Stay With The Prince (Complet...

De shirleyduassa

361K 4.2K 57

Memiliki keinginan dan impian itu bukan dosa. Tapi, untuk sebuah keinginan besar, tentu ada pengorbanan yang... Mais

2. Dear Roy
3.
4.
5.
7.
cast

1. Nice Guy

41.4K 1.1K 14
De shirleyduassa

"DIAM!"

Lagi-lagi suara stereo Papa yang memekakkan telinga menggema. Jantungku tak mau kalah, ikut berdetak kencang ala subwoofer rumah tetangga sebelah. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan sekaligus. Tenang, Key. Tenang!

Huh!

Telapak tanganku basah dengan keringat, sementara punggungku terasa dingin. Ditambah kepala yang mulai terasa sakit dan mata berkunang-kunang. Huh! Itu bukan gejala masuk angin, tapi alarm di otak sudah menyala. Waktunya pergi!

"Pa! Ma! Key berangkat!" Aku membanting pintu kuat-kuat agar mereka tahu kalau aku sudah bosan. Seharusnya aku tidak menolak ajakan Irna untuk berangkat bersama pagi tadi. Kalau seperti ini terus, lama-lama aku dan Irna bisa ikutan gila!

Sejak perusahaannya gulung tikar, Papa jadi pemarah. Mama juga semakin suka menuntut. Padahal, impianku untuk kuliah sudah kandas demi mempersatukan mereka.

Tabungan selama tiga tahun magang di Kedai Kopi milik Bu Waty, kini hanya tinggal kenangan. Sia-sia bekerja demi bayar sekolah dan kuliah, karena akhirnya keadaan mengharuskanku bekerja fulltime untuk biaya seluruh keluarga.

Huh! Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah. Sebuah kaleng kosong yang tergeletak begitu saja di tengah jalan menggelinding kecewa terkena tendangan tanpa bayanganku.

Langit mulai mendung. Aku harus segera tiba di sana. Jendela-jendela yang terbuka di lantai dua dan tiga bangunan di sisi jalan, masih menawarkanku mengintip. Meski di batasi dinding tinggi hingga menutupi pandanganku, tapi warna merah putih di bagian atas gedung itu seolah mengejekku, menantangku untuk terus menatapnya.

Kalau saja perusahan Papa tidak bangkrut, mungkin sekarang aku sedang belajar di salah satu ruangan itu.

"Aduh! Hei!" Sial! Balita itu sudah menjatuhkan ponselku!

"KEVIN! Jangan cepet-cepet dong, Bunda capek!" Seorang Ibu muda berlari sambil mengikat seluruh rambutnya ke belakang. "Maaf, Mbak."

Aku mengangguk maklum. Sementara Balita itu bukannya berhenti, malah ambil ancang-ancang untuk menyeberang. Astaga! Secepat kilat aku menangkap si pria kecil sebelum terlindas mobil. Hampir saja!

"Mobil sialan! Nggak lihat ada anak kecil!" teriakku mengutuk mobil sedan kuning mewah yang baru melintas tanpa klakson. Tadi mobil itu berputar di bundaran komplek sepi, nyaris menabrak Kevin. Mobil kuning itu melambat. Tangan putih pucat terlihat melambai keluar dari jendela, tapi mobil itu tidak berhenti. "Dasar!" teriakku lagi.

"KEVIN!" teriak Ibu muda yang berlarian tadi sambil melotot. Wajahnya memucat dengan tangan di dada. Wajar saja. Aku sendiri hampir kehabisan napas dan tenggorokan ikut terasa kering. Meski berhasil menarik tangan mungil Kevin dan memeluk tubuh kecilnya, wanita itu masih terlihat cemas. Untung saja anak itu selamat!

"Terimakasih."

Wanita yang memanggil dirinya sendiri Bunda itu mendekat. Wajah tirus dengan mata sedikit sembab, tertutup riasan ala kadarnya itu hanya menatap sendu. Tak ada sedikitpun senyum. Sepertinya wanita itu baru selesai menangis. Sementara Kevin masih cengengesan dalam pelukanku, menyambut uluran tangan bunda yang mengusap ujung matanya dengan lengan baju.

"Hati-hati, Mbak! Di komplek sini banyak kendaraan," ujarku sok tua.

"Iya. Saya tahu. Kadang saya kewalahan ngadepin anak ini!" Wanita itu memeluk Kevin dan mengecup pipinya. Kevin tertawa senang, sama sekali tidak mengerti apa yang sudah dilakukannya barusan. Dasar bocah!

"Papa Kevin pemalas!" sungut wanita itu. "Bangun tidur selalu siang, susah sekali disuruh kerja. Padahal namanya gojek, pagi begini pasti banyak pelanggan."

Ibu itu kembali mengusap dahinya. Setelah ini, dia pasti harus memperbaiki lagi riasan wajahnya. Ya! Aku tahu bagaimana pria! Itu alasannya aku tidak mau pacaran, apalagi menikah!

Wanita itu sudah mengingatkanku pada Mama. Mungkin Mama semuda ini waktu menikah dulu. Untung Papa rajin, bertanggung jawab, dan sayang keluarga. Kalau bukan karena masalah keuangan, mungkin keluarganya akan baik-baik saja. Tidak adanya uang sudah menghancurkan semuanya.

"Sabar ya, Mbak!" hiburku ... sok tua lagi.

Tiba di pengkolan, Ibu itu melambai sambil tersenyum manis. Sementara aku berbelok ke kiri, dia kembali ke perumahan. Rumahku memang tidak jauh dari kedai kopi, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Yah! bekerja cukup lama di kedai kecil itu membuatku bisa tiba meski sambil tutup mata.

Setengah berlari aku melewati tenda tukang soto, tukang mie ayam, tukang bakso, dan tukang pulsa yang berjejer di samping sekolah lamaku. Beberapa pelajar yang terlambat berlarian masuk melewati gerbang. Mereka pasti harus berurusan dengan guru piket.

Tak terasa aku tersenyum, mengingat masa-masa bersekolah di situ. SMA swasta dengan dinding cokelat muda ini masih sama seperti dulu, begitu juga dengan para penjual makanannya. Beberapa di antara mereka bahkan masih mengenalku, apalagi sejak Irna juga bersekolah di situ.

Langit yang semula mendung mulai menitikkan air. Aku sangat menyukai aroma khas rerumputan basah dan gerimis pagi hari. Ada rasa damai yang membuatku terperangkap di dunia lain, dunia yang penuh dengan kenangan. Baik dulu, hingga sekarang, aroma hujan tetap sama. Begitu juga jalan-jalan di daerah Sunter ini.

Jalan raya sudah cukup ramai. Ini jam sibuk bagi para mama cantik antar anak, alias macan ternak. Entah siap yang membuat singkatan itu, yang jelas Mamak-mamak muda bangga menyandangnya. Sambil mengantarkan anak-anak sekolah, membuat macet jalanan, lalu nongkrong di kafe-kafe untuk sarapan. Selain bergosip dan arisan, mereka juga jualan tas branded KW, jual pakaian, sampai baju dalam.

Ups! Aku sudah terlambat!

Tetesan air hujan yang semula hanya gerimis kecil menjadi semakin besar. Aku berlari sambil menyeberang jalan dan tiba di pertokoan. Beberapa ruko terlihat masih tutup, belum ada tanda-tanda kehidupan. Hanya kedai kopi Bu Waty yang terlalu rajin, jam segini sudah membuka pintunya lebar-lebar.

Huh! Untung baju seragam kami berwarna hitam, sedikit basah tidak akan terlihat jelas. Rambut ikalku sudah setengah kering, aku menggelungnya cepat-cepat.

"Telat lagi, Key!" Vina menyikutku pelan. "Gara-gara Tom and Jerry?"

"He-eh!" aku menanggapinya dengan tersenyum masam. Mau bagaimana lagi? Akhir-akhir ini aku memang sering terlambat karena ulah Mama dan Papa.

Buru-buru kukenakan celemek merah sebelum Bu Waty turun dari lantai dua. Sambil tersenyum, aku melihat Mey dan daftar pesanannya mendekat. Aroma parfumnya yang manis dan segar membuatku langsung memaafkan tampang cemberut gadis itu.

"Key, bule keren itu datang lagi," kata Mey lirih. Meski tangannya yang cekatan sibuk menuliskan pesanan dari meja pertama, matanya melirik ke arah pintu. Seorang pria jangkung berkulit pucat dengan rambut cokelat terang melangkah anggun menuju meja samping. Hidungnya mancung, dengan bibir tipis yang memesona. Matanya yang kehijauan menatap lurus. Wajahnya bersinar dan menyilaukan, seperti sinar mentari keemasan yang baru muncul. Sial! Lagi-lagi dia membuatku salah tingkah. Pipiku pasti memerah.

Meski menunduk, aku tahu pria itu mengeluarkan ipad, lalu sibuk mengetik sesuatu. Sesekali lesung pipitnya muncul saat seseorang menyapanya. Huh! Tebar pesona! Sebentar kemudian, pria itu kembali sibuk dengan ipadnya.

Seperti tersadar, pria itu tiba-tiba menatap lurus ke arahku, membuatku tersentak kaget. Ups! Nyaris saja aku bertingkah bodoh. Segera kuambil pulpen, pura-pura sibuk mencatat sesuatu yang aku sendiri tak tahu.

Pria itu masih memerhatikan. Ini memang bukan yang pertama kali. Kadang-kadang dia sengaja datang ke kasir untuk menyapa, meminta daftar menu, lalu kembali memesan segelas Americano dan menu sarapan pagi andalan kedai kopi ini, All Day Breakfast Classic. Menu sarapan pagi komplit dan bergizi. Roti bakar, telur ceplok, tumisan jamur, daging asap, ditambah sosis goreng, hash brown potato dan salad dengan mayonise spesial.

"Sebetulnya, dia nggak perlu baca menu kalau pesanannya tiap hari itu-itu aja. Lihat tampangnya aja, kita sudah tahu dia mau pesan apa. Modus!" gerutu Mey setiap melihat pria itu sibuk membaca menu. Aku tersenyum sendiri mengingatnya.

Pria itu mengenakan kaos putih ketat, seolah sengaja memamerkan lekuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Dia pasti mau laporan ke seluruh dunia kalau rajin berolah raga. Kakinya bahkan terlihat seksi dengan balutan denim biru muda.

Penampilan umum artis Hollywood bagiku memang terlihat sama semua. Setidaknya yang satu ini bisa kusentuh, dan meminta menu!

"Dia ganteng banget, ya?" Vina berdehem pelan. Nyaris saja aku menjatuhkan krim kocok di tangan karena terkejut. "Bayangkan, kalau lengket di dada itu sampai pagi, apalagi pas hujan seperti ini!" Vina tersenyum nakal. Mey yang tengah mendekat spontan terbahak, membuat pria itu melirik ke arah kami. Astaga! Lesung pipit dan senyumnya membuat jantungku porak poranda! Susah payah aku berusaha menenangkan desir halus di dada saat pria itu memergoki tatapanku padanya.

"Sudah hampir satu bulan dia datang setiap hari, pesanannya juga selalu Americano dan All Day Breakfast Classic, yang sebenernya bisa dia bikin sendiri di rumah," gerutu Mey seolah merapal mantera Harry Potter.

"Iya, terus sampe dua jam dia cuma duduk manis sambil mainan tab dan tebar pesona," sambung Vina sambil lalu. Dia harus membawakan daftar menu ke pengunjung di meja tiga yang mengangkat tangannya.

"Tapi kafe jadi tambah ramai, kan!" Mey masih berusaha membahas teorinya. Syukurlah, kata-kata selanjutnya tertutup suara blender. Aku mencoba tersenyum sambil menuangkan jus ke dalam gelas. Sebenarnya ucapan Mey ada benarnya. Akhir-akhir ini tempat duduk hampir penuh dengan gadis-gadis dari kampus dan SMU swasta sekitar sini. Tak ketinggalan macan ternak dari TK sebelah.

"Ini pasti trik Bu Waty supaya kafenya laris manis," bisik Mey sambil mengambil nampan dari tanganku. "Gosipnya, dia keponakan Bu Waty, loh!"

"Mungkin juga karena menu sarapan pagi buatanku enak!" bisikku, lalu tertawa melihat wajah protes Mey. Sebelum dia sempat melancarkan kata-kata balasan, Vina sudah kembali dengan daftar pesanan.

Tapi ..., keponakan Bu Waty? Ups!

Beberapa anak remaja masuk. Seperti biasa, gadis-gadis tanggung itu langsung berbisik-bisik sambil cengengesan melirik si pria kaos putih.

"Keterlaluan! Apa di kampus mereka nggak ada cowoknya? Dasar ABG ganjen!" gerutu Vina sambil mendelik sewot.

"Mereka tamu kita juga, Vin!" tukas Mey sambil menyodok perutnya perlahan. "Di meja empat sendoknya hampir kosong!" bisiknya lagi. Vina mengambil tempat sendok yang penuh, lalu menaruhnya di baki yang disodorkan Mey.

"Sepertinya mereka seumur lo, Key!" bisik Mey sebelum berlalu. Aku mengangkat bahu. Sambil menata letak makanan di piring, tisu, pisau dan garpu serta minumannya. Aku memerhatikan para remaja yang baru masuk. Penampilan mereka nyaris seheboh tante-tante sosialita yang ada di meja sebelah.

"Sayang banget, uang puluhan juta cuma buat ponsel, tas, dan sepatu merek terkenal. Apa orang tuanya yakin kalau mereka sudah pantas jalan-jalan ke kampus dengan ransel LV atau tas Hermes? Belum lagi mereka pakai sepatu branded yang namanya aja sulit dieja!" Mey menerima nampan berikutnya yang disodorkan sambil menggerutu.

"Sirik tanda tak mampu!" bisikku. Mey tertawa, menyadari sikapnya yang usil.

"Huh! Aku bukan mau usil, tapi coba pikir, apa harga barang-barang itu sebanding dengan isi otak mereka?" gerutu Mey tak mau kalah. Aku tersenyum kecut. Rasanya Mey sedang menyindirku, gadis biasa dengan otak pas-pasan. Tentu saja tanpa tas LV atau Hermes. Tidak juga sepatu dan pakaian branded.

"Layanilah pelanggan, Bu!" tukasku. "Jangan sampe pada bubar denger ocehanmu seharian!" Mey tertawa. Dia kembali sibuk dengan pesanan meja pojok.

Pertama kali bergabug di kedai kopi, aku juga masih mengenakan rok abu-abu. Setiap pulang sekolah, aku bekerja menjadi pelayan di sini, untuk meringankan beban Papa. Tapi sekarang, aku bekerja dari pagi sampai sore, bahkan kadang sampai malam. Hanya inilah yang bisa dilakukannya untuk membiayai seluruh keluarga dan bertahan hidup.

"Gimana keadaan rumah, Key?" Vina menepuk bahuku, mengembalikan pikiran yang melayang-layang karena Mey. "Mama dan Papa masih main perang-perangan?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum kecut. "Yah! Mau gimana lagi, Vin? Sekarang justru makin parah!" jawabnya lirih, sambil menyodorkan nampan yang tadi sudah dipersiapkannya.

"Giliran lo, Key! Dia selalu ngelirik ke sini. Sepertinya dia naksir elo," bisik Mey sambil mengembalikan nampan ke tangan, memaksaku mengantarkan pesanan ke meja si cowok bule.

"Ini kesempatan deketin dia," bisiknya lagi, "mumpung nggak ada Bu Waty!"

Wajahku memerah. "Gak lucu!" Tapi Mey terkekeh mendengar suara ketusku. Dibukanya pintu meja kasir dan langsung masuk, lalu berusaha terlihat sibuk melayani pesanan yang baru tiba.

Terpaksa aku mengalah keluar. Pertama kalinya dalam sejarah aku bisa mendekati pria yang selama sebulan hanya bisa diintip diam-diam dari balik meja kasir. Belum apa-apa, jantungku sudah berdebar cukup kencang, membuat baki di tanganku ikut gemetar. Sementara kedua telapak tangan terasa dingin dan lutut lemas, aku berusaha bersikap wajar. Duh! Bisa-bisa aku terkena malaria saking gugupnya!

Sambil menarik napas dalam-dalam, aku melangkah perlahan.

"Maaf, ini pesanannya, kak!" ujarku perlahan. Tapi pria itu tak memerhatikan. Wajahnya tetap serius dan terpaku pada ipad. Mungkin juga karena suaraku sulit keluar, hingga dia tidak mendengar.

Syukurlah! Aku menarik napas lega. Setidaknya aku tidak akan terlihat bodoh, sehingga tidak mengganggu pria itu dan mencegahku mempermalukan diri sendiri. Kuletakkan nampan dengan hati-hati ke atas meja. Tiba-tiba pria itu menggerakkan tangannya, menabrak lenganku yang masih mengambang di udara. Nampan itu oleng. Aku kehilangan keseimbangan, dan ....

"Aduh!" Kedua kakiku tiba-tiba saling menginjak.

Sesaat aku seperti terlempar ke ruang hampa udara dan jatuh terduduk, menumpahkan pesanannya dengan sukses ke pangkuan pria itu. Suara gelas kopi yang pecah, terdengar nyaring bersamaan dengan piring keramik yang terlempar dari tangan. Baiklah! Aku memang bodoh dan ceroboh!

"Maaf!" seru pria itu.

Ia mengulurkan tangannya. Aku berusaha mengabaikannya, mencoba berdiri sendiri. Tapi, rok mini yang kukenakan cukup menyulitkan. Aku kembali jatuh terduduk, bahkan kali ini lebih parah! Mau tak mau aku mengangkat tangan, menerima uluran pria itu dan membebaninya dengan berat tubuhku.

Sayup terdengar suara cekikikan dari meja sebelah, tempa pramuka sosialita itu duduk dan asyik bergunjing.

"Kamu berat!" tukas pria itu lagi. Wajahku kian terasa hangat, warnanya pasti sudah semerah tomat.

"S-saya minta maaf, kak!" seruku gugup. Telingaku panas dan jantung berdetak tidak keruan. Aku berlari kembali ke kasir dengan baju yang sedikit basah dan kotor.

Entah bagaimana perasaanku saat ini. Apa karena sempat berpegangan tangan dengan pria itu, atau karena aroma tubuhnya yang memikat. Mungkin juga karena wajahnya yang sangat dekat sampai bibirnya nyaris menyentuh pipi! Tapi mungkin juga karena posisi jatuh tadi yang sangat memalukan. Pokoknya wajahku sudah seperti lampu lalulintas!

Kalau saja mukaku bisa disimpan sementara dalam saku celemek atau kantong keresek, mungkin masih bisa menyelamatkan harga diriku. Setidaknya bisa membungkam suara cekikikan gadis-gadis itu!

"Ehm!" Bu Waty menatap tajam. Tatapan dari wajahnya yang cantik dan dingin itu seolah menghunjamnya. "Kerja jangan sambil melamun!" tuk,dasnya datar.

Ada sesuatu dalam wajahnya yang tidak biasa, membuatku gagal mengartikan senyuman wanita itu sebelum berlalu. Apa Bu Waty diam-diam menertawakan, atau mencoba menutupi rasa marahnya? Yang jelas, upahku bulan ini pasti dipotong untuk mengganti apa yang sudah kulakukan.

"Gimana rasanya, Key?" Mey tersenyum jahil, sama sekali tidak terlihat bersimpati.

"Rasa apaan!" jawabku ketus. "Seharusnya kamu bisa tanya apa penyebabnya, atau apa aku terluka, dan pertanyaan beradab lain!"

"Tapi aku hanya sibuk memerhatikan tanganmu yang sempat digenggam si bule!"

"Wow! Perkenalan yang romantis!" goda Vina ikut meramaikan.

Aku tak mau menanggapi mereka, berusaha mengalihkan perhatian pada tamu lain yang mulai banyak.

"Ini! Kamu yang antar. Jangan pernah suruh aku lagi!" ancamku sambil menyodorkan pengganti pesanan pria itu pada Mey. Gadis itu hanya tertawa dan menyerahkan nampan pada pria di sampingnya. Hah! Pria itu ternyata sudah berdiri di depanku!

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dari balik meja. Aku mengangguk cepat-cepat seperti orang idiot.

"Maaf, bajunya jadi kotor," tukasku lirih.

"Nggak apa-apa. Namamu Keyzia, ya? Aku Roy. Kamu pulang jam berapa?" ujarnya sambil mengulurkan tangan. "Aku antar, ya!"

"Ya, namaku Keyzia. Orang panggil aku Key."

Lagi-lagi tanganku gemetar menyambut uluran tangan pria itu. Jantungku seolah sedang menekan tombol pause, membiarkan puluhan kodok berlompatan dalam perut. Sementara Mey dan Vina menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Aku pulang malam, kok! Masih lama," tukasku malu-malu. "Nggak usah di antar, terima kasih."

Roy menaikkan alisnya dengan kepala sedikit miring.

"Rumahku dekat, lagipula kami tutup jam delapan malam, sayang kalau pulang terlalu cepat," ujarku lagi cepat. Sementara Mey dan Vina terlihat gemas dan kecewa.

Terus terang aku belum siap kalau pria sekeren dan setinggi Roy masuk ke rumahku yang mungil. Belum lagi reaksi Papa dan Mama, atau Irna yang mungkin langsung pingsan kegirangan! Jangan sampai Roy justru mengurungkan niatnya berteman setelah mengetahui keadaan keluargaku yang sebenarnya.

"Besok ada acara?" tanya Roy lirih.

Mungkin maksudnya bisik-bisik, tapi telinga super Mey dan Vina sejak tadi sudah tegak berdiri. Keduanya kompak menggeleng kencang-kencang dengan mata berbinar, berharap bisa mewakili jawabanku.

"Sebenarnya nggak ada, tapi besok aku nggak dapet off, nggak libur," jawabku singkat.

Biar bagaimanapun, saat ini pekerjaan lebih penting. Aku berusaha bersikap tenang, berharap pria itu segera kembali ke kursinya. Aku juga berusaha menghindari tatapan Mey dan Vina yang tajam.

Aku menarik napas lega saat pria itu kembali ke tempat duduknya.

"Key! Kamu mabok? Kenapa ditolak?" Vina nyaris berteriak di telingaku sambil mencubit gemas.

"Good luck, Key!" bisik Mey. Gadis itu berusaha terlihat cool, walaupun sambil menyodokkan sikutnya lagi.

"Untuk apa?" Mau tak mau aku tertawa melihat ekspresi mereka yang kecewa, seperti menonton sepak bola, saat Ronaldo menendang bola dan hanya mengenai tiang gawang.

"Semoga berhasil gaet dia! Aku pingin banget liat kamu pacaran, apalagi sama cowok keren itu!" Vina ikut menimpali.

Aku mencubitnya, Mey tertawa kegirangan. Sementara di sudut sana, pemuda itu diam-diam tengah memerhatikan dengan senyum misterius yang mengembang, membuat wajahku memerah.

Continue lendo

Você também vai gostar

WE NEED TO TALK De itsraaa

Literatura Feminina

571K 43.3K 51
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
55.1K 2.3K 10
Sebelum nya FF ini udah aku post di blog pribadi aku, part 1 n part 2 akan sedikit panjang karna awalnya cuma pengen 2 part aja. But yah this is for...
128K 2.8K 17
Highest rank: #37 in Chicklit (28 Juni 2017) Manusia diciptakan berpasangan. Kalau Hawa ditakdirkan untuk jatuh ke dalam dosa dengan Adam, maka Fairy...
30.5K 472 8
Himpitan ekonomi dan situasi yang serasa mencekik, memaksa seorang Rania Isabella menempuh jalan pintas. Ia menjual keperawanannya demi membayar utan...