perutnya yang kosong. Sial, kenapa dia harus melihat hal-hal ekstrim seperti ini sih? Pertama, tubuh-tubuh dingin di Huva Atma. Kedua seonggok tangan putus yang tak mungkin untuk dipasang kembali. Air mata menggenang karena desakan tenggorokan yang ia coba tahan. Raka memalingkan wajahnya sementara Abu mendekatinya dan menyuruh pemuda itu untuk menenangkan diri.

Cih, bicara memang gampang, batin Raka kesal. Ingin Raka membanting atau memukul sesuatu. Kenapa ia selemah itu?

Abu menyuruh orang lain untuk mengangkat bebatuan sekitar tangan yang ditemukan, antisipasi bila menemukan seseorang atau anggota tubuh lain yang tertimbun. Ketika Indhi mengambil tangan itu dan membawanya, lambung Raka berulah lagi. Cepat-cepat Raka mengangkat tangan, menyuruhnya untuk tidak memperlihatkan bagian tubuh itu padanya.

"Apa ini begitu menjijikkannya untukmu?" tanya Indhi heran sembari membersihkannya perlahan dari debu.

"Ha! Menurutmu?" tanya Raka, tak habis pikir.

Mendekat, perempuan itu berbisik di telinganya, "Kamu belum melihat yang lebih parah daripada ini, Ka."

"Asu...," desisnya dengan kaki yang terasa lemas.

Abu menepuk pundak Indhira, memintanya untuk memperlihatkan seonggok tangan yang ia temukan tadi. Wajahnya pias ketika pria itu melafalkan nama Mato tanpa suara.

*

Kabar baiknya, tidak ditemukan tubuh Mato di bawah bebatuan. Kabar buruknya, mereka tidak tahu apakah kedua orang yang menghilang itu masih hidup atau tidak.

Rasanya waktu sudah habis berjam-jam untuk mengangkat reruntuhan dan memeriksa ada tidaknya jasad korban. Lengan Raka ngilu bukan main. Ia tidak sadar lukanya terbuka lagi jika Indhi tidak menegurnya, mengatakan bahwa perbannya kembali berwarna merah. Indhi kembali ke atas untuk menyimpan anggota tubuh yang ia temukan, membersihkan dan mengamankannya hingga Dee dan Kei datang untuk bisa menyelenggarakan operasi.

Meski berusaha membantu semaksimal mungkin, rasa sakit di lengan Raka menghentikannya. Ia mengambil obor dan berjalan menelusuri terowongan. Terowongan ini jelas bukanlah buatan manusia. Jejak galiannya terlihat berantakan dan tak ada fondasi untuk menopang bangunan di atasnya. Tiga ratus langkah pertama, terowongan itu memang terasa menurun. Akan tetapi, beberapa langkah setelahnya, ia mendapati sebuah turunan curam yang dapat menggelincirkan siapapun jika tidak berhati-hati. Menelan air liurnya, pemuda itu kembali ke tempat mereka turun tadi. Bertemu Indhi yang sudah kembali dan membenarkan lagi perban di lengannya, sementara Abu masih memimpin pencarian.

"Kapan sih kamu bakal sadar kalau lukamu itu terbuka lagi?" tanya Indhi gemas. Kali ini perempuan itu membebat lengannya cukup kencang, Raka mengaduh kesakitan.

Raka mendesis ketika Indhi menepuk perbannya sebagai sentuhan terakhir. "Ekskavator masih belum datang?"

"Belum, katanya sih sudah bergerak," jawab Indhi lemah, "Jika Pedro tidak ... semalam ... aku akan memintanya untuk menjemput Dokter Kei dan membawanya ke sini."

"Lantas sekarang?"

"Shen yang mengurusnya. Aku merasa enggak enak karena telah merepotkannya seperti ini."

Raka menepuk kepala Indhi dan memintanya untuk tidak berpikir terlalu jauh, "Itu memang pekerjaannya, Dhi. Kau enggak usah repot. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari Mato dan juga Fiz. Kau sadar 'kan genangan darah yang kau temukan itu meninggalkan jejak?"

Terbelalak, cepat-cepat Indhi memanggil Abu yang kerutan di dahinya semakin dalam. Ketika Indhi mengulang apa yang Raka katakan, pria itu malah menarik kerah kaos Raka. Amarah tersirat di wajahnya, "Kenapa kamu tidak mengatakan itu dari tadi?!"

"Jadi sekarang ini salahku?!" nada suara Raka naik. Ia mencengkram pergelangan tangan Abu dengan tangan kanannya dan melepasnya dengan paksa, "Kau terlalu sibuk mengurusi reruntuhan goblok itu sampai lupa apa sebenarnya tujuan kita!"

Mendecih, pria berkulit gelap itu menyuruh mereka untuk bergerak, mengutus kelompok yang membereskan puing-puing untuk beristirahat sejenak dan melakukan apa yang bisa lakukan hingga ekskavator datang membereskan sisanya. Mereka semua lelah, tak heran jika ia mudah marah.

Berjalan di antara Indhi dan Abu membuat Raka merasa tidak nyaman. Pemuda itu menunjukkan jejak darah di sepuluh langkah dari tempat tangan itu ditemukan; membawa mereka ke turunan yang semakin terjal. Raka tidak menyadarinya karena ia kira jejak itu hanyalah bayangan batu sampai secara tidak sengaja menginjaknya dan berbekas di sepatu yang ia kenakan.

"Kau dulunya seorang rider," Raka membuka pembicaraan, "apa yang menyebabkanmu menjadi patcher?"

"Aku bukan patcher, dan juga bukan dari Permukaan Atas," jelas Abu, pandangannya tetap lurus ke depan, "tetapi aku tahu apa yang sedang Haven alami. Keberadaan King, kurang lebih karena kecerobohan aku dan timku untuk menaklukkannya ... enam bulan yang lalu."

"Enam bulan?" ulang Raka tidak percaya, "Kenapa Haven baru hancur sekarang?"

"Raka, empatik sedikit kenapa sih?" gerutu Indhi di sampingnya, meminta Abu untuk melanjutkan ceritanya.

"Memburu seekor pagna tidak pernah mudah dan kesulitannya semakin bertambah seiring dengan kategorinya. Kau membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk melacaknya, memasang perangkap dan segala tetek bengek yang lain; apa lagi dengan pagna golongan tiga seperti ini."

"Tiga? Apa ada yang lebih besar dari pada ini?"

"Legenda bilang, ada pagna yang menghabiskan sebuah gunung, tetapi tidak ada yang tahu akan kebenarannya atau bagaimana akhir hayat makhluk itu," pria itu melanjutkan, "King kabur dari perangkap yang sudah dipasang, bergerak liar menewaskan seluruh tim kecuali aku dan Mato," dagu pria itu mengeras, "Mato juga sekarang tinggal seonggok tangan."

"Itu belum tentu!" potong Indhi, meraih lengan Abu, "Kita masih belum menemukannya!"

"Menemukan mayatnya, maksudmu," suara Abu tercekat dan terkesan begitu dingin sekaligus. Hening menyisakan suara langkah kaki yang menggema. Helaan napas Abu terdengar begitu berat saat ia menambahkan, "Dia pasti kehilangan banyak darah, orang biasa tidak akan bisa bertahan lama."

"Ada seseorang yang bersamanya 'kan? Siapa namanya? Fiz?" tanya Raka, menuntun jalan. Beberapa kali pemuda itu nyaris kehilangan jejak itu. "Apa mungkin dia menutupi jejaknya supaya tidak bisa ditemukan orang?"

"Kenapa mereka harus menutupi jejaknya?" tanya Indhi, mengerutkan alis.

Raka berjongkok, mengambil benda yang memantulkan cahaya obor. Meskipun dia tidak pernah memegang senjata api sebelumnya, tapi Raka tahu apa yang ia temukan merupakan sebuah selongsong peluru kosong. Abu mengumpat perlahan, mengusap wajahnya yang menyiratkan kecemasan dan juga amarah yang kentara.

"Kita harus cepat," ucap Abu, mengambil selongsong peluru itu dan mengamatinya dalam-dalam, "bukan hanya pagna yang menunggu kita di sini."

"Bisa saja selongsong itu kepunyaan seorang rider 'kan?" tanya Raka. Mereka mulai menyusuri lorong yang menurun, berjalan di pinggir dan mencari pegangan.

"Aku tidak yakin," jawab Abu. Pria itu mengambil posisi di paling depan, memimpin perjalanan, sementara Indhira berjalan di antara mereka berdua, "Selembaran untuk menangkap seekor pagna berpusat di Watch End. Aku sudah meminta mereka untuk tidak berurusan dengan makhluk itu apabila bukan dari tim yang terbaik. Orang-orang di Persekutuan setidaknya akan memberitahu jika ada tim yang akan menangani King. Setidaknya aku punya informasi untuk menangani mereka."

"Kalau kau memerlukan tim terbaik untuk menaklukkan makhluk itu, apa yang bisa kita bertiga lakukan? Aku tidak berasal dari sini, apa lagi seorang rider; Indhi pun hanyalah seorang perawat. Katakan bahwa lu punya rencana agar kita tidak mati nanti."

Sepuluh langkah kaki yang terasa lama menggaung sebelum Abu menjawab, "Belum, belum ada rencana. Satu senjata api tidak akan bisa membunuhnya, seekor pagna harus dibuat terluka secara berkala dengan perangkap maupun senjata berukuran besar dan kita tidak punya itu."

"Tapi, kau ingin memburunya 'kan?"

"Ya dan tidak," jawab Abu, tegas. Pria itu menekankan, "Namun kita tidak bisa melakukan itu. Kita kekurangan peralatan dan orang. Misi kita hanya mencari Mato dan juga Fiz; membawa mereka pulang hidup-hidup," Abu sudah kembali terlihat tenang meskipun di balik kenyataannya pria itu baru saja melihat tangan milik rekan satu timnya.

Menghela napas, Raka menggerutu, "Menyebalkan," ucapnya.

Indhi yang berjalan di depannya berbisik meskipun nampak percuma karena semakin dalam mereka menelusuri jalur ini, semakin tebal kesenyapan yang menyelimuti, "Kau punya ide?"

Menggigit bagian dalam pipinya, Raka berkata, "Pagna takut api 'kan? Kita punya api. Bisa kita manfaatkan 'kan?"

"Makhluk itu besar. Dua buah obor tidak akan bisa mengubah apapun," cibir Abu. Pria itu tidak pernah mempunyai pemikiran yang sama dengan Raka; terkadang membuat kepalanya ingin meledak.

"Lalu apa? Untungnya kita belum berpapasan dengan King namun sayangnya, sekarang kita juga belum menemukan Fiz maupun Mato," Raka butuh nikotin, "Apa yang akan kau lakukan jika dua detik di hadapanmu adalah pagna, Abu? Melumuri tubuh kita dengan minyak lalu membakarnya? Maaf saja, aku enggak mau mati secara bodoh. Beberapa hari yang lalu aku berhasil kabur dari makhluk terkutuk itu dengan susah payah, jika bukan karena tumpukan mayat yang gua temukan di Huva Atma."

Langkah abu terhenti. Ia mengangkat tangannya yang memegang obor sejajar dengan pundak, berbisik perlahan, "Kalian dengar itu?"

Memicingkan mata, Raka memasang telinganya baik-baik. Selain suara gelitik api dan lolongan angin, ia tidak mendengar yang lain, "Aku enggak mendengar apa pun," katanya. Pemuda itu mengamati jalan yang masih cukup terang karena cahaya obor. Di tempatnya berdiri, ia tidak menemukan jejak darah lagi. Raka secara perlahan berjalan melintang ke dinding terowongan seberang; memasang telinganya untuk menangkap apa yang Abu dengar.

Dengan posisi sama, pria itu melihat Raka dan Indhi bergantian. Matanya tajam penuh kewaspadaan. Pria itu tersentak dan mengambil langkah lebar-lebar ke depan meskipun jalan yang menurun, membuat Raka dan Indhi mengejar Abu dari belakang.

Raka menemukan jejak darah yang masih basah. Alih-alih berjalan mendekati Abu, Raka mengikuti jejak itu yang membuatnya tetap di seberang terowongan. Abu menoleh dan memandang Raka sembari memicingkan mata. Pria itu berdesis, cukup keras —entah karena terowongan itu terlalu sepi, atau suara Abu yang terlalu lantang— sehingga Raka bisa mendengarnya, "Apa yang kau lakukan di sana?"

"Darah," Raka balas berdesis, "Jejaknya semakin banyak, seseorang pasti di sini."

Abu mengedikkan kepalanya pada Indhi, menyuruhnya untuk pergi mengikuti Raka. Saat perempuan itu sudah mendekat, Indhi menjelaskan bahwa mereka mendengar suara napas seseorang —sesuatu.

"Napasnya terlalu kencang dan berat," ucap Indhi matanya tak beralih dari sosok Abu yang menelusuri sisi lain dari terowongan itu, "Perasaanku enggak enak, Ka."

Menelan ludah, pemuda itu memanggil Abu untuk ikut bersama mereka, "Biarkan saja," kata Raka pada Indhi, "dia tahu apa yang akan dia lakukan."

Terlihat sebuah ceruk yang lebih kecil. Untungnya, Raka bisa memasuki ceruk itu dan mendapati seorang anak remaja, mungkin seusia belasan tahun meringkuk dengan tubuh gemetaran. Cahaya obor menerangi pupilnya yang mengecil, memandang Raka seolah-olah mimpi buruk berada di hadapannya.

Indhi dengan sigap mengambil posisi di depan Raka, mendekati pemuda itu yang tersentak, menghadapi rasa traumatiknya. Cahaya api menerangi tubuh anak itu yang penuh dengan luka. Beberapa luka lama hingga luka yang kembali terbuka. Sulit membedakan hitam bekas darah ataupun hitam karena tanah pada tubuh anak itu kecuali tangannya yang diikat dengan sobekan kain, mencegah pendarahan di tangannya.

"Kau Fiz?" tanya Indhi, berhati-hati ketika menyentuh anak itu.

Fiz mengangguk, tubuhnya masih bergetar hebat. Ia menggumamkan sesuatu yang tak terdengar, hingga Indhi memintanya untuk mengulang perkataannya lagi, "Orang tua itu...di sana.... Tangannya ... monster."

Indhi menenangkan anak itu, mengambil botol minum dari dalam tas, menyuruh Fiz untuk meminumnya. Setelah beberapa saat dan Fiz bisa menarik napas cukup tenang, ia bertanya, "Kau tahu di mana dia? Orang tua itu."

"Makhluk mengerikan itu membawanya," jawabnya sedikit masih terbata, "Seseorang menungganginya, menggunakan masker gas, dan...dan bersenjata."

"Kau tahu siapa dia?" tanya Raka.

Fiz menggeleng, mendesis ketika Indhi mengecek tangannya yang terluka.

Membantu Fiz untuk berdiri, Indhira mengatakan bahwa dia akan membawa Fiz ke Haven. "Aku akan mengantarmu," Raka menawarkan diri, "Kamu enggak akan bisa memapah dia sendirian sambil membawa obor 'kan?"

Ke luar ke jalur utama, anehnya, Raka tidak melihat sosok Abu di seberang terowongan. Ia menyusul keberadaan Abu. Belum dua puluh langkah berakhir, suara tembakan itu begitu nyaring, menggema, menggaung, membuat seluruh bulu kuduk Raka berdiri. Perutnya terasa dipelintir dengan segala sensasi dingin di punggungnya. Mengumpat, pemuda itu berlari. Indhi dan Fiz berusaha secepat mungkin berjalan dengan tergopoh-gopoh kembali ke Haven tepat ketika pelatuknya ditarik.

Obor yang Raka bawa masih bisa menerangi ke mana mereka pergi. Tersandung beberapa kali ia ketika mengejar Indhi dan juga Fiz. Teriakan Abu terdengar nyaring, menyuruh mereka pergi saat itu juga. Langkah itu berdentum, menggaung ketika menyentuh tanah. Tanpa melihat ke belakang, Raka tahu betul apa yang ada di belakangnya merupakan masalah.

Derap kaki makhluk itu membangkitkan rasa traumatis pada diri Raka. Napasnya mulai putus-putus. Indhi dengan cemas menoleh ke belakang, memastikan pemuda itu masih pada tempatnya. Mengumpat. Raka hanya bisa mengumpat dan sekali lagi, suara tembakan terdengar. Pelurunya meleset beberapa senti dari pemuda itu, membuat jantungnya benar-benar merasa berhenti.

Raka baru ingat, di kedua tangannya, selain obor adalah sebuah jeriken bensin yang diberikan seorang penduduk Haven padanya. Impulsif, pemuda itu menuangkan seluruh isi jerikennya secara melintang, membatasi antara monster itu dan juga Raka. Derap kaki makhluk itu terdengar semakin dekat, jantungnya berdebar semakin kencang. Bayangannya tampak di dinding terowongan. Raka mengumpat sekali lagi lalu melempar satu-satunya obor ke arah sana.

Kibaran api menyala, menyilaukan mata. Indhi memanggil namanya panik.

"Pergi, Indhi! Aku enggak apa-apa!" seru Raka perlahan berjalan mundur. Entah karena ini kesalahan Raka atau apa, kobaran api yang tinggi itu mungkin membuat si pembidik dapat melihat dengan cukup jelas. Tembakan berikutnya, mengenai bahu Raka.

Pemuda itu melolong. Beruntung ia masih hidup namun rasa sakitnya tak terhankan. Kenapa pula ia harus pergi ke sini? Berapa kali dia sudah diperingatkan bahwa pergi ke tempat sialan ini berarti mempertaruhkan nyawanya juga? Nova sudah memperingatinya, begitu pula Iyas, dan Cecil; tak luput sudah jutaan kali ia mendengar orang-orang mengatainya bodoh.

Kau harus bertanggung jawab akan hal yang telah dan akan kau lakukan, Raka, teringat kata-kata Jun suatu kali padanya. Di hari kecelakaan terbodoh yang membuat dirinya patah tangan dan tak bisa menulis maupun menggambar dengan tangan kanannya. Tapi kau tidak tanggung jawab akan kematianmu sendiri, Jun, batin Raka kesal.

Di saat itu pula, pekikan King memekakkan telinganya. Sosok mengerikan itu berada tepat di hadapannya, tikus raksasa dengan moncong panjang dan besar, menghentak-hentakkan kakinya yang menghasilkan hempasan angin karena ketakutannya akan api. Kobaran apinya tidak secepat itu untuk padam. Tertatih-tatih, Raka mencoba untuk berdiri, memegang tubuhnya yang hancur lebur: sakit, panas, dan lengket. Pemuda itu kesulitan berjalan dengan seimbang, berusaha kabur sebisanya.

Mendengar tepuk tangan yang lambat, Raka meringis dan berbalik ke sumber suara. Seseorang menunggangi monster itu. Masker gas dia kenakan tampak tidak asing dan mengerikan sekaligus.

"Aku pernah melihatmu," ucap pria bermasker gas itu, pakaiannya serba hitam dengan topi fedora dan suara bariton yang mungkin bisa melumerkan banyak perempuan, "di museum dengan seorang Sarojin."

Raka terpaku. Kejadian di museum terlalu sinting untuk dilupakan. Seseorang memukulnya tepat di ulu hati, membuatnya nyaris muntah. Sial, betapa lemahnya dia. Lidah Raka yang kelu membuatnya tak berkutik.

Pria itu melanjutkan ucapannya, "Kau mempunyai permainan yang bagus, kau tahu itu? Mungkin kita bisa bertemu lagi lain kali. Kalau kau masih hidup."

Terdengar denting selongsong peluru yang jatuh ke tanah.

*

//Aku merasa kesulitan menyelesaikan chapter ini. Lagi2 aku berasa kejar tayang. Kalo misalnya Floor adalah film series, mungkin ini semacam cliffhanger season finale. wkwkw /nope . Lho terus ceritanya tamat gitu, Tik? Ngga kok, kalem masih panjang. Season finale ini tidak memberikan konklusi apapun, jadi yah...doakan saja saya bisa dengan pintar membagi waktu dan melanjutkan kisah ini hauahuah. Yang pengen ngeliat cerita ini beres bukan cuma kamu aja kok, tenang *grin*.

Izinkan aku untuk menarik napas sejenak karena real life sedang padat-padatnya (mungkin sekitar sebulan yha, biar kubisa numpuk chapter heuheue) Kalo kiranya bikin sesi Q&A baik tentang floor atau tenang aku kira2 kalian mau nanya apa? Mungkin jawabannya akan didiskusikan di Bincang Ubin vol 2...hehe. itu juga..kalo ada yang nanya.. ha ha ha

Oke deh gitu aja, takkan bosan kuucapkan makasih buat kamu yang masih setia membaca! Harap sabar menunggu untuk bab2 mendatang. if I were rich and we are in the same city, I'd really like to treat you some dinner. hahaha See you when I see you//

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
848K 52.8K 22
[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin...
4.4K 1K 32
[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selam...
5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...