Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

55th Pole

34.8K 3.5K 767
By nunizzy

           

55th POLE

~~||~~

Satu tahun kemudian...

"Ya ampun! Gila lo, Na, sumpah!" Sabrina menghampiri Inara yang sedang menyeruput jus mangganya.

Hari ini, seluruh siswa-siswi kelas dua belas SMA Integral beramai-ramai datang ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan.

Sebenarnya, mereka bisa saja melihatnya di website sekolah. Akan tetapi, sensasi ketika melihatnya secara bersama-sama di papan pengumuman sekolah tentu berbeda dengan sensai melihatnya sendiri di rumah, di depan layar komputer atau laptop.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada murid SMA Integral yang tidak lulus. SMA Integral adalah sekolah bergengsi yang selalu berhasil mencetak generasi hebat dan masuk PTN favorit–dan pastinya lulus UN 100%.

"Apaan sih?" tanya Inara kalem. Sedari tadi, ia menunggu Sabrina di kantin. Gadis itu tidak mau ikut berdesak-desakan melihat pengumuman kelulusan.

"Nilai UN lo tertinggi di tingkat provinsi untuk jurusan IPS, Na! Gila nggak tuh? Gila dong. Nggak nyangka gue sahabat gue bisa segila itu," cerocos Sabrina dengan mata berbinar-binar. Gadis itu berteriak heboh tanpa mau peduli dengan keadaan sekitarnya.

Untungnya, rata-rata adik kelas mereka yang menghabiskan jam makan siang di kantin sudah mengerti Sabrina adalah siswi dengan tipe yang seperti apa.

Inara meringis seraya tersenyum meminta maaf. Gadis itu menarik Sabrina untuk duduk di sebelahnya.

"Ini mulut volume-nya kebablasan mulu ya," ujar Inara gemas. "Tapi, serius lo?"

"Serius! Gue dalam mode kaget sekaget-kagetnya ini! Lo bisa ngalahin si Andin-Andin yang dari SMA Hexagonal itu. Parah lo, Na, parah."

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Andini dari SMA Hexagonal yang disebut-sebut akan meraih ranking pertama nilai ujian nasional tingkat provinsi–mengingat gadis itu selalu berhasil memenangkan lomba cerdas cermat sosial hingga tingkat nasional.

"Harusnya lo ngucap Alhamdulillah, Sab. Malah ngatain gue gila, parah."

"Alhamdulillah. Tapi tetap aja lo gila."

"Hehe." Inara nyengir tiga jari. "Doain SNMPTN gue yak."

"Kalau menurut gue sih, lo bakal tembus, Na." Sabrina menepuk-nepuk pundak Inara bangga.

"Aamiin. Lo jadi ambil sekolah pramugari?"

"Jadi dong! Doain gue lulus tesnya."

"Harus!"

"Wah, gue belum ngucapin selamat nih." Gala tiba-tiba datang dan duduk di hadapan mereka berdua.

"Selamat karena udah lulus dari sekolah sekeren SMA Integral."

Inara tersenyum. "Bisa aja lo."

Sabrina hanya mengangguk menanggapi. Rasa canggung pernah melingkupinya satu tahun yang lalu, kini sudah mulai berkurang. Persahabatan mereka hampir kembali seperti sedia kala.

Awalnya, berat rasanya untuk menganggap dirinya tidak pernah mempunyai perasaan apa-apa–bagi Gala maupun Sabrina. Namun akhirnya, mereka bisa melewatinya. Meskipun perasaan itu masih bersisa. Tidak hilang dan tidak sirna, hanya saja bersembunyi di tempat yang semakin dalam.

Rasa itu masih ada.

Perasaan Gala untuk Inara dan perasaan Sabrina untuk Gala.

"Eh, Sab. Lo nggak mau nyoba SBM, gitu?" tanya Gala.

Sabrina menggeleng. "Percuma, nggak bakal gue ambil."

"Coba aja."

"Emang lo ikut SBM?" tanya Inara.

Gala mengangguk. "Ikut."

"Hah?" Sabrina terbelalak. "Jadinya ikut? Kok gitu? Bukannya lo mau fokus di STAN atau STIS, ya?"

Gala mengangkat bahunya pelan. "Nggak ada salahnya nyoba. Seenggaknya, gue nggak nganggur satu tahun kalau seandainya nggak lulus STAN atau STIS."

Inara manggut-manggut. "Bener juga sih."

"Ambil apa lo, Gal?" tanya Sabrina.

"Teknik elektro atau teknik kelautan."

"Wih! Keren. Nggak tertarik jadi dokter gitu, Gal? Biar jadi idaman ibu-ibu yang lagi nyari mantu." Inara tergelak.

Sabrina menyambut kekehan kecil Inara sambil tertawa ringan. "Uluh uluh, mantu idaman."

"Nggak kuat hafalan gue. Walaupun awalnya malesin, tapi ngitung-ngitung lebih enak. Eh iya, selamat, Na, rank satu nilai UN IPS se-provinsi. Traktiran ditunggu."

"NAH IYA! Lupa gue minta traktiran!" sambung Sabrina.

"Astatank telinga gue." Inara menutup telinganya.

"Sok gaul lo pake astatank segala," cibir Sabrina.

# # #

Satu tahun belakangan, urusan perasaan mungkin tidak menjadi prioritas Inara. Gadis itu tentu masih menyimpan perasaan itu, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya.

Memang, keadaan yang memaksanya untuk tinggal satu atap dengan Rahagi nyatanya membuat Inara tidak bisa mengesampingkan urusan perasaannya. Setiap hari ia harus bertatap muka dengan Rahagi. Pulang dan pergi sekolah bersama Rahagi.

Untungnya, soal-soal persiapan ujian nasional dan SBMPTN berhasil membuat pikiran Inara teralihkan.

Hari ini, Inara sedang menanti-nanti pengumuman SNMPTN. Sejujurnya, ia tidak mau terlalu berharap kepada SNMPTN karena menurut cerita para seniornya, jebol SNMPTN itu seperti memenangkan undian berhadiah. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana penilaian di jalur SNMPTN.

Oleh karena itu, Inara juga tidak mau lupa diri. Gadis itu tetap mempersiapkan materi untuk mengikut SBMPTN.

Namun tetap saja, kini ia merasa sangat deg-degan.

"Na, lo nggak bisa duduk tenang gitu? Dari tadi mondar-mandir mulu. Kepala gue jadi pusing ngelihatnya," ujar Rahagi malas seraya menaikkan kakinya ke atas sofa. Lelaki itu duduk selonjoran di sofa ruang tengah seraya mencari-cari channel yang sekiranya bagus untuk ditonton.

Inara yang sebelumnya mondar-mandir di depan pintu ruang makan seraya menggigit jari, kini berhenti dan mengalihkan pandangannya ke Rahagi.

"Gue deg-degan parah, Rag!"

Setelah mengucapkan itu, Inara kembali mondar mandir dan mengecek ponselnya. Dua menit lagi menuju pukul 14.00 WIB–waktu di mana pengumuman SNMPTN sudah bisa diakses.

Rahagi hanya menggelengkan kepalanya. Lelaki itu beranjak dari tempat dan menghampiri Inara. Ia memegang kedua pundak Inara dari belakang. Dengan perlahan, ia membalikkan tubuh adik tiri yang sangat disayanginya itu.

"Kalau takdir lo di sana, lo pasti lulus. Sekarang, lo duduk yang tenang." Rahagi mengucapkan itu seraya menatap kedua bola mata Inara.

Setelah itu, ia menarik pergelangan tangan Inara agar mengikutinya berjalan menuju sofa ruang tengah.

"Udah jam 2!" seru Inara sambil menarik tangannya yang digenggam oleh Rahagi. Gadis itu membuka ponselnya.

Rahagi berhenti. Lelaki itu hanya menatap Inara malas. "Paling server-nya lagi full karena banyak yang ngeakses."

"Iya, ya," jawab Inara lesu kemudian menurunkan ponselnya.

"Ntar aja. Mending kita main catur atau ludo di HP."

"Lah? Ada gitu versi 'virtual'nya?"

Rahagi mengangguk. "Ada. Jadi nggak perlu ribet beli papan catur atau papan ludonya."

"WIH, ASYIK! Boleh deh." Inara mengikuti Rahagi yang melanjutkan langkahnya untuk duduk di sofa ruang tengah.

Akhirnya, dua jam mereka habiskan untuk bermain catur dan ludo di ponsel milik Rahagi.

Selama dua jam itu pula, Inara sibuk mengomentari Rahagi yang tiba-tiba tertarik untuk men-download permainan di ponselnya.

"Lo dalam rangka apa nih, nge-download game di HP lo? Bukan Rahagi banget."

"Dalam rangka bikin lo lupa sama pengumuman SNMPTN."

"Uuww, terharu gue."

"Gue serius." Rahagi yang sebelumnya tampak serius berpikir untuk menjalankan pion caturnya, kini menatap Inara yang duduk di hadapannya.

Ditatap begitu, Inara salah tingkah.

"Serius amat, Rag."

"Yaudah, kalau gitu gue bercanda."

"Idih, apaan sih nggak jelas!" Inara tertawa kecil.

"Gue udah jalan tuh! Cepetan!"

"Iya."

Pukul empat sore, Inara berhasil memenangkan permainan catur mereka.

"YES. SKAKMAT! GUE MENANG!!" seru Inara. "Gue dapat apa nih?" tanyanya jenaka.

Rahagi mendengus malas. "Baru juga sekali menang, udah bangga."

"Bangga dong! Ini pertama kalinya gue menang main catur. Biasanya kalau sama Bang Gafar gue kalah mulu."

"Gue lagi baik aja mau ngalah."

"Ngeles aja lo kayak bajaj. Kalau kalah ya kalah aja nggak usah sok-sok ngaku ngalah."

"Iya deh, Inara jelek."

"Eh, udah jam empat. Gue mau lihat pengumumannya."

Rahagi beranjak dari tempat duduknya, berniat mengambil segelas air karena kerongkongannya terasa kering. "Kabarin gue."

Inara mengangguk lalu fokus pada ponselnya. Beberapa helai rambut Inara yang tidak terikat menjuntai ke depan, membuat tangan Rahagi gemas ingin membereskannya.

Namun, lelaki itu memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju dapur.

Setelah selesai dengan urusannya di dapur, Rahagi kembali ke ruang tengah.

"Udah, Na?" tanyanya.

Inara menggeleng. "Masih login."

Rahagi mengangguk.

"ALHAMDULILLAH YA ALLAH!" seru Inara dengan tangan bergetar.

"Lulus, Na?" tanya Rahagi.

Inara lantas mendongak–mengalihkan pandangannya dari layar ponsel kepada wajah Rahagi.

"GUE LULUS, RAG! Manajemen UI."

Karena terlalu bahagia, Inara tanpa sadar memeluk Rahagi erat. Yang dipeluk hanya diam, membiarkan Inara memeluknya. Lebih tepatnya, Rahagi tiba-tiba mematung karena dipeluk oleh Inara.

"S–selamat, Na." Rahagi dengan canggung mengangkat tangannya dan mengelus pundak kepala Inara.

"Makasih, Rag. Gue nggak nyangka, Ya Allah!" Inara melepaskan pelukannya dan menatap Rahagi dengan tatapan berbinar. "Makasih atas saran lo supaya gue naruh manajemen UI di pilihan pertama. Semoga tes pilot lo sukses! Ah, gue mau ngabarin Mama dulu."

Rahagi mengangguk sembari tersenyum kecil.

Ia senang melihat Inara senang.

Namun, ada sedikit rasa sedih di hatinya. Inara lulus jurusan manajemen, itu artinya gadis itu akan mencoba mendaftar ke universitas tempat Gafar berkuliah di Jerman, bukan?

Akan beda perkaranya jika Inara lulus di hubungan internasional. Gadis itu tentu akan tetap melanjutkan kuliahnya di Indonesia.

Membayangkan ia dan Inara akan terpisah dengan jarak ribuan kilometer saja rasanya sudah membuat Rahagi gila. Apalagi jika benar-benar terjadi.

"Nggak usah apply ke Jerman, Na," ucap Rahagi pelan.

Sayangnya, Inara tidak mendengar hal itu. Gadis itu sudah larut dalam percakapan dengan Tyas–ibunya–melalui telepon.

# # #

Cukup banyak hal yang sudah Inara lewati dua tahun belakangan.

Dimulai dari dirinya yang diminta untuk menjadi mata-mata, dilantik menjadi ketua DisPara, Rahagi yang tiba-tiba menjadi saudara tirinya, perasaan Gala dan Sabrina, dirinya yang ketahuan menjadi anggota Blackpole dan mata-mata Blackpole, serta perasaannya kepada Rahagi yang satu tahun belakangan baru ia sadari.

Salah satu hari di Bulan Juli, Inara melepas kepergian Gala bersama Sabrina dan tentunya kedua orang tua Gala. Ada Kylar dan beberapa teman dekat Gala yang lain juga.

Lelaki itu diterima sebagai mahasiswa bea dan cukai di Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN). Hal itu cukup mengejutkan Inara dan Sabrina setelah beberapa minggu sebelumnya Gala mengabari mereka bahwa ia tidak lulus di universitas mana pun melalui SBMPTN.

Waktu berlalu dengan sangat cepat. Sabrina berhasil masuk ke sekolah pramugari impiannya, sedangkan Rahagi juga lulus di Bandung Pilot Academy.

Dimas Satria : Cihuy, Rahagi calon pilot uy

Dimas Satria : Boleh tuh Blackpole nge-trip ke Maldives gratis di anterin Pak Pilot

Karel Perwira : Wadaw, Maldives

Farel Bramantyo : Sung x

Putra Abraham : Ndak momo

Rama : Apaan tuh 'ndak momo'

Putra Abraham : Indak lamo-lamo

Dimas Satria : Perasaan lo nggak ada darah minang deh, Tra

Putra Abraham : Sepupu gue baru dateng dari Padang

Rama : Gitu

Bulan Oktober, Rahagi akan memulai perkuliahan di Bandung. Inara yang sudah mulai berkuliah sejak akhir bulan Juli, menyempatkan dirinya untuk mengantarkan Rahagi ke stasiun kereta–seperti yang ia lakukan kepada Gala dan Sabrina dahulu.

"Belajar yang rajin, Nak." Tyas memeluk Rahagi dan lelaki itu membalasnya.

"Iya, Ma. Pantau Inara terus ya, Ma, kalau udah keasyikan belajar suka lupa waktu."

Inara mendelik.

Tyas tertawa mendengarnya. Wanita paruh baya itu melepaskan pelukannya. "Mama kadang juga heran."

Rahagi hanya tersenyum kecil. Lelaki itu beralih kepada Wira–ayahnya.

Wira menepuk pundak Rahagi beberapa kali.

"Jangan sering bolos kayak jaman SMA."

"Iya, Pa."

"Merokoknya dihentikan aja. Selama ini Papa ngebiarin kamu merokok karena Papa tahu berhenti ngerokok emang susah. Tapi kalau Papa lihat-lihat, sekarang kamu udah jarang ngerokok ya."

Rahagi melirik Inara sekilas. Rupanya, gadis itu juga sempat meliriknya dengan senyum kecil di wajahnya.

"Aman, Pa. Targetnya, satu tahun lagi udah nggak merokok lagi."

Wira tersenyum bangga.

Rahagi beralih kepada Bayu. Dua saudara itu berpelukan singkat.

"Jaga hati jaga pikiran. Kabarnya, di sana calon pilot ceweknya cantik-cantik," bisik Bayu.

"Sialan!" desis Rahagi.

Bayu terbahak melihat reaksi adiknya.

Terakhir, Rahagi menatap Inara.

Naya berhalangan untuk ikut mengantarkan Rahagi, begitu juga dengan anggota Blackpole yang sebelumnya berencana ikut melepas kepergian Rahagi.

"Sebaiknya, lo secepatnya bilang ke nyokap kalau lo mau nyusul Bang Gafar," ucap Rahagi pelan agar tidak ada yang mendengarnya selain Inara.

Inara mengangguk. "Rencananya nanti malem gue mau diskusiin ini sama nyokap."

Gadis itu lalu tersenyum singkat. "Lo hati-hati di sana."

Ujung bibir Rahagi tertarik ke atas. "Jangan kangen."

Inara mendelik. "Paling juga lo yang kangen sama gue."

"Iya, gue kangen sama lo."

"Tapi lo bahkan masih di sini Rahagi, plis deh."

Rahagi tertawa kecil. "Tapi gue serius, Na."

Inara tidak berkutik. Akhir-akhir ini, Rahagi sering mengatakan hal-hal semcam itu kepada Inara.

Gadis itu kadang terbawa perasaan. Untungnya, Inara bisa cepat menyadari bahwa Rahagi menyayanginya tidak lebih dari sayang seorang kaka kepada adiknya.

"Makasih lho, Kak," jawab Inara berusaha jenaka.

Rahagi tersenyum pahit. "Sama-sama lho, Dik."

Apa benar-benar tidak ada harapan untuk perasaannya? Apa Inara memang hanya menyayanginya sebatas kakak tiri?

Lelaki itu mengangkat tangannya dan menepuk puncak kepala Inara beberapa kali.

"Jangan lupa makan dan kurangi bangun malem-malem atau tidur larut soalnya nggak ada yang bisa nemanin lo lagi."

Inara terkekeh. "Gue pikir karena bangun malem-malem nggak sehat."

"Bangun malem-malem sehat kok. Buktinya orang dianjurkan salat tahajud."

"Iya sih."

Rahagi menurunkan tangannya. "Gue pergi, Na."

Inara mengangguk.

Setelah itu, Rahagi menyalami kedua orang tuanya.

"Rahagi pergi, Ma, Pa."

# # #

Seperti ucapannya kepada Rahagi tadi siang, malam ini Inara sudah bertekad untuk berdiskusi mengenai kuliah ke Jerman.

Gadis itu sejujurnya masih ragu untuk melanjutkan studi ke Jerman. Hanya Rahagi yang tahu tentang ini. Apalagi, Inara sudah cukup menikmati kuliahnya di Indonesia.

Inara mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Namun, tidak ada jawaban. Gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar tersebut.

Tidak ada orang.

Mama sama Papa di ruang kerja kali, ya?

Inara akhirnya menutup kembali pintu kamar kedua orang tuanya dan berjalan menuju ruang kerja ayahnya.

Saat akan mengetuk pintu ruang kerja Wira, Inara mengurungkan niatnya begitu menyadari bahwa pintu tersebut sedikit terbuka dan gadis itu bisa mendengar percakapan yang muncul dari dalam.

"Mas, kalau seandainya Rahagi dan Inara saling sayang gimana?"

Pertanyaan Tyas, ibunya, cukup mengejutkan Inara.

"Wajar dong kakak dan adik saling menyayangi?"

"Bukan gitu maksudnya, Mas. Saling menyayangi dalam konteks yang berbeda."

Inara tahu bahwa hal yang dilakukannya ini tidak sopan. Akan tetapi, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.

Di dalam ruangan tersebut, mata Wira membulat.

"Maksud kamu, kayak kita gitu?"

Pipi Tyas sedikit memerah mendengar pertanyaan yang dilontarkan Wira, tetapi tak urung wanita paruh baya itu mengangguk sebagai jawaban.

"Yang aku lihat, tatapan Rahagi ke Inara itu beda. Begitu juga sebaliknya. Nggak begitu kentara, tapi aku bisa melihatnya."

"Mereka nggak salah punya perasaan kayak gitu. Perasaan manusia mana bisa diatur, sih? Lagipula, mereka nggak sedarah."

"Iya juga ya."

"Tapi, seandainya di masa depan mereka berniat mempunyai hubungan yang lebih dari sekadar kakak dan adik, menurut Mas kurang etis mengingat orang tuanya udah menikah."

Inara sedikit tertohok mendengarnya.

Apa yang dikatakan ayah tirinya itu ada benarnya.

"Inara itu gadis dewasa yang udah paham mana yang baik dan mana yang buruk. Dia nggak akan gegabah mengambil suatu keputusan. Kalau emang benar dia punya perasaan semacam itu untuk Rahagi, Mas rasa dia tahu apa yang harus dilakukannya."

Inara tersenyum pahit.

Merelakan adalah satu-satunya jalan terbaik.

Gadis itu berusaha keras menahan air matanya. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu ruang kerja ayahnya.

Tok tok tok.

"Ma, Pa...," panggil Inara.

Napas Tyas tertahan mendengar panggilan Inara. Wanita itu melirik ke arah pintu, lalu beralih kepada Wira. Sementara Wira hanya melirik Tyas sekilas.

"Masuk, Nara," jawab Wira.

Inara menarik napasnya lalu membuangnya perlahan. Setelah itu, didorongnya pintu ruang kerja ayahnya.

"Inara mau diskusi tentang sesuatu, Ma, Pa."

Wira dan Tyas saling bertatapan, sebelum akhirnya mengangguk membalas ucapan Inara.

~~||~~

A/N

AKHIRNYA, tercapai keinginan q untuk double update suatu hari nanti. Dan harinya adalah hari ini.

Izin ya kaka besok nggak update.

Kalau nggak ada halangan, Sabtu update. Tapi kalau ada halangan berarti Sabtu nggak update. Iyain aja.

13 Juli 2017

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 5K 33
|| Rumit- Rumit, judul yang sangat sesuai dengan skenario yang diatur oleh Tuhan untuk seorang gadis sederhana bernama Ayesha. Rumit, adalah cerita t...
27.2K 1.4K 54
Follow dulu sebelum baca .. + .
8.7K 1K 6
© Copyright Ranne Ruby
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...