A Babysitter's Diary

By prohngs

243K 30.3K 3.3K

Dua alasan sederhana mengapa menjadi pengasuh anak teman Mama (ternyata) merupakan pekerjaan terkutuk: 1. Ana... More

hai (setelah nyaris setahun)
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas

Enam

8.2K 1.5K 167
By prohngs

Sepertinya, membaca (atau bisa dibilang mendengarkan seseorang membaca) menjadi kegiatan favorit Raka selain menonton Phineas dan Ferb. Selama hari-hari berikutnya, kegiatanku dan Raka masih sama. Aku melanjutkan membacakan The Witches, sementara Raka mendengarkan. Raka tidak pernah memprotes. Dia justru sangat antusias mengikuti cerita.

Kurasa, Raka hanya butuh membiasakan diri denganku. Mulutnya masih tidak bisa disaring, tetapi seperti yang penah kukatakan, menurutku Raka sebenarnya anak yang baik. Buktinya, akhir-akhir ini dia tidak begitu sulit menurutiku. Yah, aku memang masih perlu memancingnya dengan permen supaya mudah diajak pulang, namun yang menakjubkan, aku tidak perlu lagi memerintahnya untuk melepas sepatu sebanyak (paling sedikit) lima kali ketika tiba di rumah. Perkembangan hubunganku dan Raka memang belum seberapa, tetapi setidaknya, aku sangat senang bisa mencapai titik ini.

Malam ini, aku sedang mengerjakan PR di meja belajar kamarku, ketika tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar.

Kudapati Bulan berdiri di ambang pintu. "Apa?" tanyaku sambil mengangkat alis. Ketika aku melihat bantal dan guling di tangannya, aku bertanya lagi, "Lo mau tidur di sini?"

Bulang mengangguk sambil melangkah masuk. "AC gue udah tewas. Kalo gue tetap tidur di kamar gue, bakal ada dua yang tewas di sana." Dia meletakkan bantal dan guling di atas lantai, lalu menarik kasur sorong. Setelahnya, dia mengambil kembali bantal dan gulingnya dan melempar dua benda itu ke atas kasurnya.

"Kenapa enggak di kamar Embun aja, sih?" protesku.

"Kata Papa, di kamar lo aja. Embun lagi banyak tugas. Nanti gue malah ganggu," jawab Bulan sambil mengempaskan dirinya di kasur. "Gila, dingin banget kamar lo."

Aku memutar kursi belajarku agar menghadap Bulan dan mendengus. "Terus, lo enggak ngerasa ngeganggu gue yang lagi ngerjain PR?"

"Enggak." Bulan menjulurkan lidahnya dengan menyebalkan.

Kutatap Bulan sambil menyipitkan mata. Dasar adik tidak pengertian.

Setelah tidur-tiduran di kasur selama beberapa menit, Bulan bangkit berdiri. Dia berjalan keluar dari kamarku, lalu kembali sambil menenteng ransel sekolahnya.

Adikku itu duduk di atas kasur sebelum membuka ritsleting ransel. Kukira dia mau mengeluarkan buku pelajaran atau apa, tetapi rupanya, dia hanya mengeluarkan sebuah majalah ABG norak. Padahal, berdasarkan percakapan saat makan malam tadi, besok dia dan Bintang akan menjalani try out.

Bulan mendongak ketika sadar aku sedang mengamatinya. "Ada apa sih di muka gue? Ada muka Taylor Swift?" Dia segera bangkit dan melangkah ke depan cermin. Setelah memasang kira-kira 99 variasi senyuman sambil menatap pantulan dirinya sendiri, dia berkata, "Emang."

Aku memutar bola mata. "Apa sih bagusnya majalah itu?"

Dengan sigap, Bulan kembali ke kasur dan mengambil majalahnya. "Eh, ini bagus banget, tau!" katanya antusias sambil membalik halaman majalah. Dia terus melakukan itu, sampai akhirnya, dia menemukan halaman yang dicari. Diperlihatkannya halaman itu kepadaku. "Gue nitip beli ini sama temen gue. Nih, ada artikel bagus banget! Judulnya Cara Membuat Cowok Tergila-gila Sama Kamu. Gue enggak sabar banget bacanya."

"Emang siapa yang mau lo bikin tergila-gila sama lo? Atar? Sori, ya, dia cuma bakal tergila-gila sama gue." Sambil memikirkan kemungkinan itu (Atar tergila-gila kepadaku), aku terkekeh sendiri seperti orang gila.

Bulan mengibaskan tangannya. "Atar, mah, gebetan gue yang kesepuluh. Ketemu dia kan cuma kadang-kadang, jadi dia enggak begitu gue pentingin. Ada, lah, sembilan cowok lainnya yang lebih pengin gue bikin tergila-gila sama gue. Mereka sejenis Atar gitu. Yang jelas, lo enggak kenal."

Aku memutar bola mata lagi. Dia punya sepuluh gebetan? Dasar anak baru gede.

"Bukannya besok ada try out, ya? Lo malah baca majalah ginian," kataku heran.

"Nah, tunggu dulu!" sahut Bulan. Dengan bersemangat, dia kembali membalik-balik halaman majalah. "Di sini ada juga artikel bagus tentang tips belajar. Artikelnya panjang banget, sih, sampe lima halaman gitu. Tapi gue pasti bakal baca semuanya! Ada juga beberapa halaman yang isinya kutipan-kutipan motivasi sukses gitu. Pas banget, besok gue mau try out!"

Yang benar saja. Aku tidak habis pikir dengan adikku. Pasti, setelah membaca majalah itu, dia bakal mengantuk dan tertidur. Ujungnya, dia tidak jadi belajar karena waktunya dipakai untuk membaca tips belajar dan kutipan motivasi.

"Udah, ah. Kelamaan duduk-duduk di kasur gini, gue bisa ketiduran. Padahal, gue kan mau mandi dulu. Bye!" Tanpa memedulikan tampangku yang menyatakan aku-sama-sekali-tidak-peduli, Bulan keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya.

Begitu pengganggu itu musnah dari kamarku, aku kembali fokus mengerjakan PR Matematika.

Ketika aku sedang sibuk menulis, tahu-tahu saja, sebuah tangan muncul dari belakang dan berhenti di samping buku tulisku.

"HUA!" Aku cepat-cepat menoleh dengan sebal. "Bintang! Ngapain, sih? Ngagetin aja! PR gue jadi kecoret gini," gerutuku sambil menunjukkan garis panjang yang kuhasilkan sendiri. Lagian, sejak kapan dia masuk ke kamarku?

Kulirik permukaan meja belajar. Rupanya, tadi Bintang meletakkan USB yang dia pinjam beberapa hari yang lalu.

"Oh, balikin USB," kataku.

Sebagai tanggapan, Bintang cuma menatapku sambil mengernyit heran. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi dari kamar.

Aku mendengus. Bintang pasti terlalu menyayangi suaranya untuk sekadar menjelaskan sesuatu yang bisa kulihat sendiri. Kadang aku masih tidak percaya dia merupakan kembaran Bulan.

Sambil berusaha melupakan kenyataan bahwa keluargaku superabsurd, aku mencari-cari correction tape di kotak pensilku. Kemudian aku ingat, bahwa tadi di sekolah, Tata kan menghabiskan isi correction tape-ku!

Dengan malas, aku berdiri dan menghampiri ransel Bulan. Awalnya aku memang mencari correction tape, tetapi kemudian, mataku menangkap sesuatu yang lebih menarik.

Dalam sekejap aku sudah melupakan correction tape. Kuangkat sesuatu yang menarik itu ke depan wajah. Mataku berbinar-binar.

Aku baru saja menemukan harta karun! Atau, yah, bisa juga disebut kertas ulangan harian Matematika dengan nama Bulan Catur Pradani yang bernilai 49. Namun bagiku, ini lebih terlihat seperti harta karun.

(Ngomong-ngomong, waktu kecil, aku sempat bertanya-tanya. Kalau nama tengah Bulan adalah Catur, mengapa nama tengah Embun, aku, dan Bintang adalah Eka, Dwi, dan Tri—bukannya Monopoli, Halma, dan Ludo? Beberapa tahun setelahnya, barulah aku bertanya-tanya mengapa aku sangat bodoh.)

Penasaran, aku kembali mengintip isi tas adikku. Setelah berkutat dengan benda itu selama satu menit, akhirnya aku berhasil mengumpulkan tujuh kertas ulangan lecek dengan nilai yang ditulis menggunakan tinta merah menyala.

Kuletakkan ketujuh harta karun itu di lantai. Biar kurinci satu per satu: UH 1 Matematika, 48; UH 2 Fisika, 36; UH 1 Biologi, 52; UH 2 Matematika, 49; UH 1 Kimia, 55; UH 2 Biologi, 59; UH 3 Matematika, 49.

"Lo ngapain?!"

Aku segera menoleh dan mendapati Bulan memasuki kamarku dengan panik. Rambutnya basah sehabis mandi. Dengan sigap, aku mengambil kertas-kertas ulangan di lantai sebelum Bulan sempat merebutnya.

"Mau nyari correction tape, tapi malah nemu harta karun," kataku. Aku terkekeh. "Kayaknya, Papa sama Mama bakal seneng kalau dapet harta karun juga."

Bulan menghampiriku dengan marah (wajahnya nyaris semerah nilai-nilainya) dan berusaha mengambil kertas-kertas di tanganku. Untungnya, aku bisa menghindar dengan cepat. Aku segera berlari ke arah pintu. Sebelum benar-benar keluar dari kamar, aku menoleh ke Bulan dan memasang senyum penuh kemenangan. Lalu, aku ke luar dan turun ke ruang keluarga.

"Halo Ma, Pa," kataku sambil menatap Mama dan Papa yang sedang menonton televisi. Kertas-kertas ulangan Bulan kusembunyikan di balik punggungku.

"Kenapa, sayang?" tanya Papa. Sedetik setelahnya, Papa memasang tampang kaget. "Eh, kamu jangan baper, lho, Papa paggil-panggil sayang."

Sambil menganggap kalimat terakhir itu tidak pernah ada, aku bertanya, "Kalian suka warna merah, enggak?"

"Suka banget!" sahut Mama. "Apalagi lipstik warna merah."

"Nah," kataku. "Aku punya sesuatu buat Mama Papa."

Mata Mama melebar. "Kamu mau ngasih kita lipstik?" tanyanya dengan nada gembira yang tidak bisa disembunyikan.

Untung saja aku bisa menahan diriku untuk tidak memutar bola mata. "Emangnya, Papa juga mau kalau kukasih lipstik?"

"Mau-mau aja," jawab Papa. "Papa agak bosen juga, sih, hidup 50 tahun jadi laki-laki melulu ...."

Aku dan Mama otomatis menatap Papa dengan ngeri.

"Bercanda," lanjut Papa sambil nyengir. "Eh iya, Papa sukanya tas golf warna merah, Rin. Merah putih juga boleh, biar Papa keliatan nasionalis-nasionalis gitu. Punya Papa yang sekarang warnanya hijau kayak kotoran kuda, jelek bang—"

"Aku enggak mau ngasih Mama Papa lipstik atau tas golf," selaku dengan jengkel. Kukeluarkan semua kertas ulangan Bulan dari balik punggung dan mengulurkannya kepada orangtuaku. "Tapi, aku mau ngasih ini."

Sambil mendesah kecewa karena tidak jadi dapat lipstik/tas golf, mereka menerima kertas tersebut. Awalnya, Mama/Papa hanya menatap kertas itu dengan wajah apa-sih-yang-lebih-penting-dari-lipstik/tas golf. Namun, begitu sadar bahwa yang ada di tangannya adalah kertas ulangan dengan nilai semerah lipstik/tas golf di imajinasi mereka, ekspresi keduanya berubah serius.

Mama mendongak dan menatapku dengan cemas. "Bukannya kamu bilang nilai kamu meningkat, Rin?"

"Yah, dari 48 ke 49 memang meningkat, sih, tapi ...," gumam Papa.

Aku tertawa. "Dilihat dulu, dong, namanya."

Mama dan Papa segera mengecek nama yang tertera di kertas ulangan. Lalu, mereka saling berpandangan dengan serius.

Setelah orangtuaku berkomunikasi melalui semacam telepati, Papa menghela napas. "Bulaaan! Coba kamu ke sini," panggil Papa dengan suara dilantangkan, agar terdengar ke lantai atas.

Kami bertiga menunggu selama setengah menit. Akhirnya, alih-alih melihat kedatangan Bulan, kami malah mendengar suara pintu yang dibanting menutup.

Aku tertegun. Aku sudah tinggal di rumah ini selama sepuluh tahun—aku tahu setiap pintu di rumah ini memiliki suara yang berbeda ketika dibanting menutup. Aku sudah tinggal cukup lama untuk mengenali setiap suaranya. Dan aku yakin, yang barusan itu suara pintu kamar Bulan.

Bisa kurasakan perasaan bersalah mulai merayap di benakku. Perutku mendadak mulas, dan di dadaku rasanya ada yang mencelus. Aku tidak menyangka Bulan akan semarah ini.

Kutatap Mama dan Papa bergantian. "Aku ... mau coba liatin Bulan dulu."

Mama dan Papa mengangguk paham. Lalu, aku segera pergi ke lantai atas dengan gelisah.

Aku berhenti di depan pintu kamar Bulan. Setelah menarik napas dalam-dalam, kuketuk papan di depanku sebanyak tiga kali. Bulan selalu ingin pintu kamarnya diketuk—jadi kali ini, aku menuruti keinginannya.

Kubuka pintu itu. Kepalaku melongok ke dalam. Kulihat Bulan sedang duduk di kursi belajarnya, memunggungiku.

Aku terdiam. Apa yang harus kukatakan sekarang? Meminta maaf?

Namun, setelah kupikir-pikir, aku tidak punya nyali untuk meminta maaf. Sudah kubilang, aku dan saudara-saudaraku tidak akur-akur amat. Walaupun aku tahu aku salah, rasa bersalah itu masih dikalahkan gengsi.

"Lan? Lo enggak jadi tidur di kamar gue?" Akhirnya aku bertanya. "Gue enggak mau ada mayat di sebelah kamar gue," selorohku, hanya untuk mendengar betapa sumbangnya suaraku.

Masih dengan memunggungiku, Bulan menjawab, "Enggak. Biarin aja gue panas-panasan di sini."

Walaupun jawaban itu tidak seperti yang kuharapkan, aku hanya bisa mengangguk. Seusai menutup pintu kamarnya, aku berjalan ke kamarku dengan langkah gontai.

Adikku memang kadang menyebalkan. Tetapi, sebagai seorang kakak, aku pun tidak lebih baik.[]

4 Juli 2017

Continue Reading

You'll Also Like

90.3K 10.3K 58
⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika beni...
56K 5.6K 25
Ditolak itu menyakitkan. Apalagi jika disertai kata-kata yang membuat hati panas. Itu yang dirasakan Lalas. Cintanya ditolak cowok satu sekolah yang...
4K 1.1K 54
[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2021 #DWCNPC2022 Every day is a good day. There is something to learn, care, and celebrate. (Amit Ray) =====================...
6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...