PERTIWI PUSAKA

Door shinefil

9.5K 1.5K 459

Dialah Pertiwi. Ia punya kebanggaan, ia punya prestasi, ia punya jati diri, dan ia percaya generasi mudanya a... Meer

PERTIWI
Pilihan Saka

PUSAKA

2.4K 422 151
Door shinefil

Biarlah api menyala lebih lama lagi.

***

Di malam terakhirnya berada di Kalimantan, Saka merasa benar-benar pulang—meskipun tanpa atap yang menaungi kepalanya. Purnama dan jutaan bintang yang tumpah di angkasa menjadi kawan pertama yang menyapanya selepas senja. Kalau begini, Saka tak bisa apa-apa selain tersenyum merasakan malam yang memanggilnya dengan bisikan angin, tarian rumput, dan desik kanopi.

Ah! Ini dia Indonesia. Pertiwinya yang selalu ia cintai.

Saka menatap api unggun yang berderik di hadapannya. Kobarnya kian gencar memantulkan kehangatan, bukan hanya pada raga tetapi juga jiwa. Sementara ia melamun sembari menatap api unggun, rekan satu timnya—yang perempuan berasal dari Jepang dan si lelaki dari Inggris— tengah menyiapkan peralatan untuk pengembaraan terakhir mereka. Eh, bukannya Saka tak ingin membantu, tetapi sepertinya sisi melankolis diri Saka ingin merenung malam ini.

Keindahan ini, akan bertahan sampai kapan, ya?

Saka mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Adalah keok burung tinggang yang tiba-tiba menyahut di tengah derikan api unggun. Saka tersenyum seakan mengerti, lalu menambahkan sebatang ranting ke dalam api.

Biarlah api menyala lebih lama lagi.

***

Masih di hadapan kobaran api unggun, Saka melihat-lihat hasil jepretannya selama dua minggu terakhir. Ia tersenyum mendapati foto close-up anak orangutan yang berhasil ia kantungi dengan sukses.

Kira-kira hari ketiga semenjak kedatangannya dan tiga jam setelah menyisir hutan, Saka dan timnya akhirnya menemukan keluarga orangutan. Anaknya bergelantung manja di tubuh sang induk di sarangnya, sementara yang jantan sedang bersantai-santai di atas dahan ulin.

Diperlukan beberapa waktu agar spesies unik itu percaya pada timnya. Setelah persiapan dan adaptasi yang memerlukan waktu lama, akhirnya Saka berhasil bergantung pada seutas tali, dua puluh meter dari tanah. Kedua rekannya ikut membidik dalam senyap.

Banyak orang bilang anak orangutan adalah salah satu spesies paling ramah—ya, Saka setuju akan hal itu. Meski begitu, Saka tak menduga ketika si anak turun dari gendongan induknya kala Saka mencoba mendekat. Dengan rasa penasarannya, ia memegangi lensa Saka dengan kedua tangan mungilnya, lalu mengintip ke dalam. Cokelat jati bertemu hitam.

Begitulah cara Saka mendapati potret berharga keluarga orangutan itu.

Keesokan harinya, Saka dibuat terperangah oleh alam yang lama tak ia kunjungi ini.

Setahunya burung ini hanya tinggal ratusan jumlahnya dan amat pemalu. Jangankan keluar ketika melihat manusia, mendengar suara kaki saja ia sudah kabur. Tapi lihatlah, kini Saka berhasil menangkap sosoknya dengan lima mata. Ekor cokelat dengan corak khasnya menjuntai anggun, terkadang bergerak naik-turun seolah sedang menari untuk memamerkan keindahan dirinya. Kepalanya berdiri tegak; arogan, tetapi Saka memaafkannya untuk kehebatannya.

Burung itu tidak lari ketika shutter kamera menangkap figurnya untuk kali kesekian. Malah kadang terpekur selama beberapa detik, matanya menyorot tajam. Saka berpikir lagi; mungkin kuau raja itu ingin eksistensinya diakui. Mungkin ia ingin dilindungi. Atau mungkin ia sadar satu-satunya cara menyelamatkan hidupnya hanyalah dengan meminta belas kasih. Saka, sebagai orang yang berjasa mewujudkan gambar hanya dapat merasa puas dengan hasil tangkapannya. Siapa tahu memang berguna untuk kelangsungan spesies si burung raksasa. Iya,'kan?

Selain potret keluarga orangutan, salah satu foto kebanggaanya baru saja ia dapati kemarin malam. Seekor macam dahan dengan matanya yang menyala di balik kegelapan.

Saka sempat membeku selama beberapa saat ketika seekor macam dahan borneo bertandang ke tempatnya menetap. Ia nyaris saja menyiapkan perlengkapan shooting: tripod, lighting, senter dan lain sebagainya, tetapi para rekannya yang waras itu mengingatkan bahwa hewan nokturnal akan lebih siaga di malam hari.

Yah, siapa yang bisa memprediksi kapan macan itu akan melompat dan menerkam?

Ketiganya sepakat untuk memasuki tenda. Sesekali Saka mengintip melalui jendela dan mendapati si macan masih duduk di atas dahannya tanpa bergerak. Fokusnya memandang ke Saka seolah menawarkan pernjanjian.

Tanpa berpikir panjang atau membiarkan rekannya melarang lebih lanjut, Saka mengambil kameranya dan memasang mode malam dengan long exposure, lalu membidik si macan dari jarak dua puluh meter. Mau bagaimanapun, hasilnya tetap tidak begitu efektif.

Saka mendesah dan ingin mencoba lagi, tetapi ketika ia menoleh, macan itu sudah hilang.

Dari potret-potret yang berhasil ia dapatkan, Saka menyadari bahwa objek-objek jepretannya seakan meminta untuk diselematkan. Keluarga orangutan dan si macam dahan dengan sukarela mendatanginya seolah meminta Saka menyampaikan pada dunia untuk berhenti merebut tempat tinggal mereka.

Pemuda Indonesia itu masih melihat-lihat hasil fotonya. Satu hal yang menarik hari itu adalah ia menemukan beberapa orang suku pedalaman Kalimantan. Beberapa dari mereka masih ada dan hidup dalam ketakutan. Oh, bukan karena satwa—mereka bersahabat dengan alam, tetapi justru karena manusia.

Manusia yang katanya modern yang justru malah berperilaku bar-bar.

Saka merasa getir melihat dibalik senyum mereka, dibalik semua aktivitas adat yang mereka lakukan, ada sebuah realita pahit; bahwa mungkin suatu saat mereka akan terusir dan tidak memiliki tempat tinggal. Bahwa suatu saat, suku mereka akan punah. Satu lagi kekayaan budaya Indonesia akan hilang dari peradaban.

Hewan-hewan yang kini tercetak di layar kameranya, siapa yang tahu kalau generasi berikutnya bahkan tak lagi mengenal orangutan? Siapa yang tahu kalau nantinya pohon ulin hanya tinggal sejarah di buku-buku pelajaran?

Saka mengalami pening mendadak dan terpaksa meletakkan kameranya.

Kalimantan, yang katanya hutan terbesar di Asia itu, kini sedang sekarat.

***

Kini Saka dan kedua rekannya telah bergelantung di pohon, masing-masing dengan ketinggian lebih dari lima puluh meter. Sebagai upaya mencari kepuasan terakhir demi hasrat mereka mengabadikan sisa-sisa keeksotisan hutan hujan tropis milik Indonesia ini, kamera mereka telah siap membidik apapun. Burung hantu yang mulai aktif, serangga-serangga malam, hutan yang masih segar, ataupun kegersangan akibat ulah manusia yang mulai terlihat dari atas sini.

Entah bagaimana caranya agar Saka dapat menyimpan seluruh momen ini tanpa terlewat atau terlupa sedikitpun. Ingin rasanya ia merekam seluruh waktu yang ia habiskan di Kalimantan selama dua minggu belakangan. Namun, baik ingatannya atau memori kameranya tentu amat terbatas. Maka, tak ada yang bisa Saka lakukan selain meresapi tiap helaan napasnya di sini.

Meresapi tiap helaan napas.

Untuk melakukan itu pun Saka masih dibayangi rasa ketakutan. Ia diburu oleh kenyataan bahwa Kalimantan yang sekarang ia jejaki bukanlah Kalimantan yang dulu atau Kalimantan beberapa tahun kedepan. Kalimantan telah banyak kehilangan kekayaannya. Entah apa yang akan didapati dari Kalimantan beberapa tahun mendatang, mungkin tak sebanyak yang bisa dinikmati dari Kalimantan hari ini. Saka hanya tak ingin pulau indah ini kehilangan lebih banyak lagi. Saka tak ingin Kalimantannya berubah.

"Pusaka-san ­Kalimantanmu sudah berubah sekali, ya? Pertama kali aku ke sini, daerahmu masih sangat hijau dan sulit ditembus."

Saka menoleh ke kiri. Rekannya yang berasal dari negeri matahari terbit itu sedang membidik angkasa dengan purnama dan jutaan bintangnya yang melipah ruah. Saka ingat tahun 1942 ketika Jepang pertama kali menjejakkan kakinya di Tarakan dan menginvasi daerah-daerahnya.

"Kita semua tahu kalau dunia berputar, 'kan," jawab Saka pelan. Sembari menanggapi ucapan rekannya, ia pun merenungi jawabannya sendiri. Iya, dunia berputar, berubah.

"Kita harus mengakui bahwa manusia memang serakah. Industri semakin luas dan banyak membutuhkan material alam hingga mereka rela mengorbankan apapun, bahkan hutan. Aku hanya penasaran apa jadinya ketika hutan sudah habis."

"Jadi kau menyalahkanku, Pusaka?"

"Untuk revolusi industri Inggris?" Saka tertawa pelan. "Tidak juga. Industri sangat membantu kita dalam segala hal, aku akui. Aku hanya, menyalahkan orang-orang yang terlalu bodoh untuk sadar kalau semua hal memiliki batasan. Alam memiliki batasannya juga."

Tak ada yang menanggapi jawaban Saka. Hanya senyap yang merengkuh ketiganya dalam gulita. Mereka sibuk dengan kamera masing-masing. Selanjutnya, bunyi shutter beradu dengan kukukkan burung hantu, derik jangkrik, dan suara hewan-hewan nokturnal.

Entah kapan hutan ini akan bertahan. Saka tidak berani memprediksi. Namun, apapun dan bagaimanapun caranya, ia akan ikut mempertahankan hutannya, daerahnya, dan lahannya. Karena Saka tahu Indonesia tidak hanya ditiggali oleh manusia yang bermental kapitalis dan serakah melainkan juga flora dan fauna, serta masnyarakat yang masih peduli pada kelangsungan alam mereka.

Saka mungkin pernah mencoba tak peduli dan hanya menunggu orang lain bergerak lebih dulu. Namun, keprihatinan dalam dirinya membawanya pada kesadaran bahwa sikapnya tak dapat menyelamatkan apapun. Saka tidak menunggu kepunahannya tiba dan menangis kala kehilangan segalanya, tetapi ia mencoba dan berusaha untuk tidak kehilangan apapun lagi.

***

Ada 222 jenis mamalia, 420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan tawar, dan lebih dari 3000 jenis pohon-pohonan yang dimiliki Kalimantan hingga menjadikannya salah satu hutan terbesar dan yang paling berpengaruh di dunia.

Oh, Saka belum selesai berhitung. Ia masih harus memasukan Tarakan sebagai salah satu kekayaan Kalimantan. Tarakan dengan kekayaan mineralnya yang menjadi penyebab 'kunjungan' Jepang pada 1942. Tarakan dengan the purest oil-nya yang mencapai 6000 barel per tahun. Tarakan dengan batu baranya yang melimpah-ruah. Saka hanya tak bisa berhenti membayangkan kalau saja Indonesia bisa mengelola semuanya secara bijak, betapa hebat negaranya ini. Hanya saja, kosa kata 'sumber daya manusia' seakan jadi titik lebur indahnya impian Saka sebagai negara terhebat.

Saka sadar mentalitasnya masih buruk. Terkadang ia masih belum bisa berpikir panjang dan mudah termakan hasutan. Mau menang sendiri. Tidak peduli. Keras kepala. Bukan berarti ia menjelek-jelekkan dirinya sendiri. Meski tak selalu, ia juga masih peduli pada alam—dan kadang ia juga kalah dari para penguasa; orang-orang berduit dan berjas. Menilik dari hati nuraninya, Saka amat prihatin dengan keadaan alamnya yang makin lama makin buruk.

Seluas sebelas lapangan sepak bola hutan Kalimantan yang dibabat tiap menitnya. Belum lagi tentang pembantaian orangutan. Masih ada penangkapan dan pejualan hewan-hewan langka secara ilegal. Orang-orang itu, betapa mudahnya mereka merusak apa yang diciptakan alam bertahun-tahun hanya dengan waktu yang amat sebentar. Saka membayangkan, sepuluh tahun kedepan, dua puluh, tiga puluh—mungkin saja hutan Kalimantan sudah habis dan bumi kehilangan paru-parunya. Manusia kehilangan oksigennya. Ah, biarkan mereka bernapas dengan uang yang mereka kumpulkan.

Saka tidak ingin naif dan berkoar 'ayo lestarikan alam'. Sejujurnya, ia tak ambil pusing dengan efek kerusakan alam. Paling-paling cuaca yang tidak menentu akibat pemanasan global, banjir di pesisir pantai karena permukaan air laut yang makin tinggi, dan hal-hal biasa lainnya. Demi Tuhan! Lama-kelamaan Saka terbiasa dan merasa baik-baik saja dengan hal itu. Haha, jika saja hal-hal biasa itu terus berlangsung, manusia lah yang akan punah.

Selalu ada kontadiksi. Meski Saka merasa terbiasa dan mencoba tidak peduli, keprihatinan selalu mengiris hatinya diam-diam. Ia menyalahkan dirinya berkali-kali untuk kesadarannya yang terlalu terlambat, untuk kealpaannya dalam rangka menolong dirinya sendiri, untuk kebodohannya yang terlalu banyak menyalahkan pemerintah, dan yang terakhir untuk ketergantungannya pada orang lain. Saka merutuki kelemahannya karena sempat berpikir akan ada orang lain yang menolongnya kala dirinya sendiri tak sanggup memulai.

Tujuh puluh dua tahun ... lama juga ya? Apa yang sudah dilakukannya selama 72 tahun ini demi mengisi—yang katanya—kemerdekaan? Kebebasan dari para kolonialis rupanya belum cukup membuatnya belajar untuk mempertahankan. Kehilangan demi kehilangan ia rasakan dari hari ke hari. Termasuk kehilangan jati dirinya sendiri.

Saka memang tak ingin naif, malahan ia sudah terlanjur naif.

Untuk itulah ia mengobati rasa bersalahnya dengan mengunjungi Kalimantan, pulang ke rumah. Meraup memori sebanyak-banyaknya dan menjalin janji dengan alam; kalau Saka bisa membantu mereka bertahan, mereka rela diekspos ke massa. Keok burung tingga, potret keluarga orangutan, dan nyala mata macan dahan menjadi bukti akan janji yang Saka ikat dengan alam dan keindahannya.

Keindahan yang entah bertahan sampai kapan.

Biarlah api menyala lebih lama lagi, seperti harapan dan keinginannya yang selalu bertahan lebih lama dibanding orang lain. Karena ia adalah Indonesia Pusaka.

FIN

***

A/N: Okay, its time to say HBD to Indonesia.

Dear Indonesia,

Semoga KKN-nya cepet musnah ya (tiap buka atau nonton berita pasti ada satu. Banyak banget kasusnya sampe muak).

Semoga kinerja pemerintah makin oke ya biar gak menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat.

Semoga budayanya makin mendunia ya, jangan ada lagi budaya-budaya dan kekayaan indonesia yg punah.

Semoga mentalitas bangsa Indonesia kembali lagi seperti dulu. semoga yang tidak bangga, sakit hati, hingga menyandingkan nama Indonesia dengan padanan kata yang tak senonoh, bahkan ketika ia lahir, makan, minum, dan melakukan aktivitas di atas tanah air Indonesia ini cepet cepet sadar dan berkontribusi demi kejayaan negeri ini.

Semoga bisa mempertahankan tanah air ini dari negara negara serumpun yg lirik lirik tanah atau laut Indonesia. Terus berjuang memakmurkan negeri ini pokoknya (Pencabutan mercusuar-mencusuar Malaysia di perbatasan. Deteksi aktif-pasif AU yang semakin diintensifkan. Pengembangan UKM supaya ekonomi gk terlalu liberal. Dan banyak usaha penegak kedaulatan lain yang sedang diusahakan pemerintah).

SELAMAT HARI JADI INDONESIA! SEMOGA TETEP KEREN SELAMANYA!  MAKIN KUAT, MAKIN HEBAT, DAN MAKIN HARUM DI KANCAH DUNIA, YAA! SAYA CINTA KAMU! MERDEKA!

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

30.1K 516 4
biar tau alurnya baca dulu ya di tiktok @fiks1_4u Disini buat up Special chapter nya aja
147K 659 8
📌 AREA DEWASA📌
352K 1.4K 5
ONE SHOOT 21+ If you found this story, u clearly identified as a horny person. So find ur wildest fantasy here and just let's fvck, yall. Underage ki...
1.5M 32.1K 23
Yusuf Kuswanto, 35 tahun. seorang duda yg ditinggal pergi oleh istrinya saat melahirkan sang buah hati Ery Putri Kuswanto. anaknya sensitif dengan su...