Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.8K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

13th Floor

688 125 38
By Atikribo

LUKE MENDORONG kursinya hingga jatuh, mengambil langkah lebar menuju pintu, dan meninggalkan Eri yang mengaduh karena tidak sengaja terdorong. Kikuk, Nova mengikuti pria botak itu dari belakang, mengangguk ketika melewati perempuan yang tengah mengelus bahunya yang ngilu.

Ruangan yang Nova masuki lebih besar namun lebih padat. Mesin-mesin besar dan berat diletakkan berjajar bersamaan dengan lempengan besi yang diletakkan di atas lantai. Seorang pria lanjut usia melirik dari balik koran. Ia mengenakan topi baret usang berwarna cokelat dan duduk di belakang meja yang tepat menghadap pintu ruangan istirahat. Beberapa botol Armadillo terletak di atas meja, entah ada berapa jumlah botol yang kosong.

Nova mengerjapkan mata, mencari-cari sosok Luke yang melesat bagaikan angin. Pria tua itu mengedikkan dagunya ke arah pintu di sisi kiri dan kembali membaca korannya. Nova berterima kasih sambil membungkukkan tubuh. Susah payah gadis itu melewati mesin-mesin besar seperti mesin bor dan juga alat pemotong besi; beberapa kali ujung meja mengenai pinggulnya, membuat Nova berdesis menahan sakit.

Skafolding menyambut Nova ketika gadis itu keluar dari ruangan menuju sebuah bengkel dengan langit-langit tinggi. Ia mengikuti suara teguran lantang seorang pemuda, menyuruh Luke berhati-hati, dan Nova mengambil langkah lebar ke sumber suara.

Punggung lebar pria botak itu semakin menjauh, mengejar pamannya yang entah mempunyai selisih berapa langkah dengannya. Luke berseru, memanggil Ravi sekuat tenaga. Alih-alih berlari keluar, pria itu berbalik. Langkah lebarnya membuat Nova kebingungan karena ia menyuruh gadis itu untuk diam di tempat.

Diam di tempat? Yang benar saja! Nova sudah terlalu lama menunggu dan ia terlalu lelah mencari. Selangkah lagi ia bisa bertemu dengan seseorang yang ia percaya betul; seseorang yang bisa memberikannya jawaban. "Aku ikut!"

Tergesa-gesa, Luke kerap mengunci mulutnya. Ia memberikan gestur pada gadis itu supaya tetap diam di tempat. Matanya yang tajam siap membunuhnya jika gadis itu bergerak meskipun cuma satu inchi. Sekali lagi, pria itu menabrak pemuda yang tadi menegurnya. Dia cukup pendek dan lengan baju montirnya digulung hingga bahu.

Papan kayu yang ia bawah terjatuh saat itu juga, membuatnya mengerang kesal, "Luke, hati-hati bisa enggak sih?! Aku lagi kerja!"

Merasa bertanggung jawab, Nova menghampiri dan mengambil beberapa papan kayu yang terjatuh. "Maaf," tutur gadis itu pelan sambil mengulurkan benda yang ia ambil.

Tertegun, sikap pemuda itu berubah 180 derajat. Wajahnya yang kumal dengan debu tersipu malu; pemuda itu nampaknya tak jauh usianya dengan dirinya.

"Oh, maaf. Maaf? Ke-kenapa malah kau yang minta maaf?" tanya pemuda itu terbata. Ia mengisyaratkan untuk meletakkan papan itu di tangannya yang penuh. "Kenapa ada cewek secantik dirimu ada di tempat seperti ini?"

"Apa?" Nova kira ia salah dengar karena Dolores menggerung nyaring secara bersamaan.

Gadis itu menggigit bibir sementara Luke pergi dengan kekasihnya tanpa membawa Nova bersama mereka. Ia tidak mungkin bisa mengejar motor dua silinder itu. Menarik napas panjang, ia berharap pria itu dapat menemukan Ravi dan membawanya ke sini.

"Enggak, bukan apa-apa," pemuda itu memerhatikan arah pandang Nova dan berkata, "Kau datang bersama si Botak, huh? Orang itu selalu seenaknya sementara Eri enggak kayak perempuan." pemuda itu berdecak, menumpuk papan kayunya tak jauh dari skafolding.

Kepulan debu kayu muncul ketika ia menepuk kedua tangannya, "Aku yakin, kau bukan salah seorang dari teman main Luke di Distrik Karmir. Bagaimana bisa kau bertemu dengan si Om?"

Nova tidak mendengarkan. Pandangannya terus tertuju pada pintu bengkel yang setengah terbuka, berharap raungan Dolores kembali terdengar kemudian Luke datang bersama pamannya. Pemuda itu menjentikkan jari di depan Nova, membuatnya terkejut.

"Kau enggak apa-apa?" tanya pemuda yang memperkenalkan dirinya sebagai Keiran. Mengangguk tidak membuat Keiran meninggalkan gadis itu sendirian. Ia mengajak Nova ikut bersamanya kembali ke ruang istirahat.

Melihat wajah Nova yang setengah hati, cepat-cepat pemuda itu berkata, "Atau, kau bisa menunggu di sini selama aku menutup bengkelnya. Seharusnya Aidan datang sebentar lagi, dia membelikan makan malam. Semoga saja dia beli porsi berlebih. Aku bisa memanggilkan Eri jika kau mau mengobrol. Kau tahu, sesama perempuan."

"Tidak, tidak usah repot-repot," ucapnya sambil mencari tempat yang bisa ia duduki.

Pandangannya tetap tertuju pada jendela yang mulai tidak menampakkan cahaya senja. Ketika ia duduk di atas tumpukkan kotak kayu, Keiran mengajaknya bicara lagi. Akan tetapi, sikap Nova yang dingin membuat pemuda itu merasa canggung, hanya bisa mengigit bibir, dan akhirnya meninggalkan gadis itu sendirian.

Derik gerbang besi yang ditarik menggaung memenuhi bengkel. Dari tiga gerbang seukuran empat meter, Keiran menyisakan sebuah gerbang yang ditutup setengahnya. Satu buah kendaraan bermotor masih bisa masuk lewat sana. Langkah Keiran seperti lompatan kecil setelah ia menyelesaikan tugasnya menutup bengkel. Ketika tatapan mereka bertemu, wajah pemuda itu bak tomat, mengalihkan pandangannya ke sana ke mari. Tingkahnya yang kikuk membuat Nova tak kuasa menahan senyum.

"Kau mau minum? Aku bisa membawakanmu minum," tanya Keiran, masih tersipu ketika jarak mereka cukup dekat. Nova menolaknya lagi dan pemuda itu merengut kecewa, "Kalau begitu, aku akan masuk dulu sebentar."

Mengangguk, Nova kembali mengalihkan pandangannya ke gerbang yang setengah terbuka. Ia menggenggam kalungnya, telinganya ia pasang lebar-lebar manakala ia melewatkan raungan Dolores. Sejauh ini, suara gagah motor itu masih nihil, jangkrik pun mungkin masih bersembunyi di balik semak-semak. Mengingat Distrik Blatto terletak dekat dengan Disposal Floor, tak heran daerah ini mulai sepi ketika senja. Bau yang tidak menyenangkan membuat tidak banyak orang tinggal di daerah ini. Hanya mereka yang miskin atau yang mempunyai bengkel karena lokasinya yang dekat untuk memulung barang. Sementara itu Floorian lebih memilih menghabiskan malam di dekat Lingkar Dalam ataupun Ratways.

Nova menunggu dan menunggu, tetapi suara yang ia harapkan tak kunjung tiba. Ketika harapannya naik, angan-angannya jatuh ke dalam jurang ketika suara motornya tidak senyaring dan semegah Dolores. Motor klasik itu terparkir manis tak jauh di depannya dengan seorang pengemudi yang lebih kecil dari Luke. Ketika si pengemudi membuka helmnya pun, rasa kecewanya semakin menjadi-jadi karena kepalanya ditumbuhi rambut. Ia mengambil kantong plastik berisikan kotak-kotak makanan. Keiran mengatakan bahwa seseorang bernama Aidan akan membawakan makan malam. Nova hanya bisa mengerjapkan mata karena di hadapannya adalah Keiran dan bukanlah orang lain.

Pemuda itu menyapanya lalu bertanya, "Apa kau sedang menunggu barang pesananmu, Nona? Aku kira Eri tidak akan meninggalkan seorang klien menunggu begitu lama ketika bengkel sudah tutup."

"Aku di sini menuggu Luke," jelas Nova sedikit kebingungan ketika dia menanyakan hal itu. Bukankah Keiran tahu bahwa dirinya sedang menunggu Luke? Kenapa harus menanyai akan hal itu lagi?

Melihat Nova dari atas ke bawah, Keiran mendengus. Pemuda itu melenggang melewatinya; helm di tangan kanan dan barang bawaannya di tangan kiri. Tiba-tiba saja pintu terbanting, membuat mereka berdua tersentak.

Memutar tubuhnya, Nova dapat melihat Keiran —lagi!— yang tengah ribut bersama dengan Eri. Perempuan itu membawa sebotol minuman dengan rasa jeruk, di sisi lain Keiran ingin meraihnya.

"Kau kan tinggal memberikannya, apa susahnya sih?" desis gadis itu, mencoba melewati pintu yang menghubungi mereka ke bengkel.

"Kamu bukan cewek, Eri!" geram Keiran, masih mencoba mengambil botol itu, "Kalau bilang enggak, ya enggak!"

"Mengerti apa kau, dasar bocah!" Eri mendorong sosok Keiran menjauh, membuat suasana semakin ribut.

Mengerjapkan mata, Nova hanya bisa memasang mata pada kejadian di depan mereka. Konyolnya, keributan yang dihasilkan Eri dan Keiran dihentikan oleh sosok Keiran yang baru tiba dengan bergumam, "Kalian ngapain sih? Awas, kalian lapar apa enggak?"

"Lho, Aidan. Kapan pulang?" tanya Eri masih mengacungkan tangannya ke atas. Untuk ukuran perempuan, tubuh Eri terbilang tinggi. Tak heran jika dia mengusili Keiran dengan botol yang dibawanya.

"Baru saja. Omong-omong daging yelk pesananmu tidak ada, jadi kuganti dengan ayam. Aku enggak tahu dia siapa, tapi katanya dia menunggu Luke."

"Iya, kami tahu kok," ucap Eri, "Keiran mau memberinya minum."

Bergantian Nova memandang dua orang Keiran. Wajahnya yang sama memang tidak menjanjikan memiliki sifat yang serupa. Tetap saja jarang ia melihat sepasang anak kembar dan baginya ini merupakan hiburan tersendiri.

Eri menghampiri, sementara itu Keiran di belakangnya berwajah semerah tomat. Perempuan itu bertanya, "Kau sadar mereka kembar 'kan?"

"Ya. Tapi, ini baru pertama kalinya melihat orang kembar."

"Kau tahu," ujar Keiran dari belakang sambil mengulurkan botol air mineral pada Nova. Gadis itu pun menerimanya, "kami makan malam pun menunggu Luke datang. Jadi, kau bisa menunggunya di dalam. Bengkel ini terlalu berdebu jika dijadikan ruang tunggu."

Mengalihkan pandangannya ke pintu, Nova kembali menolak tawaran Keiran dan menambahkan, "Sepertinya mereka akan datang sebentar lagi."

Bagaikan cenayang, kurang dari semenit ruangan Dolores terdengar hingga bengkel. Alih-alih memarkirkannya di halaman belakang, Luke membawa motor itu langsung ke pintu garasi. Nova menahan napas; manik matanya mencari-cari sosok yang ia nanti.

Tubuh Luke yang cukup besar menghalangi jarak pandanganya, tetapi Nova yakin ada seseorang yang duduk di bangku penumpang. Luke menurunkan kaki motor untuk menyandarkan Dolores kemudian pria di belakangnya pun turun dengan mudah. Seiring pria itu membuka helm, Nova mengabaikan apa yang Keiran maupun Eri katakan; alih-alih gadis itu mengambil langkah lebar, berlari menuju sosok pria yang mengenakan jaket kulit panjang sepekat arang.

Dia Ravi. Ia tahu betul. Rambutnya sudah tumbuh dan tampak bekas luka melintang dari daun telinganya hingga pipi. Di telinganya yang lain bertengger peranti komunikasi yang selalu Nova lihat dan tak pernah lepas seolah-olah pria itu tidak bisa hidup tanpanya. Kantong matanya terlihat hitam dan seutas senyum menghiasi bibirnya kala Nova berlari mendekat, memeluknya erat-erat, dengan tubuh bergetar.

"Mam belum kembali," ucap Nova di tengah kelegaan bertemu satu orang anggota keluarga yang bisa ia percaya, "dan sekarang sudah hampir dua minggu."

Ravi membalas pelukan gadis itu, membelai punggung dan juga kepalanya. Di satu sisi ia merasa tangisannya akan membuncah keluar, tetapi di sisi lain gadis itu tidak mau meneteskan air matanya barang satu butir pun.

"Ibumu orang yang kuat, Nova," ucap pamannya lembut, "dia akan baik-baik saja."

"Memangnya selama dua minggu itu Ravi pernah bertemu dengannya lagi?" tanya Nova, menarik diri dari pelukan Ravi kemudian menatap pria itu. Mengetahui bahwa pamannya pun tak kunjung menjawab membuat gadis itu mengerutkan alis, dan berkata, "Kalau begitu biarkan aku ikut denganmu."

"Tidak," tolaknya lebih cepat dari yang gadis itu bayangkan, "Sampai kapanpun aku tidak akan mengizinkanmu."

"Dan kamu pikir aku senang tidak tahu apapun mengenai kalian?" intonasi Nova meninggi, ia mengambil jarak satu langkah ke belakang, "Aku berhak tahu, 'kan? Setidaknya jawab pertanyaanku!"

Melihat sekeliling, pria itu mendapati para karyawan Marcus's Toe mengamati mereka lekat-lekat dengan bergeming. Ravi menghela napas, mengiyakan. "Nanti, tidak di sini," ucapnya.

Nova kira 'nanti' akan menghabiskan waktu hanya lima menit setelah Ravi berkata 'nanti'. Ia kira, 'nanti' adalah saat pamannya mengajak Nova pergi saat itu juga dari bengkel dan akhirnya bisa menjawab ratusan pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Ia kira, 'nanti' yang dikatan Ravi akan datang sangat cepat, tetapi nyatanya gadis itu duduk di ruang istirahat Marcus's Toe. Tujuh piring ditata di atas meja bersamaan dengan makanan bawaan Aidan; uap sudah tak lagi mengepul tetapi aroma khas bawang putih masih menggelitik hidung.

Aidan duduk di hadapan Nova, memejamkan mata seolah-olah tak mengindahkan keberadaan Nova sementara Eri sibuk menyiapkan sesuatu di pantri. Beberapa kali jentikan kompor terdengar namun sepertinya gasnya habis, membuahkan decakan perempuan itu yang tak kunjung berakhir. Keiran berdiri di samping perempuan itu, membantu apapun yang harus dilakukan agar kompor bisa menyala lagi. Di sisi lain Luke dan Ravi tak terlihat batang hidungnya di ruang itu.

Gemas, Nova gelisah pamannya akan menghilang lagi. Mata Aidan mengikutinya saat Nova keluar dari ruang istirahat. Haruskah ia menunggu lebih lama lagi? Tak bisakah ia memanjakan diri meskipun hanya sebentar?

Kembali di ruangan yang penuh dengan mesin-mesin besar, Nova melihat tangga di balik pria tua duduk tadi. Pamannya tidak mungkin berada di bengkel karena pintunya sudah tertutup rapat, mau tak mau ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai dua. Tak heran mendapati Ravi dan Luke yang tengah berbincang.

Melihat keberadaan Nova, Luke bertanya apakah Eri sudah selesai menyiapkan makan malam. Menggelengkan kepala, gadis itu tidak berkata lebih lanjut. Pandangannya beralih pada Ravi yang tengah memegang senapan berlaras panjang. Scope-nya diarahkan ke keponakannya yang tengah merengut. Nova melihat Ravi tersenyum kecil seolah-olah mengatakan bahwa gadis itu harus bersabar sedikit lagi. Bukannya mengusir, gerakan tangan Ravi mengisyarakatkan Nova untuk mendekat.

Melewati lelaki tua yang tadi membaca koran, Nova menyadari ada tiga buah pintu lagi yang tembus entah ke mana. Ruangan ini seperti ruang baca sekaligus ruang tamu: radio usang, tumpukan buku pada rak yang diletakkan di sisi ruangan, meja kopi, juga sofa-sofa dengan warna pudar. Di salah satu pojokan terdapat jajaran botol wiski yang pria tua itu tenggak setiap detiknya.

"Kau tahu apa ini?" tanya Ravi mengarahkan senapannya.

"Senapan? Aku tidak tahu kau mempunyai barang seperti itu."

"Dan peluru sepanjang 90mm ini bisa menembus tengkorak kepalamu," ucap Ravi sembari menunjukkan peluru senapannya, "Ini yang aku lakukan untuk hidup, Nova. Kamu tidak akan bisa kembali lagi sekali aku menjawab pertanyaanmu."

Menelan ludah, gadis itu berkata, "Wajahku sudah menempel di seluruh penjuru kota. Perutku sudah tertusuk dan aku masih bisa hidup. Apa bedanya?"

"Perutmu—"

"Halo? Makan malam sudah siap. Kalian, cepatlah turun!" suruh Eri dari lantai bawah.

Luke dan Ravi saling tatap dan kedua pria itu menghela napas. Waktu memang seringkali tidak bersahabat. Beranjak berdiri, Luke mengambil botol wiski yang tengah pria tua itu minum.

"Kau sudah tua, Marcus," cibir Luke dan menenggak botol minum itu untuk sendiri, "Kau kira cari donor ginjal gampang, apa?"

"Jangan dihabiskan!" rengek orang tua yang bernama Marcus itu, ikut berjalan menuruni tangga. Mungkin dia adalah pemilik bengkel ini.

Melihat kedua orang itu menjauh, tepukan lembut mendarat di kepala Nova. Tatapan Ravi di satu sisi meneduhkan, membuatnya ingin menangis. Pamannya berkata, "Makan dulu, oke? Semakin ke sini kamu semakin terlihat kurus."

Setelah mereka akhirnya duduk di satu meja makan yang sama, Nova mendapati kehangatan sebuah keluarga di samping kesleboran para pekerja di Marcus's Toe. Meskipun tidak ada hubungan darah —kecuali si kembar, tentu saja— Marcus bagai ayah yang dituakan sementara Luke berperan sebagai anak atau kakak pertama dari ketiga orang sisanya.

Sifatnya yang kasar menutupi rasa pedulinya. Terutama pada Marcus yang terus menenggak minuman keras. Eri yang tinggi membereskan piring-piring makan dan memberikannya pada si kembar untuk dicuci.

Ravi, tampak sudah menjadi bagian dari keluarga-tanpa-hubungan-darah itu. Ia pergi ke pekarangan belakang; mengisyaratkan Nova untuk mengikutinya. Mereka tidak banyak bicara dan berjalan menyusuri tembok yang membatasi Distrik Blatto dengan Disposal Floor. Terima kasih karena suhu udara yang semakin dingin, bau busuk yang terkenal dari area itu tidak menyeruak seperti biasanya. Hanya lampu temaram yang menerangi Distrik Blatto di malam hari, berbeda dengan Ratways maupun Lingkar Dalam. Kehidupan mereka di sana mungkin jauh lebih mapan, berbeda dengan orang-orang tempat kakinya berpijak.

Sejauh yang Nova tahu, ada jalan-jalan kecil yang tembus ke area pembuangan. Bukan Ratways, melainkan sebuah jalur khusus untuk memudahkan orang-orang memulung. Untungnya, Ravi tidak membawanya ke sana. Tak jauh dari terowongan kecil itu, berdiri rangka tangga yang bisa membawa mereka ke bagian teratas dinding pembatas, membuat mereka bisa melihat dari atas gemerlap dua sisi malam: Lingkar Dalam di kejauhan atau Disposal Floor yang tak berwarna.

"Kau bilang perutmu tertusuk. Bagaimana ceritanya?" Ravi bertanya, "Sekarang sudah tidak apa-apa?"

Nova menjelaskan sembari menaiki puluhan tangga. "Kalau kau tidak kuat, kita bisa berhenti di bagian tangga manapun. Besinya mungkin sudah rapuh. Aku tidak mau seseorang yang curi dengar karena masih banyak hal bergerak dalam bayang-bayang."

Meskipun cukup kelelahan, mereka tiba di puncak dinding pembatas itu. Ini baru kali pertama Nova ke sana dan ia dapat melihat jejak orang-orang yang pernah melakukan hal serupa. Sampah makanan dan juga botol minuman dibiarkan berserakan; Nova menyingkirkannya dengan kaki kemudian duduk di samping Ravi.

"Yang kau lakukan berbahaya, Nova," tegur Ravi tanpa tekanan.

Nova tidak suka nada bicara pria itu, mengingatkannya akan masa kecilnya. Ia tidak pernah dimarahi namun perkataannya membuat Nova khawatir seribu kali. Nova mengulum bibirnya, tatapan mereka sama-sama ke depan, melihat gemerlap Floor jauh di sana.

"Maaf," menarik napas, Nova membuka mulutnya, "Sebenarnya mam ada di mana?"

"Aku...tidak tahu banyak. Kirana dan Raktah Sol punya banyak agenda yang selalu bergerak dalam bayang-bayang."

"Akan tetapi," Ravi melanjutkan, "Ada hal besar yang akan terjadi di Bumiapara, Nova. Aku tidak tahu dengan kota-kota lain, tetapi Floor bisa menjadi pemicunya. Isu ini mungkin sudah menjadi kabar burung jauh sebelum kau lahir, tetapi mereka yang bekerja diam-diam mulai muncul ke permukaan sekarang. Manusia dan hidupnya; manusia dan mimpinya; manusia dan ambisinya; manusia dan penyesalannya.

"Reptilium, ruska, dan orang-orang atas tidak akan pernah bisa dipisahkan. Kau tahu benda itu menyokong kehidupan kita. Meskipun sesungguhnya sudah tidak begitu berlaku lagi, tetapi stigma itu telah melekat di sini," Ravi menunjuk kepalanya, "Ayahmu tahu ada yang salah dengan produksinya dan patcher merupakan residu hasil produksi senyawa itu."

"Patcher?"

"Orang-orang Atas yang terjebak oleh iming-iming Orenda. Kau pernah ke Permukaan Atas dan kau tahu untuk pergi ke sana harus bertemu dengan sang raksaka."

"Ya, aku bertemu dengan mereka. Mereka...unik."

"Aku belum pernah bertemu dengan raksaka secara langsung, tetapi Orenda dan Raktah Sol menemukan jalan alternatif untuk ke Permukaan Atas —pintu atau bentuk lainnya. Jalan itu membawa mereka ke berbagai penjuru dunia. Aku tidak yakin apa tujuan utama mereka sampai akhirnya perlu membawa mereka ke sini. Tetapi, Orenda menawarkan sebuah 'dunia baru' untuk orang-orang atas hidupi. The New World, katanya, adalah sebuah simulasi yang dibuat untuk mereka yang kabur dari dunia nyata; menggunakan memori dan emosi yang ada dari setiap individunya untuk menampilkan hal-hal utopis. Di saat yang sama mengambil reptilium dan juga memproduksi ruska.

"Untuk orang-orang atas, berpartisipasi dalam The New World tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali. Mereka terlalu meratapi nasib dan sudah siap untuk mati, berbeda dengan Floorian yang tidak tahu kebenarannya, mereka harus membayar dengan harga yang cukup tinggi. Bahkan terlalu tinggi hingga tak ada yang bisa ikut dalam simulasi itu dan sedikit banyak hal itu merupakan kebijakan Orenda untuk melindungi penduduk Floor maupun Bumiapara. Ironis, huh? Mengorbankan orang lain atas dasar kemanusiaan. Betapa sinting dunia ini."

"Lantas apa hubungannya dengan mam dan...orang itu?"

Ravi mendengus, "'Orang itu', ya. Orang itu —ayahmu— dan ibumu adalah dua orang yang idealis. Sekalinya mereka tahu fakta dibalik reptilium dan patcher, mereka ingin mengubah hal itu. Hanya saja di bertahun-tahun silam, mereka belum mempunyai kekuatan untuk mengubahnya. Kirana sebagai orang asing tidak tahu harus memulai dari mana dan meminta bantuanku sebagai intel. Mereka ingin mencari cara agar tidak ada lagi orang-orang atas yang dibawa ke sini, sementara Flint mengembangkan penelitiannya membuat ramuan atau obat, entahlah, untuk membawa kembali emosi dan juga perasaan-perasaan para patcher; untuk kemanusiaan."

"Orang asing?" tanya Nova, "Kenapa mereka begitu peduli dengan orang-orang atas? Karena itu dia pergi meninggalkan mam?"

Ravi tidak menjawab pertanyaannya, alih-alih balik bertanya, "Bagaimana jika aku adalah ayahmu yang sesungguhnya, Nova?"

Gadis itu terbelalak, untuk beberapa saat terpaku menatap manik mata Ravi yang gelap. "Tidak mungkin," ucapnya lirih.

Terkekeh, Ravi menepuk kepala keponakannya, "Tentu saja aku bohong, Manis."

"Tidak lucu!" Mata Nova berkaca-kaca, ia memeluk lututnya dan merengut, "Aku nyaris berharap bahwa ucapanmu tadi benar, Ravi."

"Kau tahu selera humorku jelek,"Ravi tersenyum miring, tatapannya melembut, "Dengar, Manis, Flint adalah ayahmu satu-satunya, bukannya aku. Dia hanya cukup kesulitan untuk menunjukkan kasih sayangnya. Beri dia sedikit lebih banyak waktu."

Melihat keponakanya yang terus merajuk, Ravi melanjutkan, "Tidak selamanya waktu menyembuhkan luka, Nova. Kau harus belajar untuk mulai memaafkan. Memaafkan dirimu sendiri, dan juga memaafkan 'orang itu'. Pasti sulit, tapi aku percaya kau bisa melakukannya."

*

//Haloo saya berhasil update! chapter ini serasa kejar tayang. Kayaknya Floor sudah sampai setengahnya, tapi ya we'll see. haha. Omong-omong aku merasa berdosa karena udah bocorin major spoiler (karena ada angan2 untuk bikin kisah ini di platform lain) ke temenku. Kalo kamu baca ini maap ya, put. Kumaha da resiko he eh? wkwkw

Aaanyway terimakasih banyak masih setia membaca ceritanya. Do share it to the world uyeyeyeye~ tanpa kamu saya cuma kutil atau upil.  Oiya, untuk bagian Maps & Glossarium, menurutmu perlu ga nulis penjelasan distrik-distrik di Floor?

Kamu senang saya pun senang walaupun tak punya uang wo-oh. Happy Weekend! Monday is Coming, WINTER IS HERE! (so excited that Game of Thrones finally here haha) oke deh see you X)//

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
4.4K 1K 31
[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada benang tak kasat mata yang mengikatnya selam...
HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.6K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...
359K 20.8K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...