54th POLE
~~||~~
Inara terjaga dari tidurnya–atau bisa disebut pingsannya. Gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha mengatur cahaya yang masuk ke matanya.
Ia berada di UKS, ruangan yang jarang sekali ia masuki. Inara tidak terlalu akrab dengan ruangan ini. Ia jarang sakit, dan jarang pula bolos pelajaran buat tiduran di UKS dengan alasan sakit.
Ia menoleh ke kiri dan menemukan jus mangga tanpa es–bisa dilihat dari dinding gelas yang tidak menampung embun–beserta sebungkus roti yang ukurannya cukup besar.
Senyum Inara mengembang. Gala atau Sabrina, ya?, batinnya dalam hati.
Tiba-tiba pintu UKS terbuka bersamaan dengan tubuh jangkung Gala yang masuk ke dalam ruangan.
"Gal," sapa Inara.
"Eh udah bangun lo, Na." Gala tersenyum hangat seraya berjalan mendekati Inara.
"Gue beliin air sama batagor. Udah jam istirahat pertama." Gala memperlihatkan air mineral berbentuk gelas dan sebungkus batagor kepada Inara.
Kening Inara berkerut. Berarti Sabrina?
"Nara!" tanpa keduanya duga, Sabrina tiba-tiba sudah berada di ambang pintu UKS. Gadis itu berlari kecil menghampiri Inara.
"Alhamdulillah lo udah sadar. Tadi ada tugas kelompok bikin soal sesuai kisi-kisi. Gue sendirian, susah banget, Na, memahami indikator soal! Eh, tapi ini lebih penting daripada itu. Lo harus makan! Nih, gue udah bungkusin nasi goreng sama jus mangga." Sabrina mengacungkan plastik yang ada di genggamannya–berisi makanan dan minuman untuk Inara.
"Hah?" Inara refleks meringis. "Terus yang ngasih ini siapa?" Inara menunjuk makanan dan minuman yang berada di meja kecil di sampingnya dengan tatapan mata.
Gala dan Sabrina serentak mengalihkan pandangan ke meja tersebut.
"Bukan dari kalian?"
Keduanya kembali menatap Inara sembari menggeleng pelan.
"Terus dari siapa?" tanya Inara horor.
Kening Gala dan Sabrina berkerut.
"Sejak tadi gue belajar di kelas."
"Sama," jawab Sabrina menimpali. "Eh, Rahagi nggak sih?"
# # #
Inara meraih majalah sekolah yang diletakkan di atas mejanya. Siang ini, Inara sudah bisa kembali mengikuti pelajaran di kelas.
Mengenai jus mangga dan sebungkus roti yang tiba-tiba berada di UKS tadi pagi, Gala dan Sabrina mengambil kesimpulan bahwa Rahagi-lah yang meletakkannya di sana untuk Inara.
Inara berusaha menyangkal kesimpulan tersebut, padahal diam-diam pipinya terasa panas mendapati perhatian Rahagi.
"Muka lo kenapa merah gitu, Na?" tanya Aneke yang sedang membagikan majalah sekolah edisi bulan ini.
"Nggak kenapa-napa." Inara lantas mengerutkan bibirnya untuk menghilangkan semburat di wajahnya karena mengingat kejadian itu lagi. "Btw, makasih, Ke!"
Aneke mengangguk sembari melanjutkan pembagian majalah sekolah.
"Wih, majalahnya udah terbit, nih!" Sabrina–dengan permen karet yang baru saja ia makan–masuk ke dalam kelas.
Seperti biasa, berita-berita di majalah sekolah selalu menjadi trending topic untuk dibicarakan selepas pembagian majalah sekolah. Majalah sekolah berisi prestasi, fakta unik dan horor tentang sekolah, artikel menarik tentang dunia dan pengetahuan umum, cerpen yang dikirim oleh siswa-siswi, dan ada juga rubrik cinta–tempat untuk menyatakan perasaan di mana nama pengirimnya dirahasiakan.
Yang pastinya, no gossip.
"Eh, ada laman yang ngebahas Blackpole."
Bisik-bisik seperti itu bisa didengar oleh Inara dari tempat duduknya. Gadis itu perlahan membuka majalah sekolah yang sudah ia pegang.
Gadis itu tersenyum puas melihat dua halaman majalah dengan tema warna toska-hitam, sesuai pilihannya.
Sisi Lain Blackpole–begitu judulnya.
Halaman tersebut menjelaskan fakta tentang Blackpole yang selama ini dipandang buruk. Inara menceritakan semuanya, dimulai dari awal mula Blackpole dipandang buruk, pemberantasan oknum jahat, hingga ke kegiatan amal yang dilakukan oleh Blackpole–tentunya ditunjang oleh foto-foto.
Inara juga memasukkan kejadian di mana Naya di-bully oleh oknum Blackpole sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, hanya sebagai pembanding bahwa oknum Blackpole dan anggota Blackpole itu berbeda.
"Kurang percaya sih gue."
"Tapi fotonya kayak diambil diam-diam gitu."
"Siapa tahu emang bener gini."
Inara mengabaikan desas-desus yang memenuhi ruangan kelasnya. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya. Inara mendongak dan menemukan Aneke sedang mengacungkan jempolnya ke arah Inara.
Gadis itu tersenyum. "Sekali lagi, makasih, Ke," ujarnya pelan.
# # #
Inara terjaga dari tidurnya–jam satu dini hari, seperti biasa. Bedanya, kali ini tidak ada Naya di sampingnya. Gadis itu mengusap wajahnya kemudian beranjak dari tempat untuk menghidupkan lampu kamarnya.
Setelah mencuci muka dan melaksanakan salat malam, Inara melangkah keluar kamar.
Tepat saat Inara membuka pintu kamar, di hadapannya, Rahagi juga baru saja membuka pintu kamarnya. Keduanya sempat saling menatap sepersekian detik sebelum Rahagi membuka suara–membuat Inara membuang pandangannya.
"Sebaiknya lo kurangi deh, bangun malam-malam." lelaki itu keluar dari kamarnya kemudian menutup pintu kamar.
"Kenapa?" tanya Inara seraya mengikuti Rahagi–keluar dari kamar dan menutup pintu kamar.
"Tadi pagi kenapa pingsan?" Rahagi balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Inara.
"Hmm." Inara tampak berpikir. "Kayaknya gara-gara kemarin malam kebablasan ngerjain soal sampai tengah malem, hehe."
Rahagi menggelengkan kepalanya. "Kesehatan itu penting." lelaki itu berjalan mendahului Inara, menuruni tangga.
"Iya. Tahu." Inara berjalan pelan di belakang Rahagi.
"Sekarang bangun tidur atau belum tidur sama sekali?" tanya Rahagi tanpa menatap Inara.
"Bangun tidur. Kayak biasanya. Haus, pengen cokelat panas." Inara memegang lehernya.
"Heran gue kenapa lo masih boncel padahal setiap malem minumnya cokelat." Rahagi masuk ke ruang makan lalu menekan tombol lampu ruang makan–sekalian dengan lampu dapur juga.
"Heh!" seru Inara tidak terima.
"Pfftt." Rahagi berusaha menahan tawanya.
"Kurang ajar emang. Itu pengaruh gen. Gue bisa apa kalau gennya emang gitu?"
"Tahu tentang gen juga ternyata."
Inara memutar bola matanya. "Nggak boleh rasis lho. Mentang-mentang IPA," cibirnya.
Rahagi tertawa kecil. "Habisnya, seru sih lihat lo ngomel-ngomel. Inara other side. Beda banget sama image lo di sekolah yang baik banget. Kalem, penurut, disiplin, sabar."
"Ya, ya," jawab Inara malas.
"Tapi makasih buat dua halaman yang berharga di majalah sekolah bulan ini," ucap Rahagi tulus tetapi tidak mau menatap Inara. Lelaki itu menyibukkan dirinya dengan membuat kopi susu.
Entah sejak kapan ia suka kopi. Ia hanya mengikuti kehendak pikirannya yang menyugestikan dirinya untuk meraih kopi.
Salah tingkah? Mungkin.
"Santai." Inara berjinjit untuk meraih gelas dan sebungkus cokelat bubuk. Belum sempat tangannya meraih apa yang ingin ia raih, Rahagi sudah terlebih dahulu mengambilkannya untuk Inara–tanpa diminta.
"Makanya tinggiin badan." Rahagi meletakkan gelas dan sebungkus cokelat bubuk tersebut di depan Inara.
"Tuh kan! Tau ah," ucap Inara ngambek. Gadis itu tidak bisa menahan kekesalannya ketika orang lain membahas-bahas tinggi badannya.
"Yah, marah," ledek Rahagi.
"Nyebelin sih." Inara mulai membuat cokelat panasnya.
"Nyebelin-nyebelin gini, kalau gue nggak ada paling lo kangen," ujar Rahagi pelan seraya melirik Inara dan menahan senyumnya.
"Dih, pedenya kumat."
Rahagi terbahak mendengar jawaban Inara. Rasanya, ia tidak ingin waktu-waktu seperti ini cepat berlalu.
"Ngomong-ngomong, lo SNMPTN mau ambil apa, Na?" tanya Rahagi setelah berhasil meredakan tawanya.
"Pilihan pertama kayaknya hubungan internasional UI."
"Widih, standarnya tinggi ya langsung nembak HI UI."
"Itu maksudnya muji atau ngeledek lagi?"
Yang ditanya tergelak. "Itu muji, Inara jelek."
"Oke, makasih, Rahagi yang lebih jelek." Inara mencibir. "Kalau pilihan kedua, manajemen UI."
"Kenapa nggak HI UGM? Bukannya lo pengen banget kerja di kedubes? Eh, iya nggak? Gue lupa."
"Gue tiba-tiba tertarik manajemen. Bang Gafar kan ambil manajemen juga, siapa tahu ntar gue bisa jadi sekretaris di perusahaannya, haha."
Rahagi manggut-manggut.
"Lagipula, kalau emang takdir gue di manajemen, gue pengen coba apply ke Jerman."
Pupil mata Rahagi sedikit membesar ketika Inara mengucapkannya–menandakan bahwa ia terkejut dengan apa yang ia dengar.
"Lo berencana kuliah di Jerman, Na?"
"Masih ragu sih. Sebenarnya gue juga bimbang naruh manajemen UI di pilihan satu atau dua."
Karena kedengarannya, kuliah di Jerman nggak buruk, Rag. Tempat baru, suasana baru, orang-orang baru, dan mungkin...perasaan baru, batin Inara seraya tersenyum pahit. Walaupun gue harus nunggu tahun depan dan harus adaptasi dulu setahun di sana belajar bahasa Jerman.
Rahagi memilih diam. Ingin rasanya ia katakan kepada Inara untuk berkuliah di sini saja. Namun, kata-kata itu tertahan di ujung lidahnya.
"Gue jadi ambil penerbangan." alih-alih meyakinkan Inara untuk tidak kuliah di Jerman, kalimat itu yang nyatanya keluar dari mulut Rahagi.
Inara menoleh kepada Rahagi dengan tatapan berbinar.
"Wah, serius? Ckck, ditunggu janjinya yang mau nganterin gue keliling dunia."
"Kapan gue janji gitu?!" Rahagi mengalihkan pandangannya kepada Inara.
"Hmm, gue lupa-lupa inget. Pokoknya lo pernah bilang gitu."
"Salah denger kali?"
"Nggak, ih!"
"Iya."
"Nggak."
"Terserah."
Inara tertawa kecil. "Ambil di mana, Rag?"
"Bandung Pilot Academy."
Inara berdecak kagum. "Semoga impian lo jadi pilot-ganteng-idaman-pramugari tercapai," ucap Inara sambil cekikikan.
"Siapa yang pengen jadi pilot-ganteng-apalah yang lo bilang tadi?"
"Ampun, Ndoro." Inara terbahak ketika mengucapkannya.
Semoga semua keinginan lo tercapai, Rag.
Malam itu Inara sadar, ia sudah terlalu larut dengan perasaan yang disimpannya.
"Eh tapi."
Ucapan Inara membuat Rahagi yang semula hanya diam menatap Inara yang sedang tertawa, membuka suaranya.
"Apa?" tanya lelaki itu.
"Lo beliin gue jus mangga sama roti ya kemarin pagi pas gue pingsan?"
Rahagi mengalihkan pandangannya dari Inara. Entah mengapa, tiba-tiba pipinya memanas ketika Inara menanyakan hal itu. Bagaimana gadis itu bisa tahu?
"Iya," jawab Rahagi pelan seraya membawa cangkir gelas berisi bubuk kopi ke dispenser.
Diam-diam, bibir Inara berkedut menahan senyum.
"Perhatian juga lo. Makasih, Rag."
Rahagi hanya mengangguk singkat. Padahal, ia mati-matian menahan jantungnya yang terasa ingin meloncat keluar karena memompa darah terlalu cepat.
# # #
Putra Abraham : Barusan Bu Aminah nelpon gue
Dimas Satria : WHAT
Rama : Dalam rangka apa...
Keenan : Apakah ini pertanda baik
Karel Perwira : Apakah ada titik terang
Farl Bramantyo : ...
Arya : Bu Aminah
Geraldo : Bu Aminah (2)
Dika : Bu Aminah (3)
Dio : Bu Aminah (3)
Paul : Bu Aminah (5)
Ken : Bu Aminah (6)
Dimas Satria : Dio saking shock-nya lupa ganti nomornya
Bayu Waranggana : ...
Putra Abraham : Intinya, sekolah udah netral ke Blackpole
Putra Abraham : Blackpole bukan komunitas terlarang lagi
Putra Abraham : Tapi, sekolah juga nggak menganjurkan muridnya masuk Blackpole
Putra Abraham : Karena beberapa pertimbangan
Putra Abraham : Tapi sekolah juga nggak ngelarang
Gafar Adipati : Alhamdulillah
Dimas Satria : Masya Allah akhi
Farel Bramantyo : Gafar idaman banget, muncul-muncul langsung ngucap Alhamdulillah<3
Karel Perwira : Walaupun lo sedikit menjyjycan, tapi gue mau nge-RT @Farel Bramantyo
Dimas Satria : Gue mau tanya nih
Dimas Satria : Menjyjycan tuh bahasa mana ya?
Farel Bramantyo : Alay banget lo Rel nulis menjijikan aja digaya-gayain gitu
Bayu Waranggana : Alhamdulillah (2)
Keenan : Syukurlah
Dika : Alhamdulillah (3)
Paul : Syukurlah (2)
Adit : Alhamdulillah (4)
Radit : Alhamdulillah (5)
Dimas Satria : Alhamdulillah (6) ikutan
Geraldo : Syukurlah (3)
Putra Abraham : Jangan lupa bilang makasih buat Inara
Dimas Satria : Terjemahan > jangan lupa bilang makasih ke calon adik ipar gue
Gafar Adipati : HAHAHA
Putra Abraham : HEH
Keenan : Makasih Inara cantik
Paul : Makasih Kak Nara
Dimas Satria : Thanks Inara calon gue
Gafar Adipati : Apaan tuh calon-calon. Lo nggak memenuhi syarat
Dimas Satria : Yah, masa gitu?
Dimas Satria : Masa gue memenuhi?
Karel Perwira : Lo alay sih Dim
Dimas Satria : Yaudah deh gue sama Karel aja
Karel Perwira : IDIH NAJIS TRALALA
Farel Bramantyo : Lo lebih alay Rel, serius
Dika : ^kayak ngomong ke diri sendiri
Rama : Makasih Inara
Rama : Lo mata-mata terbaik
Inara Sekar : Sama-sama, Bang. Semua juga berkat Paul kok
Putra Abraham : Maksudnya?
Bayu Waranggana : Makasih Na
Paul : Hehe, gue mau buat pengakuan
Paul : Gue juga mata-mata
Dimas Satria : Gue sempat curiga sih
Keenan : Kalian luar biasah!
Rahagi : Makasih Inara boncel
Dimas Satria : ^jahat ke Inara gue
Rahagi : -
Putra Abraham : Inara lo ya, Dim?
Putra Abraham : Harusnya sih gue marah sama lo, Ul
Putra Abraham : Tapi, thanks buat kebaikan lo dan Inara
Dimas Satria : KITA HARUS BUAT PERAYAAN
~~||~~
A/N
Pengen teriak.
Kenapa mereka harus sodaraan sih?!
Makin lama makin kyut lama-lama aku yang gila.
p.s Maaf ya karena ada beberapa adegan di chapter-chapter sebelumnya yang susah dimengerti, contohnya... kentang. Itu maksudnya kayak orang bego gitu. Potato. Nggak ngerti ya? Yaudah lupakan.
p.s.s Antipole bentar lagi tamat. Kalau udah muncul jawaban QnA#2 nanti, berarti satu atau dua chapter lagi bakal end. Jadi, tungguin aja.
p.s.s.s Rencananya, spin-off Antipole yang mau dibikin banyak. Nggak cuma Naya sama Putra aja. Jadi, tungguin aja (2).
13 Juli 2017