Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
3rd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

51th Pole

28.8K 3.7K 930
By nunizzy

51st POLE

~~||~~

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Inara turun dari kamarnya menuju dapur. Lampu ruang tengah, ruang makan dan dapur sudah mati–menandakan semua penghuni rumah sudah tidur.

Inara berjalan santai menuju tombol lampu dapur. Namun, saat akan menekan tombol tersebut, ditemukannya Rahagi sedang duduk di teras belakang. Inara mendekat ke jendela, memperhatikan apa yang sedang dilakukan Rahagi. Hanya lampu teras yang hidup. Lelaki itu sepertinya sengaja tidak menghidupkan lampu dapur.

Dari sini, Inara bisa menyaksikan bahwa Rahagi sedang dilanda rasa bimbang. Sebatang rokok sudah berada di antara bibirnya, tetapi ia berkali-kali mendekatkan dan menjauhkan pemantik dari rokoknya–seperti ragu ingin menghidupkan rokoknya atau tidak.

Rahagi mendengus kemudian meletakkan pemantik tersebut di sebelah kirinya, disusul oleh sebatang rokok yang tidak jadi dihidupkannya.

Rahagi meraih permen rasa jeruk yang bungkusnya berwarna oren dari sebelah kanannya, merobek bungkusnya, lalu memasukkan permen tersebut ke mulutnya.

Melihat hal itu, Inara tersenyum. Baru saja ia berniat menghampiri Rahagi, sebelum ia sadar bahwa ia sedang menjaga jarak dari Rahagi untuk mencegah sakit hati yang akan ia rasakan karena sikap Rahagi.

Namun, Inara tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menghampiri Rahagi dan memberi apresiasi atas pilihan lelaki itu yang memilih permen ketimbang rokok–seperti sarannya beberapa bulan yang lalu.

Inara mendorong pintu menuju teras seraya berucap, "Lebih enak permen, kan?"

Dari gerak tubuh Rahagi, Inara jelas tahu bahwa lelaki itu sangat terkejut dengan kehadirannya.

Nyatanya memang benar. Rahagi tidak menduga bahwa Inara akan muncul malam-malam di sini. Waktu masih menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Biasanya, Inara membuat cokelat panas pada pukul satu atau dua dini hari.

Inara duduk di sebelah Rahagi dan melipat lututnya di depan dada.

Rahagi yang semula mengikuti gerak-gerik Inara, kini meluruskan pandangannya.

"Gue minta maaf, Na."

Masa bodoh dengan kalimat yang tadi siang sudah disusunnya sebagai permintaan maaf kepada Inara. Nyatanya, ia bukan lelaki yang pandai berkata-kata seperti itu. Biarlah semua berjalan apa adanya.

Inara terdiam. Rasa sedih dan kesal yang sempat ia pendam karena Rahagi, perlahan terkikis mendengar permintaan maaf itu. Meskipun Rahagi tidak menatapnya ke dalam mata, ia bisa mendengar bahwa Rahagi tulus mengucapkannya.

Gadis itu tersenyum kecil sembari menolehkan kepala menghadap Rahagi. Tanpa ia duga, kepala Rahagi bergerak ke kiri dan menatapnya tepat di mata.

"Gue egois karena nggak mau dengerin penjelasan lo."

Bibir Inara berkedut, berusaha menahan senyumnya. "Tuh, tahu."

"Gue emang keras kepala."

Gadis itu lega karena satu per satu masalahnya menemukan penyelesaian. Satu kata maaf baginya sudah cukup untuk menyelesaikan semuanya. Ia tidak mau membebani pikirannya dengan berbagai spekulasi kenapa begini, kenapa begitu. Cukup ikhlas, dan semua akan terasa lebih mudah.

"Ya, lo emang orang paling keras kepala dan paling egois di muka bumi."

"Gue serius." Rahagi tidak bisa untuk tidak mendengus mendengar jawaban Inara.

"Gue juga serius."

Lagi-lagi, Rahagi mendengus. Lelaki itu mengabaikan ucapan Inara dan melanjutkan kalimatnya. "Maaf, Na, atas perkataan gue yang sempat menyakiti lo."

Inara mengangguk. "Lain kali jangan gitu ya. Kasihan yang dengar. Kata-kata lo itu tajam kayak pisau daging."

Ujung bibir Rahagi tertarik sedikit mendengar perumpamaan yang dilontarkan Inara. "Semudah itu ya, lo memaafkan orang."

"Yah, gue gampang memaafkan sih. Tapi nggak bakal lupa. Berlama-lama memendam rasa sakit hati itu nggak enak. Jadi mending dilepasin aja jauh-jauh ke angkasa raya."

"Maa–"

"Udah, Rag. Bosen gue dengernya," potong Inara seakan tahu apa yang akan diucapkan Rahagi.

Rahagi tersenyum tipis.

"Ngomong-ngomong, waktu itu lo mabuk, ya?" tanya Inara tanpa sungkan.

"Kapan?"

Bisa Rahagi rasakan, permen yang ada dimulutnya sudah menipis. Sebentar lagi akan habis.

"Waktu lo bilang gue sok baik dan sok peduli itu." Inara mengingatkan.

"Oh, pas lo nangis-nangis bilang 'gue capek' ke Bang Gafar, ya?" ledek Rahagi.

Mata Inara membulat. "Kok tahu? Ih, lo nguping ya?" todong Inara.

"Nggak sengaja dengar, lebih tepatnya," ucap Rahagi dengan nada jenaka.

"Malu gue." Inara menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Kenapa malu?"

"Itu melankolis abis. Berasa di novel-novel. Tapi ya, mau gimana. Gue beneran capek waktu itu sama apa yang terjadi." Inara menjauhkan kedua tangannya dari wajah dan menatap Rahagi.

"Gue tahu lo cewek kuat. Tapi seenggaknya, lo nggak nge-drama kayak di sinetron-sinetron."

"Nonton sinetron ya lo sampai tahu gitu?"

"Adiknya Vara suka," jawab Rahagi kalem.

"Ooh." Inara manggut-manggut. "Btw, kok kata-kata lo mirip Sabrina, ya? 'Lo cewek kuat'."

"Mirip doang. Bukan tanda jodoh."

"Lah?" tawa Inara meledak mendengar ucapan Rahagi.

"Apa?" tanya Rahagi heran.

"Nggak ada yang bilang tanda-tanda jodoh kok," ucap Inara di sela tawanya.

Rahagi membuang pandangannya tanda malu. Lagipula, kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya?

Pipi Inara berkedut menahan senyumnya melihat tingkah laku Rahagi. Ia jelas sadar bahwa kakak tirinya itu malu menyadari ucapannya yang sama sekali tidak memiliki korelasi dengan kalimat sebelumnya.

Cukup lama mereka menciptakan jeda, akhirnya Rahagi bersuara–masih sambil membuang pandangannya.

"Gue nggak mabuk."

"Terus kok bisa oleng kayak gitu?" tanya Inara.

Rahagi melirik Inara yang menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Gue emang ke club sih."

Mata Inara membulat.

"Tapi gue nggak mabuk!" seru Rahagi cepat. Detik selanjutnya, lelaki itu memegang tengkuknya. "Cuma ya, waktu itu gue kebablasan ngerokok satu bungkus."

"Gila lo." dua kata itu yang keluar dari mulut Inara. "Ke club? Ngapain? Kalau bokap tahu, bisa habis lo, Rag. Bokap lo emang ngebiarin lo merokok, tapi kalau beliau tahu lo ke club–"

"Gue butuh pelampiasan emosi pas tahu lo jadi mata-mata."

"Tapi nggak ke club juga," ujar Inara menasihati.

"Iya. Nggak akan pernah lagi," jawab Rahagi.

"Terus kenapa lo pulang-pulang udah kayak orang mabuk? Pake jatuh di lantai segala."

Rahagi tidak langsung menjawab. Diliriknya Inara takut-takut. "Gue pusing nyium bau alkohol bercampur keringat di sana," jawab Rahagi ragu dan malu-malu.

Inara terdiam mendengar ucapan Rahagi. Namun, di detik berikutnya gadis itu tertawa.

"Jadi lo mabuk gara-gara bau alkohol sama keringat?"

Rahagi hanya memperhatikan Inara yang sedang tertawa. Sesekali gadis itu memegangi perutnya yang keram karena tawa yang tak henti-henti.

"Nggak nyangka gue. Kirain mabuk gara-gara minum alkohol, tahu nggak?"

Lelaki itu diam tanpa mau mengalihkan pandangannya. Tawa Inara adalah salah satu dari sekian banyak hal yang ia sukai dari Inara.

Ah, bukan.

Ia suka semua yang ada di Inara. Tawanya, senyumnya, tatapan matanya, sikapnya, suaranya. Menurutnya, Inara tidak mempunyai cela.

"Gue cemen ya karena yang begitu doang bisa pusing. Itu pertama kalinya gue ke club dan gue menyesal."

Tawa Inara berhenti. Gadis itu menemukan mata Rahagi tengah menatap lurus ke arahnya, membuat ia sedikit salah tingkah tetapi bisa dengan cepat ia kendalikan.

"Nggak," jawab Inara. "Justru yang cemen itu cowok yang mabuk-mabuk karena punya masalah, padahal itu nggak akan menyelesaikan masalahnya." gadis itu tersenyum.

Dari jarak sedekat ini, Rahagi sadar bahwa Inara memiliki lesung pipi yang sangat kecil di pipi kirinya. Saking kecil dan halusnya, lesung pipi itu hanya bisa dilihat dari jarak dekat.

"Malahan, bagus dong kalau lo pusing karena bau alkohol bercampur keringat. Jadi lo nggak bakal ke club lagi dan jadi anak papa yang baik di rumah." Inara tergelak karena ucapannya sendiri.

"Makasih, Na." Rahagi tersenyum kecil lalu mengalihkan pandangannya.

"Harusnya gue yang makasih karena lo mau maafin gue dan masih mau menerima gue di Blackpole setelah apa yang terjadi."

Seperti mengabaikan ucapan Inara, Rahagi melanjutkan ucapannya. "Makasih karena udah muncul di hidup gue."

Seperti ungkapan yang biasa muncul di novel-novel, rasanya ribuan kupu-kupu terbang memenuhi perut Inara. Selama tujuh belas tahun ia hidup di dunia, ini kali pertama Inara merasakan itu. Ibaratnya, hatinya adalah taman bunga warna-warni yang sedang bermekaran dengan keharuman yang memanjakan indera penciuman. Kupu-kupu berterbangan di perutnya, membuat sensasi geli yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.

Dari sekian banyak perasaan dan emosi yang ditemukannya di lingkungan keluarga dan persahabatan, perasaan seperti ini hanya dirasakannya ketika sedang bersama Rahagi–dan Inara baru menyadarinya akhir-akhir ini, setelah hubungannya dan Rahagi sempat merenggang.

"Apaan sih, kayak gue udah berbuat banyak aja."

Rahagi masih memandang lurus ke depan, menghindari bertatap mata dengan Inara.

"Gue sayang sama lo, Na."

Jantung Inara hampir copot mendengar ucapan Rahagi. Inara tidak bisa berkata-kata.

Ia tidak tahu maksud sayang yang diucapkan Rahagi itu sayang yang seperti apa. Alih-alih bertanya, Inara malah membalas perkataan Rahagi dengan ucapan serupa.

"Gue juga, Rag, sayang sama lo."

Keduanya seperti mendapat tamparan keras dari balasan yang dilontarkan Inara. Mereka tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Kakak adik memang harusnya gitu, kan?"

"Kakak adik emang harus saling menyayangi, kan?"

Rahagi dan Inara mengatakan sesuatu yang serupa tapi tak sama secara bersamaan. Pertanyaan retoris yang keduanya sudah tahu apa jawabannya.

Inara memaksakan senyumnya. Ia mengambil kesimpulan bahwa sayang yang dimaksud Rahagi hanya sebatas kakak dan adik tiri, dan itu wajar.

Begitu juga dengan Rahagi yang tidak menampilkan ekspresi apa-apa. Jauh di dalam lubuk hatinya, lelaki itu menyesal sempat melambung ke udara ketika Inara mengatakan bahwa ia juga menyayangi Rahagi. Inara sudah pasti menyayanginya sebagai kakak tiri, kan?

Yah, memang harusnya begitu.

Sampai kapan pun, mungkin Rahagi tidak akan bisa memiliki Inara karena cinta ayahnya sudah dimiliki oleh ibu Inara.

Sampai kapan pun, mungkin Inara harus mengubur dalam-dalam perasaan yang baru ia sadari sekarang. Perasaan yang ia simpan untuk ketua dari komunitas yang ia mata-matai, sekaligus perasaan untuk kakak tiri yang tiba-tiba ada di kehidupannya.

Sementara itu, tanpa mereka sadari, Naya–yang baru pulang dari rumah temannya untuk mengerjakan tugas kuliah–diam-diam mendengarkan percakapan mereka dari ambang pintu yang menghubungkan teras belakang dan dapur.

Gadis itu tersenyum sedih melihat apa yang terjadi pada Inara. Dari awal ia sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi, tetapi ia tidak bisa mencegah apa yang akan terjadi pada Inara.

Meskipun Naya tidak mau adiknya itu tersiksa atas perasaan yang ia punya, Naya tahu bahwa semua ini sudah merupakan takdir dari-Nya. Takdir yang membuat Inara dewasa dalam menyikapi sesuatu, dan tahu keputusan mana yang terbaik untuk diambilnya.

Maaf, Na, gue nggak bisa bantu apa-apa.

# # #

"Ma, Pa," panggil Naya yang sedang mengoleskan selai kacang di atas selembar roti.

Keluarga itu sedang menghabiskan sarapan mereka di meja makan. Entah kebetulan atau apa, mereka semua bisa berkumpul lengkap di meja makan. Biasanya, jam segini Naya masih tidur karena pulang kemaleman. Begitu juga dengan Wira yang akhir-akhir ini sering lembur di kantor.

"Kenapa, Nay?" tanya Tyas yang baru saja meletakkan dua lembar roti yang sudah diolesi oleh selai cokelat di atas piring milik Wira, suaminya.

Sementara Wira, hanya menatap Naya, menunggu anak tirinya itu melanjutkan ucapannya.

"Naya mau ngekos ya di dekat kampus? Biar nggak jauh banget kalo mau pulang, Ma, Pa. Lagipula, Naya udah masuk semester tujuh. Naya mau cepat-cepat nyelesain SKS–satuan kredit semester–biar bisa skripsi."

"Hmm." Tyas tampak berpikir.

"Udah dapat kosnya, Nak?" tanya Wira kemudian melipat satu lembar rotinya dan memakan setengahnya.

"Udah, Pa. Pas banget di depan kosan teman dekat Naya." gadis itu melipat roti yang sudah diolesi dengan selai kacang lalu memakannya.

"Yaudah. Mama ngikut Papa aja," ucap Tyas.

Sejujurnya, wanita itu tidak terlalu setuju dengan keputusan Naya. Akan tetapi, apa boleh buat. Naya berambisi sekali ingin lulus empat tahun. Ia sudah mempunyai target untuk mengambil S2 secepatnya.

"Papa setuju-setuju aja, asal kamu bisa jaga diri."

"Pasti itu, Pa!"

"Jangan bawa temen cowok ke kamar kos ya." Tyas memperingati.

"Ih, Ma! Sejak kapan Naya mau bawa-bawa temen cowok ke kamar?"

"Hehe, iya sih. Mama kan cuma ngingetin siapa tahu kamu lupa."

"Aman, Ma, aman! Makasih ya, Ma, Pa!" Naya tersenyum senang.

"Berarti tugas masak sama bersihin rumahnya Inara yang kerjain tiap hari dong?" tanya Inara.

"Gue ke rumah setiap weekend, Na, tenang aja," jawab Naya.

"Kalau masak, mama bisa bantu. Tapi kalau buat bersih-bersih rumah...." Tyas menatap Rahagi. "Rahagi bantu-bantu Inara, ya?"

Rahagi yang disodori pertanyaan begitu, lantas menjawab, "Iya, Ma."

"Bayu juga mau ngekos, Ma, Pa."

Tiba-tiba, Bayu yang sedari tadi hanya mendengarkan kini membuka suara.

Rahagi tidak terlalu terkejut dengan kalimat Bayu karena subuh tadi kakaknya itu sudah memberitahukan niatnya kepada Rahagi.

Namun, tidak dengan Inara. Gadis itu kaget ketika Bayu mengutarakan niatnya untuk tinggal di kosan. Begitu juga dengan Naya yang sama terkejutnya.

Mereka berdua–Naya dan Inara–memiliki pemikiran yang sama tetapi tidak serupa.

"Jadi juga, Bay? Papa pikir kamu nggak jadi ngekos karena nggak ada bahas-bahas itu lagi sama Papa."

Dulu, saat memasuki semester dua, Bayu sempat mengatakan bahwa ia ingin menyewa kos di dekat kampusnya.

"Jadi, Pa. Akhir-akhir ini tugas proyeknya banyak. Bikin ini, bikin itu."

Naya dan Bayu berkuliah di kampus yang sama. Bedanya, Naya mengambil hukum, sedangkan Bayu teknik mesin. Jarak kampus dengan rumah mereka tidak begitu dekat, tetapi tidak pula terlalu jauh. Namun, jalanan yang mereka lalui untuk pulang-pergi ke kampus selalu macet dan itu benar-benar melelahkan.

"Yaudah. Kamu ngekos di tempat teman papa yang waktu itu aja."

"Oke, Pa."

~~||~~

A/N

:(

Aku sedih.

Apalagi nulis ini pas cuaca mendung mau hujan.

Sambil makan cokelat isi kacang.

Tiba-tiba pengen es krim tapi lagi batuk.

Pengen spicy chicken bites mekdi juga.

Siapa pun yang baik hatinya tolong anterin mekdi ke rumah.

8 Juli 2017

Continue Reading

You'll Also Like

54.1K 5.7K 15
Edisi kedua dari Fakestagram. selamat membaca ><
155K 23K 48
Siapa yang tak mengenal Shanindya Violetta? Gadis berparas menawan dengan kepala berhias rambut ungu terangnya itu, tentu sangat mudah untuk dikenali...
27.2K 1.4K 54
Follow dulu sebelum baca .. + .
1.8M 92.4K 38
Hanya sedikit deskripsi, Keraguan Devan terus berlanjut hingga penantian Maura terbalaskan oleh si peragu. Warning; author tidak bertanggung jawab ji...